Anda di halaman 1dari 53

REFERAT

GIZI BURUK
Referat ini untuk memenuhi persyaratan dalam Kepaniteraan Klinik Senior di SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD. Embung Fatimah Batam

Di susun Oleh : NIDIE PUTRI IRMANSTI 07310176

PEMBIMBING : Dr. Retno M. Laila, Sp.A.,M.Kes

SMF ILMU KESEHATAN ANAK

RSUD. EMBUNG FATIMAH BATAM 2012

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas paper ini tepat pada waktunya dan sebaik-baiknya dalam rangka melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD.EMBUNG FATIMAH BATAM dengan judul Gizi Buruk. Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak dalam bentuk moril maupun materil. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada dr.Retno M. Laila,Sp.A. yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis selama penulis melaksanakan KKS di bagiam Ilmu Kesehatan Anak RSUD.EMBUNG FATIMAH BATAM. Semoga paper ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu kedokteran pada khususnya. Akhirnya hanya kepada Allah SWT jugalah segalanya dikembalikan. Semoga amal kebaikan kita mendapat ridho dari Allah SWT.

Batam, April 2012

Penyusun

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi 2.2. Epidemiologi 2.3. Klasifikasi 2.4. Faktor Resiko 2.5. Etiologi 2.6. Patofisiologi 2.7. Manifestasi Klinik

2.8. Diagnosa 2.9. Diagnosa Banding 2.10. Promotif / Preventif 2.11. Komplikas 2.12. Penatalaksanaan 2.13. Prognosis LAMPIRAN DAFTAR PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN

Penyakit gizi buruk menyerang balita dan anak anak. Gizi Buruk adalah keadaan kekurangan energi dan protein (KEP) tingkat berat akibat kurang mengkonsumsi makanan yang bergizi dan atau menderita sakit dalam waktu lama. KEP merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. KEP disebabkan karena defisiensi macro nutrient (zat gizi makro). Meskipun sekarang ini terjadi pergeseran masalah gizi dari defisiensi macro nutrient kepada defisiensi micro nutrient, namun beberapa daerah di Indonesia prevalensi KEP masih tinggi (> 30%) sehingga memerlukan penanganan intensif dalam upaya penurunan prevalensi KEP.2 Penyakit akibat KEP ini dikenal dengan Kwashiorkor, Marasmus, dan Marasmic Kwashiorkor. Kwashiorkor disebabkan karena kurang protein. Marasmus disebabkan karena kurang energi dan Marasmic Kwashiorkor disebabkan karena kurang energi dan protein. KEP

umumnya diderita oleh balita dengan gejala hepatomegali (hati membesar). Tanda-tanda anak yang mengalami Kwashiorkor adalah badan gemuk berisi cairan, depigmentasi kulit, rambut jagung dan muka bulan (moon face). Tanda-tanda anak yang mengalami Marasmus adalah badan kurus kering, rambut rontok dan flek hitam pada kulit.2 Menurut perkiraan Reutlinger dan Hydn, saat ini terdapat 1 milyar penduduk dunia yang kekurangan energi sehingga tidak mampu melakukan aktivitas fisik dengan baik. Disamping itu masih ada 0,5 milyar orang kekurangan protein sehingga tidak dapat melakukan aktivitas minimal dan pada anak-anak tidak dapat menunjang terjadinya proses pertumbuhan badan secara normal. Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa KEP merupakan salah satu bentuk kurang gizi yang mempunyai dampak menurunkan mutu fisik dan intelektual, serta menurunkan daya tahan tubuh yang berakibat meningkatnya resiko kesakitan dan kematian terutama pada kelompok rentan biologis. Pengejawantahan KEP terlihat dari keadaan fisik seseorang yang diukur dengan melihat status gizi. Besar dan luasnya masalah KEP pada balita di tingkat propinsi dan nasional sudah tersedia secara periodik melalui SUSENAS modul kesehatan dan gizi. Analisis masalah KEP pada balita berdasarkan data Susenas 1989, 1992, dan 1995 menunjukkan bahwa secara keseluruhan terdapat penurunan prevalensi KEP total dari 47,8% tahun 1989 menjadi 41,7% tahun 1982 dan 35% pada tahun 1995. Di sisi lain, prevalensi gizi lebih meningkat dari 1,1% tahun 1989 menjadi 2,4% tahun 1992 dan 4,6% pada tahun 1995. Keadaan gizi balita yang tinggal di pedesaan cenderung lebih buruk dibanding balita yang tinggal di perkotaan; dan keadaan gizi balita perempuan relatif lebih baik dibanding balita laki-laki.9 Ada satu juta anak yang menderita gizi buruk tersebar di seluruh Indonesia. Data terbaru Menkes 2010, prevalensi gizi buruk sebesar 17,9 %. Kekurangan gizi ini mempengaruhi kecerdasan dan pertumbuhan anak. Asupan gizi yang cukup seharusnya sudah dilakukan pada masa kehamilan hingga usia balita (periode emas), dimana terjadi pertumbuhan cepat yang tidak ditemui dalam periode usia lainnya karena 90% pertumbuhan sel otak manusia terbentuk sejak janin sampai sebelum anak berusia 5 tahun. Jika terjadi gangguan pada masa tersebut,pertumbuhan otak tidak optimal dan volume sel otaknya menjadi lebih kecil. Gangguan ini tidak bisa dikejar dalam periode berikutnya walaupun asupan gizinya terpenuhi. 10

Menurut Dr. Minarto selain gizi kurang dan gizi buruk, masih banyak masalah yang terkait dengan gizi yang perlu perhatian lebih, diantaranya yaitu; 1) stunting atau terhambatnya pertumbuhan tubuh. Stunting adalah salah satu bentuk gizi kurang yang ditandai dengan tinggi badan menurut umur diukur dengan standar deviasi dengan referensi WHO. Data WHO menunjukkan tinggi anak Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan tinggi anak dari negara-negara lain. Berdasarkan hasil Riskesdas 2010, prevalensi anak balita pendek (stunting) 35,6 % atau turun 1,2 % dibandingkan 2007 (36,8 %); 2) kesadaran tentang pentingnya keamanan pangan. Status gizi baik tergantung pada ketersediaan dan keamanan pangan. Data WHO menunjukkan 2,2 juta orang pertahun meninggal yang diakibatkan penyakit bersumber dari makanan, terutama makanan yang mengandung zat-zat berbahaya dan beracun.11 Selain itu, juga persoalan gizi berlebih dan obesitas. Prevalensi anak yang gemuk masih sebesar 14,2%. Jumlah ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan jumlah balita yang kurus. Prevalensi gemuk dan obesitas di atas 18 tahun juga sangat mengkhawatirkan, yakni sebesar 21,7%. Jumlah ini dua kalilipat lebih dari prevalensi kurus. Kelompok perempuan memiliki risiko kegemukan lebih besar daripada laki-laki. Yakni sebesar 27% sementara laki-laki hanya sekitar 16%. Kegemukan dan obesitas juga merupakan salah satu risiko timbulnya penyakit tidak menular di Indonesia. Masalah gizi lainnya, adalah kurang gizi mikro.10 Pada tingkat makro, besar dan luasnya masalah KEP sangat erat kaitannya dengan keadaan ekonomi secara keseluruhan. Peningkatan angka prevalensi KEP pada balita, dari data Susenas, seiring sejalan dengan menurunnya jumlah penduduk dengan pendapatan di bawah garis kemiskinan. Dengan perkataan lain, anggota rumah tangga dari kelompok rawan biologis sekaligus memberikan gambaran ketersediaan pangan, dan rawan biologis memiliki resiko kurang energi protein. Pada tingkat mikro (rumah tanggat/individu), tingkat kesehatan terutama penyakit infeksi yang juga menggambarkan keadaan sanitasi lingkungan merupakan faktor penentu status gizi. 9.10,11 Untuk menangulangi itu semua maka, perlunya intervensi terhadap gizi ibu dan anak. Menurut Dr. Minarto, MPS, Direktur Bina Gizi Masyaraka intervensi meliputi: 1) Intervensi perubahan perilaku, seperti pemberian ASI eksklusif, pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) secara tepat, memantau berat badan teratur, dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). 2) Suplementasi gizi mikro, mencakup asupan vitamin A, tablet Fe, dan garam

beryodium. 3) Tatalaksana gizi kurang/buruk pada ibu dan anak, meliputi pemulihan gizi anak gizi kurang, pemberian makanan tambahan (PMT) pada ibu hamil. 11

BAB 2 TINJUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat - zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ organ serta menghasilkan energi. Akibat kekurangan gizi, maka simpanan zat gizi pada tubuh digunakan untuk memenuhi kebutuhan apabila keadaan ini berlangsung lama makasimpanan zat gizi akan habis dan akhirnya terjadi kemerosotan jaringan. Pada saat ini orang bias dikatakan malnutrisi.5 Kekurangan energi protein adalah keadan kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi.5 Kurang Energi Protein (KEP) merupakan masalah gizi kurang akibat konsumsi pangan tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan kesehatan (Depkes RI, 1999). Kurang Energi Protein adalah gangguan gizi yang disebabkan oleh kekurangan protein dan atau kalori, serta sering disertai dengan kekurangan zat gizi lain.12

2.2 EPIDEMIOLOGI Pada umumnya masyarakat indonesia telah mampu mengkonsumsi makanan yangcukup secara kuantitatif. Namun dari segi kualitatif masih cukup banyak yang belum mampu mencukupi kebutuhan gizi minimum. Departemen Kesehatan juga telah melakukan 2 - 4 dari 10 balita di Indonesia menderita gizi kurang. Sesuai dengan pemetaan, dan hasilnya menunjukan bahwa penderita gizi kurang ditemukan di 72% kabupaten di Indonesia. Indikasinya survai di lapangan, insiden gizi buruk dan gizi kurang pada anak balita yang mondok

di rumah sakit masih tinggi. Rani di RSU Dr. Pirngadi Medan mendapat

935 (38%)

penderita malnutrisi dari 2453 anak balita yang dirawat. Mereka terdiri dari 67% gizi kurang dan 33% gizi buruk. Penderita gizi buruk yang paling banyak dijumpai ialah tipe marasmus. Arif di RS. Dr. Sutomo Surabaya mendapatkan 47% dan Barus di RS Dr. Pirngadi Medan sebanyak 42%. Hal ini dapat dipahami karena marasmus sering berhubungan dengan keadaan kepadatan penduduk dan higiene yang kurang di daerah perkotaan yang sedang membangun dan serta terjadinya krisis ekonomi di Indonesia.10 Kwashiorkor sering dijumpai di daerah miskin, persediaan makanan yang terbatas, dan tingkat pendidikan yang rendah. Penyakit ini menjadi masalah di negara-negara miskin dan berkembang di Afrika, Amerika Tengah, Amerika Selatan dan Asia Selatan. Di negara maju sepeti Amerika Serikat kwashiorkor merupakan kasus yang langka.13 Kekurangan energi protein (KEP) merupakan salah satu empat masalah gizi utama di Indonesia. Prevalensi yang tinggi terdapat pada anak di bawah umur 5 tahun (balita) serta pada ibu hamil dan menyusui. Berdasarkan SUSENAS 2002, 26% balita menderita gizi kurang dan gizi buruk dan 8% balita menderita gizi buruk. 1 Menurut UNICEF saat ini ada sekitar 40 % anak Indonesia di bawah usia lima tahun menderita gizi buruk. Masalah gizi muncul akibat masalah ketahanan pangan ditingkat rumah tangga ( kemampuanmemperoleh makanan untuk semua anggotannya ), masalah kesehatan, kemiskinan, pemerataan,dan kesempatan kerja. Indonesia mengalami masalah gizi ganda yang artinya sementara masalah gizi kurang belum dapat diatasi secara menyeluruh sudah muncul masalah baru. Masalah gizi diIndonesia terutama KEP masih lebih tinggi daripada Negara ASEAN lainnya. 11

2.3 KLASIFIKASI Pada KEP ditemukan berbagai macam keadaan patologis, tergantung pada berat ringannya kelainnan. Berdasarkan lama dan jumlah kekurangan energi protein, KEP diklasifikasikan menjadi: 1 1. KEP Ringan Bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak pada pita warna kuning di atas garis merah atau > 80-90% BB / TB atau BB / U 70% 80% baku median WHONCHS

2. KEP Sedang Bila hasil penimbangan berat badan pada KMS dibawah garis merah atau > 70-80% BB /TB (WHO-CDC) atau BB / U 60% 70% baku median WHO-NCHS. 3. KEP Berat Bila < 70% BB / TB (WHO-CDC) atau BB/TB <-3 SD. Pada gizi buruk didapatkan 3 bentuk klinis yaitu Kwasiorkhor, Marasmus, Marasmus-kwasiorkhor. a. Kwashiokor : kekurangan protein Kata kwarshiorkor berasal dari bahasa Ghana-Afrika yang berati anak yang kekurangan kasih sayang ibu. Kwashiorkor merupakan bentuk dari malnutrisi protein-energi yang berhubungan dengan defisiensi protein yang ekstrim dan dikarakterisasikan dengan edema, hipoalbuminemia, anemia, dan pembesaran hati; umumnya masih terdapat lemak subkutan, dan muscular wasting tertutupi oleh adanya edema serta adanya retardasi pertumbuhan. b. Marasmus : Kekurangan energi (kalori) merupakan suatu bentuk kronik dari malnutrisi protein-energi dimana terjadi defisiensi secara primer dari energi, dan pada tingkat lanjut dikarakterisasikan dengan muscular wasting dan tidak terdapatnya lemak subkutan disertai retardasi pertumbuhan. c. Marasmus kwashiorkor : kekurangan energi dan protein merupakan suatu bentuk malnutrisi protein-energi yang dikarakterisasikan oleh hilangnya lemak subkutan dan edema; menggambarkan suatu defisensi baik energi maupun protein.

2.4 FAKTOR RESIKO Bayi dan anak-anak merupakan resiko terbesar untuk mengalami kekurangan gizi karena mereka membutuhkan sejumlah besar kalori dan zat gizi untuk masa pertumbuhan dan perkembangannya. Mereka bisa mengalami kekurangan zat besi, asam folat, vitamin C dan tembaga karena makanan yang tidak memadai. Kekurangan asupan protein, kalori dan zat

gizi lainnya bisa menyebabkan terjadinya kekurangan energi protein yang merupakan suatu bentuk dari malnutrisi yang berat, yang akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan. Kecenderungan untuk mengalami perdarahan pada bayi baru lahir (pada bayi baru lahir), disebabkan oleh kekurangan vitamin K, dan bisa berakibat fatal.

2.5 ETIOLOGI Penyebab KEP dibagi menjadi dua yaitu secara primer yang disebabkan karena kurangnya protein, energi, atau keduanya dalam diet sehari-hari akibat susunan makanan yang salah, penyediaan makanan yang kurang baik, kemiskinan, ketidaktahuan tentang nutrisi dan kebiasaan makan yang salah; atau secara sekunder akibat penyakit dasar yang menyebabkan intake yang tidak optimal, absorpsi nutrien yang tidak adekuat, dan/atau meningkatnya penggunaan dan kebutuhan yang disebabkan oleh kehilangan nutrien atau peningkatan energy expenditure dan gangguan psikologis. 7 Sedangkan menurut Nelson (1999) Penyebab utama marasmus adalah kurang kalori protein yang dapat terjadi karena: diet yang tidak cukup, kebiasaan makan yang tidak tepat seperti yang hubungan dengan orangtua-anak terganggu,karena kelainan metabolik, atau malformasikongenital. Marasmus dapat terjadi pada segala umur, akan tetapi yang sering dijumpai pada bayi yang tidak mendapat cukup ASI dan tidak diberi makanan penggantinya atau sering diserang diare. Marasmus juga dapat terjadi akibat berbagai penyakit lain seperti infeksi, kelainan bawaan saluran pencernaan atau jantung, malabsorpsi,gangguan metabolik, penyakit ginjal menahun dan juga gangguan pada saraf pusat. Sedangkan penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein yang berlansung kronis dan faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut diatas.

2.6 PATOFISOLOGI KEP adalah manifestasi dari kurangnya asupan protein dan energi, dalam makanan seharihari yang tidak memenuhi angka kecukupan gizi (AKG), dan biasanya juga diserta adanya kekurangan dari beberapa nutrisi lainnya. Disebut malnutrisi primer bila kejadian KEP akibat kekurangan asupan nutrisi, yang pada umumnya didasari oleh masalah sosial ekonomi,

pendidikan serta rendahnya pengetahuan dibidang gizi. Malnutrisi sekunder bila kondisi masalah nutrisi seperti diatas disebabkan karena adanya penyakit utama, seperti kelainan bawaan, infeksi kronis ataupun kelainan pencernaan dan metabolik, yang mengakibatkan kebutuhan nutrisi meningkat, penyerapan nutrisi yang turun dan/meningkatnya kehilangan nutrisi. Makanan yang tidak adekuat, akan menyebabkan mobilisasi berbagai cadangan makanan untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup, dimulai dengan pembakaran cadangan karbohidrat kemudian cadangan lemak serta protein dengan melalui proses katabolik. Karbohidrat (glukosa) dapat dipakai oleh seluruh jaringan tubuh sebagai bahan bakar.

Akibatnya katabolisme protein terjadi setelah beberapa jam dengan menghasilkan asam amino yang segera diubah menjadi karbohidrat di hepar dan ginjal. Selama puasa jaringan lemak dipecah menjadi asam lemak, gliserol dan keton bodies. Otot dapat mempergunakan asam lemak daan keton bodies sebagai sumber energi kalau kekurangan makanan ini berjalan menahun. Tubuh akan mempertahankan diri jangan sampai memecah protein lagi setalah kira-kira kehilangan protein lagi kehilangan separuh dari tubuh. Kalau terjadi stres katabolik (infeksi) maka kebutuhan akan protein akan meningkat, sehingga dapat menyebabkan defisiensi protein yang relatif, kalau kondisi ini terjadi pada saat status gizi masih diatas -3 SD (-2SD--3SD), maka terjadilah kwashiorkor (malnutrisi akut/decompensated malnutrition). Pada kondisi ini penting peranan radikal bebas dan anti oksidan. Bila stres katabolik ini terjadi pada saat status gizi dibawah -3 SD, maka akan terjadilah marasmik-kwashiorkor. Kalau kondisi kekurangan ini terus dapat teradaptasi sampai dibawah -3 SD maka akan terjadilah marasmik (malnutrisikronik/ compensated malnutrition). Dengan demikian pada KEP dapat terjadi : gangguan pertumbuhan, atrofi otot, penurunan kadar albumin serum, penurunan hemoglobin, penurunan sistem kekebalan tubuh, penurunan berbagai sintesa enzim. Berikut adalah organ yang dipengaruhi KEP yaitu system pencernaan, kardiovaskuler, pernafasan, reproduksi, saraf, muskuler(otot), hematologis(darah), system metabolic dan system kekebalan.

2.7 MANIFESTASI KLINIK

Berikut gejala klinis KEP hanya dibagi berdasarkan KEP ringan dan KEP berat:
a. KEP ringan

Jarang menujukan gejala yang nyata seperti pada KEP berat. Pada KEP ringan sering ditemukan gangguan pertumbuhan berupa; pertumbuhan linier berkurang atau terhenti, kenaikan berat badan berkurang/ terhenti, adakalanya berat badan bahkan menurun, maturasi tulang terhambat, rasio berat badan terhadap tinggi badan norma/menurun, tebal lipatan kulit normal atau berkurang, anemia ringan, aktivitas dan perhatian berkurang jika dibandingkan dengan anak sehat dan kadang-kadang dijumpai kelainan kulit atau rambut. b. KEP berat Kwashiorkor, tanda-tanda: Pertumbuhan terlambat dan perubahan status mental; cengeng, rewel kadang apatis Edema umumnya diseluruh tubuh terutama pada kaki Berkurangnya jaringan lemak subkutan Anak sering menolak jenis makanan (anoreksia) Wajah membulat dan sembab Perubahan rambut; rambut berwarna kemerahan, kusam dan mudah dicabut Perubahan kulit; berupa bercak merah yang meluas dan berubah menjadi hitam terkelupas (crazy pavement dermatosis) Otot-otot mengecil, lebih nyata apabila diperiksa pada posisi berdiri dan duduk, anak lebih sering berbaring Gangguan sistem gastrointestinal; yang sering adalah diare Perut cembung, hepatomegali (karena infiltrasi lemak) Pandangan mata anak tampak sayu Sering disertai infeksi dan anemia

Marasmus, tanda-tanda: Pertumbuhan yang sangat lambat Penampilan wajah seperti orang tua, terlihat sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit Perubahan mental, cengeng, rewel Kulit keriput, dingin dan mengendor, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada, turgor kulit berkurang Perut cekung Otot atrofi hingga tulang terlihat jelas Sering disertai diare kronik / konstipasi serta penyakit kronik lainnya Tekanan darah, detak jantung dan pernafasan kurang Tanpa edema

Marasmus-kwashiorkor Tanda-tandanya merupakan gabungan dari ke dua jenis KEP di atas.

Secara klinis dan biokimiawi kwashiorkor dan marasmus dapat dibedakan sbb:

Tanda tanda

Marasmus

Kwashiorkor

Tanda esensial - Edema - Penyusutan jaringan - Perubahan kulit - Hambatan pertumbuhan - Perubahan mental Tidak ada Jaringan lemak subkutan sangat tipis Sangat menyolok Sangat Tidak ada Tidak jelas Kadang2 Sedikit Ada Harus ada

Tanda yang kadang ada - Nafsu makan - Diare - Perubahan kulit - Moonface - Perubahan rambut - Pembesaran hati Tidak ada Tidak ada Warna tak berubah, kadang kaku Tidak ada Umumnya baik Sering ada Sering Ada Sering Menjadi jarang Sering terjadi Tidak ada

Biokimiawi dan patologi - Serum albumin - Rasio serum AA bebas - Anemia - Biopsi hati Normal / sedikit turun Normal Kadang terjadi Normal / atropik Rendah Meninggi Umum terjadi Infiltrasi lemak

2.8 DIAGNOSIS

Langkah diagnostik kekurangan energi dan protein berdasarkan: 1. Klinik - Anamnesis : Keluhan yang sering ditemukan adalah pertumbuhan yang kurang, seperti berat badan yang kurang dibandingkan dengan anak yang sehat. Bisa juga didapatkan keluhan anak kurang/ tidak mau makan atau sering menderita sakit yang berulang. Jadi point anamnesa yang harus didapatkan dalam menganilisa KEP adalah riwayat makanan, tumbuh kembang, dan penyakit yang pernah diderita. - Pemeriksaan fisik : dapat ditemukan berdasarkan manifestasi klinis (tanda-tanda malnutrisi) dan berbagai defisiensi vitamin. 2. Laboratorik

Pemeriksaan yang membantu dalam mendiagnosa KEP adalah darah lengkap (terutama Hb), urin lengkap, feses lengkap, protein serum (albumin dan globulin), elektrolit serum, transferin, ferritin dan profil lemak. 2. Anthropometrik Data antroprometik diperlukan untuk mengetahui status gizi penderita. Berikut data

antropometri yang sering digunakan adalah; BB/U (berat badan menurut umur), TB/U (tinggi badan menurut umur), LLA/U (lingkar lengan atas menurut umur), BB/TB (berat badan menurut tinggi badan), dan LLA/TB (lingkar lengan atas menurut tinggi badan). 4. Analisis diet

2.9 DIAGNOSA BANDING

Adanya edema serta ascites pada bentuk kwashiorkor maupun marasmik-kwashiorkor perlu dibedakan dengan : Sindroma nefrotik

Sirosis hepatis Payah jantung kongestif Pellagra infantil

2.10 PROMOTIF / PREVENTIF Kekurangan energi protein disebabkan oleh multifaktor yang saling terkait sinergis secara klinis maupun lingkungannya. Tindakan pencegahan bertujuan untuk mengurangi insidensi dan menurunkan angka kematian. Pencegahan hendaknya meliputi faktor secara konsisten. Oleh karena ada beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya masalah tersebut, maka untuk mencegahnya bisa dilakukan beberapa langkah, antara lain:
1. Pola makan

Pola makan berhubungan dengan status gizi seseorang. Memelihara status gizi dimulai sejak dalam kandungan, ibu hamil dengan gizi yang baik, diharapkan melahirkan bayi dengan status gizi yang baik pula. Setelah lahir segera diberi ASI eksklusif minimal sampai 4 bulan. Pemberian makanan tambahan (pendamping) ASI mulai usia 4 bulan secara bertahap serta memperpanjang masa menyusui selama mungkin, selama bayi masih menghendaki (maksimal 2 tahun). tindakan yang dilakukan dapat berupa penyuluhan pada masyarakat mengenai gizi seimbang (perbandingan jumlah karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral berdasarkan umur dan berat badan)
2. Pemantuan tumbuh kembang dan penentuan status gizi secara berkala (sebulan sekali

pada tahun pertama). Gizi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses tumbuh kembang anak. Sebelum lahir, anak tergantung pada zat gizi yang terdapat dalam darah ibu. Setelah lahir, anak tergantung pada tersedianya bahan makanan dan kemampuan saluran cerna.Pemantauan tumbuh kembang anak meliputi pemantauan dari aspek fisik, psikologi, dan sosial. Selain itu pemantauan juga dapat dilakukan oleh masyarakat melalui kegiatan posyandu dan oleh guru di sekolah. Oleh karena itu, pengetahuan tentang deteksi dini pertumbuhan dan perkembangan anak perlu dimiliki oleh orang tua, guru, dan masyarakat.

Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta jaringan intraselular, berarti bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh dalam arti sebagian atau keselurahan. Jadi pertumbuhan bersifatkuantitatif sehingga dengan demikian dapat kita ukur dengan mempergunakan satuan panjang atau satuan berat. Ciri-ciri pertumbuhan yaitu: Perubahan ukuran, Perubahan Proposi, Hilangnya ciriciri lama dan Timbulnya ciri-ciri baru Perkembangan anak pada fase awal terbagi menjadi 4 aspek kemampuan fungsional, yaitu motorik kasar, motorik halus dan penglihatan, berbicara dan bahasa, serta sosial emosi dan perilaku. Deteksi Dini Pertumbuhan dan Perkembangan Penilaian pertumbuhan dan perkembangan dapat dilakukan sedini mungkin sejak anak dilahirkan. Deteksi dini merupakan upaya penjaringan yang dilaksanakan secara komprehensif untuk menemukan penyimpangan tumbuh kembang dan mengetahui serta mengenal faktor resiko pada balita, yang disebut juga anak usia dini. Melalui deteksi dini dapat diketahui penyimpangan tumbuh kembang anak secara dini, sehingga upaya pencegahan, stimulasi, penyembuhan serta pemulihan dapat diberikan dengan indikasi yang jelas pada masa-masa kritis proses tumbuh kembang. Upayaupaya tersebut diberikan sesuai dengan umur perkembangan anak, dengan demikian dapat tercapai kondisi tumbuh kembang yang optimal (Tim Dirjen Pembinaan Kesmas, 1997). Penilaian pertumbuhan dan perkembangan meliputi dua hal pokok, yaitu penilaian pertumbuhan fisik dan penilaian perkembangan. Masing-masing penilaian tersebut mempunyai parameter dan alat ukur tersendiri. Mengetahui pertumbuhan anak dapat menggunakan KMS (Kartu Menuju Sehat). KMS atau Kartu Menuju Sehat adalah suatu kartu/alat penting yang digunakan untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan anakmenyatakan bahwa cara menilai pertumbuhan pada KMS adalah sebagai berikut : 1) Berat badan ideal ditunjukkan dengan garis hijau tua paling atas. 2) Dari hubungan 2 titik di grafik KMS, terdapat 5 kemungkinan pertumbuhan, yaitu: a) Catch Up : tumbuh kejar, arah grafik yang lebih tajam atau curam dibandingkan kurva normal yang ada di KMS, memunjukkan pertumbuhan yang lebih dari normal.

b) Normal Growth (NG) : tumbuh normal, arah garis sesuai arah garis pada kurva KMS. c) Growth Faltering (GF) : Tumbuh landai sama dengan naik kurang dari normal. Arah garis pertumbuhan meningkat tetapi kurang / lebih landai dibandingkan kurva pertumbuhan. d) Flat Growth (FG) : tetap/datar, tidak ada kenaikan berat badan, arah garis pertumbuhan mendatar. e) Loss of Growth (LG) : berat badan turun, arah garis pertumbuhan menurun. Dari 5 kemungkinan pertumbuhan tersebut, yang dikatakan naik (N) adalah a dan b, sedangkan dikatakan tidak naik adalah poin c,d,dan e (Depkes RI dan IDAI, 2006). Dasar utama dalam menilai pertumbuhan fisik anak adalah penilaian menggunakan alat baku (standar). Untuk menjamin ketepatan dan keakuratan penilaian harus dilakukan dengan teliti dan rinci. Pengukuran perlu dilakukan dalam kurun waktu tertentu untuk menilai kecepatan pertumbuhan. Parameter ukuran antropometrik yang dipakai dalam penilaian pertumbuhan fisik adalah tinggi badan, berat badan, lingkar kepala, lipatan kulit (skinflod), lingkar lengan atas, panjang lengan, proporsi tubuh, dan panjang tungkai. Perlu ditekankan bahwa pengukuran antropometri hanyalah satu dari sejumlah teknik-teknik yang dapat untuk menilai status gizi. Pengukuran dengan cara-cara yang baku dilakukan beberapa kali secara berkala pada berat dan tinggi badan, lingkaran lengan atas, lingkaran kepala, tebal lipatan kulit (skinfold) diperlukan untuk penilaian pertumbuhan dan status gizi pada bayi dan anak.Menurut Pedoman Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita (Tim Dirjen Pembinaan Kesmas, 1997) dan Narendra (2003) macam-macam penilaian pertumbuhan fisik yang dapat digunakan adalah: 1) Berat dan Tinggi Badan terhadap umur Pengukuran antropometri sesuai dengan cara-cara yang baku, beberapa kali secara berkala misalnya berat badan anak diukur tanpa baju, mengukur panjang bayi dilakukan oleh 2 orang pemeriksa pada papan pengukur (infantometer), tinggi badan anak diatas 2 tahun dengan berdiri diukur dengan stadiometer.

Baku yang dianjurkan adalah buku NCHS secara Internasional untuk anak usia 0-18 tahun yang dibedakan menurut jender laki-laki dan wanita.

Cara canggih yang lebih tepat untuk menetapkan obesitas pada anak dengan kalkulasi skor Z (atau standard deviasi) dengan mengurangi nilai berat badan yang dibagi dengan standard deviasi populasi referens. Skor Z =atau > +2 (misalnya 2SD diatas median) dipakai sebagai indikator obesitas.

2) Lingkar kepala, lingkar lengan, lingkaran dada diukur dengan pita pengukur yang tidak molor. Baku Nellhaus dipakai dalam menentukan lingkaran kepala (dikutip oleh Behrman, 1968). Sedangkan lingkaran lengan menggunakan baku dari Wolanski, 1961 yang berturut-turut diperbaiki pada tahun 1969. Pengukuran Lingkar Kepala Anak (PLKA) PLKA adalah cara yang biasa dipakai untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan otak anak. Biasanya ukuran pertumbuhan tengkorak mengikuti perkembangan otak, sehingga bila ada hambatan pada pertumbuhan tengkorak maka perkembangan otak anak juga terhambat. Pengukuran dilakukan pada diameter occipitofrontal dengan mengambil rerata 3 kali pengukuran sebagai standar. Untuk menilai perkembangan anak banyak instrumen yang dapat digunakan. Salah satu instrumen skrining yang dipakai secara internasional untuk menilai perkembangan anak adalah DDST II ( Denver Development Screening Test). DDST II merupakan alat untuk menemukan secara dini masalah penyimpangan perkembangan anak umur 0 s/d < 6 tahun. Instrumen ini merupakan revisi dari DDST yang pertama kali dipublikasikan tahun 1967 untuk tujuan yang sama. Pemeriksaan yang dihasilkan DDST II bukan merupakan pengganti evaluasi diagnostik, namun lebih ke arah membandingkan kemampuan perkembangan seorang anak dengan anak lain yang seumur. DDST II digunakan untuk menilai tingkat perkembangan anak sesuai umurnya pada anak yang mempunyai tanda-tanda keterlambatan perkembangan maupun anak sehat. DDST II bukan merupakan tes IQ dan bukan merupakan peramal kemampuan intelektual anak di masa mendatang. Tes ini tidak dibuat untuk

menghasilkan diagnosis, namun lebih ke arah untuk membandingkan kemampuan perkembangan seorang anak dengan kemampuan anak lain yang seumur. Menurut Pedoman Pemantauan Perkembangan Denver II (Subbagian Tumbuh Kembang Ilmu Kesehatan Anak RS Sardjito, 2004), formulir tes DDST II berisi 125 item yg terdiri dari 4 sektor, yaitu: personal sosial, motorik halus-adaptif, bahasa, serta motorik kasar. Sektor personal sosial meliputi komponen penilaian yang berkaitan dengan kemampuan penyesuaian diri anak di masyarakat dan kemampuan memenuhi kebutuhan pribadi anak. Sektor motorik halus-adaptif berisi kemampuan anak dalam hal koordinasi matatangan, memainkan dan menggunakan benda-benda kecil serta pemecahan masalah. Sektor bahasa meliputi kemampuan mendengar, mengerti, dan menggunakan bahasa. Sektor motorik kasar terdiri dari penilaian kemampuan duduk, jalan, dan gerakan-gerakan umum otot besar. Selain keempat sektor tersebut, itu perilaku anak juga dinilai secara umum untuk memperoleh taksiran kasar bagaimana seorang anak menggunakan kemampuannya. 3. Tebal kulit di ukur dengan alat Skinfold caliper pada kulit lengan, subskapula dan daerah pinggul., penting untuk menilai kegemukan. Memerlukan latihan karena sukar melakukannya dan alatnyapun mahal (Harpenden Caliper). Penggunaan dan interpretasinya yang terlebih penting. 4. Body Mass Index (BMI) adalah Quetelets index, yang telah dipakai secara luas, yaitu berat badan(kg) dibagi kuadrat tinggi badan (m 2). BMI mulai disosialisasikan untuk penilaian obesitas pada anak dalam kurva persentil juga (lihat pada lampiran,CDC tahun 2004).8-10 Tingkat kelebihan berat badan harus dinyatakan dengan SD dari mean (rerata) BMI untuk populasi umur tertentu. Mean BMI juga bervariasi seperti pada berat badan normal pada status gizi dan frekuensi kelebihan berat pada rerata BMI dan standard deviasi yang dihitung. Misalnya anak dengan rerata BMI +1 SD di suatu negara tidak harus sama dengan rerata BMI +1 dinegara lain. Suatu kurva persentil dari BMI atas dasar referens populasi internasional yang dikembangkan oleh IOTF (International Obesity Task Force) pada tahun 1997

untuk mengatasi keterbatasannya. Batas (cut off points) obesitasdalam kaitan persentil adalah BMI 25 kg/m2 dan BMI 30kg/m2 pada orang dewasa. Tabel . Definisi pada CDC BMI terhadap umur Underweight At risk of overweight Overweight BMI - for age < 5th percen tile BMI for - age 85th percentile BMI - for age 95th percentile

(Dikutip dari : . Lahti-Koski Marjaana, Gill Tim. Defining Childhood Obesity. Dalam: Obesity in Childhood and Adolescence. Penyunting: Kiess W, Marcus C.,Wabitsch M, KargerAG, Basel. Brussel 2004: 1-17)

3. Faktor sosial

Mencari kemungkinan adanya pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu yang sudah berlangsung turun temurun yang dapat menyebabkan terjadinya KEP. Sanitasi personal dan lingkungan merupakan faktor sosial yang juga menjadi usaha untuk tindakan preventif terhadap KEP.
4. Faktor ekonomi

Dalam World Food Conference di Roma tahun 1974 telah dikemukakan bahwa meningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi dengan bertambahnya persediaan bahan makanan setempat yang memadai merupakan sebab utama krisis pangan, sedangkan kemiskinan penduduk merupakan akibat lanjutannya. Ditekankan pula perlunya bahan makanan yang bergizi baik disamping kuantitas maupun kualitasnya. Kemiskinan merupakan bagian dari faktor resiko tinggi yang akan berpengaruh terhadap kelangsungan status gizi. 5. Faktor infeksi Telah lama diketahui adanya interaksi sinergis antara KEP dan infeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan status gizi. KEP, walaupun derajat ringan menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi. Pendidikan dasar kepada orang tua mengenai kesehatan anak, status gizi, dan imunisasi merupakan tindakan pencegahan terhadap infeksi, teutama diare. Progam imunisasi ini erat kaitannya terhadap pencegahan penyakit dengan lingkungan seperti TBC, Malaria DHF, Parasit (cacing).

2.11 KOMPLIKASI Anak dengan kwashiorkor akan lebih mudah untuk terkena infeksi dikarenakan lemahnya sistem imun. Tinggi maksimal dan kempuan potensial untuk tumbuh tidak akan pernah dapat dicapai oleh anak dengan riwayat kwashiorkor. Bukti secara statistik mengemukakan bahwa kwashiorkor yang terjadi pada awal kehidupan (bayi dan anak-anak) dapat menurunkan IQ secara permanen.13 Defisiensi vitamin A, dermatosis, cacingan, diare kronis dan tuberkolosis merupakan komplikasi yang tersering pada marasmus. Baik tipe kwashiorkor, marasmus, marasmik-kwashiorkor memiliki komplikasi jangka pendek dan panjang. Komplikasi jangka pendek meliputi; hipoglikemia, hipotermia, dehidrasi, gangguan fungsi vital, gangguan keseimbangan elektrolit asam basa, infeksi berat dan hambatan penyakit penyerta. Sedangkan komplikasi jangka panjang meliputi; stunting (tubuh pendek) dan berkurangnya potensi tumbuh kembang,

2.12

PENATALAKSANAAN

Anak gizi buruk ditemukan pada surveilans, posyandu, dan rumah tangga atau klinik swasta / dokter praktek dilaporkan ke puskesmas Kasus gizi buruk yang berat harus dirujuk ke Rumah Sakit pasien dikembalikan ke Puskesmas untuk ditindak lanjuti. Anak perlu dirujuk ke puskesmas jika: Arah garis pertumbuhan T (berat badan tidak naik atau naik tetapi tidak sesuai garis baku KMS selama 2 kali penimbangan berturut-turut) Bawah garis merah (BGM). Anak sakit.

A. Tatalaksana Perawatan Pada saat masuk rumah sakit: Anak dipisahkan dari pasien infeksi Ditempatkan diruangan yang hangat (25-30C, bebas angin)

Dipantau secara rutin Memandikan anak dilakukan seminimal mungkin dan harus segera keringkan Demi keberhasilan tatalaksana diperlukan: Fasilitas dan staf yang profesional (Tim Asuhan Gizi) Timbangan badan yang akurat Penyediaan dan pemberian makan yang tepat dan benar Pencatatan asupan makanan dan berat badan anak, sehingga kemajuan selama perawatan dapat evaluasi Keterlibatan orang tua B. Tatalaksana Umum Pedoman pelaksanaan respon cepat penanggulangan gizi buruk meliputi: a. Penemuan Kasus Gizi Buruk Penemuan kasus gizi buruk biasanya pada; kegiatan penimbangan seluruh balita secara serentak di Posyandu (Operasi Timbang) yang dilaksanakan serentak rutin tiap Agustus, penimbangan rutin bulanan di Posyandu. Dengan tindakan di atas kita bisa menemukan balita yang berada di bawah garis merah (BGM) atau yang memiliki tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor, dan marasmik-kwashiorkor namun bila tanda klinis tidak ditemukan dapat juga dilakukan dengan pengukuran TB dan BB kemudian dicocokan dengan standar WHO-NCHS. Jika hasil < - 3 SD maka anak/balita tersebut menderita gizi buruk. b. Rujukan Balita Gizi Buruk Adalah semua balita gizi buruk yang sudah dikonfirmasi dirujuk ke puskesmas atau rumah sakit segera setelah penentuan gizi buruk dengan membawa KMS atau buku KIA dan melengkapi persyaratan administrasi rujukan yang berlaku di wilayahnya. c. Perawatan Balita Gizi Buruk Dapat dilakukan di Puskesmas Perawatan atau rumah sakit setempat. Dengan Standar operasional prosedur : 5 (lima) kondisi anak gizi buruk dan 10 (sepuluh) langkah tatalaksana anak gizi buruk. 5 kondisi anak gizi buruk Anak digolongkan pada : kondisi I jika ditemukan renjatan(syok), letargis, muntah atau diare dan atau dehidrasi.

Kondisi II diterapkan jika terdapat letargis serta muntah dan atau diare atau dehidrasi. Kondisi III adalah jika terdapat muntah dan atau diare atau dehidrasi Kondisi IV jika ditemukan letargis. Kondisi V dimana tidak ditemukan tiga tanda bahaya atau tanda penting tersebut.

Prosedur tetap pengobatan di rumah sakit : 1. Prinsip dasar penanganan 10 langkah utama (diutamakan penanganan kegawatan) Bagan dan Jadwal Pengobatan Malnutrisi Berat Langkah Stabilisasi Fase Transisi Rehabilitasi Tindak Lanjut

Hari ke12 1. Hipoglikemia 2. Hipotermia 3. Dehidrasi 4. Elektrolit 5. Infeksi 6. Mikronutrien 7. Pemberian makanan awal 8. Tumbuh kejar 9. Stimulasi sensori 10. Tindak lanjut

Hari ke 37

Hari ke 814

Minggu ke3-6

Minggu ke 7-26

Tanpa Fe Dengan Fe

Sumber: Departemen Kesehatan RI16

a. Penanganan hipoglikemi Semua anak dengan gizi buruk berisiko hipoglikemia (kadar gula darah < 3 mmol/L atau < 54 mg/dl) sehingga setiap anak gizi buruk harus diberi makan atau larutan glukosa/gula pasir 10% segera setelah masuk rumah sakit (lihat bawah). Pemberian makan yang sering sangat penting dilakukan pada anak gizi buruk. Jika fasilitas setempat tidak memungkinkan untuk memeriksa kadar gula darah, maka semua anak gizi buruk harus dianggap menderita hipoglikemia dan segera ditangani sesuai panduan. Tatalaksana Jika anak sadar, segera beri F-75 pertama atau modifikasinya bila penyediaannya memungkinkan. Bila F-75 pertama tidak dapat disediakan dengan cepat, berikan 50 ml larutan glukosa atau gula 10% (1 sendok teh munjung gula dalam 50 mlair) secara oral atau melalui NGT. Lanjutkan pemberian F-75 setiap 23 jam, siang dan malam selama minimal dua hari.

Bila masih mendapat ASI teruskan pemberian ASI di luar jadwal pemberian F-75. Jika anak tidak sadar (letargis), berikan larutan glukosa 10% secara intravena (bolus) sebanyak 5 ml/kg BB, atau larutan glukosa/larutan gula pasir 50 ml dengan NGT. Bila ada Renjatan syok Berikan cairan iv berupa ringer laktat dan dekstrosa 10 % dengan perbandingan 1:1 sebanyak 15 ml/kg BB selama 1 jam pertama atau 5 tpm per kg BB Berikan larutan glukosa 10 % atau larutan gula pasir 10 % secara oral / NGT Beri antibiotik. Pemantauan Jika kadar gula darah awal rendah, ulangi pengukuran kadar gula darah setelah 30 menit. Jika kadar gula darah di bawah 3 mmol/L (< 54 mg/dl), ulangi pemberian larutan glukosa atau gula 10%. Jika suhu rektal < 35.5 C atau bila kesadaran memburuk, mungkin hipoglikemia disebabkan oleh hipotermia, ulangi pengukuran kadar gula darah dan tangani sesuai keadaan (hipotermia dan hipoglikemia). Pencegahan Beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin atau jika perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu. Pemberian makan harus teratur setiap 2-3 jam siang malam. b. Penanganan hipotermi Dikatakan hipotermi jika suhu aksilar < 36,50C Tatalaksana Segera beri makan F-75 (jika perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu). Pastikan bahwa anak berpakaian (termasuk kepalanya). Tutup dengan selimut hangat dan letakkan pemanas (tidak mengarah langsung kepada anak) atau lampu di dekatnya, atau letakkan anak langsung pada dada atau perut ibunya

(dari kulit ke kulit: metode kanguru). Bila menggunakan lampu listrik, letakkan lampu pijar 40 W dengan jarak 50 cm dari tubuh anak. Beri antibiotik sesuai pedoman. Pemantauan Ukur suhu aksilar anak setiap 2 jam sampai suhu meningkat menjadi 36.5 C atau lebih. Jika digunakan pemanas, ukur suhu tiap setengah jam.Hentikan pemanasan bila suhu mencapai 36.5 C Pastikan bahwa anak selalu tertutup pakaian atau selimut, terutama pada malam hari Periksa kadar gula darah bila ditemukan hipotermia Pencegahan Pastikan anak dalam keadaan hangat, berpakaian kering, jauh dari angin, jika perlu biarkan tetap dipeluk orangtuanya saat tidur, serta pemberian F75 atau modifikasi nya tiap 2 jam sesegera mungkin. c. Penanganan dehidrasi Status dehidrasi sulit ditentukan dengan gejala klinis saja. Anak gizi buruk dengan diare cair, jika gejala dehidrasi tidak jelas, dianggap sebagai dehidrasi ringan. Tatalaksana Pada anak gizi buruk, tidak digunakan infus untuk rehidrasi kecuali kasus dehidrasi berat dengan / tanpa syok. Terapi dilakukan dengan rehidrasi, beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT, lakukan lebih lambat dibanding jika melakukan rehidrasi pada anak dengan gizi baik. - beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama - setelah 2 jam, berikan ReSoMal 510 ml/kgBB/jam berselang-seling dengan F-75 dengan jumlah yang sama, setiap jam selama 10 jam. Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam. Jika masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia < 1 th: 50-100 ml setiap buang air besar, usia 1 th: 100-200 ml setiap buang air besar.

Catatan: ReSoMal mengandung 37.5 mmol Na, 40 mmol K, dan 3 mmol Mg per liter. Cara membuat: Oralit WHO 1 sachet (200 ml) + Gula pasir 10 g +Larutan mineral-mix 8 ml + air sampai menjadi 400 ml Selama rehidrasi, frekuensi napas dan nadi akan berkurang dan mulai diuresis. Kembalinya air mata, mulut basah; cekung mata dan fontanel berkurang serta turgor kulit membaik merupakan tanda membaiknya hidrasi, tetapi anak gizi buruk seringkali tidak memperlihatkan tanda tersebut walaupun rehidrasi telah terjadi, sehingga sangat penting untuk memantau berat badan. Tanda kelebihan cairan (frekuensi napas meningkat 5x / menit dan frekuensi nadi meningkat 15x/ menit): hentikan pemberian cairan segera, ulang penilaian dalam 1 jam. d. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit Semua anak dengan gizi buruk mengalami defisiensi kalium dan magnesium yang mungkin membutuhkan waktu 2 minggu atau lebih untuk memperbaikinya. Terdapat kelebihan natrium total dalam tubuh, walaupun kadar natrium serum mungkin rendah. Edema dapat diakibatkan oleh keadaan ini. Jangan obati edema dengan diuretikum. Pemberian natrium berlebihan dapat menyebabkan kematian. Tatalaksana Untuk mengatasi gangguan elektrolit diberikan Kalium dan Magnesium,yang sudah terkandung di dalam larutan Mineral-Mix yang ditambahkan kedalam F75, F-100 atau ReSoMal Gunakan larutan ReSoMal untuk rehidrasi Siapkan makanan tanpa menambahkan garam (NaCl) Berikan Kalium dan Magnesium (ada dalam Mineral Mix) e. Pengobatan infeksi Anggap semua anak dengan gizi buruk mengalami infeksi dan segera tangani dengan antibiotik. Hipoglikemia dan hipotermia merupakan tanda infeksi berat. Tatalaksana Antibiotik spektrum luas dan vaksin campak

Pilihan antibiotik spektrum luas: Tidak ada komplikasi / tidak ada infeksi nyata: Kotrimoksazol per oral (25 mg SMX + 5 mg TMP / kgBB tiap 12 jam). Ada komplikasi / jelas ada infeksi: Ampisilin (50 mg/kgBB IM/IV tiap 6 jam selama 2 hari) dilanjutkan Amoksisilin oral (15 mg/kgBB tiap 8 jam selama 5 hari) atau ampisilin oral (50 mg/kgBB tiap 6 jam selama 5 hari) + Gentamisin (7,5 mg/kgBB IM/IV) tiap hari selama 7 hari. Tidak membaik dalam 24 jam: + Kloramfenikol (25 mg/kgBB IM/IV tiap 8 jam) 5 hari. f. Koreksi defisiensi nutrisi mikro Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral. Tatalaksana: Berikan setiap hari paling sedikit dalam 2 minggu: Multivitamin Asam folat (5 mg pada hari I, dan selanjutnya 1 mg/ hari sampai hari ke 14). Seng (2 mg Zn elemental/kgBB/hari) Tembaga (0,3 mg Cu/kgBB/hari) Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase rehabilitasi) Vitamin A: oral pada hari ke 1 (kecuali jika telah diberikan sebelum dirujuk). Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2, dan 15. Dosis Vitamin A : Umur < 6 bula 6-12 bulan 1-5 tahun = 50.000 IU (1/2 kapsul biru) = 100.000 IU (1 kapsul biru) = 200.000 IU (1 kapsul merah)

g. Pemberian makanan (initial refeeding) Pada fase awal, pemberian makan (formula) harus diberikan secara hati-hati karena keadaan fisiologis anak masih rapuh. Tatalaksana:

Sifat utama yang menonjol dalam pemberian makan awal adalah: Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah osmolaritas maupun rendah laktosa. Berikan secara oral atau melalui NGT, hindari penggunaan parenteral. Energi: 100 kKal/kgBB/hari Protein: 1 1,5 g/kgBB/hari Cairan: 130 ml/kgBB/hari (jika ada edema berat beri 100 ml/kgBB/hari) Jika anak masih mendapatkan ASI, lanjutkan (pastikan jumlah F75 dipenuhi). Pemberian F75 sesuai petunjuk tiap kondisi. Hari Ke1-2 3-5 6 dst Frekuensi Setiap 2 jam Setiap 3 jam Setiap 4 jam Volume/Kgbb/Pemberian 11 ml 16 ml 22 ml Volume/Kgbb/Hari 130 ml 130 ml 130 ml

Pada anak dengan nafsu makan baik dan tanpa edema, jadwal di atas dapat dipercepat menjadi 2-3 hari. Formula awal F-75 sesuai resep* dan jadwal makan** dibuat untuk mencukupi kebutuhan zat gizi pada fase stabilisasi. Pada F-75 yang berbahan serealia, sebagian gula diganti dengan tepung beras atau maizena sehingga lebih menguntungkan karena mempunyai osmolaritas yang lebih rendah, tetapi perlu dimasak dulu. Formula ini baik bagi anak gizi buruk dengan diare persisten. Terdapat 2 macam tabel petunjuk pemberian F-75 yaitu untuk gizi buruk tanpa edema dan dengan edema berat (+++) *RESEP FORMULA WHO F 75 DAN F 100 Bahan Makanan Susu skim bubuk Gula pasir Tepung beras/maizena Minyak sayur Larutan elektrolit Tambahan air s/d Nilai GIZI/1000ml Energi Per 1000 ml Gram Gram Gram Gram Ml Ml Kkal F 75 25 100 27 20 1000 750 F 75 (+ sereal) 25 75 35 27 20 1000 750 F-100 85 50 60 20 1000 1000

Protein Gram Laktosa Gram Kalium mMol Natrium mMol Magnesium mMol Seng Mg Tembaga Mg % Energi protein % Energi Lemak Osmolalitas mOsm/l Cara membuat formula WHO (F-75, F-100):

9 13 40 6 4,3 20 2,5 5 32 413

11 13 42 6 4,6 20 2,5 5 32 334

29 42 63 19 7,3 23 2,5 12 53 419

Campurkan gula dan minyak sayur, aduk sampai rata dan masukkan susu bubuk sedikit demi sedikit, aduk sampai kalis dan berbentuk gel. Tambahkan air hangat dan larutan mineral-mix sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai homogen dan volumenya menjadi 1000 ml. Larutan ini bisa langsung diminum atau dimasak selama 4 menit. Untuk F-75 yang menggunakan campuran tepung beras atau maizena, larutan harus dididihkan (5-7 menit) dan mineral-mix ditambahkan setelah larutan mendingin. Apabila tersedia blender, semua bahan dapat dicampur sekaligus dengan air hangat secukupnya. Setelah tercampur homogen baru ditambahkan air hingga volume menjadi 1000 ml. Apabila tidak tersedia blender, gula dan minyak sayur (dianjurkan minyak kelapa) harus diaduk dahulu sampai rata, baru tambahkan bahan lain dan air hangat.

**JADWAL MAKAN

Jumlah F-75 per kali makan (100ml/kg/hari) untuk anak tanpa edema berat

Jumlah F-75 per kali makan (100ml/kg/hari) untuk anak tanpa edema berat

Pemantauan Pantau dan catat setiap hari: Jumlah makanan yang diberikan dan dihabiskan Muntah Frekuensi defekasi dan konsistensi feses Berat badan. h. Fasilitasi tumbuh kejar Tanda yang menunjukkan bahwa anak telah mencapai fase ini adalah:

Kembalinya nafsu makan Edema minimal atau hilang. Tatalaksana Lakukan transisi secara bertahap dari formula awal (F-75) ke formula tumbuh-kejar (F-100) (fase transisi): Ganti F 75 dengan F 100. Beri F-100 sejumlah yang sama dengan F-75 selama 2 hari berturutan. Selanjutnya naikkan jumlah F-100 sebanyak 10 ml setiap kali pemberian sampai anak tidak mampu menghabiskan atau tersisa sedikit. Biasanya hal ini terjadi ketika pemberian formula mencapai 200 ml/kgBB/hari. Dapat pula digunakan bubur atau makanan pendamping ASI yang dimodifikasi sehingga kandungan energi dan proteinnya sebanding dengan F-100. Setelah transisi bertahap, beri anak: pemberian makan yang sering dengan jumlah tidak terbatas (sesuai kemampuan anak). Energi: 150-220 kkal/kgBB/hari. Protein: 4-6 g/kgBB/hari. Bila anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI tetapi pastikan anak sudah mendapat F-100 sesuai kebutuhan karena ASI tidak mengandung cukup energi untuk menunjang tumbuh-kejar. Makanan-terapeutik-siap-saji (ready to use therapeutic food = RUTF) yang mengandung energi sebanyak 500 kkal/sachet 92 g dapat digunakan pada fase rehabilitasi. Kebutuhan zat gizi anak gizi buruk menurut fase pemberian makanan Zat Gizi Stabilisasi Energi 80-100 kkal/kgBB/hr Protein Cairan 1-1,5 g/kg/hr 130 ml/kgBB/hr atau 100 ml/kgBB/hr bila edema berat Pemantauan Hindari terjadinya gagal jantung. Amati gejala dini gagal jantung (nadi cepat dan napas cepat). Jika nadi maupun frekuensi napas meningkat (pernapasan naik 5x/menit Transisi 100-150 kkal/kgBB/hr 2-3 g/KgBB/hr 150 ml/kgBB/hr Rehabilitasi 150-220 kkal/kgBB/hr 4-6 g/kgBB/hr 150 -200 ml/kgBB/hr

dan nadi naik 25x/menit), dan kenaikan ini menetap selama 2 kali pemeriksaan dengan jarak 4 jam berturut-turut, maka hal ini merupakan tanda bahaya (cari penyebabnya). Lakukan segera: kurangi volume makanan menjadi 100 ml/kgBB/hari selama 24 jam kemudian, tingkatkan perlahan-lahan sebagai berikut: 115 ml/kgBB/hari selama 24 jam berikutnya 130 ml/kgBB/hari selama 48 jam berikutnya selanjutnya, tingkatkan setiap kali makan dengan 10 ml sebagaimana dijelaskan sebelumnya atasi penyebab. Penilaian kemajuan Kemajuan terapi dinilai dari kecepatan kenaikan berat badan setelah tahap transisi dan mendapat F-100: Timbang dan catat berat badan setiap pagi sebelum diberi makan Hitung dan catat kenaikan berat badan setiap 3 hari dalam gram/kgBB/hari Jika kenaikan berat badan: -kurang (< 5 g/kgBB/hari), anak membutuhkan penilaian ulang lengkap -sedang (5-10 g/kgBB/hari), periksa apakah target asupan terpenuhi, atau mungkin ada infeksi yang tidak terdeteksi. -baik (> 10 g/kgBB/hari). i. Melakukan stimulasi sensorik dan perbaikan mental Lakukan: ungkapan kasih sayang lingkungan yang ceria terapi bermain terstruktur selama 1530 menit per hari aktivitas fisik segera setelah anak cukup sehat keterlibatan ibu sesering mungkin (misalnya menghibur, memberi makan, memandikan, bermain) Sediakan mainan yang sesuai dengan umur anak

Mulai umur 6 bulan = gelangan tali Mulai umur 9 bulan = permainan balok, mainan masuk-masukan, mainan keluar masuk Mulai umur 12 bulan = bunyi-bunyian, tetabuhan, boneka, botol penyimpanan, mainan dorongan dan tarikan Mulai umur 18 bulan = permainan susun gambar, buku j. Perencanaan tindak lanjut setelah sembuh Fase dalam tatalaksanan gizi buruk 1. Fase Stabilisasi Secara umum perawatan awal pada fase stabilisasi meliputi: Pemeriksaan berat badan dan suhu tubuh (aksila) dan tindakan pemberian oksigen (pada kondisi I), penghangatan tubuh, pemberian cairan dan makanan sesuai Rencana I V sesuai kondisi, yaitu F75 dengan asupan gizi 80-100 Kkal/kgBB/hari dan protein 1-1,5 gr/kgBB/hari dan antibiotika sesuai umur. Perawatan Lanjutan pada Fase Stabilisasi Anamnesis lanjutan : Konfirmasi kejadian campak dan TB paru. Pemeriksaan fisik umum : PB atau TB, Thorax, Abdomen, Otot, Jaringan Lemak Pemeriksaan fisik khusus : Mata, Kulit, THT Pemeriksaan laboratorium : Kadar gula darah, Hemoglobin Tindakan : Pemberian vitamin A, asam folat, multivitamin tanpa Fe, Pengobatan penyakit penyulit, dan stimulasi. 2. Fase Transisi Perawatan lanjutan fase transisi meliputi: Pemeriksaan berat badan. Pemberian makanan tumbuh kejar: makanan formula 100 (F100) dengan asupan gizi 100-150 kKal/kgBB/hari dan protein 2-3 gr/kgBB/hari, perubahan dari F75 menjadi F100; pemberian multivitamin tanpa Fe, Stimulasi, dan Pengobatan penyakit penyulit. 3. Fase Rehabilitasi

Monitoring tumbuh kembang. Pemberian makanan tumbuh kejar: formula 135 (F135), nilai gizi 150-220 kKal/kgBB/hari dan protein 3-4 gr/kgBB/hari; disertai pemberian multivitamin dengan Fe, pengobatan penyakit penyulit, persiapan ibu, dan stimulasi. 4. Fase Tindak Lanjut Dilakukan di rumah setelah anak dinyatakan sembuh, bila BB/TB atau BB/PB >-2 SD dan tidak ada gejala klinis serta memenuhi kriteria: o Selera makan sudah baik, makanan yang diberikan dapat dihabiskan. o Ada perbaikan kondisi mental. o Anak sudah dapat tersenyum. o Duduk, merangkak, berdiri, atau berjalan sesuai umurnya. o Suhu tubuh berkisar antara 36,5o 37,7o C. o Tidak muntah atau diare. o Tidak ada edema. o Kenaikan BB sekitar 50 gr/kgBB/minggu selama 2 minggu berturut-turut.

C. Penanganan Kondisi Penyerta 1. Masalah pada mata Bila ada kelainan di mata yang menunjukan defisiensi vit. A berupa: Gejala Hanya bercak bitot Nanah atau perdangan Kekeruhan pada kornea Ulkus pada kornea Tindakan Tidak memerlukan obat tetes mata Tetes mata Kloramfenikol atau tetrasiklin (1%) - Tetes mata kloramfenikol 0,25%-1% atau tetes tetrasiklin 1%; 1 tetes, 4x sehari selama 7-10 hari Tetes mata atropin 1%. 1 tetes.3x sehari selama 3-5 hari Jika perlu, kedua jenis obat tetes mata

tersebut digunakan secara bersamaan Beri vitamin A sesuai dosis 2. Lesi pada kulit kwasiorkor (Dermatosis) Dermatosis ditandai adanya : hipo/hiperpigmentasi, deskwamasi (kulit mengelupas), lesi ulcerasi eksudatif, menyerupai luka bakar, sering disertai infeksi sekunder, antara lain oleh Candida. Ini merupakan defisiensi seng (Zn), dengan pemberian suplemen seng kulitnya akan membaik dengan cepat Tatalaksana : 1. kompres bagian kulit yang terkena dengan larutan KmnO4 (K-permanganat) 1% Tutup mata dengan kasa yang dibasahi larutan garam faali

selama 10 menit 2. beri salep atau krim (Zn dengan minyak kastor) dan gentian violet (atau salep

nistatin) 3. 4. usahakan agar daerah perineum tetap kering umumnya terdapat defisiensi seng (Zn) : beri preparat Zn peroral

2. Parasit/cacing Beri Mebendasol 100 mg oral, 2 kali sehari selama 3 hari, atau preparat antihelmintik lain. 3. Diare melanjut Diobati bila hanya diare berlanjut dan tidak ada perbaikan keadaan umum. Berikan formula bebas/rendah lactosa. Sering kerusakan mukosa usus dan Giardiasis merupakan penyebab lain dari melanjutnya diare. Bila mungkin, lakukan pemeriksaan tinja mikroskopik. Beri : Metronidasol 7.5 mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari. 4. Tuberkulosis

Pada setiap kasus gizi buruk, lakukan tes tuberkulin/Mantoux (seringkali alergi) dan Rofoto toraks. Bila positip atau sangat mungkin TB, diobati sesuai pedoman pengobatan TB. 5. Anemia berat Transfusi darah diperlukan bila : Hb < 4 g/dl Hb 4-6 g/dl disertai distress pernapasan atau tanda gagal jantung

Transfusi darah : Berikan darah segar 10 ml/kgBB dalam 3 jam.

Bila ada tanda gagal jantung, gunakan packed red cells untuk transfusi dengan jumlah yang sama. Beri furosemid 1 mg/kgBB secara i.v pada saat transfusi dimulai. Perhatikan adanya reaksi transfusi (demam, gatal, Hb-uria, syok). Bila pada anak dengan distres napas setelah transfusi Hb tetap < 4 g/dl atau antara 4-6 g/dl, jangan diulangi pemberian darah dalam 4 hari.

d. Tindak Lanjut Pemulihan Status Gizi Tindakan ini dapat dilakukan dengna rawat di rumah oleh orangtua / pengasuh balita didampingi petugas kesehatan dan kader Anak 2T dan atau BGM tanpa perawatan: Diberikan konseling gizi dan MP-ASI / PMT sesuai umur selama 90 hari agar anak tidak jatuh pada kondisi gizi buruk. Diberikan MP-ASI bubur pada bayi usia 6-11 bulan. MP-ASI biskuit diberikan pada anak usia 12-24 bulan. Anak umur 25-59 bulan diberikan PMT. Anak gizi buruk pasca perawatan dan yang tidak mau dirawat: Pendampingan dan konseling gizi

Makanan formula F 100 (F100) atau formula modifikasi selama 30 hari Dilanjutkan pemberian PMT / MP-ASI selama 90 hari. Makanan beraneka ragam, porsi kecil dan sering. Anak disuapi dengan sabar. ASI tetap diberikan hingga usia 2 tahun.

Kriteria Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P): Komposisi energi 350 kKal dan protein 15 gram. Kudapan yang dibuat dari bahan makanan setempat. Bahan makanan mentah berupa tepung beras, susu bubuk, gula, minyak, kacang-kacangan, sayuran, telur, dan lauk pauk lainnya (makanan keluarga). Diberikan tiap hari selama 90 hari

e. Pendampingan Pasca Perawatan Bertujuan meningkatkan status gizi dan mencegah anak jatuh kembali pada kondisi gizi buruk. Tindakannya berupa: Membuat jadwal dan melakukan kunjungan rumah. Memberikan konseling dengan buku nasehat gizi, KMS / buku KIA, formulir pencatatan. Memberikan dan membantu menyiapkan makanan formula 100 / formula modifikasi, MP-ASI dan PMT. Memberikan kapsul vitamin A kepada balita yang belum mendapat kapsul vitamin A. Mendorong keluarga untuk membawa balita ke posyandu secara rutin. Perhatikan penyakit penyerta / penyulit : ISPA, pneumonia, diare persisten, cacingan, tuberkulosis, malaria, HIV/AIDS, defisiensi vitamin A, dermatosis, dan anemia berat. Penatalaksanaan Anak Gizi Buruk di Rumah Kriteria penatalaksanaan dirumah: Anak:

Selera makan sudah bagus, makanan yang diberikan dapat dihabiskan. Kondisi mental anak baik Anak dapat tersenyum, duduk, merangkak, berdiri, atau berjalan sesuai perkembangan umurnya Suhu tubuh berkisar antara 36,5 37,5 oC Tidak muntah atau diare Tidak ada edema Kenaikan berat badan 5 gr/kgBB/hari selama 3 hari berturut-turut atau kenaikan sekitar 50 gr/kg BB/minggu selama 2 minggu berturut-turut Kondisi gizi kurang (BB/TB > - 3 SD) atau tidak ada gejala klinis gizi buruk Ibu / pengasuh:

Ibu mampu merawat serta dapat memberikan makanan dengan benar kepada anak Ibu dapat membuat makanan yang diperlukan untuk tumbuh kejar di rumah Institusi Lapangan/Petugas:

Puskesmas dan Posyandu telah siap menerima rujukan pasca perawatan

Idealnya anak gizi buruk mendapat perawatan yang intensif di rumah sakit. Biasanya pada kasus yang meminta perawatan di rumah karena menolak dirawat, menolak melanjutkan perawatan atau anak telah selesai perawatan di RS (rehabilitasi). Jika keluarga anak gizi buruk memilih perawatan di rumah: Petugas kesehatan harus segera mendatangi keluarga Petugas segera memberikan petunjuk perawatan: Memberi pemahaman pada keluarga mengenai bahaya gizi buruk dancara perawatannya Petugas melakukan supervisi yang ketat Kerjasama lintas sektoral, kader, dan bidan desa

Pemantauan yang ketat harus dilakukan untuk menilai kemajuan atau kemunduran kondisi anak gizi buruk di rumah. Sasaran pemantauan meliputi penderita, keluarga dan petugas kesehatan.

Jadwal Kunjungan Fase stabilisasi : setiap hari (petugas datang ke rumah) Fase transisi : seminggu sekali (petugas datang ke rumah) Fase rehabilitasi : seminggu sekali selama 5 minggu (penderita datang kepuskesmas) Fase tindak lanjut : 2 minggu sekali selama 2 bulan (penderita datang ke puskesmas) minggu sekali selama 3 bulan (penderita datang ke puskesmas) Pengelolaan Anak Gizi Buruk di Rumah Pengobatan terhadap infeksi, tanda bahaya, dan pemberian vitamin, mineral. Antibiotik wajib diberikan pada anak gizi buruk. Anak tampilan baik tanpa ada infeksi berat: Cotrimoksasol 48 mg/kg BB/ hari dibagi 2 dosis; Asam folat diberikan awal 5 mg, selanjutnya 1x1 mg. Zink sulfat sirup 10 mg/cth hanya jika anak diare. Berikan mineral mix dengan dosis untuk resomal (20 cc tiap liter resomal); untuk F75 atau F100 (20cc tiap liter F75/F100); untuk F135 (27 cc tiap liter). Berikan multivitamin yang mengandung antioksidan lengkap. Zat besi dapat diberikan pada fase rehabilitasi. Perawatan Harian di Rumah Cegah hipotermi dan hipoglikemi; menjaga ruangan agar tetap hangat, sedikit angin, bersih, atap tidak bocor, tidak menggunakan kipas angin; memakai baju yang cukup hangat; hindari kontak dengan benda dingin (tidur di lantai, popok yang basah, mandi > 5 menit); sering makan. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat; menjaga kebersihan diri (memandikan dengan air hangat <5 menit, memotong kuku, membersihkan telinga, kulit, kelamin, mata, gigi dan mulut); menjaga kebersihan lingkungan rumah dan sekitar rumah; menjaga kebersihan makanan dan penyajian makanan.

Hal-hal yang harus dipantau antara lain: Adanya tanda bahaya berupa tanda syok, hipoglikemi, hipotermi, dehidrasi. Suhu tubuh; pada fase stabilisasi suhu diukur tiap 2 jam Akseptabilitas makanan; apa ada jadwal pemberian makanan, apakah makanan dibuat dengan benar, apa ada alat ukur penakar volum, pemantauan volume makanan yang masuk, mencari penyebab akseptabilitas rendah. Berat badan dan tinggi badan; kategori peningkatan BB >10 g/kg BB/hari (Baik); 5-10 g/kg BB/hari (sedang), <5 g/kg BB/hari (kurang). Hasil pengukuran diplotkan dalam grafik pemantauan/ KMS Perkembangan anak sesuai umurnya. Prilaku hidup bersih dan sehat Perubahan psikososial dan ekonomi Stimulasi: Berikan stimulasi sensorik dan motorik sesuai umurnya dan berikan dukungan emosional serta kasih sayang bagi anak gizi buruk Edukasi: Merawat dengan benar, Memberi makan dengan benar, Kerjasama anggota keluarga, Perilaku hidup bersih dan sehat, Perbaikan psikososial ekonomi

2.13 PROGNOSIS Penanganan dini pada kasus-kasus kwashiorkor umumnya memberikan hasil yang baik. Penanganan yang terlambat (late stages) mungkin dapat memperbaiki status kesehatan anak secara umum, namun anak dapat mengalami gangguan fisik yang permanen dan gangguan intelektualnya. Kasus-kasus kwashiorkor yang tidak dilakukan penanganan atau penanganannya yang terlambat, akanmemberikan akibta yang fatal. 13 LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudaryati, Sri, Dr. Sp. A (K), Ph,D, dkk. Nutrisi dan penyakit metabolik. Dalam: Pusponegoro, D.Hardiono,dr, dkk, penyunting. 2005. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;. h. 217-222 2. Aritonang, Evawany. Protein Energy Malnutrition. 2004. Medan: Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU 3. World Health Organization. 2009. Buku saku pedoman bagi rumah sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten/ kota. Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen kesehatan RI; h. 194-219 4. Soetjiningsih, Suandi IKG. Gizi untuk tumbuh kembang anak. Dalam: Moersintowarti B. Narendra, dkk, penyunting. 2002. Buku Ajar Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Edisi ke-1. Jakarta: Sagung Seto; h. 22-50 5. Pudjiani. 2000. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta: Penerit FKUI 6. Departemen Kesehatan RI, 1999, Pedoman Tatalaksana KEP pada Anak di Puskesmas dan di Rumah Tangga. Jakarta: Bhakti Husada 7. Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Editor Setiawan. Jakarta: EGC 8. Mochji. 1992. Pemeliharaan Gizi Bayi dan Balita. Jakarta: Penerbit Bharata 9. Sudayana, Putu. 5 Penjelasan Singkat Kasus Balita Gizi Buruk. www.puskel.com. [Di akses: Januari 2010] 10. Anonim..1 juta balita indonesia kekurangan gizi. www.wartapedia.com. [Di akses: Maret 2011] 11. Anonim. Desember 2010. Penanganan gizi buruk di Indonesia. www.wartapedia.com 12. Hidajat, Boerhan, dkk. Kurang Energi dan Protein (KEP). www.Pediactric.com 13. Van Voorhees BW. Kwashiorkor. Avaliable from: www.Pennhealth.com [diakses: 20 November 2007]

Anda mungkin juga menyukai