Anda di halaman 1dari 7

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Karet dan Lateks Menurut Nazaruddin dan Paimin (2004), dalam dunia tumbuhan tanaman karet tersusun dalam sistematika sebagai berikut : Devisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Hevea Spesies : Hevea brasiliensis Tanaman yang merupakan tanaman daerah tropis ini, cocok ditanam pada zone antara 15o LS sampai 15o LU. Curah hujan tahunan yang cocok untuk pertumbuhan tanaman karet tidak kurang dari 2.000 mm, dan paling optimal antara 2.500 4.000 mm/tahun yang terbagi dalam 100 150 hari hujan. Tanaman karet tumbuh optimal di dataran rendah, yakni pada ketinggian sampai 200 meter diatas permukaan laut (Setyamidjaja, 2011). Getah dari tanaman karet atau sering disebut sebagai lateks, berpotensi menghasilkan berbagai macam produk, seperti yang ditampilkan pada Gambar 1. Menurut Suwardin (1989), lateks merupakan suatu dispersi partikel karet hidrokarbon dalam fase cair yang disebut sebagai serum. Kandungan karet dalam lateks bervariasi, tergantung dari klon, umur tanaman, pemupukan, musim, dan sistem eksploitasi yang dilakukan. Secara umum komposisi lateks disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan bahan-bahan dalam lateks segar No Komponen Presentasi (%) 1 Kandungan karet 35,62 2 Resin 1,65 3 Protein 2,03 4 Abu 0,70 5 Zat gula 0,34 6 Air 59,62 Sumber : Setyamidjaja (1993)

Gambar 1. Pohon industri karet (BPTK,2001) Menurut Goutara (1985) umumnya kadar karet di dalam lateks berkisar 20-35 % dan bentuknya berupa butir yang sangat halus. Masing-masing butir karet diselubungi oleh protein dan lipid serta tersebar dalam serum. Butir-butir karet tersebut bermuatan negatif sehingga saling tolak menolak dan tidak menggumpal. Muatan listrik negatif pada butir karet tersebut dapat ditingkatkan dengan menambahkan suatu basa seperti amoniak. Tetapi apabila lateks ditambahkan suatu asam akan mengurangi muatan listrik negatif yang akan menyebabkan lateks menggumpal. Penggumpalan lateks sangat dipengaruhi oleh kandungan protein di dalam lateks. Protein di dalam lateks dapat menstabilkan larutan koloid lateks, karena muatan listrik dalam partikel dapat dipertahankan. Apabila protein dihilangkan maka keseimbangan muatan akan terganggu sehingga partikel karet dalam lateks akan menggumpal. Untuk mencegah penggumpalan sebelum lateks tersebut diolah di pabrik maka pada lateks perlu ditambahkan anti koagulan. Anti koagulan yang banyak digunakan pada industri karet antara lain berupa amoniak, soda, formaldehida, natrium sulfat, boraks dan asam borat. Jumlah anti koagulan yang digunakan tergantung dari

keadaan lateks. Pada umumnya harus dimulai dengan jumlah serendah mungkin dan bila ternyata belum mencukupi, maka jumlahnya diperbesar.

B. Ribbed Smoked Sheet dan Estate Brown Crepe Karet sheet asap atau yang lebih dikenal Ribbed Smoked Sheet (RSS) adalah lembaran karet yang diolah dengan cara khusus dan dikeringkan dengan cara pengasapan. Mutu karet RSS yang baik adalah yang mempunyai sifat: kering, bersih, terlihat kuat, pengasapan merata sehingga warnanya rata, bebas dari cacat dan bahan-bahan lainnya (Suseno dan Suwari, 1989). Dalam rangkaian pengolahan RSS, pengumpalan lateks, pengasapan dan pengeringan sheet merupakan tahapan penting yang menentukan kualitas RSS. Pada umumnya perkebunan besar pengolahan karet alam menggunakan asam format sebagai bahan koagulan lateks. Asam format (HCOOH) dengan nama sistematis asam metanoat adalah asam karboksilat yang paling sederhana. Asam karboksilat merupakan jenis asam lemah, sebab hanya sebagian kecil yang terionisasi apabila dilarutkan ke dalam air (Fessenden, 1986). Di alam, asam format ditemukan pada sengatan dan gigitan banyak serangga dari ordo hymenoptera, misalnya semut dan lebah. Penggunaan asam format didasarkan pada kemampuannya yang cukup baik dalam menurunkan pH lateks. Pengasapan dan pengeringan sheet sampai saat ini masih dilakukan secara konvensional, yaitu langsung dari pembakaran kayu. Perlakuan ini mempunyai kelemahan dalam pengendalian faktor faktor yang berpengaruh terhadap proses pengasapan dan pengeringan seperti; konsentrasi konstituen asap, waktu yang optimal dan suhu pengasapan tidak dapat dipertahankan tetap selama pengasapan berlangsung. Disamping itu penggunaan kayu tidak praktis karena harus selalu dijaga agar terus menghasilkan asap dan panas sesuai kebutuhan, proses pengolahan yang memerlukan waktu yang lama, dan kemungkinan terjadi kebakaran, serta isu penting lingkungan saat ini yakni timbulnya pencemaran CO2 ke udara. Setiap batang kayu karet memiliki kandungan karbon sebanyak 70 kg/pohon dan jika dibakar akan menghasilkan asap dengan konsentrasi CO2 sebesar 46% b/b (Silvakumaran,et al 2000). Kyoto Protocol tahun 1997 menjelaskan bahwa negara negara industri mempunyai kewajiban untuk megurangi emisi CO2 di udara oleh mereka atau memberikan proyek kepada negara lain yang dapat mengurangi CO2 atau dengan membeli sertifikasi pengurangan CO2 dari negara lain. Estate Brown crepe adalah jenis crepe yang dibuat dari bahan lump, scrap pohon, potongan-potongan sisa dari RSS atau slab basah. Proses pertama adalah penerimaan bahan baku di ruang produksi. Bahan baku brown crepe berasal dari lump mangkok dari perkebunan, lump busa, scrap pohon, dan serpihan sisa pengolahan RSS. C. Bau Busuk Bahan Olahan Karet Selain memberikan dampak positif bagi perkembangan perekonomian Indonesia, di lain pihak industri karet juga berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat selama proses kegiatan produksinya, salah satunya adalah emisi gas penyebab bau tak sedap (polusi bau). Sumber emisi gas yang menimbulkan bau tak sedap berasal dari beberapa kegiatan pengolahan, salah satunya adalah kegiatan penyimpanan bahan olahan karet yang berupa lump. Lump yang dikumpulkan dan disimpan dalam gudang penyimpanan akan mengalami penumpukan jika tidak dapat diolah pada hari yang sama. Perkebunan besar biasa menyimpan lump karena kapasitas produksi yang terbatas atau digunakan sebagai penyangga bahan baku produksi berikutnya. Selama proses penyimpanan, lump mengalami reaksi aerob dan anaerob akibat aktivitas bakteri yang menguraikan bahan organik serta menghasilkan gas-gas yang berbau busuk dan sangat 5

menyengat terutama amoniak, hidrogen sulfida serta senyawa organik lainnya yang mudah menguap (Purwati, 2005). Amoniak adalah senyawa dari nitrogen dan hidrogen dengan formula NH3 hasil transformasi N-organik melalui proses amonifikasi (Jenie dan Rahayu 1993). Pada suhu dan tekanan standar amoniak berbentuk agas. Amoniak memiliki bau yang tajam, bersifat toksik dan korosif untuk beberapa bahan. Amoniak tidak berwarna dan berbau menyengat. Amoniak dapat mencair pada suhu -33,70C dan menjadi padat pada suhu -750C berupa masa kristal putih. Gas amoniak sangat berbahaya bagi manusia baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang serta dapat menurunkan mutu akhir produk yang dihasilkan. Hidrogen sulfida (H2S) adalah gas tidak berwarna, toksik, mudah terbakar dan menyebabkan bau busuk. H2S dihasilkan ketika bakteri menguraikan bahan protein pada kondisi anaerob. H2S mempunyai bau seperti telur busuk dan kadang lebih toksik dibandingkan karbon dioksida (Lens dan Pol, 2000). Pada konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan diantaranya sakit kepala, mual, dan muntah, pingsan serta pada konsentrasi lebih dari seribu ppm, akan menyebabkan kehilangan kesadaran sampai kematian. D. Limbah Industri Pengolahan Karet Di proses pengolahan karet selain dihasilkan produk-produk yang diinginkan juga dihasilkan produk lain berupa limbah. Limbah cair merupakan limbah terbesar yang dihasilkan pada industri pengolahan karet. Dalam industri pengolahan karet, air digunakan sebagai bahan pengencer lateks, pembuatan larutan-larutan kimia, pencuci hasil pembekuan dan alat yang digunakan, serta mendinginkan mesin-mesin. Limbah cair pabrik karet mengandung komponen karet (protein, lipid, karotenoid, dan garam anorganik), lateks yang tidak terkoagulasi dan bahan kimia yang ditambahkan selama pengolahan . Karakteristik limbah cair pabrik karet tersebut yaitu berwarna keruh dan berbau tidak enak. Adanya bahan-bahan organik tersebut menyebabkan nilai BOD dan COD menjadi tinggi. Limbah dengan karakteristik tersebut dapat mencemari lingkungan, baik pencemaran udara maupun pencemaran air (Yulianti et al, 2005). Selain itu, limbah yang dihasilkan pada industri pengolahan karet antara lain serum dari hasil pemggumpalan lateks yang relatif bebas dari butir-butir karet dan limbah berupa lateks yang sangat encer dan biasanya merupakan hasil pencucian tangki pengangkut dan penampung lateks di tempat pengolahan (Nazaruddin dan Paimin,1992). Menurut Sudibyo (1996), mengingat keterbatasan sumber air, baik air permukaan (sungai) maupun air tanah (sumur arteris), maka industri karet sudah saatnya untuk melakukan penghematan penggunaan air dengan cara melakukan kalkulasi menyeluruh kebutuhan air untuk setiap tahapan proses, dan mempertimbangkan kemungkinan penggabungan proses atau menghilangkan proses pencucian yang kurang perlu, serta memanfaatkan air buangan proses (daur ulang air proses) dengan tanpa mengurangi mutu produk yang dihasilkan. Selain keterbatasan sumber air, langkah penghematan air tersebut juga akan mengurangi debit air limbah yang dihasilkan, sehingga secara langsung akan mengurangi beban pencemaran lingkungan yang diakibatkan dari proses pengolahan.

E. Produksi Bersih Pada tahun 1989/1990 UNEP (United Nations Environment Program) memperkenalkan konsep Produksi Bersih yang didefinisikan sebagai : "Suatu strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu yang perlu diterapkan secara terus menerus pada proses produksi dan daur hidup produk dengan tujuan untuk mengurangi resiko terhadap manusia dan lingkungan." Produksi bersih adalah suatu program strategis yang bersifat proaktif yang diterapkan untuk menselaraskan kegiatan pembangunan ekonomi dengan upaya perlindungan lingkungan. Strategi konvensional dalam pengelolaan limbah didasarkan pada pendekatan pengelolaan limbah yang terbentuk (end-of pipe treatment). Pendekatan ini terkonsentrasi pada pembuangan limbah dan upaya pengolahannya. Strategi ini dinilai kurang efektif karena bobot pencemaran dan kerusakan lingkungan terus meningkat. Menurut BAPEDAL (1996) dalam Indrasti dan Fauzi (2009) kendala yang muncul dalam penerapan end of pipe treatment diantaranya adalah : a. Sifat pendekatan adalah reaktif, artinya bereaksi setelah limbah terbentuk. b. Limbah tetap terbentuk sehingga memberi peluang pengembangan teknologi pengolahan limbah, tetapi upaya mengurangi limbah pada sumbernya cenderung tidak dilakukan. c. Tidak efektif memecahkan masalah lingkungan karena sering kali kegiatan pengelolaan limbah ini hanya mengubah bentuk limbah dan memindahkannya dari satu media ke media lain. d. Upaya ini meningkatkan biaya produksi, tetapi tidak setinggi upaya perbaikan kerusakan dan pencemaran. e. Peraturan perundang-undangan yang ada masih terpusat pada pembuangan limbah, belum mencakup upaya pencegahan. Produksi bersih bertujuan mengefisienkan penggunaan sumber daya (bahan baku, energi, dan air) dan mengurangi limbah industri. Teknologi produksi bersih merupakan gabungan antara teknik pengurangan limbah pada sumber pencemar dan teknik daur ulang. Dalam produksi bersih, limbah yang dihasilkan dalam keseluruhan proses produksi merupakan indikator ketidakefisienan proses produksi. Oleh karena itu, apabila dilakukan optimasi proses, limbah yang dihasilkan juga akan berkurang (Indrasti dan Fauzi, 2009). Produksi bersih diterapkan antara lain pada : a. Proses produksi meliputi penghematan bahan baku dan energi, penggantian bahan baku yang bersifat racun, dan mengurangi jumlah dan kandungan bahan berbahaya pada limbah dan emisi yang dihasilkan b. Desain dan pengembangan produk meliputi pengurangan dampak negatif yang meliputi siklus hidup dari suatu produk dari bahan baku hingga pembuangan akhir, dan c. Industri jasa meliputi penerapan pertimbangan aspek lingkungan dalam desain dan pengadaan layanan atau jasa (Indrasti dan Fauzi, 2009). Beberapa upaya dan teknik yang dapat dilakukan dalam penerapan produksi bersih disajikan pada Gambar 2. Menurut Indrasti dan Fauzi (2009), secara garis besar, pemilihan penerapan produksi bersih dapat dikelompokan menjadi lima bagian, yaitu: a. Good house-keeping Mencakup tindakan prosedural, administratif maupun instutusional yang dapat digunakan perusahaan untuk mengurangi terbentuknya limbah dan emisi.

b. Perubahan material input Bertujuan mengurangi atau menghilangkan bahan berbahaya dan beracun yang digunakan dalam proses produksi. Perubahan material ini juga termasuk pemurnian bahan dan substitusi bahan. c. Perubahan teknologis Mencakup modifikasi proses dan peralatan yang dilakukan untuk mengurangi limbah dan emisi. Selain perubahan peralatan, perubahan teknologi ini juga dapat mencakup perubahan tata letak pabrik, penggunaan peralatan otomatis dan perubahan kondisi proses. d. Perubahan produk Meliputi substitusi produk, konservasi produk, dan perubahan komposisi produk. e. On-site reuse Merupakan upaya penggunaan kembali bahan-bahan yang terkandung dalam limbah, baik digunakan kembali pada proses awal maupun sebagai material input dalam proses yang lain. TEKNIK PRODUKSI BERSIH

Pengurangan Sumber Pencemar

Daur Ulang

Pengubahan Produk Penggantian produk Pengubahan Komposisi Produk

Pengendalian Sumber Pencemar

Pengambilan Kembali Diproses untuk: Mendapatkan kembali bahan asal Memperoleh produk samping

Penggunaan Kembali Pengembalian ke proses asal Penggantian bahan baku untuk proses lain

Pengubahan Material Input Pemurnian material Penggantian material

Pengubahan Teknologi Pengubahan Proses Pengubahan tata letak, peralatan atau perpipaan Pengubahan tatanan dan ketentuan operasi Otomatisasi peralatan

Tata Cara Operasi Tindakan-tindakan prosedural Pencegahan kehilangan Pemisahan aliran limbah Peningkatan penanganan Penjadwaln produksi

Gambar 2. Teknik - Teknik Produksi Bersih Sumber : USAID (1997)

Penerapan produksi bersih di suatu industri dapat dikatakan pula sebagai upaya minimisasi limbah. Menurut UNEP dan ISWA (2002) dalam Indrasti dan Fauzi (2009), ada tiga tahapan utama dalam penerapan minimisasi limbah pada industri, yaitu: 1. Perencanaan dan struktur organisasi Hal-hal yang dilakukan pada tahap ini adalah membentuk kesepakatan manajemen, membuat program perencanaan, menentukan tujuan dan prioritas serta membentuk tim audit. 2. Mengidentifikasi limbah Tahapan untuk mengidentifikasi limbah adalah mengidentifikasi proses produksi, menetapkan input proses, menetapkan output proses, membuat neraca massa, mengidentifikasi peluang, dan membuat studi kelayakan. 3. Penerapan, pengawasan dan pengontrolan Hal-hal yang perlu dilakukan diantaranya adalah menyiapkan rencana pelaksanaan, mengidentifikasi sumber, melaksanakan pengukuran, dan mengevaluasi kinerja yang telah dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai