Anda di halaman 1dari 26

BAB 1 PENDAHULUAN

Secara umum gangguan pengeluaran urin yang menyebabkan pakaian atau tempat tidur basah disebut mengompol. Pada usia sekolah mengompol lebih dari satu kali seminggu sudah dianggap abnormal. Secara sederhana anak yang mengompol dibagi dalam 2 kelompok yaitu enuresis dan inkontinensia urin. Enuresis berlangsung melalui proses berkemih yangnormal (normal voiding) tetapi terjadi pada tempat dan waktu yang tidak tepat yaitu berkemih di tempat tidur atau menyebabkan pakaian basah, dapat terjadi pada saat tidur malam hari (enuresis nokturnal), siang hari (enuresis diurnal), ataupun siang dan malam hari. Enuresis dianggap sebagai akibat maturasi proses berkemih yang terlambat, umumnya tidak ditemukan kelainan organik yang nyata sebagai penyebab. The International Continence Society (ICS) menyusun definisi inkontinensia urin yaitu suatu keadaan pengeluaran urin yang involunter yang mengakibatkan masalah kesehatan dan sosial dan secara obyektif dapat diperagakan. Definisi ini kurang ideal untuk tujuan epidemologik. Definisi yang lebih sederhana inkontinensia urin yaitu mengompol yang terjadi tanpa kontrol meskipun si pasien berusaha sekuat mungkin menahannya, kencing menetes dan tidak pernah lampias, terjadi di mana saja dan kapan saja dan sering menyebabkan rasa malu dan frustasi bagi pasien. Dalam kenyataan tidak mudah membedakan enuresis dengan inkontinensia urin karena tidak ada gejala yang spesifik untuk membedakan keduanya secara jelas. Inkontinensia urin lebih sering bersifat kronik dan progresif. Klasifikasi dapat disusun berdasarkan etiologi, kelainan pola berkemih maupun berdasarkan tingkat lesi neurologik. Pendekatan diagnostik yang lebih mutakhir didasarkan pada hasil pemeriksaan miksiosistoureterografi dan urodinamik yang menggolongkan inkontinensia dalam dua bagian yaitu inkontinensia fungsional dan organik. Masalah utama yang dihadapi ialah ISK berulang dan gagal ginjal kronik. Penanganan yang baik dan tepat harus dimulai dari upaya diagnostik yang akurat. Prioritas utama ialah pemeliharaan fungsi ginjal, pemberantasan infeksi berulang dengan memperhatikan kondisi neurologis yang diderita. Kerjasama antar disiplin seperti urologi, pediatri dan rehabilitasi medik sangat diperlukan, namun di atas segalanya, perhatian, kesabaran dan dedikasi untuk menolong pasien sangat penting agar kualitas hidup pasien dapat ditingkatkan.

Dalam proses berkemih secara normal, seluruh komponen sistem saluran kemih bagian bawah yaitu detrusor, leher buli-buli dan sfingter uretra eksterna berfungsi secara terkordinasi dalam proses pengosongan maupun pengisian urin dalam buli-buli. Bila salah satu bagian tersebut mengalami kelainan maka terjadi gangguan berkemih. Secara fisiologis dalam setiap proses miksi diharapkan empat syarat berkemih yang normal terpenuhi, yaitu (1) kapasitas bulibuli yang adekuat, (2) pengosongan buli-buli yang sempurna, (3) proses pengosongan berlangsung di bawah kontrol yang baik, (4) setiap pengisian dan pengosongan buli-buli tidak berakibat buruk terhadap saluran kemih bagian atas dan fungsi ginjal. Bila salah satu atau beberapa aspek tersebut mengalami kelainan maka dapat timbul gangguan miksi yang disebut inkontinensia urin.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA I. Anatomi dan Fisiologi Normal Kandung Kemih


2.1.1 Anatomi Kandung Kemih Kandung kemih adalah organ muskular berongga yang berfungsi sebagai penyimpanan urin. Pada laki-laki terletak tepat dibelakang simphisis pubis dan didepan rektum, sedangkan kandung kemih wanita terletak dibawah uterus dan didepan vagina. Kapasitas normal kandung kemih sebanyak 400-500 ml. Struktur kandung kemih berupa: 1. Dinding, dengan empat lapisan, yaitu: a. Serosa, merupakan lapisan terluar yang berupa perpanjangan lapisan peritoneal rongga pelvis. b. Otot detrusor, yaitu lapisan tengah yang tersusun dari berkas-berkas otot polos yang membentuk sudut agar kontraksi kandung kemih serentak ke segala arah. Otot detrusor ini terdiri dari serat-serat otot polos, yaitu lapisan dalam berupa longitudinal, tengah sirkular, dan luar longitudinal. Bagian ini akan teregang bila kandung kemih terisi dan otot-otot detrusor akan berkontraksi bila terjadi refleks miksi, sehingga isi kandung kemih dapat keluar. c. Submukosa, berupa jaringan ikat dibawah mukosa dan berhubungan dengan muskularis. d. Mukosa, yaitu lapisan terdalam berupa epitel transisional.
2. Trigonum vesicae merupakan area halus, triangular, dan relatif tidak dapat berkembang yang

terletak secara internal dibagian dasar kandung kemih. Sudut-sudutnya terbentuk dari tiga lubang yaitu dua disudut atas berupa muara ureter dan satu pada apex berupa uretra. a. Disekitar pangkal uretra tersusun otot polos yang disebut sfingter internum berfungsi mempertahankan tonus uretra agar air kemih tidak keluar. b. Terdapat susunan otot rangka diafragma urogenitalis disekitar uretra disebut sfingter eksternum yang berkontraksi terus menerus secara tonus agar tidak terjadi penetesan air kemih, berelaksasi pada saat miksi baik secara refleks maupun atas pengaruh otak.

Gambar 1 Anatomi Kandung Kemih Pengendalian kandung kemih dan pengeluaran kandung kemih merupakan proses yang sangat kompleks dan melibatkan persarafan: 1. Medula spinalis a. Sistem saraf parasimpatis berasal dari medula spinalis saklralis II-IV yang keluar sebagai pleksus pelvikus dan pleksus sakralis dan menuju kandung kemih sebagai N. pudendus. Perangsangan sistem ini akan menyebabkan kontraksi detrusor dan sedikit dilatasi sfingter internum kandung kemih. b. Sistem saraf simpatis Berasal dari medula spinalis torakal XI lumbal II, keluar melalui pleksus hipogastrik menuju kandung kemih. terdiri darireseptor alfa dan beta. Reseptor alfa terutama terletak dibagian leher kandung kemih otot polos disekitar pangkal uretra, perangsangan reseptor ini akan menyebabkan kontraksi bagian bawah kandung kemih, sehingga menghambat pengosongan kandung kemih. inhibisi reseptor alfa menyebabkan relaksasi leher kandung kemih dan bagian proksimal uretra sehingga terjadi miksi. Reseptor beta terutama terletak di bagian korpus kandung kemih. perangsanagan reseptor ini akan mengakibatkan relaksasi otot-otot detrusor, sehingga terjadi penampungan kandung kemih dan inhibisi akan menyebabkan kontraksi otot detrusor dan peningkatan tekanan di dalam kandung kemih, diikuti dengan pengosongan kandung kemih.
4

Gambar 1. Sistem persarafan kandung kemih 2. Pengaturan miksi oleh otak Di otak terdapat 3 pusat yang dapat mengendalikan miksi: 1. Menimbulkan miksi terletak di pons anterior dan hipotalamus posterior 2. Pusat inhibisi terletak di otak tengah. Cara pusat di otak mengatur miksi: 1. Pusat inhibisi menghambat refleks miksi dalam beberapa saat sampai kita ingin miksi.

2. Pusat inhibisi akan menghambat miksi walaupun telah timbul refleks miksi dengan jalan kontraksi sfingter eksternum kandung kemih, sampai ada tempat dan waktu yang tepat untuk miksi. 3. Bila tiba waktunya untuk miksi, maka pusat-pusat ini akan: mempermudah pusat miksi di medula spinalis sakralis untuk memulai miksi. menghambat kontraksi otot sfingter eksternm kandung kemih, sehingga terjadi pengluaran air kemih. 3. Siklus miksi Terdiri drai 2 fase: a. Fase penampungan Tergantung pada kapasitas kandung kemih yang adekuat, kemampuan memperbesar volume kandung kemih dengan tekanan yang tetap rendah dan elastisitas kandung kemih. b. Fase ekspulsi Mampu mengawali kontraksi otot detrusor secara lengkap sehingga terjadi peningkatan yang cepat dan progresif. kemampuan relaksasi sehingga air kemih dapat dikeluarkan. kemampuan hubungan uterovesika sehingga melindungi saluran kemih bagian atas dari tekanan tinggi kandung kemih. 2.1.2 Fisiologi Miksi Miksi atau urinisasi merupakan proses pengosongan kandung kemih. Setelah dibentuk oleh ginjal, urin disalurkan melalui ureter ke kandung kemih. Aliran ini dipengaruhi oleh gaya tarik bumi, selain itu juga kontraksi peristaltik otot polos dalam dinding ureter. Karena urin secara terus menerus dibentuk oleh ginjal, kandung kemih harus memiliki kapasitas penyimpanan yang cukup. Mekanisme miksi bergantung pada inervasi parasimpatis dan simpatis juga impuls saraf volunter. Pada pengeluaran urin dibutuhkan kontraksi aktif otot detrusor, maka: Bagian otot trigonum yang mengelilingi jalan keluar uretra berfungsi sebagai sfingter uretra internal yang diinervasi oleh neuron parasimpatis.

Sfingter uretra eksternal terbentuk dari serabut otot rangka dari otot perineal transversa dibawah kendali volunter. Selain itu bagian pubokoksigeus pada otot elevator juga berkontriksi dalam pembentukan sfingter. Rata-rata pengeluaran urin adalah 1,5 l per hari, walaupun bisa berkurang hingga

kurang dari 1 l per harinya dan meningkat hingga mendekati 20 l per hari. Refleks berkemih dicetuskan apabila reseptor-reseptor regang di dalam dinding kandung kemih terangsang. Kandung kemih orang dewasa dapat menampung sampai 250 atau 450 ml urin sebelum tegangan di dinding kandung kemih untuk mengaktifkan reseptor regang. Makin besar peregangan melebihi ambang ini, makin besar tingkat pengaktifan reseptor. Selain refleks ini dimulai, refleks ini bersifat regenerasi sendiri. Refleks berkemih terjadi dengan cara: Impuls pada medulla spinalis dikirim ke otak dan menghasilkan impuls parasimpatis yang menjalankan melalui saraf splanknik pelvis ke kandung kemih. Refleks perkemihan menyebabkan otot detrusor kontraksi dan relaksasi sfingter internal dan eksternal. Pada anak-anak, miksi merupakan sebuah refleks lokal spinal dimana pengosongan kandung kemih dengan pencapaian tekanan kritis. Sedangkan pada dewasa, refleks ini dibawah kontrol volunter sehingga dapat diinhibisi oleh otak (Thomas dan Stanley, 2007). Selama miksi, proses yang terjadi berupa: Refleks detrusor meregang, mencetuskan refleks kontraksi dari otot-otot tersebut sehingga timbul keinginan untuk miksi. Relaksasi otot puborectalis sehingga kandung kemih akan turun sedikit sehingga penghambatan uvula menurun dan segmen bagian pertama uretra melebar. Relaksasi otot sfingter uretra eksterna memungkinkan kandung kemih untuk mengosongkan isinya dan dapat dibantu dengan tindakan valsava. Pada akhir proses miksi, kontraksi kuat dari otot sfingter uretra eksterna dan dasar panggul akan mengeluarkan sisa urin dalam uretra, setelah itu otot detrusor relaksasi kembali untuk pengisian urin selanjutnya. Gangguan pada sistem saraf pusat atau komponen saluran kemih bagian bawah dapat menyebabkan tidak sempurnanya pengeluaran dan retensi urin atau tidak dapat menahan miksi, atau gejala-gejala kompleks kandung kemih yang berlebihan dengan karakteristik berupa sesak dan miksi berulang-ulang dengan atau tanpa inkontinensia urin.
7

Pengisian dan pengeluaran urin pada kandung kemih dikontrol oleh sirkuit saraf di otak, medula spinalis, dan ganglia. Sirkuit ini mengkoordinasikan aktifitas otot polos di detrusor dan uretra. Suprapontin mempengaruhi keadaan on-off switch pada saluran kemih bagian bawah dengan dua cara operasi yaitu penyimpanan dan pengeluaran. Berkemih dapat dicegah dengan kontraksi sfingter uretra eksterna yang disadari. Namun, jika kandung kemih terus menerus diisi dan teregang, maka kontrol sudah tidak mampu lagi mengendalikan. Berkemih juga dapat secara sengaja dimulai walaupun kandung kemih belum tergang oleh relaksasi volunter sfingter uretra eksterna dan diafragma pelvis. Penurunan lantai panggul juga memungkinkan kandung kemih turun, yang secara simultan membuka sfingter uretra eksterna dan meregangkan kandung kemih. Pengaktifan reseptor-reseptor regang menyebabkan kandung kemih berkontraksi melalui refleks miksi. Pengosongan kandung kemih secara volunter dapat dibantu oleh kontruksi dinding abdomen dan diafragma pernafasan yang meningkatkan tekanan intraabdominal sehingga memeras kandung kemih untuk mengosongkan isinya. Jadi, refleks berkemih merupakan sebuah siklus yang lengkap. Terdiri dari: 1. Kenaikan tekanan secara progresif 2. Periode tekanan menetap 3. Kembalinya tekanan kandung kemih ke nilai tonus basal Bila refleks miksi yang terjadi tidak mampu mengosongkan, keadaan terinhibisi selama beberapa menit hingga 1 jam atau lebih sebelum terjadi refleks berikutnya. Bila kandung kemih terus menerus diisi, akan terjadi refleks miksi yang semakin sering dan kuat. 2.1.3 Perkembangan Pengendalian Kandung Kemih Kematangan seorang anak untuk dapat mengendalikan kandung kemih tergantung dari: Kapasitas kandung kemih yang adekuat, Pengendalian sfingter eksterna kandung kemih secara sadar untuk memulai dan mengakhiri miksi. Pengendalian pusat miksi diotak untuk merangsang atau menghambat miksi pada berbagai tingkat kapasitas kandung kemih. Adapun usia perkembangan kandung kemih, yaitu:
8

Neonatus, berkemih terjadi secara spontan dan merupakan refleks medula spinalis. Bila jumlah urin bertambah, kandung kemih mengembang dan terjadi refleks yang menimbulkan kontraksi otot detrusor dan relaksasi otot sfingter eksternum kandung kemih.

Usia 1-2 tahun, kapasitas kandung kemih bertambah serta maturasi lobus frontalis dan parietalis otak. Sehingga anak sudah menyadari bila kandung kemih penuh tapi belum mampu mengendalikan miksi.

Usia 2,5 tahun, anak sudah tahu cara dan guna miksi sehingga anak sudah dapat mengendalikan kandung kemih sesuai tempat dan waktu miksi. Usia 3 tahun, anak akan pergi ke kamar mandi bila ingin miksi dan sudah dapat menahan miksi dalam waktu yang cukup lama, terutama saat bermain dan biasanya akan miksi sekitar 8-14 kali / hari. Pada usia ini usia ini anak sudah dapat mengendalikan miksi pada siang hari, pada malam hari 75% anak usia 3,5 tahun sudah tidak mengalami nocturnal enuresis (mengompol).

Usia 4,5 tahun, anak sudah dapat mengendalikan kandung kemih secara lengkap. Usia 5 tahun, anak akan miksi sebanyak 5-8 kali / hari dan akan menolak miksi bukan ditempatnya. Pengisian kandung kemih, selain memicu refleks kandung kemih juga menyebabkan rasa

secara sadar bahwa kandung kemih penuh juga menyebabkan timbulnya keinginan untuk miksi. Persepsi kandung kemih yang penuh muncul sebelum sfingter eksterna secara refleks melemas, sehingga memberi peringatan bahwa proses miksi akan dimulai. Akibatnya, kontrol volunter terhadap miksi yang dipelajari selama toilet training pada masa anak-anak dini dapat mengalahkan refleks miksi. Sehingga pengosongan kandung kemih dapat terjadi sesuai keinginan orang yang bersangkutan dan bukan pada saat pengisian kandung kemih pertama kali mencapai titik yang menyebabkan pengaktifan reseptor regang. Apabila saat miksi tidak tepat sementara refleks miksi sudah dimulai, pengosongan kandung kemih dapat secara sengaja dicegah dengan mengencangkan sfingter eksterna dan diafragmapelvis sehingga impuls eksitatoris volunter yang berasal dari korteks serebrum mengalahkan masukan inhibitorik refleks dari reseptor regang ke neuron-neuron motorik yang terlibat sehingga otot-otot ini tetap berkontraksi dan urin tidak keluar.
9

2.1.4 Teori perkembangan anak Dalam konsep jalur perkembangan menyatakan bahwa seorang anak dapat melewati tahap suksesi. Teori-teori psikoanalitik mengungkapkan bahwa gagasan tentang tahapan-tahapan itu secara kualitatif mamiliki jangka waktu yang berbeda dalam perkembangan emosi dan kesadaran (Needlman, 1999). Adapun teori-teori perkembangan tersebut: 1. Psikoseksual Teori ini diungkapkan oleh Sigmund Freud yang menggambarkan lima stadium perkembangan anak, yaitu: Fase oral (sejak lahir sampai 1 tahun), tempat pemusatan utama adalah mulut, bibir, dan lidah sehingga kegiatan yang paling disukai anak pada usaha ini adalah menggigit dan menghisap. Fase anal (1-3 tahun), tempat pemusatan adalah anus dan daerah sekitarnya. Pada fase inilah anak seharusnya mendapatkan kontrol sfinkter volunter (toilet training). Fase falik oedipal (3-5 tahun), genital merupakan pusat perhatian, stimulant, dan kegembiraan. Pada masa ini anak senang memegang bagian genital dan adanya kecemasan kastrasi (takut kehilangan atau cedera genital). Selain itu pada fase ini juga terdapat Oedipus kompleks, dimana anak menyukai orang tua yang berlawanan jenis dengannya. Fase laten (5-6 tahun sampai 11-12 tahun), pada fase ini keadaan dorongan seksual relatif dan dengan resolusi kompleks oedipal. Dorongan seksual relative dialihkan dengan tujuan yang lebih dapat diterima secara social, seperti sekolah atau olahraga. Fase genital (11 - 12 tahun), fase ini merupakan stadium akhir perkembangan psikoseksual, dimulai dengan pubertas dan kapasitas biologis untuk orgasme tapi melibatkan kemampuan keintiman yang sesungguhnya. 2. Psikososial Teori ini diungkapkan oleh Erik Erikson, dengan pembagian: Kepercayaan dasar (sensorik oral), fase ini terjadi pada kisaran usia 0-1 tahun, dimana kepercayaan dilanjutkan dengan mudahnya makan, kedalaman tidur, dan relaksasi usus. Otonomi lawan rasa malu-malu dan ragu-ragu (muscular-anal), fase ini terjadi pada usia 1-3 tahun dimana secara biologis termasuk berjalan, belajar, makan sendiri, dan
10

berbicara. Selain itu terdapat rasa malu saat menyadari diri sendiri karena pemaparan negatif dan keraguan jika orang tua menyisihkan anak. Inisiatif lawan rasa bersalah (motor penggerak genital), fase ini terjadi pada usia 3-5 tahun dimana inisiatif timbul dalam tugas untuk kepentingan aktifitas motorik maupun intelektual. Pada fase ini juga terdapat rasa bersalah terhadap perenungan tujuan dan persaingan denga saudara kandung. Keaktifan lawan rendah diri (laten), fase ini terjadi pada usia 6-12 tahun dimana anak sibuk membangun, menciptakan, dan menyelesaikan. Identitas lawan difusi identitas, fase ini terjadi pada usia 11 tahun sampai akhir mas remaja, dimana terdapat perjuangan untuk mengembangkan identitas ego. 3. Kognitif Teori ini dikemukakan oleh Jean Piaget, yang membagi: Fase sensori motor (tahap I-IV), fase ini terjadi dari lahir sampai dengan 2 tahun, dimana intelegensia terletak terutama pada tindakan dan gerak yang terkoordinasi dibawah suatu pola perilaku sebagai respon stimulus lingkungan tertentu. Fase sensori motor (tahap V-VI) Fase praoperasional (konkret), fase ini terjadi pada usia 7-11 tahun dimana timbul pikiran logika mampu mengambil sudut pandang orang lain serta mengingat angka, panjang, berat, dan volume. Fase operasional nyata Fase operasi formal (abstrak), fase ini terjadi mulai usia 11 tahun sampai akhir usia remaja, dimana sudah mampu berfikir tentang pikiran seseorang, menggunakan dua sistem referensi secara bersamaan dan untuk memegang konsep kemungkinan. Sedangkan menurut Anna Freud, aspek pertumbuhan dan perkembangan normal pada anak-anak berupa ketergantungan menuju kemandirian, mengompol menuju kontrol kandung kemih, dan keterikatan dalam diri sendiri menuju persahabatan. Aspek-aspek ini mencerminkan pergerakan dari masa bayi yang juga imatur menuju kompleksitas anak yang telah berkembang.`

II. Enuresis
2.2.1 Definisi Enuresis adalah pengeluaran air kemih yang tidak disadari pada seseorang yang pada saat
11

itu pengendalian kandung kemih diharapkan sudah tercapai. Kemampuan mengendalikan kandung kemih biasanya tercapai pada umur 1-5 tahun. Seorang anak baru dapat dikatakan enuresis fungsional, pengeluaran urin involunter pada waktu siang atau malam hari atau bila enuresis menetap dan paling sedikit satu kali perminggu pada umur diatas 5 tahun pada perempuan dan antara 6-10 tahun pada anak laki-laki, tanpa adanya kelainan fisik atau penyakit kronik. Diagnosa enuresis fungsional menurut DSM-IV (American Psychiatric assosiation, 1994) dapat ditegakkan, apabila: 1. Buang air kecil yang berulang pada siang dan malam hari di tempat tidur atau pakaian. 2. Sebagian besar tidak disengaja, tetapi kadang-kadang disengaja. sekurang-kurangnya terjadi 2 kali dalam satu minggu selama 3 bulan, atau harus menyebabkan kesulitan signifikan di bidang sosial, akademik, atau fungsi penting lainnya. 3. Anak tersebut harus mencapai usia dimana berkemih secara normal seharusnya telah tercapai, yaitu usia kronologis paling sedikit 5 tahun. sedangkan pada anak dengan keterlambatan perkembangan, usia mental paling sedikit 5 tahun. 4. Tidak berhubungan dengan efek fisiologis dari suatu zat atau kondisi kesehatan secara umum. 2.2.2 Klasifikasi Enuresis dapat diklasifikasikan menjadi: 1. Enuresis nokturnal (seleep wetting) yaitu enuresis pada malam hari menetap lebih dari dua kali dalam satu bulan pada anak berumur lebih dari 5 tahun, lebih banyak terjadi pada laki-laki dengan insiden 80%. 2. Enuresis diurnal yaitu enuresis yang terjadi pada siang hari, lebih sering terjadi pada perempuan dengan angka kejadian 20%. Menurut awal terjadinya dibedakan menjadi: 1. Enuresis primer bila enuresis terjadi sejak lahir dan tidak pernah ada periode normal dalam pengontrolan buang air kemih. 2. Enuresis sekunder terjadi setelah 6 bulan dari periode setelah kontrol pengosongan air kemih sudah normal.

12

2.2.3 Epidemiologi Penelitian epidemiologi di luar negri menunjukkan pada usia 6-7 tahun 80% anak secara penuh dapat mengendalikan kandung kemihnya, sedangkan 20% lagi mengalami enuresis nokturnal, enuresis diurnal, atau keduanya. Insiden enuresis semakin menurun sesuai dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia 14 tahun insiden enuresis hanya 2-3%. sedangkan menurut survei di Jakarta pada tahun 1986 menyebutkan bahwa prevalensi enuresis pada anak laki-laki sekitar 2,83% dan pada perempuan 2,97%; 82,4% adalah enuresis nokturnal dan 17,6% merupakan enuresis diurnal; 96,7% bersifat primer dan 3,3% merupakan enuresis sekunder. Enuresis lebih sering terjadi pada anak-anak yang berasal dari: 1. Golongan sosio-ekonomi rendah 2. Anak-anak yang pernah menderita hambatan sosial atau psikologis dalam periode perkembangan antara umur 2-4 tahun pertama kehidupan 3. Latar belakang pendidikan orang tua yang rendah 4. Toilet training yang tidak adekuat 5. Anak pertama 2.2.4 Etiologi 1. Keterlambatan pematangan neurofisiologi: berhubungan dengan faktor genetik, 77% pada kedua orang tua, 44% salah satu orang tua, 15% bila tidak ada riwayat keluarga. 2. Keterlambatan perkembangan: bukan karena gangguan pematangan sistem neurofisiologi, tetapi kurangnya latihan pola buang aikr kemih. 3. Hormon antidiuretik: sekresi hormon ADH menyebabkan volume urine tinggi pada malam hari. 4. Faktor urodinamik: kapasitas kandung kemih yang kecil dan tidak adanya penghambatan kontraksi serta tidak adanya koordinasi antara otot detrusor dan otot sfingter. 5. Faktor tidur yang dalam 6. Faktor psikologi: enuresis primer dapat disebabkan oleh adaya faktor stres selama periode perkembangan antara umur 2-4 tahun. 7. Faktor organik: a. Saluran genitourinaria: hampir 99% enuresis nokturnal tidak mempunyai kelainan anatomi saluran kemih, tetapi ditemukan gangguan urodinamik seperti kapasitas
13

kandung kemih yang kurang dan tidak sinergisnya kerja otot detrusor dengan otot sfingter. b. Infeksi, 45% perempuan dengan bakteriuri timbul enuresis, 17% perempuan tanpa bakteriuri menjadi enuresis, 15% dengan bakteriuri asimptomatis mengalami enuresis. 2.2.5 Diagnosis 1. Anamnesis Menentukan tipe dan beratnya enuresis dengan menanyakan sejak kapan terjadinya mengompol, waktu terjadinya mengompol, riwayat infeksi saluran kemih, keadaan psikososial anak, keadaan keluarga, riwayat enuresis pada orang tua. 2. Pemeriksaan Fisik Tidak ditemukan kelainan, tetap cari apakah terdapat kelainan di medula spinalis. 3. Pemeriksaan Penunjang Diperlukan untuk mengevaluasi enuresis, pemeriksaan seperti analisis air kemih, berat jenis, biakan urin, ureum, kreatinin, dll. harus dibedakan apakah ini karena infeksi saluran kemih, ureter ektopik, gangguan fungsi kandung kemih, atau kelainan anatomi kandung kemih.

2.2.6 Diagnosis banding a. ISK, dapat menyebabkan enuresis sekunder. biasanya terjadi urgensi enuresis, sering miksi, dan disuri. Urinalisis dan biakan kemih dapat ditegakkan ada tidaknya infeksi saluran kemih. b. Kelainan kongenital saluran kemih: ureter ektopik, epispadi, sinus urogenital persisten. c. Nefropati obstruksi, akibat kerusakan katup uretra posterior. Gejalanya air kemih menetes, urgensi enuresis, inkontinensia psikogenik. kelainan ini dapat ditegakkan dengan pemeriksaan sistografi. d. Kandung kemih neurogenik, keluhan sama dengan yang diatas, biasanya disertai defek tulang belakang. e. Kandung kemih disinergik, menyebabakan daytime incontinence, miksi yang frekuen, dan infeksi saluran kemih yang berulang.
14

2.7 Penatalakasanaan Pengobatan biasanya diperlukan apabila enuresis menjadi problem bagi penderita maupun keluarga dan jarang diperlukan bila anak belum mencapai umur 5 atau 6 tahun. pada anak-anak yang lebih muda, engobatan biasanya hanya berupa mendidik keluarga mengenai hal-hal yang dapat menyebabkan enuresis dan menunjukkan program latihan-latihan yang benar. Non Farmakologik 1. Latihan menahan miksi, tujuannya memperbesar kapasitas kandung kemih, agar waktu antara miksi menjadi lebih lama sehingga dapat mengurangi enuresis. Dengan menahan miksi secara sadar akan menghambat kontraksi kandung kemih dan memperbesar kapasitas kandung kemih. Latihan ini memerlukan waktu yang lama, angka kesembuhannya lebih tinggi. 2. Memberikan motivasi. orang tua dan anak diberikan penjelasan mengenai enuresis. setelah orang tua dan anaknya mengerti tentang masalah enuresis seperti mengurangi minum pada malam hari, membangunkan anak pada malam hari untuk mikasi di kamar mandi, dan memberika pujian atau penghargaan bila anaknya tidak mengompol, ternyata banyak yang berhasil mengurangi dan menghentikan enuresis. 3. Mengubah kebiasaan, dengan menggunakan alarm bell and pad, dengan cara beberapa tetes pertama air kemih akan menyebabkan alarm bunyi dan anak terbangun dari tidurnya untuk menyelesaikan miksinya di kamar mandi. mengubah pola tidur dan memasang alarmnya sendiri merupakan pengobatan lebih efektif. Farmakologik 1. Anti depresan Misalnya imipramin, penggunaannya menunjukkan 40-60% berhenti enuresis dan frekuensi ngompolnya berkurang. efeknya belum diketahui dengan jelas, tetapi diduga sebagai anti depresan, anti kolinergik, dan mengubah mekanisme tidur. yang berperan dalam pengobatan enuresis adalah efek anti kolinergik dan antispasmodik yang mnyerupai efek simpatomimetik terhadap kandung kemih. Dosisnya 1-1,5 mg/kgBB, diberikan 1-2 jam sebelum tidur. pengobatan ini memperlihatkan hasil 1-2 minggu. jika dalam waktu tersebut belum memprlihatkan hasil, pengobatan diteruskan sampai setidak-tidaknya sampai 6 bulan dengan mengurangi dosis

15

setiap 3-4 minggu. Efek samping jarang terjadi. gejala efek samping berupa insomnia, kecemasan, perubahan kepribadian. 2. Desmopresin Merupakan sintetis vasopresin dan analog dengan argininevasopresin. diberikan intranasal waktu tidur. tiapsemprot mengandung 10 mg desmopresin. obat ini bekerja dengan mengurangi produksi urin, sehingga efek sampingnya adalah hiponatremi akibat retensi air, obat ini hanya dipakai untuk anak-anak yang mengalami stres dan gagal dengan cara pengobatan lain. 3. Antikolonergik obat ini berhubungan dengan enuresis yang diakibatkan adanya proses aninhibisi kontraksi dari kandung kemih. dosis anjuran untuk anak-anak diatas 6 tahun adalah 5 mg 2-3 kali sehari. Efek samping berupa mulut kering, muka merah, atau kadang-kadang hiperksia, pada dosis lebih menimbulkan gangguan penglihatan. 2.2.8 Prognosis Enuresis yang tidak diobati akan sembuh spontan antara 10-20% pertahun. oleh karena enuresis sebenarnya bukanlah suatu penyakit melainkan suatu proses maturasi yang dapat sembuh spontan dengan bertambh nya umur, maka sebaiknya jangan cepat-cepat memberi obatobatan. sebaiknya upayakan dulu untuk memotivasi dengan memberi pujian, penghargaan setiap tidak ngompol. III. Inkontinensia Urin 2.3.1 Definisi The International Continence Society (ICS) menyusun definisi inkontinensia urin yaitu suatu keadaan pengeluaran urin yang involunter yang mengakibatkan masalah kesehatan dan sosial dan secara obyektif dapat diperagakan. Definisi ini kurang ideal untuk tujuan epidemologik. Definisi yang lebih sederhana inkontinensia urin yaitu mengompol yang terjadi tanpa kontrol meskipun si pasien berusaha sekuat mungkin menahannya, kencing menetes dan tidak pernah lampias, terjadi di mana saja dan kapan saja dan sering menyebabkan rasa malu dan frustasi bagi pasien. Dalam kenyataan tidak mudah membedakan enuresis dengan inkontinensia urin karena tidak ada gejala yang spesifik untuk membedakan keduanya secara jelas.

16

2.3.2 Etiologi Inkontinensia urin dapat bersifat sementara, tetapi lebih sering bersifat kronik dan progresif. Inkontinensia sementara misalnya pada seorang ibu pasca persalinan atau pada sistitis. Inkontinensia kronik dapat disebabkan oleh berbagai etiologi dan digolongkan sebagai berikut : Inkontinensia anatomik atau inkontinensia tekanan (stress incontinence) Inkontinensia desakan (urge incontinence) Inkontinensia neuropati/neurogenik Inkontinensia kongenital Inkontinensia semu (false = overflow incontinence) Inkontinensia post trauma atau inkontinensia iatrogenik Inkontinensia fistula

2.2.3 Klasifikasi Selain berdasarkan etiologi, inkontinensia atau disfungsi vesiko-ureteral dapat pula digolongkan dengan berbagai cara antara lain berdasarkan kelainan pola berkemih, misalnya bulibuli otonom, berdasarkan tingkat lesi neurologik misalnya tipe upper motor neuron dan lower motor neuron atau hanya berdasarkan lesi perifer yang timbul (buli-buli hipertonik atau atonik) dan sebagainya. Namun klasifikasi seperti tersebut di atas kurang bermanfaat secara klinis maupun penanganannya. Pendekatan yang lebih mutakhir didasarkan pada hasil pemeriksaan miksio-sisto uretrografi (MSU) dan urodinamik,3,9 yang menggolongkan inkontinensia dalam 2 bagian yaitu inkontinensia fungsional dan organik. Namun ada juga kepustakaan yang langsung membagi menjadi 3 kelompok yaitu disfungsi buli-buli sfingter neuropati, disfungsi non neuropati dan inkontinensia struktural akibat kelainan anatomik.10 Berbagai bentuk klinik inkontinensia fungsiona atau dikenal pula sebagai non neuropathic bladdersphincter dysfunction antara lain ialah: Inkontinensia desakan (urge syndrome and urge incontinence). Inkontinensia timbul akibat kontraksi detrusor yang tidak dapat dihambat pada fase pengisian buli-buli atau pada saat yang bersamaan dilawan oleh kontraksi otot-otot dasar panggul secara volunter (disebut hold manoeuvres) untuk mencegah atau mengurangi terjadinya mengompol, namun biasanya masih terjadi juga pengeluaran sedikit urin. Hold manoeuvres dapat juga dilakukan dengan
17

posisi jongkok (squatting). Sindrom urge sering disertai gejala konstipasi dengan feses yang mengeras dan kadang-kadang sulit dibedakan dengan enkopresis yang timbul pada enuresis diurnal. Sindrom urge perlu dipikirkan pada kasus refluks-vesiko-ureter (RVU) dengan infeksi saluran kemih (ISK) berulang. Sindrom urge atau inkontinensia desakan dapat dicetuskan oleh peninggian tekanan intra abdomen misalnya pada saat melompat atau bila tertawa. Salah satu contoh ialah Giggle incontinence yang timbul setelah tertawa meskipun buli-buli belum terisi penuh. Presentasi klinik yang agak aneh ini sulit disembuhkan dan biasanya anak yang menderita sindrom ini menghindari ketawa agar tidak mengompol. Staccato voiding3 atau dysfunctional voiding. Kelainan ini disebut juga dyssynergic voiding, ditandai dengan berkemih yang tiba-tiba berhenti secara periodik akibat kontraksi otot-otot dasar panggul secara ritmik. Kelainan ini analog dengan dissinergia detrusor sfingter pada disfungsi bulibuli neurogenik. Fractionated and incomplete voiding. Kelainan ini timbul akibat kurangnya aktivitas otot detrusor. Pancaran urin sangat iregular, pasien sering mengedan untuk memperlancar aliran urin. Biasanya kapasitas buli-buli menjadi besar dan kencing tidak lampias. Lazy bladder syndrome. Sindrom ini merupakan kelanjutan dari fractionated and incomplete voiding. Akibat jangka lama kurangnya aktivitas otot detrusor menyebabkan buli-buli makin membesar dan berdilatasi, bahkan akhirnya otot detrusor tidak mampu berkontraksi lagi. Satu-satunya upaya untuk berkemih hanya mengandalkan tekanan abdomen. Akibatnya residu urin makin meningkat, infeksi makin sering terjadi. Buli-buli seperti malas berkontraksi, miksi makin jarang dan akhirnya timbul inkontinensia karena buli-buli sudah sangat penuh. Penanganan umumnya bersifat konservatif dengan miksi berulang ( double atau tripple micturition). Sindrom Hinman. Sindrom ini ditandaidengan retensi urin dengan miksi yang tersendatsendat (intermittent voiding pattern), sama seperti kasus buli-buli neurogenik tetapi tanpa kelainan anatomik maupun neurologik. Timbul mulai anak belajar toilet training. Sering disertai ISK berulang, mengompol siang dan malam. Gambaran urodinamik berupa dissinergia detrusor sfingter. Etiologi belum diketahui dan diduga disebabkan kombinasi berbagai faktor dan peranan faktor psikologik cukup dominan di samping faktor sosial ekonomi dan perbedaan budaya. Penanganan terutama berupa psikoterapi di samping penanganan terhadap infeksi dan gangguan fungsi ginjal.

18

Inkontinensia Organik Penyebab organik disfungsi buli-buli pada anak dapat digolongkan dalam 3 jenis kelainan, yaitu kelainan bawaan dan berhubungan dengan gangguan neurologis, kelainan anatomik yang menyebabkan gangguan fungsi saluran kemih bagian bawah serta kelainan yang didapat seperti yang tertera pada Tabel 1.1 Di antara ketiga jenis kelainan tersebut mielodisplasia merupakan kelainan yang tersering menyebabkan terjadinya buli-buli neurogenik (neurogenic bladder dysfunction) pada anak, dan di antara kelainan mielodisplastik tersebut meningomielokel merupakan kasus terbanyak (90%).

Buli-buli Neurogenik Inkontinensia yang timbul sekunder akibat neuropati disebut buli-buli neurogenik. Bulibuli neurogenik merupakan kelainan organik yang perlu mendapat perhatian karena kasus inilah
19

yang paling sering ditemukan sebagai akibat meningomielokel. Konsekuensi utama akibat bulibuli neurogenik ialah kerusakan ginjal dan inkontinensia urin. Kerusakan ginjal berkaitan dengan peninggian tekanan intra-vesika atau adanya refluks vesiko ureteral sebagai penyerta dan timbulnya infeksi saluran kemih. Infeksi, refluks dan obstruksi sering ditemukan secara bersamasama pada buli-buli neurogenik. Mekanisme timbulnya inkontinensia sangat beragam dan sering merupakan kelainan ganda. Sedikitnya ada empat pola gambaran urodinamik yang dapat ditemukan pada buli-buli neurogenik, yaitu: Hiperefleksia otot detrusor bersama-sama dengan hiperrefleksia (spastisitas) sfingter Arefleksia otot detrusor bersama-sama denganarefleksia sfingter Arefleksia otot detrusor bersama-sama dengan hiperrefleksia (spastisitas) sfingter Hiperrefleksia otot detrusor bersama-sama dengan arefleksia sfingter Manifestasi klinik inkontinensia yang timbul akan bervariasi tergantung pada intensitas dan kombinasi kelainan urodinamik yang ditemukan. Ringkasnya buli-buli bisa normal atau kapasitasnya kecil, otot detrusor bisa akontraktil atau kontraktil (biasanya hiperrefleks), leher buli-buli bisa kompeten atau inkompeten. Sedangkan mekanisme sfingter distal dapat normal, inkompeten atau malah obstruktif (bisa dalam bentuk disinergia detrusor sfingter atau obstruksi statik sfingter distal). 2.3.4 Prevalensi dan Insidens Berbagai kepustakaan melaporkan insidens maupun prevalensi berdasarkan keluhan seperti mengedan, polakisuria, ngompol sehingga diagnosis definitif yang ditegakkan berbeda satu sama lain.3 Dengan adanya kesimpang-siuran mengenai diagnosis inkontinensia urin timbullah masalah dalam menilai sensitivitas dan spesifisitas penemuan gejala/tanda klinik secara epidemiologik. Variasi dalam interpretasi diagnostik akan mempengaruhi prevalensi inkontinensia pada berbagai penelitian, sehingga prevalensi yang lebih akurat sulit ditentukan. Meskipun demikian diperkirakan sekitar 20% kasus poliklinik nefrologi anak terdiri dari kasuskasus kompleks ISK berulang inkontinensia fungsional atau disfungsi sfingter non neuropati. Di antara kelompok buli-buli neurogenik, mielodisplasia merupakan etiologi tersering dan 90% di antaranya berupa mielomeningokel. Data yang dapat dikumpulkan dari kasus rawat jalan maupun rawat inap di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM selama 11 tahun diperoleh 18 kasus inkontinensia urin, sebagian di antaranya diagnosis definitif belum dapat ditegakkan,14 namun di antara kasus yang terdiagnosis lebih spesifik, buli-buli neurogenik akibat spina bifida cukup
20

dominan (9 kasus) seperti yang tertera pada Tabel 2. Semua kasus disertai dengan ISK berulang dan pada pengamatan ternyata 11 kasus di antaranya sudah mengalami gagal ginjal kronik.

2.3.5 Diagnosis Penanganan yang baik dan tepat harus dimulai dari upaya diagnostik yang akurat, oleh sebab itu pendekatan serta tahapan diagnostik harus diikuti dengan seksama agar hasil penanganan mencapai sasaran yang optimal. Tahapan diagnostik meliputi anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisis yang seksama. Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang seksama diharapkan sudah dapat dibedakan antara enuresis primer (enuresis nokturna) dengan inkontinensia urin. Hal-hal yang perlu ditanyakan antara lain pola berkemih (voiding) dan mengompol, frekuensi dan volume urin, kebiasaan defekasi serta pola kepribadian. Pemeriksaan fisis meliputi perkembangan psikomotor, inspeksi daerah genital dan punggung, refleks lumbosakral dan pengamatan terhadap pola berkemih. Tahapan diagnostik yang diajukan oleh van Gool seperti tertera pada Gambar 1 dapat dipakai sebagai acuan dan sekaligus pemilihan uji diagnostik yang diperlukan. Tahapan diagnostik berikutnya ialah pemeriksaan penunjang baik laboratorik maupun pencitraan. Urinalisis, biakan urin, pemeriksaan kimia darah dan uji faal ginjal perlu dilakukan terhadap semua kasus inkontinensia urin. Ultrasonografi dipakai sebagai pilihan pertama pencitraan sebagai penyaring, kemudian dapat dilanjutkan dengan miksio-sistouretrografi (MSU). Nilai pemeriksaan USG dapat ditingkatkan bila sekaligus diperiksa pre dan post miksi serta kecepatan aliran urin untuk mendeteksi kemungkinan obstruksi sfingter buli-buli. Pemeriksaan urodinamik terindikasi pada kasus yang diduga buli-buli neurogenik yang tidak selalu dapat terdiagnosis hanya berdasarkan pemeriksaan fisis-neurologis. Pemeriksaan urodinamik hanya diperlukan pada kasus-kasus yang belum jelas diagnosisnya dengan pemeriksaan baku seperti USG dan MSU. Patut diingat bahwa pemeriksaan urodinamik pada
21

anak memerlukan waktu yang banyak dan membutuhkan kesabaran karena demikian banyaknya instruksi yang harus diberikan dan tahapan pemeriksaannya sangat menyita waktu yang banyak. Tidak semua rumah sakit memiliki alat urodinamik, namun di rumah sakit yang memiliki klinik inkontinensia atau klinik spina bifida, seyogyanyalah alat ini tersedia. Namun meskipun alat tersedia, tidak semua dokter spesialis anak mau memanfaatkannya karena alasan rumitnya pemeriksaan dan menyita waktu. Meskipun tanpa pemeriksaan urodinamik, sebenarnya sebagian besar kasus inkontinensia sudah dapat ditangani dengan baik hanya dengan pemeriksaan konvensional yang ada asal dimanfaatkan secara optimal.

2.3.6 Penatalakasanaan Penanganan kasus-kasus inkontinensia urin harus memperhatikan berbagai aspek antara lain sebagai berikut: Prioritas utama ialah pemeliharaan fungsi ginjal Penanganan disfungsi vesiko-uretral ditujukan terhadap kelainan yang ditemukan secara nyata Penanganan harus realistis dengan memperhatikan kondisi neurologis yang diderita Penanganan adekuat terhadap infeksi yang menyertai disfungsi vesiko-ureteral Dengan kata lain penanganan adekuat meliputi pengosongan buli-buli dengan baik, penurunan tekanan intravesika, pencegahan ISK serta penatalaksanaan terhadap inkontinensia sendiri tercapai, terutama pada anak yang cukup besar. Rencana penanganan harus melihat kondisi kasus demi kasus. Tahapan permulaan meliputi identifikasi gangguan fungsi ginjal serta pengobatannya. Bila sudah sempat terjadi gangguan fungsi ginjal umumnya berkaitan dengan obstruksi aliran urin, baik sebagai akibat dissinergia detrusor-sfingter atau stasis akibat obstruksi sfingter uretra distal. Bila disertai refluks vesikoureter maka gangguan fungsi ginjal semakin berat. Tahap berikutnya ialah evaluasi terhadap inkontinensia apakah perlu segera ditangani atau tidak. Pada anak berusia 2-3 tahun misalnya penanganan terhadap inkontinensia dapat ditunda sampai usia di mana inkontinesia yang dialami menimbulkan masalah sosial atau membuat malu pasiennya. Selanjutnya ialah penilaian apakah kondisi pasien memungkinkan untuk suatu tindakan, misalnya seorang anak dengan kelainan neurologis dan urologis yang berat, pemakaian kateter dauer tampaknya lebih rasional dibandingkan dengan usaha lain yang lebih sulit dan lebih invasif.
22

Tahapan selanjutnya ialah penilaian apakah ada tindakan khusus yang dapat dilakukan. Dalam hal ini pemeriksaan urodinamik diharapkan dapat memberi gambaran yang lebih akurat untuk menentukan tindakan apa yang sebaiknya dilakukan. Untuk ini peranan subspesialistis sangat diperlukan, demikian juga kerja sama antar disiplin seperti urologi, neurologi, pediatri dan rehabilitasi medik sangat dibutuhkan. Alternatif tindakan dapat berupa pengobatan medikamentosa seperti pemberian oksibutinin, imipramin dan sebagainya atau berupa tindakan urologik seperti sistoplastik, pemasangan sfingter artifisial atau hanya sekedar clean intermittent catheterisation (CIC). Pengeluaran urin secara Crede1 tidak dianjurkan karena tindakan ini dapat memperburuk refluks yang sudah ada dan dapat pula memperburuk fungsi ginjal. Tindakan lain seperti rekonstruksi leher buli-buli, stimulasi elektrik serta obat-obatan sejenis betanechol, distigmin untuk mengurangi dissinergia detrusorsfingter pada umumnya kurang bermanfaat. Di atas segalanya, perhatian, kesabaran dan dedikasi untuk menolong pasien sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup kasus yang ditangani.

23

24

BAB 3 KESIMPULAN
Secara umum gangguan berkemih yang disebut mengompol dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu enuresis dan inkontinensia urin. Enuresis dianggap sebagai akibat maturasi proses berkemih yang terlambat, umumnya tidak ditemukan kelainan organik yang nyata sebagai penyebab, pengeluaran urin tidak disadari oleh penderita. Sedangkan inkontinensia urin didefinisikan sebagai pengeluaran urin yang terjadi tanpa kontrol (involunter) meskipun si pasien berusaha sekuat mungkin menahannya (disadari oleh penderita), kencing bisa menetes dan tidak lampias, terjadi seketika, biasanya ditemukan adanya kelainan organik yang nyata. Tetapi dalam kenyataan sehari-hari, tidak mudah membedakan enuresis dengan inkontinensia urin.

25

DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Saunders Elsavier. 2007. 2. Sekarwana Nanan. Enuresis. UKK Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: 2010. 3. Tambunan Taralan . Inkontinensia Urin. UKK Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: 2010. 4. Andersson, K.E., 2008. Neurophysiology and Pharmacology of the Lower Urinary Tract. In: Tanagho, E.A., McAninch, J.W, ed. Smiths General Urology Seventeenth Edition , United States of America: Mc Graw Hill, 426-437. 5. De Gatta, M.F., Garcia, M.J., Acosta, A., 1984. Monitoring of Levels of Imipramine and Demispamine and Individualization of Dose in Enuretic Children. In: Koff, S.A., 1997. Non-neuropathic Vesicourethral Dysfunction in Children. In: ODonnell, B., Koff, S.A., ed. Pediatric Urology, Oxford: Butterworth-Heinemann, 217-227. 6. Gauthier, B., Edelmann, C.M., Barnett, H.L., 1982. Management of Enuresis. In: Gauthier, B., Edelmann, C.M., Barnett, H.L., ed. Nephrology and Urology for the Pediatrician, United States of America: Little, Brown and Company, 295-298. 7. Gray, M., Moore, K.N., 2009. Primary Enuresis. In: Gray, M., Moore, K.N., ed. Urologic Disorders Adult and Pediatric Care, United States of America: Mosby Elsevier, 436-443. 8. Guyton, A.C., Hall, J.E., 2008. Pembentukan Urin oleh Ginjal: I. Filtrasi Glomerulus, Aliran Darah Ginjal, dan Pengaturannya. In: Guyton, A.C., Hall, J.E., ed. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11, Jakarta: EGC, 324-343. 9. Kaplan, H.I., Sadock, B.J., Grebb, J.A., 2010. Gangguan Eliminasi. In: Wiguna, I, ed. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Prilaku Psikiatri Klinis, Tanggerang: Binapura Aksara, 799-805. 10. Sherwood, L., 2001. Sistem Kemih. In: Sherwood, L., ed. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, Jakarta: EGC, 461-505. 11. Ward, J., Clarke, R., Linden, R., 2007. Pendahuluan Sistem Ginjal. In: Safitri, A., Astikawati, R., ed. At a Glance Fisiologi, Jakarta: Penerbit Erlangga, 62-63.

26

Anda mungkin juga menyukai