Anda di halaman 1dari 8

Hipertensi dan Penanganan Non Farmakologi Hipertensi Menurut Joint National Committe (JNC), hipertensi atau tekanan darah

tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik yang menetap, dengan tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan darah diastolik di atas 90 mmHg. Diagnosis hipertensi tidak berdasarkan peningkatan tekanan darah yang hanya sekali. Tekanan darah harus diukur dalam posisi duduk dan berbaring. (Baradero, Dayrit, Siswadi, 2008). Hipertensi sering disebut pembunuh diam-diam karena gangguan ini pada tahap awal tidak menampakan gejala dan tanda, tetapi dapat menyebabkan kerusakan yang permanen pada organ-organ tubuh vital. Vasokontriksi atau mengecilnya pembuluhpembuluh darah yang berlangsung lama dapat menyebabkan kerusakan permanen pada ginjal dengan timbulnya kegagalan ginjal. Selain ginjal, otak dan jantung dapat mengalami kerusakan permanen. (Baradero, Dayrit, & Siswadi, 2008). Berdasarkan American Heart Association (AHA), 69% dari penderita serangan jantung, 77% dari penderita stroke dan 74% dari penderita gagal jantung mengidap hipertensi. (Wahdah, 2011) Sebanyak 1 milyar orang dunia, atau 1 dari 4 orang dewasa menderita penyakit ini. Diperkirakan jumlah penderita hipertensi akan meningkat menjadi 1,6 milyar menjelang tahun 2025. (Wahdah, 2011). Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)

Indonesia tahun 2001, prevalensi hipertensi di Indonesia meningkat sejalan dengan meningkatnya usia (6%, pada usia 25-34 tahun, 15% pada usia 35-44 tahun, 43% pada usia di atas 55 tahun) dan diperkirakan 2/3 pasien hipertensi usia lebih dari 65 tahun akan mengalami payah jantung kongesti, infark miokard, stroke bila lebih dari 5 tahun hipertensi tidak terkendali. Karena tingginya risiko dan komplikasi seiring meningkatnya

usia, perlu adanya pencegahan pada pasien hipertensi ringan dan sedang pada mereka yang belum mencapai usia lanjut. (Wherdani, 2006) Penangan yang dapat dilakukan adalah terapi farmakologi dan nonfarmakologi.

Penurunan tekanan darah dengan menggunakan obat-obat antihipertensi terkadang menimbulkan efek samping yang mengganggu. Efek samping diuretik antara lain adalah ketidakseimbangan elektrolit, intoleransi glukosa dan peningkatan kadar kolesterol darah. Efek samping obat yang memanipulasi resistensi perifer, misalnya obat penghambat beta, antara lain adalah peningkatan trigliseril darah, penurunan kadar kolesterol HDL (kolesterol baik), penambahan berat badan, disfungsi seksual, dan depresi. (Sherwood, 2001) Klasifikasi Tekanan Darah Data studi observasional menggambarkan lebih dari 1 juta orang meninggal dunia akibat penyakit jantung korener dan stroke yang meningkat secara progresif serta linear pada tekanan darah 115/75 mmHg. Setiap kenaikan tekanan sistolik sebesar 20 mmHg, atau tekanan diastolik sebesar 10 mmHg akan meningkatkan risiko kematian akibat penyakit jantung korener atau stroke sebesar 2 kali lipat. Studi longitudinal di Framingharm menunjukkan bahwa tekanan darah 135-139/85-89 mmHg berhubungan dengan 2 kali lipat peningkatan risiko relatif penyakit kardiovaskular dibandingkan dengan tekanan darah di bawah 120/80 mmHg. (Chobanian dalam Werdhani, 2005) Peningkatan komplikasi penyakit kardiovaskular berhubungan dengan tekanan darah membuat JNC (Joint National Committe ) pada tahun 2003 memperkenalkan klasifikasi prehipertensi bagi populasi bertekanan darah sistolik 120-139 mmHg dan tekanan diastolik 80-89 mmHg. Desain klasifikasi ini dimaksudkan untuk dapat mengidentifiksi

individu guna melakukan intervensi dini dengan melakukan pola hidup sehat untuk mendapatkan tekanan darah normal. (Chobanian dalam Werdhani, 2005) Istilah prehipertensi sempat menjadi kontroversi. Pasien menjadi lebih takut ketika divonis mengalami prehipertensi dibandingkan tekanan daarah di atas normal. Sebagian orang khawatir harus mengkonsumsi obat antihipertensi yang diresepkan secara

berlebihan, walaupun sebenarnya pedoman JNC7 menyarankan modifikasi gaya hidup sebelum pasien menerima resep obat. (Kowalski, 2010) Klasifikasi Tekanan Darah Orang Dewasa (JNC VII, 2003) Klasifikasi Tekanan Darah Normal Prehipertensi Hipertensi derajat 1 Hipertensi derajat 2 Tekanan Sistolik < 120 mmHg 120-139 mmHg 140-159 mmHg > 160 mmHg Darah Tekanan Diastolik < 80 mmHg 80-89 mmHg 90-99 mHg > 100 mmHg Darah

Data hasil penelitian mengindikasikan bahwa semakin tinggi tekanan darah, bahkan dalam batas normal atau normal-tinggi, semakin tinggi risiko penyakit kardiovaskular, stroke, dan serangan jantung. Semakin rendah tekanan darah seseorang, hingga zona optimal sekitar 115/75 mmHg semakin baik. Terutama bagi orang berusia di atas 50 tahun. Sebuah kajian di University of North Calorina yang melibatkan sekitar 9000 pria dan wanita selama jangka waktu lebih dari 11.6 tahun, menyatakan bahwa angka penyakit kardiovaskular meningkat secara signifikan dengan meningkatnya tekanan darah. Risiko berkembangnya penyakit kardiovaskular, terutama stroke, pada penderita tekanan darah tinggi lebih besar dua setengan kali lipat dibandingkan pada pasien dengan tekanan darah

optimal. Para peneliti menyimpulkan bahwa populasi prehipertensi cukup besar dan usaha untuk menurunkan tekanan darah hingga tingkat optimal memberikan dampak yang signifikan. (Kowalski, 2010) Penelitian selanjutnya membenarkan hal tersebut. Orang dengan tekanan darah normal tinggi biasanya akan menderita hipertensi dalam waktu 4 tahun atau kurang. Risiko hipertensi akan bertambah sejalan dengan bertambanya usia. Hal ini berlaku bagi pria dan wanita. Tekanan darah normal tinggi lebih mengarah pada hipertensi daripada mengarah pada tekanan darah normal. (Kowalski, 2010) Penanganan Hipertensi Non Farmakologi Penurunan Berat Badan Semakin besar massa tubuh, semakin banyak darah yang dibutuhkan untuk menyampaikan oksigen dan makanan ke semua jaringan tubuh. Volume darah yang beredar pada pembuluh darah bertambah sehingga memberikan tekanan yang lebih besar pada dinding pembuluh darah arteri. (Ramayulis, 2010) Obesitas berkaitan erat dengan kejadian hipertensi. Pada semua golongan usia, prevalensi hipertensi 3 kali lipat lebih besar pada obesitas (> 20% BB normal) dibandingkan dengan non obesitas. Setiap peningkatan 10 kilogram berat badan akan meningkatkan 3 mmHg tekanan darah diastolik. Penurunan 5 kiligram berat badan pada pendetita hipertensi dengan obesitas akan menurunkan 5 mmHg tekanan dara diastolik. (Whinney dalam Wherdani, 2006) Penelitian menunjukkan bahwa tumpukan lemak di perut berhubungan dengan risiko hipertensi. Penurunan berat badan berhubungan dengan penurunan detak jantung, penurunan kadar kolesterol dan asam urat di darah serta penurunan kadar glukosa darah.(Ramayulis, 2010)

Penelitian menunjukkan bahwa program penurunan berat badan biasanya hanya menghasilkan penurunan seberat 6 kilogram dan keberhasilan jangka panjang keseluruhan dalam mempertahankan penurunan berat badan hanya 20 %. Dan ketaatan memakan makanan rendah garam sulit dipertahankan. (Sherwood, 2001) Olah Raga Menurut Committe on Sport Medicine and Fitness, latihan fisik atau olahraga merupakan pergerakan tubuh oleh otot secara terencana, terstruktur, dan berulang-ulang yang menyebabkan pemakaian energi untuk memperbaiki kebugaran fisik. (Makmur, 2008). Kebugaran adalah kemampuan seseorang untuk melakukan kegiatan sehari-hari tanpa keluhan. (Ilyas dalam Makmur, 2008) Olahraga meningkatkan jumlah darah yang dipompa setiap menitnya oleh jantung khususnya dari ventrikel kiri. Peningkatan jumlah darah yanng dipompa dapat meningkatkan jumlah oksigen yang beredar ke seluruh tubuh. Seluruh sel, jaringan dan sistem dalam tubuh membutuhkan zat-zat gizi dan oksigen untuk pertumbuhan dan fungsinya. Zat-zat gizi dan oksigen yang dibutuhkan tersebut berada dalam darah. (Kauffman & Foss dalam Werdhani, 2006) Jumlah darah yang dipompa jantung bergantung pada jumlah darah vena yang kembali ke jantung (venous return). Jantung akan memompa darah bila ada darah vena yang kembali ke jantung. Kontraksi otot, difusi oksigen-karbondioksida di paru dan konstriksi vena pada saat beraktivitas mengakibatkan peningkatan jumlah darah vena yang kembali ke jantung. (Kauffman & Foss dalam Werdhani, 2006) Olahraga dapat menurunkan kolesterol jahat (LDL) dan meningkatkan kolesterol baik (HDL), serta tekanan darah sistolik dan diastolik yang merupakan faktor terpenting dalam kerusakan arteri. Menggerakan otot secara maksimum mampu menguatkan otot jantung dan pembuluh darah. Otot jantung beradaptasi pada saat jantung akan melakukan

pekerjaan berat. Pembuluh darah menjadi lebih elastis dan mampu membesar (berdilatasi) secara optimal, yang membuat aliran darah menjadi lebih lancar. (Roizen & Mehmet, 2009) Perbedaan antara kelompok yang beraktivitas dan tidak beraktivitas adalah pada sistem transpor oksigen dan jumlah darah yang dipompa jantung (stroke volume). Sistem transpor oksigen dan jumlah darah yang dipompa pada kelompok yang beraktivitas akan lebih banyak dibandingkan dengan anggota yang tidak beraktivitas. (Sharkey dalam Werdhani, 2006) Hal-hal yang perlu diperhatikan pada latihan fisik untuk mendapatkan hasil yang baik adalah lamanya latihan per kali, berat ringannya latihan yang dilakukan, dan frekuensi latihan perminggu. Aktivitas fisik ringan yang dilakukan dalam periode waktu yang lama akan memberikan manfaat sama dengan aktifitas fisik yang berat yang dilakukan dalam periode waktu yang singkat. (Werdhani, 2006) Data ilmiah menyatakan bahwa aktivitas kardiovaslular baik dilakukan sekitar 60 menit dalam seminggu. Aktivitas kardiovaskular ini dapat dilakukan dalam 3 kali 20 menit atau 2 kali 30 menit perminggu. Latihan lebih dari 60 menit perminggu tidak ada keuntungan lebih bagi tubuh. (Roizen & Mehmet, 2009). Latihan tersebut minimal dilakukan 4 minggu berturut-turut. (Whelton dalam Werdhani, 2006) Tidak semua olaharaga dapat menurunkan tekanan darah dan dapat dilakukan oleh semua kalangan usia. Olahraga yang tidak protektif dan terprogram merupakan olahraga yang mampu menurunkan tekanan darah. (Sherwood, 2001). Olah raga yang tidak protektif dan dapat menurunkan tekanan darah seperti senam aerobik, yoga, tai chi dan senam ergonomis. Mengurangi Asupan Garam

Asupan natrium yang berlebihan menyebabkan tubuh meretensi cairan yang membuat volume darah meningkat. Berdasarkan hasil penelitian epidemiologi dengan rancangan kontrol acak menjelaskan bahwa individu yang berusia lebih dari 45 tahun dengan konsumsi makanan rendah garam akan mengalami penurunan tekanan darah sebesar 2.2 hingga 6.3 mmHg. Peneltian observasional menjelaskan bahwa pola makan dengan pemberian natrium moderat berhubungan dengan penurunan kebutuhan obat hipertensi dan penurunan pengeluaran kalsium. (Ramayulis, 2010) Natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraseluler tubuh yang mempunyai fungsi menjaga keseimbangan cairan dan asam basa tubuh serta berperan dalam transmisi saraf dan kontraksi otot. (Ramayulis, 2010) Pola makan sehari-hari umumnya mengandung lebih banyak natrium daripada yang dibutuhkan. Jumlah natrium yang dikeluarkan tubuh melalui urine dalam kondisi normal pada umumnya sama dengan jumlah volume air yang masuk ke dalam tubuh. (Ramayulis, 2010) Beberapa penelitin terakhir yang menggunakan olahraga sebagai alat terapi membuktikan bahwa tekanan darah pada kasus hipertensi ringan sampai sedang dapat diturunkan tanpa memandang pasien dengan menjalani restriksi garam atau penurunan berat badan. (Sherwood, 2001) Berhenti Merokok Studi MRC (Medical Research Council) tahun 1985 menunjukkan angka mortalitas dan morbiditas hipertensi lebih tinggi pada kelompok perokok dibandingkan dengan kelompok bukan perokok. Menghilangkan kebiasaan merokok merupakan strategi terbaik pada penderita hipertensi ringan. (Whinney dalam Wherdani, 2006) Hipertensi dapat diakibatkan oleh adanya nikotin dalam batang rokok yang dihisap seseorang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nikotin dapat meningkatkan resiko

peggumpalan darah dalam pembuluh darah. Nikotin juga dapat menyebabkan pengapuran dinding pembuluh darah. (Ramayulis, 2010) Mengurangi Konsumsi Alkohol Kebiasaan mengkonsumsi alkohol diketahui sebagai faktor etiologi hipertensi. Kelompok peminum alkohol berat mempunyai tekanan darah lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok peminum alkohol ringan dan bukan peminum. Efek berawal mulai 4-8 kali minum per hari dan meningkat secara linier. (Whinney dalam Wherdani, 2006) Efek dari konsumsi alkohol dapat merangsang hipertensi karena adanya peningkatan sintesis kathekolamin yang dalam jumlah besar dapat memicu kenaikan tekanan darah. (Ramayulis, 2010) Hindari Stres Jantung dan pembuluh darah memiliki reseptor yang selalu memantau perubahan tekanan darah di arteri dan vena. Reseptor ini akan mengirim sinyal ke otak saat terjadi perubahan agar tekanan darah kembali normal. Otak merespon sinyal tersebut dengan melepaskan hormon dan enzim yang memengaruhi kerja jantung, pembuluh darah dan ginjal. (Davey, 2002) Stres didefinisikan sebagai pengalaman emosi negatif yang berkaitan dengan perubahan biologis yang mengharuskan kita menyesuaikan diri. (Rosenthal, 2009). Hormon epineprin atau adrenalin akan dilepaskan jika terjadi stres. Aktivitas hormon ini akan meningkatkan tekanan darah secara berkala. Peningkatan tekanan darah akan terjadi secara permanen apabila stres terjadi berkepanjangan.

Anda mungkin juga menyukai