Anda di halaman 1dari 10

Herakleitos

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari Filsafat Barat Filsafat Kuno

Herakleitos oleh Johannes Moreelse. Nama: Herakleitos Lahir: c. 550 SM, Efesus Meninggal: c. 480 SM, {{{death_place}}} Aliran/tradisi: Tidak termasuk ke dalam aliran filsafat manapun Minat utama: Metafisika, Epistemologi, Etika, Politik Gagasan Logos, segala sesuatu mengalir penting: Parmenides, Plato, Aristoteles, Hegel, Nietzsche, Mempengaruhi: Heidegger, Whitehead, Karl Popper, dan banyak lainnya

Herakleitos adalah seorang filsuf yang tidak tergolong mazhab apapun.[1] Di dalam tulisan-tulisannya,ia justru mengkritik dan mencela para filsuf dan tokoh-tokoh terkenal, seperti Homerus, Arkhilokhos, Hesiodos, Phythagoras, Xenophanes, dan Hekataios.[1][2][3] Meskipun ia berbalik dari ajaran filsafat yang umum pada zamannya, namun bukan berarti ia sama sekali tidak dipengaruhi oleh filsuf-filsuf itu.[1][3] Herakleitos diketahui menulis satu buku, namun telah hilang.[1] Yang tersimpan hingga kini hanya 130 fragmen yang terdiri dari pepatah-pepatah pendek yang seringkali tidak jelas artinya.[1][4] Pemikiran filsafatnya memang tidak mudah dimengerti sehingga ia dijuluki "si gelap" (dalam bahasa Inggris the obscure).[1][2][5]

Daftar isi
[sembunyikan] 1 Riwayat Hidup 2 Pemikiran o 2.1 Segala Sesuatu Mengalir o 2.2 Logos o 2.3 Segala Sesuatu Berlawanan 3 Lihat pula 4 Referensi

5 Pranala Luar

[sunting] Riwayat Hidup

Efesus di Asia Kecil, tempat kelahiran Herakleitos Herakleitos diketahui berasal dari Efesus di Asia Kecil.[1] Ia hidup di sekitar abad ke-5 SM (540-480 SM).[2][3][6] Ia hidup sezaman dengan Pythagoras dan Xenophanes, namun lebih muda usianya dari mereka.[1] Akan tetapi, Herakleitos lebih tua usianya dari Parmenides sebab ia dikritik oleh filsuf tersebut.[1] Selain bahwa ia berasal dari keluarga terhormat di Efesus, tidak ada informasi lain mengenai riwayat hidupnya, sebab kebanyakan adalah cerita fiksi.[3][7] Tidak ada sumber yang menyebutkan bahwa ia pernah meninggalkan kota asalnya, yang pada waktu itu merupakan bagian dari kekaisaran Persia.[7] Jika melihat karya-karya yang ditinggalkannya, tampak bahwa watak Herakleitos sombong dan tinggi hati.[1][3][7][2] Selain mencela filsuf-filsuf di atas, ia juga memandang rendah rakyat yang bodoh dan menegaskan bahwa kebanyakan manusia jahat.[1] Selain itu, ia juga mengutuk warga negara Efesus.[1]

[sunting] Pemikiran
[sunting] Segala Sesuatu Mengalir
"Seseorang tidak bisa dua kali masuk ke sungai yang sama."

Pemikiran Herakleitos yang paling terkenal adalah mengenai perubahan-perubahan di alam semesta.[1][3] Menurut Herakleitos, tidak ada satu pun hal di alam semesta yang bersifat tetap atau permanen.[1][3][6] Tidak ada sesuatu yang betul-betul ada, semuanya berada di dalam proses menjadi.[1] Ia terkenal dengan ucapannya panta rhei kai uden menei yang berarti, "semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap." [1] Perubahan yang tidak ada henti-hentinya itu dibayangkan Herakleitos dengan dua cara:

Pertama, seluruh kenyataan adalah seperti aliran sungai yang mengalir.[1] "Engkau tidak dapat turun dua kali ke sungai yang sama," demikian kata Herakleitos.[6][1][3] Maksudnya di sini, air sungai selalu bergerak sehingga tidak pernah seseorang turun di air sungai yang sama dengan yang sebelumnya.[6][1] Kedua, ia menggambarkan seluruh kenyataan dengan api.[1] Maksud api di sini lain dengan konsep mazhab Miletos yang menjadikan air atau udara sebagai prinsip dasar segala sesuatu.[1] Bagi Herakleitos, api bukanlah zat yang dapat menerangkan perubahan-perubahan segala sesuatu, melainkan melambangkan gerak perubahan itu sendiri.[1] Api senantiasa mengubah apa saja yang dibakarnya menjadi abu dan asap, namun api tetaplah api yang sama.[1] Karena itu, api cocok untuk melambangkan kesatuan dalam perubahan.[1]

[sunting] Logos
Segala sesuatu yang terus berubah di alam semesta dapat berjalan dengan teratur karena adanya logos.[6][2][3] Pandangan tentang logos di sini tidak boleh disamakan begitu saja dengan konsep logos pada mazhab Stoa.[1] Logos adalah rasio yang menjadi hukum yang menguasai segala-galanya dan menggerakkan segala sesuatu, termasuk manusia.[1][3] Logos juga dipahami sebagai sesuatu yang material, namun sekaligus melampaui materi yang biasa.[1] Hal ini disebabkan pada masa itu, belum ada filsuf yang mampu memisahkan antara yang rohani dan yang materi.[1]

[sunting] Segala Sesuatu Berlawanan


Menurut Herakleitos, tiap benda terdiri dari yang berlawanan.[1][6] Meskipun demikian, di dalam perlawanan tetap terdapat kesatuan.[1][6] Singkatnya, dapat dikatakan bahwa 'yang satu adalah banyak dan yang banyak adalah satu.'[1][5] Anaximenes juga memiliki pandangan seperti ini, namun perbedaan dengan Herakleitos adalah Anaximenes mengatakan pertentangan tersebut sebagai ketidakadilan, sedangkan Herakleitos menyatakan bahwa pertentangan yang ada adalah prinsip keadilan.[1] Kita tidak akan bisa mengenal apa itu 'siang' tanpa kita mengetahui apa itu 'malam'.[6][5][1] Kita tidak akan mengetahui apa itu 'kehidupan' tanpa adanya realitas 'kematian'.[6] Kesehatan juga dihargai karena ada penyakit.[1] Demikianlah dari hubungan pertentangan seperti ini, segala sesuatu terjadi dan tersusun.[6] Herakleitos menegaskan prinsip ini di dalam kalimat yang terkenal: "Perang adalah bapak segala sesuatu."[6][1] Perang yang dimaksud di sini adalah pertentangan.[6][1] Melalui ajaran tentang hal-hal yang bertentangan tetapi disatukan oleh logos, Herakleitos disebut sebagai filsuf dialektis yang pertama di dalam sejarah filsafat.[6] () ( 550 480 SM) (perang adalah bapak segalanya) A. Riwayat Hidup Herakleitos (dalam bahasa Latin Heraclitus) dilahirkan di Ephese (kota di pantai Jonia). Kerap kali, dalam sejarah filsafat, dia dimasukkan dalam golongan filsuf Jonia. Akan tetapi, karena ia sudah mengerti pengajaran Xenophanes dan Pythagoras, lebih baik jika ditempatkan sesudah kedua filsuf ini. Jika dibandingkan dengan filsuf-filsuf lainnya dari zaman permulaan itu, Herakleitos tampak lebih ahli dalam pikiran spekulatif. Sesudah memegang jabatan tinggi, dia meninggalkan kedudukannya untuk mengabdikan diri kepada ilmu pengetahuan semata-mata. Sejarah memberi nama Si Gelap ( ) kepadanya. Sebab apakah? Ada yang mengatakan karena pengajarannya gelap; ada juga yang menerangkan bahwa nama itu menunjuk pesimisme yang ada padanya. Pesimisme ini ditimbulkan dari politik pada waktu itu atau akibat pengajarannya tentang kefanaan dunia. Kalau kita membaca fragmen-fragmen dan mendengar kesaksian-kesaksian, timbullah kesan bahwa wataknya tinggi hati dan sombong. Ia memandang rendah rakyat yang bodoh dan menegaskan bahwa kebanyakan manusia jahat. Ia mengutuki para warga negara Ephesos dan mencela orang-orang terkemuka yang dijunjung tinggi di seluruh negeri Yunani, seperti Hoeros, Arkhilokhos, Hesidos, Pythagoras, Xenophanes, dan Hekataios. Demikian juga, ia berbalik dari ajaran filsuf-filsuf sebelumnya dan mencari jalannya sendiri. Tetapi, itu tidak berarti bahwa ia tidak dipengaruhi oleh filsuf-filsuf itu. B. Kesatuan dalam Pertentangan Untuk memaparkan ajaran Herakleitos, kita mulai dengan teori ini. Anaximandros dan

para penganut Pythagoras sudah menunjuk bahwa alam itu penuh dengan pertentanganpertentangan. Herakleitos meneruskan pikiran ini: Jalan naik dan turun adalah satu dan sama, Tuhan adalah siang malam, musim dingin musim panas, perang damai, kepuasan kelaparan Pandangan Herakleitos tidak statis, tetapi dinamis. Yang satu bergerak ke yang lain. Oleh karena itu, yang lain itu sudah termuat sebelumnya. Hidup bergerak ke arah kematian. Tidakkah ini bararti bahwa mati sudah termuat di dalam hidup? Demikianlah juga dengan dingin dan panas. Karena memandang bahwa yang bertentangan itu dimuat di dalam setiap hal, untuk memperlihatkan kesatuan ini, Herakleitos mempergunakan cara-cara berkata yang paradoksal (semu bertentangan): mati itu hidup, peperangan itu perdamaian, dan yang satu lahir dari yang lain. Jadi, hal-hal yang bertentangan itu saling ganti dengan tak ada hentinya. Di dalam alam, sama sekali tidak ada perhentian. Semua terus-menerus mengalir seperti air sungai yanag selalu ganti-mengganti sehingga orang tidak dapat dua kali turun ke dalam sungai yang sama. Dapatkah sesuatu dikatakan ada? tidak, melainkan harus disebut terus-menerus menjadi. Keyakinan bahwa realitas terdiri dari unsur-unsur bertentangan yang keseluruhannya mengalir ibarat arus sungai, membawa Herakleitos juga kepada pendirian: tidak ada satu realitas pun yang dapat dipikirkan tanpa realitas lawannya. Begitu misalnya, kita tidak pernah dapat mengerti apa itu malam kalau tidak tahu apa itu siang. Atau, kita tidak dapat berpikir tentang kehidupan jika tidak mengenal kematian. Dari hubungan berbagai pertentangan inilah, segala sesuatu terjadi dan tersusun. Herakleitos mengungkapkan keyakinan ini dalam suatu kalimat legendaris, Perang adalah bapak segala sesuatu! Perang di sini berarti pertentangan. Panta khorei kai ouden menei ( ): segalanya berubah dan tidak ada yang tetap tinggal . Adanya pertentangan-pertentangan itu dengan sendirinya membangkitkan gambaran bahwa dalam barang-barang itu ada peperangan . C. Logos sebagai Pengatur Peperangan Alam penuh dengan peperangan dari pertentangan-pertentangan yang menyebabkan perubahan-perubahan. Bagaimanakah jalan perubahan-perubahan ini? Tidak dengan serampangan saja, melainkan menurut aturan hukum yang tetap sehingga dalam kejadiankejadian alam itu ada harmoni, kesatuan, dan keseimbangan dari pertentannganpertentangan. Menurut ajaran Pythagoras, harmoni itu bersifat ilmu pasti; menurut Herakleitos merupakan hukum alam yang umum. Hukum ini adalah imanen atau berada di dalam alam. Pikiran semacam ini sudah terdapat dalam ajaran Anaximandros, yang mengakui hukum yang imanen dalam kosmos. Dalam pandangan ini, barang-barang yang banyak itu tidak hanya merupakan kebanyakan, tidak hanya berjejer-jejer dengan berdampingan, melainkan dipersatukan oleh hukum Ilahi yang menjiwai, yang mengatur segala-galanya dan menghukum pelanggaran. Hukum atau norma yang imanen itu disebut logos. Jika Herakleitos sendiri tidak memakai istilah itu, yang terang ialah bahwa dialah yang menanamkan pikiran itu. Logos merupakan sebab imanen dari pola yang jelas terlihat dalam perubahan yang konstan dari segala sesuatu. Heraklitos juga melilhat logos sebagai API alamiah yang menghasilkan terang atau semacam pijaran panas yang memiliki kekuatan alamiah yang mampu menggerakkan sesuatu. Siang dan malam membawa kita pada gagasan tentang perubahan permanen. Namun, sejauh siang dan malam secara eksistensial berhubungan dan saling tergantung, kita akan selalu dibawa kepada ide tentang kesatuan dalam pluralitas. Herakleitos melihat bahwa logos merupakan budi ilahi yang menjadi dasar eksistensi tiap benda pertikular dalam universum. D. Pertentangan dalam Hidup Sehari-Hari Bagaimanakah yang disebut dengan pertentangan adalah keadilan (DK B 80)? Bagaimana kita bisa memahaminya dalam hidup kita? Mari kita perhatikan fragmen berikut: DK B 111, ( , , ). Keadaan sakitlah yang membuat keadaan sehat menyenangkan dan baik; kelaparan, kelimpahan; keletihan, ketenangan. Herakleitos di sini menyajikan tiga pasang keadaan. Yang pertama memiliki penilaian negatif dan yang kedua memiliki penilaian positif. Seperti kebanyakan fragmen, hal ini dapat dihubungkan dengan berbagai aspek dari pemikiran Herakleitos. Pertama, hal ini

mengindikasikan keterbatasan-keterbatasan cara konvensional mempertimbangkan sesuatu hal. Dalam kasus masing-masing pasang keadaan, orang hanya ingin kondisi yang terakhir, tetapi hal ini mustahil. Tidak akan ada kegembiraan atas rasa sehat jika tidak didahului sakit fisik. Seseorang tidak dapat menikmati nikmatnya makanan yang enak, tanpa lapar sebelumnya. Seseorang tidak dapat menikmati waktu istirahat tanpa sedang beristirahat dari beberapa aktivitas. Seseorang mungkin hanya berharap akan kesehatan, kepuasan, dan istirahat, tetapi yang berlawanan sebisa mungkin dihindari. Sebagai seorang pelajar, tidak akan muncul realitas kegembiraan karena mendapat nilai yang baik kalau sebelumnya tidak ada penderitaan karena belajar keras. Maka, bijaklah peribahasa kita ini: Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Ada ungkapan yang bisa sedikit membantu kita memahami pertentangan itu suatu keadilan, terbentur-bentur terbentuk. Bukankah kalau ada tantangan dalam kesulitan hidup, kita semakin diajak untuk terus mengembangkan diri, membentuk diri. Dalam ketegangan antara yang bertentangan itulah realitas muncul. Pertentangan yang dimaksud bolehlah kita sebut sebagai perjuangan untuk hidup yang lebih baik. Dan, pertentangan menjadi adil jika Rossi vs Lorenzo, Rafael Nadal vs Roger Fereder, MU vs Barcelona, dsb. Tentu, di antara keduanya tidak akan saling meremehkan dan kemenangan akan terasa jauh lebih bermakna jika menghadapi musuh yang sederajat dan seimbang. Bibliografi _____, http://philoctetes.free.fr/heraclitus.htm (diunduh 18 September, 2009). A. Long , A. Heraclitus, dalam Routledge Encyclopedia of Philosiphy, ed. Edward Craig, London: Routledge, 1998. hal. 366. Beoang, Konrad Kebung. Plato: Jalan menuju Pengetahuan yang Benar. Yogyakarta: Kanisius, 1997. Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1999. Driyarkara, SJ, Permulaan Filsafat Yunani, dalam Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. A. Sudiarja, et. Al. (penyunting), (Jakarta: 2006), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006. Goldin, Owen. Heraclitean Satiety and Aristotelian Actuality, dalam The Monist: An International Quartery Journal of General Philosophical Inquiry, Vol. 74, La Salle, Illinois, 1991. hal. 568-576. Tjahjadi, Simon Petrus L., Petualangan Intelektual: Konfrontasi Dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern, Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Teorema Pythagoras
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari

Animasi pembuktian teorema ini

Dalam matematika, teorema Pythagoras adalah suatu keterkaitan dalam geometri Euklides antara tiga sisi sebuah segitiga siku-siku. Teorema ini dinamakan menurut nama filsuf dan matematikawan Yunani abad ke-6 SM, Pythagoras. Pythagoras sering dianggap sebagai penemu teorema ini meskipun sebenarnya fakta-fakta teorema ini sudah diketahui oleh matematikawan India (dalam Sulbasutra Baudhayana dan Katyayana), Yunani, Tionghoa dan Babilonia jauh sebelum Pythagoras lahir. Pythagoras mendapat kredit karena ialah yang pertama membuktikan kebenaran universal dari teorema ini melalui pembuktian matematis.[1] Ada dua bukti kontemporer yang bisa dianggap sebagai catatan tertua mengenai teorema Pythagoras: satu dapat ditemukan dalam Chou Pei Suan Ching (sekitar 500-200 SM), satunya lagi dalam buku Elemen Euklides.

Daftar isi
[sembunyikan] 1 Teorema o 1.1 Bukti menggunakan segitiga sama 2 Lihat pula 3 Catatan kaki

4 Pranala luar

[sunting] Teorema
Teorema Pythagoras menyatakan bahwa: Jumlah luas bujur sangkar pada kaki sebuah segitiga siku-siku sama dengan luas bujur sangkar di hipotenus. Sebuah segitiga siku-siku adalah segitiga yang mempunyai sebuah sudut siku-siku; kakinya adalah dua sisi yang membentuk sudut siku-siku tersebut, dan hipotenus adalah sisi ketiga yang berhadapan dengan sudut siku-siku tersebut. Pada gambar di bawah ini, a dan b adalah kaki segitiga siku-siku dan c adalah hipotenus:

Pythagoras menyatakan teorema ini dalam gaya goemetris, sebagai pernyataan tentang luas bujur sangkar: Jumlah luas bujur sangkar biru dan merah sama dengan luas bujur sangkar ungu. Akan halnya, Sulbasutra India juga menyatakan bahwa:

Tali yang direntangkan sepanjang panjang diagonal sebuah persegi panjang akan menghasilkan luas yang dihasilkan sisi vertikal dan horisontalnya. Menggunakan aljabar, kita dapat mengformulasikan ulang teorema tersebut ke dalam pernyataan modern dengan mengambil catatan bahwa luas sebuah bujur sangkar adalah pangkat dua dari panjang sisinya: Jika sebuah segitiga siku-siku mempunyai kaki dengan panjang a dan b dan hipotenus dengan panjang c, maka a2 + b2 = c2.

[sunting] Bukti menggunakan segitiga sama

Dari gambar

. Dan dengan mengganti persamaan (1) dan (2):

Mengalikan untuk c:

Teorema pythagoras boleh dibilang adalah teorema paling terkenal di matematika, kalo gak salah kita sudah mempelajari theorema tersebut sejak SMP (cmiiw). Pada tahun 572 sebelum masehi Pythagoras berkata bahwa jumlah kuadrat kedua sisi siku-siku pada segitiga siku-siku sama dengan panjang kuadrat sisi miringnya. Konon 1000 tahun sebelum Pytagiras lahir bangsa babylonia telah menyadari hubungan antara sisi siku-siku dengan sisi miringnya pada segitiga siku-siku, tapi pythagoraslah yang pertamakali menyatakan hubungan tersebut dalam persamaan matematika. Sebenarnya ada 79 cara untuk membuktikan teorema pytagoras. Tapi saya akan menggunakan cara pembuktian yang paling terkenal, pembuktian oleh astronom India Bhaskara (1114-1185).

Langkah pertama buat 4 buah segitiga siku-siku yang sama

Demokritos
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari Filsafat Barat Filsafat pra-sokratik

Democritus Nama: Democritus Lahir: ca. 460 BC, Abdera Meninggal: ca. 370 BC (Aged 90), Aliran/tradisi: Mazhab Atomisme Minat utama: metafisika / matematika / astronomi Gagasan penting: atomisme Dipengaruhi: Leukippos, Anaxagoras Mempengaruhi: Epikuros, Pyrrho, Lukretios, Santayana, Aristoteles

Demokritos adalah seorang filsuf yang termasuk di dalam Mazhab Atomisme.[1] Ia adalah murid dari Leukippos, pendiri mazhab tersebut.[2][3] Demokritos mengembangkan pemikiran tentang atom sehingga justru pemikiran Demokritos yang lebih dikenal di dalam sejarah filsafat.[3] Selain sebagai filsuf, Demokritos juga dikenal menguasai banyak keahlian.[3] Sayangnya, karya-karya Demokritos tidak ada yang tersimpan.[4] Demokritos menulis tentang ilmu alam, astronomi, matematika, sastra, epistemologi, dan etika.[3] Ada sekitar 300 kutipan tentang pemikiran Demokritos di dalam sumber-sumber kuno.[4][3] Sebagian besar kutipan-kutipan tersebut berisi tentang etika.[4]

Daftar isi
[sembunyikan] 1 Riwayat Hidup 2 Pemikiran o 2.1 Tentang Atom o 2.2 Tentang Dunia o 2.3 Tentang Manusia o 2.4 Tentang Pengenalan o 2.5 Etika

3 Karya-karya 4 Referensi 5 Lihat pula 6 Pranala Luar

[sunting] Riwayat Hidup


Demokritos lahir di kota Abdera, Yunani Utara.[3][5] Ia hidup sekitar tahun 460 SM hingga 370 SM.[3][2] Ia berasal dari keluarga kaya raya.[3] Pada waktu ia masih muda, ia menggunakan warisannya untuk pergi ke Mesir dan negeri-negeri Timur lainnya.[3] Selain menjadi murid Leukippos, Ia juga belajar kepada Anaxagoras dan Philolaos.[5] Hanya sedikit yang dapat diketahui dari riwayat hidup Demokritos.[4] Banyak data tentang kehidupannya telah tercampur dengan legenda-legenda yang kebenarannya sulit dipercaya.[3] Meskipun ia hidup sezaman dengan Sokrates, bahkan usianya lebih muda, namun Demokritos tetap digolongkan sebagai filsuf pra-sokratik.[3] Hal ini dikarenakan ia melanjutkan dan mengembangkan ajaran atomisme dari Leukippos yang merupakan filsuf pra-sokratik.[3][4] Ajaran Leukippos dan Demokritos bahkan hampir tidak dapat dipisahkan.[3] Selain itu, filsafat Demokritos tidak dikenal di Athena untuk waktu yang cukup lama.[3] Misalnya saja, Plato tidak mengetahui apa-apa tentang Atomisme.[3][5] Baru Aristoteles yang kemudian menaruh perhatian besar terhadap pandangan atomisme.[3][5]

[sunting] Pemikiran
[sunting] Tentang Atom
Demokritos dan gurunya, Leukippos, berpendapat bahwa atom adalah unsur-unsur yang membentuk realitas.[1][3] Di sini, mereka setuju dengan ajaran pluralisme Empedokles dan Anaxagoras bahwa realitas terdiri dari banyak unsur, bukan satu.[3] Akan tetapi, bertentangan dengan Empedokles dan Anaxagoras, Demokritos menganggap bahwa unsur-unsur tersebut tidak dapat dibagi-bagi lagi.[3] Karena itulah, unsur-unsur tersebut diberi nama atom (bahasa Yunani atomos: a berarti "tidak" dan tomos berarti "terbagi")[3]
[1]

Atom-atom tersebut merupakan unsur-unsur terkecil yang membentuk realitas.[1] Ukurannya begitu kecil sehingga mata manusia tidak dapat melihatnya.[3][1][2] Selain itu, atom juga tidak memiliki kualitas, seperti panas atau manis.[1][3] Hal itu pula yang membedakan dengan konsep zat-zat Empedokles dan benih-benih dari Anaxagoras.[3][1] Atom-atom tersebut berbeda satu dengan yang lainnya melalui tiga hal: bentuknya(seperti huruf A berbeda dengan huruf N), urutannya (seperti AN berbeda dengan NA), dan posisinya (huruf A berbeda dengan Z dalam urutan abjad).[3] Dengan demikian, atom memiliki kuantitas belaka, termasuk juga massa.[1] Jumlah atom yang membentuk realitas ini tidak berhingga.[3] Selain itu, atom juga dipandang sebagai tidak dijadikan, tidak dapat dimusnahkan, dan tidak berubah.[3] Yang terjadi pada atom adalah gerak.[3][1] Karena itu, Demokritus menyatakan bahwa "prinsip dasar alam semesta adalah atom-atom dan kekosongan".[1] Jika ada ruang kosong, maka atom-atom itu dapat bergerak.[1] Demokritus membandingkan gerak atom dengan situasi ketika sinar matahari memasuki kamar yang gelap gulita melalui retak-retak jendela.[3] Di situ akan terlihat bagaimana debu bergerak ke semua jurusan, walaupun tidak ada angin yang menyebabkannya bergerak.[3] Dengan demikian, tidak diperlukan prinsip lain untuk membuat atom-atom itu bergerak, seperti

prinsip "cinta" dan "benci" menurut Empedokles.[3] Adanya ruang kosong sudah cukup membuat atom-atom itu bergerak.[3]

[sunting] Tentang Dunia


Dunia dan seluruh realitas tercipta karena atom-atom yang berbeda bentuk saling mengait satu sama lain.[3] Atom-atom yang berkaitan itu kemudian mulai bergerak berputar, dan makin lama makin banyak atom yang ikut ambil bagian dari gerak tersebut.[3] Kumpulan atom yang lebih besar tinggal di pusat gerak tersebut sedangkan kumpulan atom yang lebih halus dilontarkan ke ujungnya.[3] Demikianlah dunia terbentuk.[3]

[sunting] Tentang Manusia


Tentang manusia, Demokritos berpandangan bahwa manusia juga terdiri dari atom-atom. [1] Jiwa manusia digambarkan sebagai atom-atom halus.[1] Atom-atom ini digerakkan oleh gambaran-gambaran kecil atas suatu benda yang disebut eidola.[1] Dengan demikian muncul kesan-kesan indrawi atas benda-benda tersebut.[1]

[sunting] Tentang Pengenalan


Sebelumnya telah dikatakan bahwa setiap benda, yang tersusun atas atom-atom, mengeluarkan gambaran-gambaran kecil yang disebut eidola.[1][3] Gambaran-gambaran inilah yang masuk ke panca indra manusia dan disalurkan ke jiwa.[1][3] Manusia dapat melihat karena gambaran-gambaran kecil tersebut bersentuhan dengan atom-atom jiwa.[1] [3] Proses semacam ini berlaku bagi semua jenis pengenalan indrawi lainnya.[1][3] Lalu bagaimana dengan kualitas yang diterima oleh indra manusia, seperti pahit, manis, warna, dan sebagainya?[3] Menurut Demokritos atom-atom tersebut tidak memiliki kualitas, jadi darimana kualitas-kualitas seperti itu dirasakan oleh manusia?[3] Menurut Demokritos, kualitas-kualitas seperti itu dihasilkan adanya kontak antara atom-atom tertentu dengan yang lain.[3] Misalnya saja, manusia merasakan manis karena atom jiwa bersentuhan dengan atom-atom yang licin.[3] Kemudian manusia merasakan pahit bila jiwa bersentuhan dengan atom-atom yang kasar.[3] Rasa panas didapatkan karena jiwa bersentuhan dengan atom-atom yang bergerak dengan kecepatan tinggi.[3] Dengan demikian, Demokritos menyimpulkan bahwa kualitas-kualitas itu hanya dirasakan oleh subyek dan bukan keadaan benda yang sebenarnya.[1] Karena itulah, Demokritos menyatakan bahwa manusia tidak dapat mengenali hakikat sejati suatu benda.[1] Yang dapat diamati hanyalah gejala atau penampakan benda tersebut.[1] Demokritos mengatakan: "Tentunya akan menjadi jelas, ada satu masalah yang tidak dapat dipecahkan, yakni bagaimana keadaan setiap benda dalam kenyataan yang sesungguhnya...Sesungguhnya, kita sama sekali tidak tahu sebab kebenaran terletak di dasar jurang yang dalam."[1]

[sunting] Etika
Menurut Demokritos, nilai tertinggi di dalam hidup manusia adalah keadaan batin yang sempurna (euthymia).[3][1] Hal itu dapat dicapai bila manusia menyeimbangkan semua faktor di dalam kehidupan: kesenangan dan kesusahan, kenikmatan dan pantangan.[3][1] Yang bertugas mengusahakan keseimbangan ini adalah rasio.[1]

[sunting] Karya-karya

Anda mungkin juga menyukai