Anda di halaman 1dari 10

Selamat! Anda diterima di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Dua kalimat itu cukup membuat mata Taruna terbelalak, campuran emosi berbaur di hatinya, antara terkejut, senang, dan bangga. Bagaimana tidak bangga? Ia akhirnya terpilih menjadi salah satu dari mahasiswa-mahasiswa berjaket kuning itu, yang konon katanya telah memiliki peran besar dalam menggulingkan rezim Orde Baru di Era Reformasi. Kampus yang konon memiliki predikat sebagai salah satu Universitas terbaik di Indonesia, berdampingan dengan ITB, UGM, dan IPB. Terlebih lagi, ia berhasil memasuki fakultas yang ia impikan, yaitu Fakultas Hukum. Terbayang di benaknya akan cita-citanya untuk menjadi jaksa yang seolah tinggal selangkah lagi. Taruna meng-klik mousenya, dan ia menemukan rincian administratif yang harus dibayarnya dalam rangka pendaftaran ulang. Ia mengerutkan kening, bingung dengan opsi pembayaran yang harus dipilihnya. BOP-Berkeadilan? Apa itu? Tidak banyak keterangan yang tertera di layar website penerimaan mahasiswa baru itu, hanya ada beberapa opsi pilihan pembayaran biaya kuliah: bayar penuh, BOP-Berkeadilan, dan bayar secara mencicil. Ragu, Taruna mengklik tombol BOP-Berkeadilan. *** Di sebuah warnet, seorang anak laki-laki sedang berkomat-kamit sambil menghadap layar komputer. Ia memasukkan nomor-nomor yang dicatatnya di secarik kertas ke dalam sebuah kolom. Sambil membaca bismillah, ia menekan tombol enter. Matanya membulat. Di layar di hadapannya, terbentang tulisan, Selamat! Anda diterima di Teknik Arsitektur Universitas Indonesia. Sontak, anak lelaki bernama Irwan itu bersujud syukur dan berteriak lega. Tidak dihiraukannya tatapan keheranan dari orang-orang di seisi warnet. Ia ingin segera pulang, menyampaikan kabar gembira itu pada Emaknya. Irwan segera membayar biaya warnet, dan berlari ke rumah kontrakannya yang terletak di dalam gang sebelah warnet. Kegembiraannya meluap-luap. Maaaaak, Irwan diterima di Universitas Indonesia!!! *** Di sebuah rumah lain, seorang anak remaja bernama Dennisa sedang berjingkrak-jingkrak kesenangan setelah tahu bahwa ia berhasil lolos SIMAK UI di jurusan pilihannya, Komunikasi UI. Mamanya berdiri di sampingnya, menangis haru dan memeluknya dengan bangga. Dennisa melihat opsi pilihan pembayaran biaya kuliahnya, ada opsi bayar penuh, BOP-Berkeadilan, dan bayar secara mencicil. Ma, aku pilih opsi pembayaran yang mana nih? Bayar penuh aja, nis. Cuma 15 juta kan, kalau dihitung sama uang gedungnya. Mamanya menyarankan setelah melihat layar komputer. BOP-Berkeadilan BOP-Berkeadilan itu apa ya ma? Keterangannya nggak jelas nih. Dennisa membaca tulisan di layarnya.

Coba Mama liat. Hmmmm.. kayaknya sih itu semacam pengajuan beasiswa buat anak-anak nggak mampu. Kamu nggak perlu ngajuin sayang, kita kan bisa bayar penuh. Kasihan kan mahasiswa lain yang beneran nggak mampu. Mama Dennisa menyarankan dengan lembut. Oke deh ma, kalau begitu pilih yang bayar penuh aja ya. Berkata demikian, Dennisa meng-klik opsi pembayaran penuh. *** Beberapa hari sebelumnya, di depan gedung DPR. Rangga dan kawan-kawannya turun dari Bis yang mereka naiki dari Depok. Jaket kuning yang dikenakannya basah dengan keringat, karena berdesak-desakan dengan kawan-kawan di bus carteran tersebut. Beberapa puluh mahasiswa UI yang semuanya mengenakan jaket kuning turun dari bis, mulai bergerak memadati pintu gerbang di depan Gedung DPR yang terletak di Senayan itu. Entah ketakutan atau apa, beberapa satpam gedung DPR langsung menutup pintu gerbang DPR yang sebelumnya membuka lebar. Hmm, takutkah mereka melihat segelintir mahasiswa yang mengenakan jaket kuning ini? Pikir Rangga. Rangga menatap gedung hijau yang berbentuk seperti sayap kepik yang berdiri pongah di depan matanya. Gedung DPR. Hari ini, Jumat tanggal 13 Juli. Kira-kira pukul satu siang setelah sholat Jumat, rencananya DPR akan mengadakan rapat paripurna untuk membahas mengenai RUU Pendidikan Tinggi. RUU yang dicurigai sarat akan komersialisasi dunia pendidikan, dilihat dari pasal-pasalnya yang ganjil. Salah satu hal yang Rangga tangkap dari RUU PT adalah, pemerintah hendak lepas tangan akan pembiayaan pendidikan tinggi bagi penduduk Indonesia, namun pemerintah melalui Kementerian Pendidikan ikut campur dalam otonomi keilmuan di Perguruan-Perguruan Tinggi. Padahal logikanya, seharusnya Pemerintah membantu PT-PT dari segi finansial dan membebaskan pihak PT dalam menentukan bidang keilmuan dan kurikulum mereka agar tidak menghambat perkembangan keilmuan. Selain itu masih banyak pasal-pasal dalam RUU PT yang janggal dan multitafsir, berpotensi untuk disalahgunakan. Contohnya di dalam salah satu pasal, mahasiswa diajarkan untuk berhutang demi membayar biaya pendidikan.Pasal yang sarat akan aroma kapitalis. Regulasi yang dibikin dengan asal-asalan, sungut Rangga. Sudah beberapa bulan ini, ia dan temantemannya dari BEM se-UI sudah mengkaji dengan dalam muatan yang terkandung di dalam RUU tersebut, terutama fakultasnya, Fakultas Hukum yang memang mempelajari tentang peraturan perundangan. Rangga semakin memahami bahwa RUU PT dibuat jauh melenceng dari semangat untuk memajukan pendidikan. Ia sedikit geram terutama setelah audiensi dengan anggota komisi X DPR minggu lalu. Para wakil rakyat itu sendiri sepertinya tidak mengerti isi dari RUU PT sendiri. Aksi hari ini adalah aksi kelanjutan dari hari kemarin, aksi untuk menentang RUU yang sama yaitu RUU Pendidikan Tinggi. Setelah demo sampai maghrib kemarin, massa mahasiswa memutuskan untuk bubar dan berkumpul kembali pada hari ini.

Suara desas-desus beberapa orang mahasiswa membuyarkan lamunan Rangga. Beberapa orang mahasiswa berbisik-bisik dengan raut muka kecewa. Ada apa sih Ndi? Rangga menghampiri Andi, koordinator aksi dari fakultasnya. Kita terlambat, Ngga. RUU-nya udah disahkan tepat ketika kita sampai. Suara Andi yang getir terdengar seperti guntur di telinga Rangga. Apa?! Kok bisa? Gue dapat jadwal dari situs di internet, katanya RUU-nya aja baru mau diparipurnakan abis sholat Jumat. Sekarang kan masih jam sebelas?! Rangga berteriak tidak percaya. Penuh rasa kecewa. Entahlah Ngga, siapa yang bohong. Gue barusan dapet kabar dari anak BEM yang lagi di dalam gedung. Katanya sidangnya berlangsung nggak lebih dari setengah jam, tau-tau udah ketok palu aja. Sah. Tau gitu seharusnya kita nginep aja ya dari semalam. Lanjut Andi lagi sambil menunduk, berusaha menyembunyikan kecewanya yang bercampur dengan geram. Rangga menunduk kecewa. Bahkan para anggota dewan yang terhormat pun tega berbohong tentang jadwal sidang. Mungkinkan agar tidak ada yang menghalang-halangi, agar pengesahan RUU PT berjalan dengan cepat? Entahlah. Entah siapa yang sebenarnya mereka wakili. Andi dan Rangga bersama sama menatap gedung hijau besar tersebut. Hari itu, Jumat 13 Juli, palu vonis kematian pendidikan di Indonesia seolah sudah diketuk. *** Peluh keringat mulai mengucur di dahi Irwan, begitu juga dengan keringat yang membasahi kemeja terbaiknya. Ia akhirnya sampai juga di calon kampusnya, Universitas Indonesia. Ia sampai ke Depok dari rumahnya di daerah Bekasi, dengan kendaraan umum. Pertama naik angkot. Bis. Lalu naik kereta yang akhirnya berhenti di stasiun Universitas Indonesia. Ia datang ke sini untuk mengajukan banding atas besaran BOP-B yang harus dibayarnya untuk bisa berkuliah di Universitas Indonesia. Ia teringat akan dialognya dengan Emak-nya beberapa hari silam.

Mak, Irwan mau kuliah Mak. Siapa tahu kalau Irwan kuliah, lulus jadi arsitek, Irwan bisa jadi orang kaya. Irwan bisa buatin rumah yang bagus untuk Emak, kita nggak harus tinggal di kontrakan lagi. Emak nggak harus jualan sayur di pasar lagi. Irwan berusaha membujuk Emaknya agar mengizinkannya untuk kuliah. Emak menghela nafasnya, berat. Emak tau Wan, emak tau kamu ini pinter, kamu ini suka belajar. Emak tau nilai UAN kamu yang paling tinggi di sekolah. Emak tau kamu setiap tahun jadi juara umum di sekolah. Emak tau kamu kepingiiin banget jadi insinyur. Tapi apa kamu tau, Wan? Duit Emak nggak

banyak, Wan. Untuk jualan di pasar hari ini aja, Emak harus ngutang lagi ke Mpok Siti. Apalagi buat kuliah. UI itu mahal Waaan, berapa kata kamu? Dua puluh lima juta? Uang dari mana kita, Waaan? Emak Irwan mengela nafas dalam, setengah emosi memenuhi permintaan anak sulungnya itu. Enggak Mak, nggak semahal itu. Irwan udah cari-cari informasi, dibantuin sama Pak Syarif, guru BK di sekolah. Katanya, di UI itu ada sistem yang namanya BOP-B, supaya kita bisa bayar murah Mak. Katanya bisa kok cuma bayar seratus ribu setiap semester, malah bisa gratis Mak! Irwan tetap berusaha membujuk ibunya, matanya berbinar-binar penuh harap. Masak iya Wan? Tapi kita seratus ribu aja belum tentu punya setiap bulan. Kamu tau sendiri kan, sejak Bapak meninggal, penghasilan Emak nggak seberapa. Belum biaya hidup kamu nanti di Depok. Emak masih tetap pesimis. Irwan mau kuliah Mak, pasti ada jalan! Katanya cuma disuruh ngurus berkas-berkas aja kok. Tinggal minta sama ketua RT. Tagihan listrik, surat keterangan tidak mampu, foto rumah terus abis itu Universitasnya ngasih tagihan biaya kuliah sesuai sama kemampuan kita, Mak. Nanti kalo udah masuk kuliah, Irwan janji belajar yang rajin supaya dapet beasiswa. Duuuh, keras kepala banget ya anak Emak ini. Yaudah deh Wan, kamu cari tau gimana caranya biar bisa dapet murah. Nanti Emak coba pinjem sana-sini dari Ncang sama Ncing kamu, siapa tau ada yang mau bantu kamu bayar kuliah. Akhirnya Emak menyerah juga, tidak tega menolak permintaan anaknya. Irwan tersenyum lega. Beberapa hari kemudian, Irwan sibuk mengurus berkas. Emaknya berhasil meminjam dari saudarasaudaranya, terkumpul uang dua juta rupiah. Uang yang diharapkan bisa mengantar nasib keluarga mereka menjadi lebih baik. Banyak harapan dari keluarganya, Emaknya, adik-adiknya, yang dititipkan di bahu Irwan, yang akan menempuh kuliah di Universitas terbaik di Indonesia. Hasil BOP-B sudah keluar. Irwan menatap layar komputer dengan perasaan gelisah. Pihak Universitas memberikan hasil berupa uang gedung sebesar lima juta rupiah dan uang kuliah sebesar satu juta rupiah per semester. Memang lebih murah dari rata-rata biaya kuliah di teknik, tapi untuk saat ini, ia tidak mempunyai uang sebanyak itu! Darimana ia mendapatkan sisa uang yang empat juta lagi? Setelah berdiskusi dengan Emaknya dan mencari informasi di website UI, Irwan memutuskan untuk mengajukan banding BOP-B, untuk memohon agar biaya kuliahnya diturunkan lagi. Kalo perlu kamu sujud-sujud Wan ke kepala sekolahnya, bilang kamu pengeeeen banget kuliah di UI tapi nggak ada biaya. Mudah-mudahan aja kepala sekolah kamu itu berhati mulia. Emak berdoa penuh harap sambil mengantar kepergian Irwan untuk wawancara banding BOP-B di pintu kontakan mereka pagi itu. Bukan kepala sekolah Mak, kalo di UI Rektor namanya. Amiiiin Mak, Irwan yakin kok Rektor UI itu orangnya pasti cerdas, bijaksana, baik hati. Pasti dia mau ngebantu kita. Kata Irwan sambil berpamitan.

Suara panggilan membuyarkan lamunan Irwan. Namanya dipanggil setelah sekian lama ia bersama beberapa orang anak mengantri di gedung Rektorat untuk wawancara BOP-B. Dengan gugup, Irwan memasuki ruangan tersebut. *** Tidak jauh dari gedung Rektorat, di Taman Melingkar Perpustakaan Pusat UI. Taman melingkar di depan Perpustakaan Pusat UI tidak terlalu penuh. Taruna sedang berkumpul dengan teman-temannya sesama mahasiswa baru FH, membahas tugas angkatan yang harus mereka kerjakan dalam rangka Ospek Fakultas. Taruna melihat wajah-wajah baru di sekelilingnya. Hampir tidak ada yang ia kenali, kecuali beberapa wajah yang samar-samar pernah dilihatnya pada saat daftar ulang. Hai, nama gue Taruna. Nama lo siapa? Taruna mencoba mengajak berkenalan seorang mahasiswa baru yang duduk di sampingnya. Gue Lisa, pararel. Gadis itu berkata dengan ramah, menjabat uluran tangan Taruna. Gue reguler. Ngomong-ngomong, boleh tanya nggak, bedanya reguler sama pararel itu apa sih? Hmm gimana ya ngejelasinnya intinya kelas pararel itu program S1 di UI selain program S1 reguler. Cuma bedanya, kalo yang reguler jadwal kuliahnya dari pagi sampai siang, kita anak-anak kelas pararel masuknya siang. Jelas Lisa. Bukan itu aja, seorang cowok di samping kanan Lisa ikut menyela. Eh, sorry nimbrung. Kenalin gue Pandu, pararel FH. Taruna dan Lisa menjabat uluran tangannya. Kalo boleh nambahin nih ya, dari info yang gue dapet. Kalo Reguler itu boleh ngajuin BOP-B, kalo pararel harus bayar penuh. Terus anak-anak kelas pararel nggak boleh dapet beasiswa yang ada di kampus, cuma anak reguler yang boleh. Loh, emangnya bayaran kita beda ya? Emang bayaran kalian berapa per semester? Tanya Taruna penasaran. Kita 7,5 juta per semester, mahal sih ya emang. Tapi ya udahlah, yang penting masuk UI hehe. Sahut Lisa. Iya mahal banget. Udah gitu nggak boleh nawar ataupun nyicil. Emangnya lo berapa Tar? Pandu balik bertanya. Pikiran Taruna melayang kepada hasil BOP-B yang didapatkannya. Baru beberapa hari yang lalu ia mendapatkan vonis dari rektorat tentang besar biaya kuliah yang harus dibayarnya. Gue 2,5 juta per semester. Kok jauh banget ya? Taruna merasa terkejut dengan perbedaan biaya kuliahnya dengan anak-anak pararel, padahal 2,5 juta itu pun sudah dianggap mahal olehnya. Serius? Murah banget. Lisa menatapnya, terkejut. Hhhh.. mungkin UI beranggapan, anak-anak program pararel itu kaya semua kali ya? Pandu bertanya-tanya kebingungan.

Tiga anak itu terdiam. Rupanya selama ini terlalu sedikit informasi yang mereka miliki tentang kampus baru itu. Mungkin mereka selama ini masih terlena oleh euforia yang dirasakan saat memasuki Universitas Indonesia. *** Hei Tar! Lagi ngapain di sini? sebuah sapaan dari sampingnya menghentikan kunyahan Taruna. Saat itu, ia sedang menyantap makan siangnya di sebuah warteg di daerah Barel. Ia menoleh, dan terkejut. Loh, Bang Rangga? Abang kuliah di sini juga? Saya baru tau! Rangga tersenyum, mengulurkan tangan dan menjabat tangan Taruna, adik kelasnya waktu SMA. Iya, udah lama kali. Lo SIMAK dapet di UI ya? Jurusan apa lo? Tanya Rangga sambil duduk di samping Taruna. Hukum Bang, hehe. Abang dimana? Serius? Gue juga hukum! Haha berarti lo junior gue. Ooh kalo gitu saya boleh tanya-tanya dong Bang, hehe. Ngomong-ngomong, abang abis kuliah? Bukannya masih liburan ya? Gue sama temen-temen abis bikin kajian, untuk mengajukan Judicial Review UU Pendidikan Tinggi yang baru disahkan itu, tau kan? Pernah denger sih Bang emang UU PT itu kenapa sih? Kalo nggak salah, UU itu bikin biaya kuliah makin mahal ya Bang? Sebenarnya, konsep UU PT sendiri beberapa tahun yang lalu udah ada dalam bentuk UU Badan Hukum Pendidikan. Sejak ada UU BHP, ada 7 Perguruan Tinggi Negeri, termasuk UI, yang berganti nama dan statusnya jadi Badan Hukum Milik Negara. Loh, terus efeknya apa Bang kalau statusnya diganti? Nah, disini awal mulanya. Alasannya PTN dijadikan BHMN katanya untuk membebaskan PTN supaya bebas berimprovisasi dalam mengembangkan pendidikan. Kenyataannya? Banyak kebijakan Universitas yang malah memanfaatkan pergantian status itu untuk mengeruk uang dari mahasiswa-mahasiswanya. Universitas nggak lagi education oriented, tapi malah jadi profit oriented. Contohnya kalo di UI, mulai diadakan seleksi mandiri mahasiswa baru, SIMAK UI, dan dibuka program baru yaitu Paralel. Oooh, saya juga dari tadi bertanya-tanya Bang tentang itu. Emangnya kalo Pararel kenapa Bang? Katanya sih, tujuan program paralel dibuka itu untuk subsidi silang. Jadi, kalo misalnya ada mahasiswa tidak mampu yang masuk melalui jalur reguler, dia bisa dapet keringanan. Nah cara Universitas nutupin kekurangan uangnya itu dari program paralel, yang mahasiswanya wajib bayar uang kuliah penuh. Taruna mengangguk-angguk, mulai mengerti.

Sayangnya Tar, pembukaan program paralel nggak diiringi sama fasilitas yang memadai dan dosen yang berkualitas. Contohnya di FH, dosen masih sangat sedikit, akibatnya kegiatan belajar mengajar nggak maksimal. Belum lagi dosennya mengajar untuk dua program dalam sehari, reguler sama paralel dari pagi sampai malam. Seharusnya pihak Universitas menambah jumlah dosennya. Dan pada praktiknya, jalur subsidi silang ini malah disalahgunakan oleh Universitas untuk mengeruk uang sebanyakbanyaknya. Ooh gitu ya Bang Tapi kok pemerintah ngebiarin aja sih universitas-universitas berbuat curang kayak gitu? Masa nggak diberhentiin? Padahal kemajuan pendidikan di Indonesia kan untuk negeri juga. Rangga tertawa kecil. Haha, lo masih terlalu polos Tar. Ironisnya, justru pemerintah seolah lepas tangan sama urusan pembiayaan pendidikan tinggi. Lo tau nggak? Dulu, sebelum UU BHP ada, biaya Pendidikan Tinggi sebagiannya ditanggung pemerintah. Sejak keluar UU BHP, pemerintah mengalihkan tanggung jawab ke Universitas untuk membiayai pendidikannya, dengan cara ventura ataupun dari mahasiswa. Ventura itu apa Bang? Ventura itu bisnis, contohnya UI melakukan ventura dengan BNI, Starbucks. Makanya lo liat di perpustakaan pusat kita, kenapa udah kayak Mall gitu, ada Starbucks segala? UI mengambil keuntungan dari venue Starbucks dan restoran-restoran lain yang bekerja sama dengan UI. Hooo. Tapi sayangnya, hasil dari ventura nggak seberapa. Makanya UI tega narikin uang dari mahasiswanya. Contohnya ya dengan SIMAK UI dan kelas paralel tadi. Tapi sebenarnya, dengan sistem penerimaan kelas paralel, Universitas juga melakukan seleksi finansial disamping seleksi akademik. Karena yang bisa masuk program paralel cuma orang-orang yang berkecukupan secara materi, mereka harus bayar penuh tanpa ada program keringanan dan beasiswa. Btw, Lo kelas reguler kan? Lo tau sistem pembayaran BOPB? Aaaah kalo itu saya tau Bang. Itu sistem keringanan yang didapat mahasiswa reguler kan Bang? Ckckck ini dia nih yang harus dilurusin. Pihak UI terlalu pelit berbagi info ke Mahasiswa Baru, jadi banyak yang nyangka BOP-B itu keringanan. Perlu gue lurusin, BOP-B itu sistem pembayaran. Jadi setiap mahasiswa ngebayar benar-benar sesuai sama kemampuannya. Mahasiswa bisa aja bayar seratus ribu per semester kalo emang nggak mampu. Sebaliknya, kalo dia emang mampu, dia bisa aja bayar 5 juta per semester. BOP-B itu bukan keringanan, tapi hak buat setiap mahasiswa. Masa sih bang? Kata temen-temen saya itu keringanan, makanya dikit yang ngambil BOP-B soalnya katanya ribet, susah ngurusnya, terus buat orang nggak mampu aja. Taruna terkejut. Duuh, coba lo lurusin lagi ke temen-temen lo deh. BOP-B itu hak semua mahasiswa reguler UI. Tapi ada kekurangannya juga sih. BOP-B itu dibuat Pak Gumilar dengan dasar hukumnya UU BHP, tujuannya sih katanya untuk menyesuaikan biaya pendidikan dengan kemampuan setiap mahasiswa. BOP-B itu awalnya disetujui mahasiswa, dengan syarat mahasiswa ikut terlibat sampai penentuan matriks

biayanya. Kenyataannya, mahasiswa nggak pernah dilibatkan sejauh itu, cuma boleh mendampingi pengajuan BOP-B dan banding BOP-B. Sekarang UU BHP udah dihapus, tapi entah kenapa sistem BOP-B masih ada. Selain itu matrikulasi untuk menentukan besaran BOP-B juga nggak jelas, jadi mahasiswa nggak tau apa patokan yang dilihat Universitas, tau-tau Jreeng! Besaran BOP-B lo udah muncul begitu aja di SIAK-NG. Matriks yang dipakai UI sekarang juga udah diubah dari matriks pas pertama BOP-B keluar, dan nggak pernah ada transparansi tentang BOP-B itu sendiri dari Universitas. Oooh, jadi gitu ya Bang terus masalah apa lagi yang ada di UU BHP ini? Eh, atau UU Pendidikan Tinggi ya namanya? Banyak, ada juga masalah status pegawai UI yang mengambang, dan masalah-masalah lain. Dulu UU BHP ini udah mengalami Judicial Review, jadinya dibatalkan. Tapi, sekarang malah muncul dengan kemasan baru, ya UU PT ini. Substansinya ya tetap sama aja kayak UU BHP yang dulu. Sarat liberalisasi dan komersialisasi pendidikan. Taruna kembali manggut-manggut. Tidak terasa, piring di hadapan mereka telah kosong seiring dengan berjalannya percakapan. Rangga mengelap mulutnya dan melihat arlojinya, Wah, gue harus cabut Tar. Udah dulu ya, doain gue supaya kajian buat Judicial Reviewnya lancar. Ini bukan demi UI aja, tapi demi PT-PT di seluruh Indonesia. Supaya biaya pendidikan nggak mahal. Supaya semua orang dari semua kalangan bisa pintar. Rangga setengah berdoa. Taruna mengamininya. Makasih banyak ya Bang, saya jadi tau informasi-informasi baru yang penting. Nanti biar saya sampain ke temen-temen. Rangga mengangguk, Bagus Tar. Itu penting, kita sebagai mahasiswa harus aware sama isu-isu kayak gini, apalagi ini juga buat kita sendiri. Jangan sampe apatis, ikut kebijakan pemerintah begitu aja tanpa berani mengkritisi. Gue pergi dulu ya Tar, Assalamualaikum! Rangga melangkah keluar warteg sambil melambaikan tangan. Waalaikumsalam Taruna merenung sepeninggalnya Rangga. Begitu banyak hal yang harus diperjuangkan. Ia menjadi yakin, diterimanya ia di Universitas Indonesia bukanlah akhir dari perjuangan, tapi awal dari perjuangan panjangnya untuk menegakkan hukum di Indonesia tercinta ini. Ia teringat akan cita-citanya menjadi seorang Jaksa. Jalan itu masih panjang. *** Irwan berjalan dengan wajah tertunduk, langkahnya gontai menyusuri jalan di pinggiran danau UI. Ia melayangkan pandangan ke gedung Rektorat yang berdiri angkuh, mengingat percakapan-percakapan yang terjadi beberapa saat yang lalu. Saya orang nggak mampu Pak, tapi saya mau kuliah..

Kamu sudah dikasih keringanan nak, kamu harusnya bersyukur. Banyak kok orang-orang yang mau membayar ratusan juta demi bisa kuliah di UI. Tapi saya benar-benar nggak punya Pak, nggak sanggup membayar sebanyak itu. Hmmmm. Kamu punya handphone nggak? Coba saya liat. Irwan menyodorkan ponselnya, sebuah handphone Nokia keluaran lama, berlayar monokrom, tidak berkamera. Hanya alat itu satu-satunya yang bisa diandalkannya untuk berkomunikasi. Nah, itu punya handphone, sanggup beli HP, kenapa ngaku-ngaku orang miskin? Tapi Pak.. Banyak alasan yang Irwan kemukakan sejujurnya, namun terus dielakkan oleh Bapak-Bapak petugas itu. Sampai akhirnya Irwan menyerah, kalah. Hanya ada satu kalimat terakhir yang diingatnya, yang diucapkan Bapak-Bapak itu sebelum ia melangkah keluar. Kalau nggak punya uang, ya jangan berani-beraninya kuliah di sini. UI itu bukan buat orang miskin.

Wajah-wajah melintas di benak Irwan. Ia terkenang akan wajah Emaknya. Wajah adik-adiknya. Wajah Ncang-Ncingnya yang sudah meminjamkannya uang. Uang dua juta rupiah yang dikumpulkan kesanakemari dengan susah payah. Ia teringat akan cita-citanya menjadi seorang arsitek. Ia teringat jaket kuning yang seolah sudah ada di genggaman, namun kini harus ia relakan. Setitik air mata jatuh di pipi Irwan. Irwan mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru UI dari pinggir danau, menatap panorama sore dengan semburat jingga langit senja yang terpantul di permukaan danau. Menatap senja di Makara. Selamat tinggal, kampus perjuangan. Mungkin tempatku bukan di sini.

Sumber: Mbak Destara Sati Notes Facebook: Tolak RUU PT karena pendidikan adalah hak warga negara! Oleh Kastrat BEM FHUI https://www.facebook.com/notes/muthmainnah-muthi/tolak-ruu-pt-karena-pendidikan-adalah-hakwarga-negara/10151021846119726

https://www.facebook.com/notes/bem-universitas-indonesia/menyingkap-logika-pasal-pasal-dalamruu-pendidikan-tinggi-pelepasan-tanggung-jaw/217689025021240 oleh Kastrat BEM UI

Anda mungkin juga menyukai