Anda di halaman 1dari 35

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Saliva merupakan salah satu komponen penting dalam rongga mulut. Saliva berperan dalam melindungi jaringan di dalam rongga mulut dengan cara pembersihan secara mekanis untuk mengurangi akumulasi plak, lubrikasi elemen gigi-geligi, pengaruh buffer, agreasi bakteri yang dapat menghambat kolonisasi mikroorganisme, aktivitas antibakterial, perncernaan, retensi kelembaban, dan pembersihan makanan. Oleh karena itu, saliva sangat mempengaruhi kesehatan rongga mulut seseorang.1 Agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik, saliva perlu dihasilkan dalam rongga mulut dalam jumlah yang cukup. Umumnya sekresi saliva yang normal adalah 800-1500 ml/hari, Banyaknya saliva yang disekresikan di dalam mulut dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti rangsangan olfaktorius, melihat dan memikirkan makanan, rangsangan mekanis, kimiawi, neuronal, rasa sakit, dan konsumsi obat-obatan tertentu. Selain itu, keadaan stres, depresi, dan cemas juga dapat mempengaruhi sekresi saliva.1,2,3,4 Telah dilakukan beberapa penelitian sebelumnya yang mengkaji mengenai saliva, stres, depresi, dan kecemasan. Seperti dalam penelitian Little Mahendra dkk, 2011, dilaporkan bahwa stres kerja dapat menjadi faktor yang memperburuk

penyakit periodontal. Dalam penelitian lain, Bezerra Junior dkk, 2010, menunjukkan bahwa periodontitis kronis mempengaruhi komposisi dari saliva. Adapun penelitian yang mengemukakan bahwa depresi dan kecemasan dapat meningkatkan angka kematian (mortalitas) seperti penelitian yang telah dilakukan Mykletun dkk, 2007, Schoevers, Beekman, Tilburg, 2000.5,6,7,8 Sekolah kedokteran gigi diketahui sebagai lingkungan pembelajaran yang meminta tuntutan yang tinggi dan penuh dengan tekanan jiwa (stresful). Kurikulum saat ini menghendaki mahasiswa kedokteran gigi untuk mencapai bermacam-macam kecakapan/keahlian, termasuk kemahiran dalam pengetahuan teori, kompetensi klinik, dan keterampilan dalam berhubungan dengan orang-orang (interpersonal skill). Telah banyak penelitian yang dilakukan di berbagai sekolah kedokteran gigi di seluruh dunia dan kebanyakan dari penelitian ini menunjukkan peningkatan yang signifikan dari stres di antara mahasiswa kedokteran gigi.9,10 Dalam beberapa penelitian sebelumnya ditemukan bahwa tingkat stres pada mahasiswa kedokteran gigi cukup tinggi. Ada pula penelitian yang menemukan bahwa tingkat stres lebih tinggi pada mahasiswa klinik daripada mahasiswa preklinik. Dalam penelitian Alzahem dkk, 2010, ditemukan bahwa sumber stres pada mahasiswa kedokteran gigi berhubungan dengan ujian, kebutuhan dan syarat klinik, dan dental supervisor. Pada penelitian Polychronopoulou dan Divaris, 2005, mengemukakan bahwa sumber stres pada mahasiswa kedokteran gigi berasal dari banyaknya kuliah, ujian dan peringkat, kurangnya kepercayaan diri akan menjadi dokter gigi yang sukses, melengkapi syarat kelulusan, kurangnya waktu untuk mengerjakan tugas sekolah, dan kurangnya waktu santai.9,10

Setelah melihat fakta-fakta seperti yang telah tertulis di atas, timbul dalam benak penulis pertanyaan-pertanyaan, antara lain benarkah stres, depresi, dan kecemasan dapat mempengaruhi sekresi saliva dan apakah tingkat keparahan dari ketiga hal tersebut berpengaruh terhadap volume saliva. Oleh karena itulah peneliti kemudian tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai hal-hal tersebut. Secara keseluruhan penelitian ini penting dan perlu dilakukan sebab dengan melakukan penelitian ini, artinya dapat diketahui pengaruh stres, depresi, dan kecemasan dengan volume saliva dan dengan mengetahui pengaruh stres, depresi, dan kecemasan dengan volume saliva artinya dapat dilakukan pencegahan sebelum terjadi penyakit yang lebih serius, baik dari segi pencegahan terhadap penyakit di dalam rongga mulut, maupun pencegahan terhadap risiko dari faktor psikologis secara keseluruhan seperti kesehatan fisik, mental, dsb. Berdasarkan alasan-alasan tersebut penulis kemudian mengangkat sebuah penelitian dengan judul Pengaruh Stres, Depresi, Dan Kecemasan Terhadap Volume Saliva Pada Mahasiswa Preklinik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin.

1.2

PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, diajukan permasalahan sebagai

berikut: 1. Apakah ada pengaruh stres terhadap volume saliva pada mahasiswa preklinik fakultas kedokteran gigi Universitas Hasanuddin (tahun 2012)? 2. Apakah ada pengaruh depresi terhadap volume saliva pada mahasiswa preklinik fakultas kedokteran gigi Universitas Hasanuddin (tahun 2012)?

3.

Apakah ada pengaruh kecemasan terhadap volume saliva pada mahasiswa preklinik fakultas kedokteran gigi Universitas Hasanuddin (tahun 2012)?

1.3

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan Umum Untuk mengetahui pengaruh stres, depresi, dan kecemasan terhadap volume saliva pada mahasiswa preklinik fakultas kedokteran gigi Universitas Hasanuddin.

1.1.2

Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui pengaruh stres terhadap volume saliva pada mahasiswa preklinik fakultas kedokteran gigi Universitas Hasanuddin. 2. Untuk mengetahui pengaruh depresi terhadap volume saliva pada mahasiswa preklinik fakultas kedokteran gigi Universitas Hasanuddin. 3. Untuk mengetahui pengaruh kecemasan terhadap volume saliva pada mahasiswa preklinik fakultas kedokteran gigi Universitas Hasanuddin.

1.4

MANFAAT PENELITIAN

1.

Dapat menambah wawasan, pengetahuan, dan pengalaman peneliti saat melakukan penelitian ini.

2.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai stres, depresi, dan kecemasan dan hubungannya dengan volume saliva pada mahasiswa preklinik fakultas kedokteran gigi Universitas Hasanuddin.

3.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah kepada mahasiswa sehingga mahasiswa dapat melakukan upaya pencegahan terhadap terjadinya penyakit yang lebih serius.

4.

Penelitian ini diharapkan pula dapat menjadi salah satu acuan untuk penelitianpenelitian selanjutnya.

1.5

HIPOTESIS PENELITIAN

1.

Ada pengaruh stres terhadap volume saliva pada mahasiswa preklinik fakultas kedokteran gigi Universitas Hasanuddin.

2.

Ada pengaruh depresi terhadap volume saliva pada mahasiswa preklinik fakultas kedokteran gigi Universitas Hasanuddin.

3.

Ada pengaruh kecemasan terhadap volume saliva pada mahasiswa preklinik fakultas kedokteran gigi Universitas Hasanuddin.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 SALIVA

Saliva merupakan unsur pelindung di dalam rongga mulut yang bekerja dengan cara membasahi dan melapisi permukaan gigi dan mukosa mulut, serta mempertahankan kapasitas buffer di rongga mulut. Hal ini dipengaruhi oleh sekresi saliva, volume saliva, dan pH saliva. Jika sekresi saliva meningkat, maka volume saliva akan meningkat pula, disertai meningkatnya pH, sehingga fungsi perlindungan di dalam rongga mulut pun akan meningkat.11 Fungsi saliva di dalam rongga mulut adalah sebagai berikut:1,2,3,12,13,14,15,16,17 1. Memberikan efek self cleansing dan sebagai lubrikasi pada permukaan mukosa mulut. 2. Sebagai buffer yang dapat menahan turunnya pH atau meningkatnya keasaman mulut. 3. Berfungsi dalam proses pengunyahan dan penelanan makanan. 4. Berfungsi dalam proses bicara. 5. Sebagai pelindung dalam melawan karies 6. Membantu menjaga integritas gigi (demineralisasi dan remineralisasi email) dengan adanya kandungan kalsium dan fosfat. 7. Melakukan aktivitas anti-bakteri dan anti-virus karena mengandung antibody spesifik (sIgA), lysozyme, lactoferrin, dan laktoperoksidase.

8. Membantu perbaikan jaringan. 9. Membantu proses pencernaan karbohidrat melalui aksi dari enzim amylase. 10. Melarutkan makanan untuk membantu fungsi dari taste bud (indera pengecap). 11. Melindungi gigi dari erosi, abrasi, dan atrisi. Saliva dihasilkan oleh kelenjar mayor dan kelenjar minor. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenainya dapat dilihat pada tabel II.1. Tabel II.1 Karakteristik morfologi dan biomekanik dari kelenjar saliva
Kelenjar Saliva Kelenjar saliva mayor Kelenjar parotis Serous Encer, kaya amilase IX Acinelar cell type Karakteristik Cairan Inervasi*

Campur, sebagian besar Kelenjar submandibularis mucous Kental, kaya mucin VII

Campur, sebagian besar Kelenjar sublingualis mucous Kelenjar saliva minor Palatinal Bukal Labial Lingual (kelenjar von Ebner) Retromolar Mucous Seromucous Seromucous Serous Sebagian besar mucous Kaya mucin Kaya mucin Kaya mucin Encer, cairan kaya lipase Kaya mucin VII VII VII IX VII/IX Kental, kaya mucin VII

*Suplai nervus Parasympathetic. Suplai nervus sympathetic berasal dari superior cervical ganglion.

Sumber: Miles T. S, Nauntofte B, Svensson P. Clinical Oral Physiology. Copenhagen: Quintecssence Publishing Co. Ltd; 2004. p 18. Sekresi saliva normal adalah 800-1500 ml/hari. Pada orang dewasa kecepatan sekresi saliva normal saat stimulasi adalah 1-2 ml/menit, sedangkan pada saat tidak terstimulasi sekitar 0,32 ml/menit. Volume saliva dipengaruhi oleh berbagai hal,

salah satunya adalah umur. Perubahan umur dapat berpengaruh terhadap penurunan produksi saliva karena terjadi penurunan fungsi glandula parenkim saliva. Beers dan Berkow mengemukakan bahwa pada orang lanjut usia morfologi kelenjar saliva mengalami perubahan, dengan akibat penurunan produksi saliva. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hidayani dan Handajani, 2007, yang membandingkan efek merokok terhadap status pH dan volume saliva pada laki-laki usia dewasa dan usia lanjut ditemukan bahwa pada usia lanjut volume saliva yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkat pada usia dewasa. Hal ini diperkuat pula oleh penelitian yang dilakukan Palomares dkk., yang menyatakan bahwa kecepatan sekresi saliva pada orang sehat tergantung pada usia dan jenis kelamin.2 Volume saliva dipengaruhi pula oleh hormon. Hal ini dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan Joenes, Fatma, Gulton, dan Djamal, 2007, yang mendapati bahwa terjadi penurunan sekresi saliva pada wanita sesudah menopause. Dilaporkan pula bahwa sebagian besar kelompok wanita menopause (20-90%) mengalami mulut kering (xerostomia) yang disebabkan berkurangnya kualitas saliva akibat menurunnya kadar estrogen dalam darah. Namun perbedaan pada kedua kelompok pada penelitian tersebut tidak bermakna. Akan tetapi pada penelitian yang dilakukan Streckfus dkk., ditemukan hasil yang sama dengan penelitian Joenes dkk, namun perbedaannya bermakna.18 Selain itu, volume saliva dipengaruhi pula oleh beberapa benda yang kita konsumsi seperti rokok, minuman beralkohol, dan obat-obatan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hidayani dan Handajani, 2007, ditemukan bahwa volume saliva pada kelompok perokok lebih rendah dibandingkan kelompok bukan

perokok, walau perbedaannya tidak bermakna. Berdasarkan penelitian oleh Rahayu dan Handajani, dilaporkan bahwa konsumsi minuman beralkohol dapat menurunkan derajat keasaman dan volume saliva. Tjay dan Rahardja juga berpendapat bahwa alcohol diduga menyebabkan terjadinya penurunan sekresi kelenjar pencernaan termasuk kelenjar saliva, karena efeknya menekan susunan saraf pusat baik saraf simpatis maupun parasimpatis. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Sauer dkk., bahwa zat yang mempunyai efek hipnotik sedative dapat mengganggu neurotransmitter pada glandula saliva sehingga dapat memperlambat sekresi saliva yang selanjutnya berdampak pada pH saliva. Berdasarkan penelitian oleh Handajani, Puspita, dan Amelia, 2007, dilaporkan bahwa pemakaian kontrasepsi pil dan suntik dapat menurunkan pH dan volume saliva. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Anggreani dkk., dikemukakan bahwa penggunaan baking soda dapat meningkatkan volume saliva.1,11,12 Selain semua hal yang telah disebutkan, volume saliva dipengaruhi pula oleh stres dan kondisi psikis. Haskell dan Goyfard mengemukakan bahwa gangguan emosional seperti stres, putus asa, dan rasa takut dapat menyebabkan mulut kering. Rasa cemas dan depresi juga dapat menyebabkan penurunan aliran saliva dan xerostomia. Kondisi stres akut juga menyebabkan perubahan signifikan pada saliva seperti penurunan pada pengeluaran IgA dan peningkatan amylase pada saliva. Hal ini disebabkan oleh keadaan emosional dari sistem saraf outonom dan menghalangi sistem saraf simpatis dalam sekresi saliva. Yunus, 2008, juga mengemukakan bahwa terapi radiasi penderita kanker kepala dan leher dapat menurunkan volume saliva.

Namun hal ini juga mungkin dapat dihubungkan dengan kondisi emosional pasien itu sendiri.12,15,19

2.2

STRES

Stres merupakan bagan kunci dalam suatu penelitian mengenai kesehatan. Stres pada dasarnya dipusatkan pada dua komponen utama dari stres, yaitu stresor yang diartikan sebagai kondisi lingkungan dan reaksi seseorang terhadap stres. Sebuah penelitian empiris berdasarkan pada teknik model persamaan struktur menemukan bahwa pengalaman stres paling diwakili dengan baik oleh dua faktor gagasan dari stres. Faktor pertama adalah kondisi lingkungan dan faktor kedua adalah kombinasi dari penaksiran stres dan respon emosional.20 Terdapat banyak definisi mengenai stres. Stres dapat didefinisikan sebagai suatu fenomena dari lingkungan luar rangsangan sakit, kebisingan, percekcokan dengan orang lain dalam hal ini, stres dianggap sebagai variable independent. Stres juga dapat dianggap sebagai respon seseorang menimbulkan perasaan simpatik, pelepasan dari catecalamines atau cortisol, kecemasan (anxiety), amarah, terhadap orang lain dalam hal ini stres bertindak sebagai variable dependent. Selain itu Sandin, 1999, mengungkapkan stres juga dapat dilihat sebagai suatu interaksi (transaksi) antara inidividu dan lingkungan sebuah proses.21

2.2.1 Sumber Stres Berdasarkan penelitian oleh Siegel dan Lane, 1982, mengungkapkan banyak dari remaja bahkan tidak puas dengan penampilan fisik mereka. Wang dan Ko, 1999, mengemukakan bahwa perempuan lebih mudah merasa kecewa daripada laki-laki,

10

sebagian besar karena mereka khawatir terhadap penampilan fisik mereka. Berdasarkan penelitian Lan, 2003, mengungkapkan bahwa gejala fisiologis seperti sakit kepala merupakan tanda dari mental overload (membebani mental sampai melampaui batas). Tanda-tanda lain seperti keletihan, depresi, kecemasan (anxiety), ketidakpuasan terhadap diri sendiri, perubahan dalam kebiasaan tidur, dan penaikan/penurunan berat badan yang drastic. Feng, 1992, juga menjelaskan bahwa penetapan cita-cita (hasil akhir) yang tinggi, menjadi perfeksionis, dan

membandingkan diri sendiri dengan orang lain, dan degradasi diri akan menyebabkan terjadinya stres dan berakhirkan depresi.22 Berdasarkan penelitian Liu dan Chen, 1997, keluarga dengan konflik yang terus menerus dikarakteristikkan dengan komunikasi yang buruk antara orang tua dengan anak dan kurangnya dalamnya perngertian terhadap harapan masing-masing. Orang tua yang totaliter jarang menunjukkan perhatian mereka pada anak-anaknya. Liu dan Chen, 1997, juga mengungkapkan bahwa kendali atau hukuman yang orang tua bebankan hanya akan menambah stres psikologis pada anak mereka.22 Chiang, 1995, mengemukakan bahwa sekolah adalah salah satu dari sumber utama stres bagi remaja. Stres bisa berasal dari tugas yang terlalu banyak, ketidakpuasan terhadap prestasi sekolah, persiapan sebelum ujian, kurangnya ketertarikan terhadap suatu mata pelajaran tertentu, dan hukuman dari guru. Biasanya, orang tua sangat khawatir dengan prestasi dan kelakuan moral dari anak mereka. Liu dan Chen, 1997, mengungkapkan bahwa orang tua berharap anak mereka tidak hanya hormat pada guru mereka dan mengikuti norma-norma moral, tetapi juga menjadi orang-orang terkemuka di masa depan. Berdasarkan penelitian

11

Cheng, 1999, stres yang berasal dari harapan guru, orang tua, dan diri sendiri yang tinggi biasanya menjadi penderitaan yang mendalam bagi siswa yang belajar di sekolah.22 Kebanyakan remaja terburu-buru dalam membangun hubungan dengan lawan jenis. Berdasarkan penelitian Wang dan Ko, 1999, mengungkapkan bahwa

bagaimanapun juga, membangun hubungan heteroseksual merupakan tantangan dan juga stresor bagi remaja. Selain itu faktor sosial juga berpengaruh. Berdasarkan penelitian Feng, 1992, stres timbul bukan hanya pada lingkungan yang rumit dan kompetitif, tetapi juga pada lingkungan yang monoton dan kurang stimuli.22 2.2.2 Stres Pada Mahasiswa Kedokteran Gigi Dalam beberapa penelitian sebelumnya ditemukan bahwa tingkat stres pada mahasiswa kedokteran gigi cukup tinggi. Berdasarkan penelitian Khalid, 2000, prevalensi stres pada dokter gigi di Malaysia sebesar 89,7%. Berdasarkan penelitian Peker dkk, 2009, dan Polychronopoulou dan Divaris, 2010, tingkat stres yang tinggi pada dokter gigi dimulai sejak sekolah di kedokteran gigi dan memiliki manifestasi yang berbeda tergantung lama pembelajarannya. Berdasarkan penelitian Gotter dkk, 2008, Schmitter dkk, 2008, dan Murphy dkk, 2009, menunjukkan bahwa tingkat stres pada mahasiswa kedokteran gigi lebih tinggi dibandingkan mahasiswa kedokteran. Ada pula penelitian yang menemukan bahwa tingkat stres lebih tinggi pada mahasiswa klinik daripada mahasiswa preklinik. Berdasarkan penelitian

Polychronopoulou dan Divaris, 2005, mengemukakan bahwa sumber stres pada mahasiswa kedokteran gigi berasal dari banyaknya kuliah, ujian dan peringkat, kurangnya kepercayaan diri akan menjadi dokter gigi yang sukses, melengkapi syarat

12

kelulusan, kurangnya waktu untuk mengerjakan tugas sekolah, dan kurangnya waktu santai. Berdasarkan penelitian Alzahem dkk., 2010, mengungkapkan bahwa sumber stres pada mahasisiwa kedokteran gigi berasal dari lima faktor, antara lain faktor lingkungan hidup, faktor personal, faktor lingkungan pembelajaran, faktor akademik, dan faktor klinik.9,10,23

2.3

DEPRESI

Depresi merupakan masalah kesehatan jiwa yang utama dewasa ini. Depresi adalah gangguan alam perasaan (mood) yang ditandai dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sehingga kehilangan gairah hidup; tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA, masih baik); kepribadian tetap utuh (tidak mengalami keretakan kepribadian/splitting of personality); perilaku dapat terganggu, tetapi dalam batas-batas normal. Depresi, jika tidak terdiagnosis atau tidak diketahui, dapat minimbulkan kerusakan pada upaya dalam mengontrol motor symptoms dandapat menciptakan ketegangan besar di keluarga dan pasangan di mana ketika pasien paling membutuhkan dukungan. Selain itu ditemukan pula bahwa depresi memiliki hubungan yang erat dengan bertambahnya risiko kematian (mortalitas).7,8,24,25 Berdasarkan penelitian yang dilakukan Birmaher et al., 1996, prevalensi seumur hidup dari Major Depressive Disorder (MDD) telah diestimasi antara 1522%, sementara angka batas prevalensi berkisar antara 0,4-8,3%. Berdasarkan data statistik di Kanada, 2002., 6,3% dari sampel remaja dan dewasa muda (usia 14-24 tahun) memenuhi standar untuk dapat dikatakan menderita MDD (sampel berasal

13

dari Kanada). Penelitian lain yang dilakukan oleh Roberts, Andrews, Lewinsohn, dan Hops, 1990, mengemukakan prevalensi depresi sekitari 22-33% pada remaja yang diukur dengan menggunakan Beck Depression Inventory.26 Cash, H., 1998, dalam penelitiannya mengemukakan bahwa 1 dari 5 orang pernah mengalami depresi dalam kehidupannya. Selanjutnya ditemukan bahwa 5%15% dari pasien-pasien depresi melakukan bunuh diri setiap tahun. Katzenstein, L., 1998, dalam survei yang dilakukan mendapatkan fakta bahwa lebih dari 70% pasien depresi tidak terdiagnosa oleh dokter. Dimatteo, M.R., dkk, 2000, dalam penelitiannya menemukan data bahwa depresi terjadi pada 25% pasien yang menjalani pengobatan medis dan 50% pasien (di AS) tidak taat terhadap rekomendasi pengobatan yang diberikan oleh dokter; hal ini membuktikan terdapatnya kumulatif dari adanya hubungan antara ketaatan berobat dan depresi yang cukup bermakna (signifikan).24

2.4

KECEMASAN (ANXIETY)

Gejala kecemasan, baik yang sifatnya akut maupun kronik (menahun) merupakan komponen utama bagi hampir semua gangguan kejiwaan (psychiatric disorder). Kecemasan (ansietas/anxiety) adalah gangguan alam perasaan (affective) yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA, masih baik); kepribadian masih tetap utuh (tidak mengalami keretakan kepribadian/splitting of personality); perilaku dapat terganggu, tetapi masih dalam batas-batas normal. tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality

14

Testing Ability/RTA, masih baik); kepribadian tetap utuh (tidak mengalami keretakan kepribadian/splitting of personality); perilaku dapat terganggu, tetapi dalam batasbatas normal. Menurut Spielberger, 1966, mengemukakan kecemasan (anxiety) merupakan keadaan emosional yang terdiri atas kekhawatiran atau rasa takut, sementara ciri dari kecemasan mengarah pada kecenderungan merasa situasi-situasi yang ada sebagai hal yang dapat mengancam (ancaman). Secara klinis gejala kecemasan dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu: gangguan cemas (anxiety disorder), gangguan cemas menyeluruh (generalized anxiety disorder/GAD), gangguan panic (panic disorder), gangguan fobia (phobic disorder), dan gangguan obsesif-kompulsif (obsessive-compulsive disorder).24,27 Berdasarkan penelitian Kashani dan Orvaschel, 1988, gangguan cemas (anxiety disorder) merupakan penyakit yang paling umum ditemui di Amerika Serikat (United States) dan merupakan tipe dari gangguan mental (mental disorder) yang paling sering ditemukan pada remaja. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Costello, Mustillo, Erkanli, Keeler, dan Angold, 2003, gangguan kecemasan merupakan gangguan psikologis yang paling umum dialami oleh anak-anak usia sekolah dan remaja di seluruh dunia. Prevalensi dari anxiety disorder pada sampel dari komunitas remaja sangat berbeda-berbeda. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Costello dan Angold, 1995; Essau, Conradt dan Petermann, 2000; Kashani dan Orvascal, 1988; Lewinsohn et al., 1993; Verhulst, van der Ende, Ferninand dan Kasius, 1997; Woodward dan Fergusson, 2001; anxiety disorder diperkirakan terjadi sebesar 5,7% - 28,8% dari komunitas remaja, tergantung pada seluk beluk dari metode, standar/kriteria diagnostik, dan detail-detail dari penelitian. Sedangkan

15

berdasarkan penelitian oleh Bernsrein dan Borchardt, 1991; Boyd, Konstanski, Gullone, Ollendick, dan Shek, 2000, prevalensi dari gangguan kecemasan pada anakanak dan remaja berkisar anatara 4,0%-25,0%, dengan nilai rata-rata 8,0%. Namun berdasarkan penelitian Tomb dan Hunter, 2004, penaksiran ini mungkin saja mengalami kekeliruan (terlalu rendah) karena ada banyak kejadian gangguan kecemasan pada anak-anak dan remaja yang tidak terdiagnosa karena gejalanya tampak alami.26,28 Berdasarkan penelitian yang dilakukan Essau, Conradt, dan Petermann, 2000, kecemasan (anxiety) berhubungan erat dengan efek-efek negatif yang ada pada hubungan sosial, emosional, dan prestasi akademik anak-anak. Efek spesifik yang ada, menurut Albano, Chorpita, dan Barlow, 2003; Weeks, Coplan, dan Kingsbury, 2009, termasuk hubungan sosial dan kemampuan menanggulangi yang buruk dan berdasarkan Bokhorst, Goossens, dan De Ruyter, 2001; Weeks et al., 2009, berupa rasa kesepian, rendahnya penghargaan diri, persepsi tentang penolakan sosial, dan kesulitan dalam pergaulan. Yang tak kalah penting, beradasarkan penelitian oleh Donovan dan Spence, 2000; McLoone, Hudson, dan Rapee, 2006; Rapee, Kennedy, Ingram, Edwards, and Sweeney, 2005, terjadi pula penghindaran terhadap sekolah, penurunan dalam kemampuan pemecahan masalah (problem-solving), dan penurunan dalam prestasi akademik. Menurut Good dan Kleinman, 1985; Guamaccia, 1997, kecemasan (anxiety) dipertimbangkan sebagai fenomena universal yang ada tanpa melihat kultur (kebudayaan), walaupun konteks dan manifestasinya dipengaruhi oleh kepercayaan kebudayaan dan penerapannya.28

16

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ogliari, Citterio, Zanomi, Fagnani, Patriarca, Cirrincione, Stazi, dan Battaglia, 2006, faktor genetik memberikan kontribusi terhadap etiologi gangguan kecemasan (anxiety disorder). Diketahui pula dalam penelitian yang dilakukan Feigon, Waldman, Levy, dan Hay, 2001, faktor lingkungan seperti keluarga, kesehatan lingkungan, dan parental psikopatologi juga berpengaruh terhadap timbulnya kecemasan (anxiety). Hampir sama, penelitian oleh Chorpita dan Barlow, 1998, mengemukakan bahwa perkembangan daya dalam pengurangan penguasaan lingkungan dapat memperbesar perkembangan gangguan kecemasan pada anak-anak. Barlow, 2002, mengemukakan bahwa bentuk dari kecemasan berhubungan dengan rendahnya kemampuan mengontrol kejadiankejadian atau situasi yang menyebabkan perasaan takut dan khawatir. Barlow percaya bahwa kecemasan berhubungan dengan kejadian-kejadian dan perasaan yang tidak apat dikontrol, menyebabkan kecemasan sebagai masalah individual yang mengalami gangguan kecemasan (anxiety disorder).29

17

BAB III RERANGKA KONSEP

Aliran Saliva

Depresi Stres

Faktor-faktor risiko:
- Rangsangan mekanis - Rangsangan kimiawi - Rasa sakit - Diet - Obat-obatan - Usia - Konsentrasi ion Hidrogen

Kecemasan

Penurunan volume (jumlah) saliva

Xerostomia

Keterangan: : Variabel yang diteliti. : Variabel yang tidak diteliti.

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1

JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalah Observasional Analitik.

4.2

DESAIN PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross-sectional study.

4.3

LOKASI PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin, Makassar.

4.4

WAKTU PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada tanggal 21 Mei 5 Juli 2012.

4.5

POPULASI PENELITIAN

Semua mahasiswa preklinik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin, Makassar, pada tahun 2012 (berjumlah 327 orang).

4.6

KRITERIA SAMPEL

1. Kriteria Inklusi

a) Mahasiswa preklinik FKG Unhas yang tidak merokok. b) Mahasiswa preklinik FKG Unhas yang tidak mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan yang mempengaruhi volume saliva. c) Mahasiswa preklinik FKG Unhas yang tidak menggunakan protesa dan alat ortodontik. 2. Kriteria Eksklusi : a) Mahasiswa preklinik FKG Unhas yang tidak bersedia berpartisipasi dalam penelitian.

4.7

JUMLAH SAMPEL

Menurut pendapat Gay dan Diehl, jumlah sampel ideal untuk populasi yang lebih besar dari 100 dan kurang dari 1000 adalah 30% dari jumlah populasi. Pada penelitian ini, jumlah populasi adalah sebesar 327, sehingga jumlah sampel ideal yang digunakan adalah 98 orang. Untuk mengantisipasi terjadinya drop out, maka ditambah 10% dari jumlah sampel sehingga jumlah sampel menjadi 107 orang.

4.8

METODE PENGAMBILAN SAMPEL

Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah metode proportional random sampling. Pada penelitian ini, seluruh populasi sejumlah 327 orang

20

terdiri dari tiga tingkatan, yaitu angkatan 2009, 2010, dan 2011. Setelah itu dari setiap tingkatan diambil sampel sebanyak 30% dari total jumlah populasi di setiap angkatan dengan cara diacak dengan menggunakan cara pengundian untuk mendapatkan 107 nama, yang selanjutnya ditetapkan sebagai sampel. Jumlah sampel minimal dari tiap angkatan yaitu dari angkatan 2011 sebanyak 32 orang, angkatan 2010 sebanyak 36 orang, angkatan 2009 sebanyak 30 orang.

4.9

ALAT DAN BAHAN YANG DIGUNAKAN:

Kuesioner, alat tulis-menulis termasuk buku catatan dan pulpen, stopwatch, dan gelas ukur.

4.10 PENENTUAN VARIABEL PENELITIAN

1. Variabel Bebas: Stres, depresi, dan kecemasan. 2. Variabel Tergantung: Volume saliva.

4.11 DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL

1. Stres adalah suatu fenomena dari lingkungan luar yang dapat berupa rangsangan sakit, kebisingan, percekcokan terhadap orang lain, amarah, dsb yang diukur melalui kuesioner.

21

2. Depresi adalah gangguan alam perasaan (mood) yang ditandai dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan yang diukur dengan kuesioner. 3. Kecemasan adalah gangguan alam perasaan (affective) yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan yang diukur lewat kuesioner. 4. Volume saliva adalah jumlah saliva yang diukur dalam satuan milliliter (ml) dengan menggunakan gelas ukur.

4.12 PROSEDUR PENELITIAN

1. Sebelum penelitian dilaksanakan, survei awal dilakukan untuk mengetahui dan mendata jumlah mahasiswa preklinik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin. 2. Peneliti menghitung sampel menurut Gay dan Diehl, sehingga diperoleh jumlah sampel sebesar 107 orang. Sampel kemudian dipilih dengan teknik proportional random sampling. 3. Setelah sampel penelitian ditentukan dan didapatkan, penelitian dinyatakan dimulai. Peneliti mengubungi setiap sampel, mendatanginya, kemudian memberikan informed consent untuk ditandatangani oleh sampel sebagai tanda persetujuannya mengikuti penelitian. Setelah itu, peneliti kemudian membagikan kuesioner untuk diisi oleh sampel dan dilanjutkan dengan pengukuran volume saliva pada sampel.

22

4. Apabila jumlah sampel minimal tereksklusi dan tidak mencukupi, maka sampel dipilih kembali secara acak dari populasi dan dengan kriteria seleksi sampel sesuai dengan jumlah sampel minimal yang terekslusi. 5. Penelitian dinyatakan berakhir bila seluruh sampel telah mengisi kuesioner yang dibagikan dan diukur volume salivanya. 6. Kuesioner dan volume saliva kemudian akan dikumpulkan, dinilai, dan dilakukan pengolahan data, sehingga diperoleh hasil penelitian.

4.13 ALUR PENELITIAN

Survey awal penelitian: sampel ditentukan berdasarkan jumlah, teknik sampling, dan kriteria seleksi sampel.

Seluruh sampel yang telah ditentukan akan dihubungi didatangi, diberi informed consent, dibagi kuesioner, lalu diukur volume salivanya.

Penelitian berakhir ketika seluruh sampel yang telah ditentukan telah menjawab kuesioner yang dibagikan dan diukur volume salivanya.

Analisis Data

23

4.14 KRITERIA PENILAIAN

1. Kuesioner pada penelitian ini menggunakan Depression Anxiety and Stres Scale (DASS).28 2. Kuesioner Depression Anxiety and Stres Scale (DASS) terdiri dari 42 pertanyaan yang terdiri dari tiga skala yang didesain untuk mengukur tiga jenis keadaan emosional, yaitu depresi, kecemasan, dan stres pada seseorang. Setiap skala terdiri dari 14 pertanyaan. Skala untuk depresi dinilai dari nomor 3, 5, 10, 13, 16, 17, 21, 24, 26, 31, 34, 37, 38, 42. Skala untuk kecemasan dinilai dari nomor 2, 4, 7, 9, 15, 19, 20, 23, 25, 28, 30, 36, 40, 41. Skala untuk stres dinilai dari nomor 1, 6, 8, 11, 12, 14, 18, 22, 27, 29, 32, 33, 35, 39. Subjek menjawab setiap pertanyaan yang ada. Setiap pertanyaan dinilai dengan skor antara 0-3. Setelah menjawab seluruh pertanyaan, skor dari setiap skala dipisahkan satu sama lain kemudian diakumulasikan sehingga mendapat total skor untuk tiga skala, yaitu depresi, kecemasan, dan stres.29 3. Interpretasi skor DASS adalah sebagai berikut: Depresi Normal Ringan Sedang Parah Sangat Parah 0-9 10-13 14-20 21-27 28+ Kecemasan 0-7 8-9 10-14 15-19 20+ Stres 0-14 15-18 19-25 26-33 34+

24

4. Volume saliva diukur menggunakan stopwatch dan gelas ukur. Pengambilan saliva (metode tanpa stimulasi) dilakukan antara jam 12.0015.00 WITA karena pada posisi dan waktu ini aliran saliva mencapai level tertingginya. Sebelumnya subjek diminta untuk berpuasa minimal 60 menit sebelum pengambilan sampel. Subjek berkumur sekitar 1 menit untuk menghilangkan sisa-sisa makanan. Pengambilan saliva dilakukan pada posisi berdiri. Awalnya subjek diminta untuk menelan saliva kemudian diminta mengumpulkan saliva dalam mulut dengan cara menelan saliva agar tidak tertelan. Setelah 5 menit saliva ditampung dalam gelas plastik, lalu diukur volumenya. Saliva yang dikumpul diukur dalam satuan milliliter.2,11

4.15 DATA PENELITIAN

1. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer di mana diperoleh langsung oleh peneliti melalui pengisian kuesioner. 2. Pengolahan data akan dilakukan dengan Program SPSS 16 untuk Windows. 3. Uji hipotesis yang digunakan untuk hasil akhir penarikan kesimpulan adalah regresi linear untuk melihat pengaruh antara empat variabel. Variabel-variabel yang akan diregresikan adalah stres, depresi, kecemasan, dan volume saliva. Penyajian data disajikan lewat tabel.

25

BAB V HASIL PENELITIAN


Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh depresi, kecemasan, dan stres dengan volume saliva pada mahasiswa preklinik fakultas kedokteran gigi. Penelitian ini mengambil tempat di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin (FKG-UH) dan dilakukan pada tanggal 21 Mei-5 Juli 2012. Sampel mencangkup tiga angkatan pada FKG-UH, yaitu angkatan 2009, 2010, dan 2011. Penelitian ini proportional random sampling dengan mengambil sampel yang memenuhi kriteria seleksi sampel, baik inklusi maupun eksklusi yang telah ditentukan sebelumnya. Adapun, jumlah sampel menggunakan ketentuan Gay dan Diehl, yaitu 30% dari jumlah populasi dan dijumlahkan 10% untuk estimasi drop-out, sehingga diperoleh jumlah sampel 107. Pada penelitian ini, delapan sampel drop-out, sehingga jumlah sampel seluruhnya adalah 99 orang. Depresi, kecemasan, dan stres diukur dengan menggunakan kuesioner DASS (Depression Anxiety and Stres Scale). Adapun, volume saliva diukur langsung dengan menggunakan gelas ukur. Melalui kuesioner DASS, nilai depresi, kecemasan, dan stres yang menunjukkan tingkat keparahan masing-masing diperoleh. Kuesioner ini telah diuji reabilitas dan validitasnya sebelumnya. Selanjutnya, depresi, kecemasan, dan stres akan

dihubungkan masing-masing dengan jumlah volume saliva. Hasil penelitian akan diolah menggunakan program SPSS 16.0 dan ditampilkan dalam tabel sebagai berikut: Tabel V.1. Distribusi karakteristik sampel penelitian (N=99) Karakteristik sampel penelitian Frekuensi (n) Persen (%) Jenis kelamin Laki-laki 23 23.2 Perempuan 76 76.8 Usia (tahun) Angkatan 2009 30 30.3 2010 32 32.3 2011 37 37.4 Depresi Kecemasan Stres Volume saliva

Mean SD

19.80 1.00

6.16 4.10 9.56 4.55 13.41 5.17 2.34 1.14

Tabel V.1 menunjukkan distribusi karakteristik sampel penelitian yang berjumlah 99 orang secara keseluruhan. Berdasarkan jenis kelamin, terlihat sebanyak 23 laki-laki (23.2%) dan 76 perempuan (76.8%), dengan rata-rata usia secara keseluruhan adalah 19 tahun 8 bulan. Sampel penelitian terbagi atas tiga angkatan, yaitu 30 orang mahasiswa dari angkatan 2009, 32 orang mahasiswa dari angkatan 2010, dan 37 orang mahasiswa dari angkatan 2011. Pada tabel ini, juga diperlihatkan nilai depresi, kecemasan, stres yang diperoleh melalui akumulasi dari jawaban kuesioner DASS. Secara keseluruhan, nilai rata-rata depresi adalah 6.16, diikuti dengan rata-rata nilai kecemasan adalah 9.56 dan nilai rata-rata stres adalah 13.41. Berdasarkan nilai rata-rata tersebut dapat disimpulkan bahwa depresi, kecemasan, dan stres pada mahasiswa tidak dialami sama sekali atau dialami, namun hanya pada kadar atau waktu tertentu. Tabel ini

27

juga memperlihatkan hasil pengukuran volume saliva melalui gelas ukur yang diukur langsung pada masing-masing sampel. Hasilnya diperoleh rata-rata volume saliva sampel penelitian adalah 2.34 ml. Tabel V.2. Distribusi depresi, kecemasan, dan stres berdasarkan jenis kelamin
Derajat keparahan kecemasan, dan stres depresi, Laki-laki 19 (82.6%) 2 (8.7%) 1 (4.3%) 1 (4.3%) 0 (0%) 6 (26.1%) 9 (39.1%) 6 (26.1%) 1 (4.3%) 1 (4.3%) 14 (60.9%) 2 (8.7%) 7 (30.4%) 0 (0%) 0 (0%) 23 (100%) Jenis Kelamin Perempuan 62 (81.6%) 11 (14.5%) 3 (3.9%) 0 (0%) 0 (0%) 25 (32.9%) 15 (19.7%) 27 (35.5%) 6 (7.9%) 3 (3.9%) 42 (55.3%) 25 (32.9%) 8 (10.5%) 1 (1.3%) 0 (0%) 76 (100%) Total 81 (100%) 13 (100%) 4 (100%) 1 (!))%) 0 (0%) 31 (100%) 24 (100%) 33 (100%) 7 (100%) 4 (100%) 56 (100%) 27 (100%) 15 (100%) 1 (100%) 0 (100%) 99 (100%)

Depresi Normal Ringan Sedang Parah Sangat parah Kecemasan Normal Ringan
Sedang Parah Sangat parah Stres Normal Ringan Sedang Parah Sangat parah Total

Tabel V.2 memperlihatkan distribusi depresi, kecemasan, dan stres berdasarkan jenis kelamin. Derajat keparahan depresi, kecemasan, dan stres ini merupakan konversi nilai dari kuesioner DASS sesuai dengan referensi acuan. Pada tabel ini, terlihat bahwa tidak ada seorang pun yang memiliki tingkat depresi dan stres yang sangat parah, akan tetapi terdapat satu laki-laki (4.3%) dan tiga perempuan (3.9%) yang memiliki tingkat kecemasan yang sangat parah. Adapun, sebanyak 62 perempuan (81.6%) dan 19 lakilaki (82.6%) memiliki tingkat depresi yang normal dan pada tingkat inilah distribusi

28

sampel terbanyak. Pada derajat kecemasan, sampel terbanyak pada tingkat kecemasan sedang dan ringan, yaitu sebanyak 27 perempuan (35.5%) memiliki tingkat kecemasan sedang dan sebanyak 9 laki-laki (39.1%) memiliki tingkat kecemasan ringan. Adapun, pada derajat keparahan stres, sampel paling banyak memiliki tingkat stres yang normal, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Tabel V.3. Distribusi depresi, kecemasan, dan stres berdasarkan angkatan
Derajat keparahan depresi, kecemasan, dan stres 2009 24 (80.0%) 5 (16.7%) 1 (3.3%) 0 (0%) 0 (0%) 11 (36.7%) 6 (20.0%) 13 (43.3%) 0 (0%) 0 (0%) 16 (53.3%) 8 (26.7%) 6 (20.0%) 0 (0%) 0 (0%) 30 (100%) Angkatan 2010 28 (87.5%) 3 (9.4%) 0 (0%) 1 (3.1%) 0 (0%) 10 (31.2%) 9 (28.1%) 9 (28.1%) 1 (3.1%) 3 (9.4%) 16 (50.0%) 12 (37.5%) 4 (12.5%) 0 (0%) 0 (0%) 32 (100%) 2011 29 (78.4%) 5 (13.5%) 3 (8.1%) 0 (0%) 0 (0%) 10 (27.0%) 9 (24.3%) 11 (29.7%) 6 (16.2%) 1 (2.7%) 24 (64.9%) 7 (18.9%) 5 (13.5%) 1 (2.7%) 0 (0%) 37 (100%) Total 81 (100%) 13 (100%) 4 (100%) 1 (100%) 0 (0%) 31 (100%) 24 (100%) 33 (100%) 7 (100%) 4 (100%) 56 (100%) 27 (100%) 15 (100%) 1 (100%) 0 (100%) 99 (100%)

Depresi Normal Ringan Sedang Parah Sangat parah Kecemasan Normal Ringan
Sedang Parah Sangat parah Stres Normal Ringan Sedang Parah Sangat parah Total

Tabel V.3 memperlihatkan distribusi depresi, kecemasan, dan stres berdasarkan angkatan. Terlihat tidak ada angkatan yang memiliki derajat keparahan depresi dan stres hingga sangat parah. Adapun, mahasiswa angkatan 2009 dan 2011 memiliki sampel terbanyak dengan derajat keparahan depresi yang normal, kecemasan yang sedang, dan stres yang normal. Sebanyak 24 orang mahasiswa angkatan 2009 memiliki derajat

29

depresi yang normal diikuti dengan 13 orang mahasiswa yang memiliki kecemasan sedang, dan 16 orang mahasiswa yang memiliki stres normal. Pada mahasiswa angkatan 2011, sebanyak 29 orang mahasiswa memiliki derajat depresi normal, 11 orang mahasiswa dengan kecemasan sedang dan 24 orang mahasiswa dengan stres normal. Pada mahasiswa angkatan 2010, derajat keparahan depresi, kecemasan, dan stres terbanyak adalah normal, yaitu 28 orang mahasiswa untuk depresi, 10 orang mahasiswa untuk kecemasan, dan 16 orang mahasiswa untuk stres. Tabel V.4. Distribusi rata-rata nilai depresi, kecemasan, stres, dan volume saliva
Jenis Kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Angkatan 2009 2010 2011 Total Depresi Mean SD 6.70 5.14 6.00 3.75 5.93 3.80 5.88 3.89 6.59 4.56 6.16 4.10 Kecemasan Mean SD 9.30 4.89 9.63 4.47 8.30 3.28 9.69 5.43 10.46 4.47 9.56 4.54 Stres Mean SD 13.26 6.58 13.46 4.71 13.83 5.09 13.00 5.19 13.43 5.31 13.41 5.17 Volume Saliva Mean SD 2.439 1.08 2.305 1.16 2.167 0.98 2.484 0.85 2.346 1.44 2.37 1.14

Tabel V.4 memperlihatkan distribusi rata-rata nilai depresi, kecemasan, stres dan volume saliva. Nilai rata-rata depresi laki-laki (6.70) lebih tinggi dari perempuan (6.00), namun, nilai rata-rata kecemasan dan stres pada perempuan (secara berturut-turut 9.63 dan 13.46) lebih tinggi daripada laki-laki (9.30 dan 13.26) dengan volume saliva paling sedikit. Berdasarkan jenis kelamin juga dapat dilihat bahwa nilai rata-rata depresi untuk laki-laki (6.70) tergolong normal, nilai rata-rata kecemasan (9.30) tergolong ringan, dan nilai rata-rata stres (13.26) tergolong normal. Demikian pula untuk perempuan, nilai rata-rata depresi (6.00) tergolong normal, nilai rata-rata kecemasan (9.63) tergolong ringan, dan nilai rata-rata stres (13.46) tergolong normal. Berdasarkan angkatan,

30

mahasiswa angkatan 2009 memiliki nilai rata-rata untuk depresi, kecemasan, dan stres secara berturut-turut adalah 5.93 (normal), 8.30 (ringan), dan 13.83 (normal). Untuk mahasiswa angkatan 2010, nilai rata-rata untuk depresi, kecemasan, dan stres secara berturut-turut adalah 5.88 (normal), 9.69 (normal), dan 13.00 (normal). Untuk mahasiswa angkatan 2011, nilai rata-rata untuk depresi, kecemasan, dan stres secara berturut-turut adalah 6.59 (normal), 10.46 (ringan) dan 13.43 (normal). Secara keseluruhan, mahasiswa angkatan 2011 memiliki rata-rata nilai depresi dan kecemasan yang paling tinggi, sedangkan mahasiswa angkatan 2009 yang memiliki rata-rata nilai stres yang paling tinggi (13.83) dan memiliki volume saliva paling sedikit (2.167). Tabel V.5. Hubungan depresi, kecemasan, dan stres dengan volume saliva
Variabel Depresi n 81 13 4 1 0 9.56 4.54 31 24 33 7 4 13.41 5.17 56 27 15 1 0 Mean SD 6.16 4.10 Mean SD 2.37 1.14 2.48 1.09 1.71 1.27 1.78 0.82 0.80 0 2.37 1.14 2.90 1.10 2.38 1.07 1.98 0.91 1.94 1.71 1.30 0.34 2.37 1.14 2.68 1.07 1.93 1.01 1.58 0.69 5.50 0 Volume Saliva p-value Koefisien korelasi (r) 0.001* -0.343

Normal Ringan Sedang Parah Sangat Parah


Kecemasan

0.000*

-0.374

Normal Ringan
Sedang Parah Sangat Parah Stres Normal Ringan Sedang Parah Sangat Parah

0.000*

-0.403

*Pearsons Correlation test: p<0.05; significant

31

Tabel V.5 memperlihatkan hubungan antara depresi, kecemasan, dan stres dengan volume saliva. Pada tabel ini, terlihat rata-rata volume saliva untuk masingmasing derajat keparahan. Terlihat bahwa semakin tinggi tingkat keparahan depresi kecemasan dan stres akan menyebabkan semakin menurunnya volume saliva. Hal ini didukung dengan hasil uji statistik korelasi Pearson, yang mendapatkan nilai p-value untuk depresi, kecemasan, stess, secara berturut-turut adalah 0.001, 0.000, dan 0.000. Seluruh nilai p-value kurang dari 0.05 (p<0.05), artinya terdapat hubungan yang signifikan antara depresi, kecemasan, dan stres dengan volume saliva. Tabel ini juga menunjukkan nilai koefisien korelasi untuk depresi sebesar -0.343, artinya semakin tinggi tingkat keparahan depresi akan diikuti dengan penurunan volume saliva sebesar 34.3%. Adapun, nilai koefisien korelasi kecemasan sebesar -0.374, artinya semakin cemas seseorang, maka akan diikuti dengan penurunan volume saliva sebesar 37.4%, sedangkan nilai koefisien korelasi untuk stres adalah -0.403 yang berarti semakin tinggi tingkat stres seseorang akan diikuti dengan penurunan volume saliva sebesar 40.3%.

Tabel V.6 Pengaruh depresi, kecemasan, dan stres terhadap volume saliva Volume Saliva Unstandarized Standarized Variabel Coefficients Coefficients p-value Std Error Beta Depresi -0.020 0.036 -0.073 0.050* Kecemasan -0.052 0.028 -0.210 0.012* Stres -0.061 0.025 -0.279 0.006* Constant 3.628 0.305 0.000
Adjusted R2: 0.168 *Regression linear test: p<0.05; significant

32

Pada tabel V.6 terlihat pengaruh depresi, kecemasan, dan stress terhadap volume saliva. Tabel ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan variable depresi, kecemasan, dan stress memiliki pengaruh yang signifikan terhadap volume saliva. Terlihat pula bahwa nilai depresi -0.020 yang artinya setiap peningkatan nilai depresi akan menurunkan 0.02 kali volume saliva. Pada kecemasan diperoleh nilai -0.052 yang berarti setiap peningkatan nilai kecemasan akan menurunkan 0.052 kali volume saliva. Sedangkan pada stres diperoleh nilai -0.061 yang artinya setiap peningkatan nilai stres akan menurunkan 0.061 kali volume saliva.

33

34

35

Anda mungkin juga menyukai