Anda di halaman 1dari 9

BAB III KESIMPULAN

Pendidikan Islam di Indonesia sudah mulai berkembang sejak zaman dahulu, ini terbukti dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh para tokoh-tokoh pendidikan Islam yang giat berjuang untuk mengajarkan pendidikan demi kemajuan pendidikan bangsa Indonesia. Diantara tokoh- tokoh tersebut adalah: 1. KH. Ahmad Dahlan 2. KH. Hasyim Asyari 3. KH. Abdul Halim 4. Prof. Dr. Mahmud Yunus

BAB II
TOKOH-TOKOH PENDIDIKAN ISLAM A. KH. AHMAD DAHLAN (1869 1923) KH. Ahmad Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun1869 M, dengan nama kecil Muhammad Darwis, putra KH. Abubakar bin Kyai Sulaiman, khatib di mesjid besar (jami) Kesultanan Yogyakarta. Ibunya adalah putrid Haji Ibrahim, seorang penghulu. Setelah ia menamatkan pendidikan dasarnya di suatu madrasah dalam bidang nahwu, fiqih, dan tafsir di Yogyakarta, ia pergi ke Mekkah pada tahun 1980 dan menuntut ilmu disana selama satu tahun, salah seorang gurunya adalah Syekh Ahmad Khatib. Sekitar tahun 1903 ia mengunjungi mekkah kembali dan kemudian menetap disana selama 2 tahun. Sepulang dari mekkah yang pertama ia telah bertukar nama menjadi Haji Ahmad Dahlan. Taklama kemudian ia menikah dengan Siti Walidah putrid Kyai Penghulu Haji Fadhli. Ia adalah seorang alim yang luas ilmunya dan tidak jemu-jemu menambah ilmu dan pengalamannya, dimana saja ada kesempatan, ia berusaha menambah ilmu atau mencocokkan ilmu yang diperolehnya. Perbuatannya yang mula-mula dianggap aneh oleh masyrakat pada waktu itu ialah ketika beliau menggarisi lantai mesjid besar dengan garis miring 241/2 derajat ke Utara. Menurut ilmu hidab yang Ia pelajari, arah kiblat tidaklah lurus seperti arah mesjid dijawa pada umumnya, tetapi miring 241/2 derajat. Perbuatan itu ditentang oleh masyarakat, bahkan Kanjeng Kyai Penghulu sendiri turun tangan dan memerintah untuk menghapus garis tersebut. Kemudian beliau membangun langgarnya sendiri yang dimiringkan 241/2 derajat tetapi kemudian langgar tersebut dirobohkan atas perintah Kyai Kanjeng Penghulu. Kyai H. Ahmad Dahlan berhasil mencapai cita-cita pembaharuan secara perseorangan, tetapi ia gagal dalam merealisasikan perubuhan kiblat di mesjid Sultan Agung di Yogyakarta. Pada tahun 1990 Kyai H. Ahmad Dahlan masuk Budi Utomo dengan maksud memberikan ajaran kepada anggota-anggotanya, pelajaran yang diberikan sesuai dengan harapan dan kebutuhan anggota Budi Utomo. Dalam Budi Utomo beliau menjabat sebagai Penasehat. Cita-cita KH. Ahmad Dahlan sebagai ulama adalah memperbaiaki masyarakat Indonesia berdasarkan Islam, usahanya di tujukan untuk kehidupan beragama. Keyakinan beliau adalah bahwa untuk membangun bangsa haruslah terlebih dahulu dibangun semangat bangsa. Kalu syariat Islam usahanya ditekankan pada bidang politik yang dilandaskan cita-cita agama, Muhammadiyah menekankan usahanya kepada perbaikan hidup bergama dengan amal-amal pendidikan dan sosial. Pada waktu sakit menjelang wafat, atas nasihat Dokter beliau beristirahat di Tosari, dalam peristirahatannya beliau masih giat bekerja keras. KH. Ahmad Dahlan wafat pada 23 Februari 1923 M dalam usia 55 tahun, dengan meninggalkan organisasi Islam yang cukup besar dan disegani karena B. KH. HASYIM ASYARI (1871-1947) Kyai Haji Hasyim Asyari dilahirkan pada tanggal 14 Februari 1871 di Jombang, Jawa timur. Ia mula-mula belajar agama pada ayahnya sendiri Kyai Asyari. Kemudian ia belajar ke pondok pesantren Purbolinggo, kemudian ia pindah ke Plangitan, Semarang, Madura dan lainnya. Pada tahun 1892 ia menikah dengan putri dari Kyai Yakub yang bernama Khadijah, tak lama kemudian ia pergi haji ke mekkah dan menetap disana selama satu tahun dan istrinya meninggal disana. Sepulang dari mekkah yang kedua kalinya, pada tahun 1899 M ia membuka pesantren yang bernama Tebuireng di Jombang untuk mengembangkan ilmunya. 9

Pembaharuan Tebuireng yang pertama adalah dengan mendirikan Madrasah Salafiyah (1919). Pada tahun 1929 beliau menunjuk KH. Ilyas menjedi Kepala Madrasah Salafiyah. Maka dibawah pimpinan KH. Ilyas dimasukkan pengetahuan umum kedalam madrasah salafiyah, yaitu : 1. Membaca dan menulis huruf latin 2. Mempelajari Bahasa Indonesia 3. Mempelajari ilmu bumi dan sejarah Indonesia. 4. Mempelajari ilmu berhitung. Semuanya diajarkan memakai buku yang menggunakan huruf latin. Dan sejak saat itu surat kabar, buku-buku umum masuk ke pesantren bahkan majalah yang tertulis dalam huruf latin bahasa Indonesia. Sebelumnya hal itu dingap barang duniawi dan tidak sesuai dengan kehendak agama. Namun ada sebagian kyai dan orang tua murid yang tidak senang dan memindahkan anaknya, namun KH. Ilyas tetap meneruskan rencananya. Dan hasil usaha itu dirasakan pada saat pendudukan jepang sesudah berpuluh tahun kemudian. Di pesantren Tebuireng disamping ada pengajian lama juga terdapat madrasah modern, gedungnya indah lengkap dengan kelas, meja, kursi dan papan tulis. Bahasa yang dipakai bahasa Indonesia dan untuk pelajaran tertentu memakai bahasa arab. KH. Hasyim Asyari juga ikut serta mendirikan Nahdatul Ulama, bahkan ia merupakan Syeikhul akbar dalam perkumpulan ulama indonesia. Selain itu beliau juga duduk di MIAI yang kemudia menjadi Masyumi. Begitu pula dengan gerakan pemuda seperti: GPII, Muslimat, Hizbullah, Sabilillah, Barisan Mujahidin dan lainnya. KH. Hasyim Asyari wafat pada tanggal 25 Juli 1947 M dengan meninggalkan pesantren Tebuireng yang merupakan pesantren tertua dan terbesar di Jawa Timur. 3. KH. ABDUL HALIM (1887-1963) KH. Abdul Halim lahir di Cibelerang, Majalengka pada tahun 1887 M, ayahnya seornga penghulu di Jatiwangi, sedang keluarganya mempunyai hubungan erat dengan orang dikalangan pemerintah. Beliau memperoleh pelajaran pada masa kanakkanak di pesantren di daerah Majalengka sampai berusia 22 tahun. Pada usia 10 tahun ia mempelajari Al Quran dan Hadits di pesantren KH. Anwar di desa Ranji Wetan, Majalengka. Dua lembaga pendidikan yang menarik perhatian KH. Abdul Halim adalah yang terdapat di Bab Al-salam dekat mekkah dan di Jedah. Yang mana kedua lembaga ini menghapuskan sistem Halagah yang kemudian diganti dengan mengorganisasikan kelas-kelas dan perlengkapan meja dan bangku serta menyusun kurikulum. Yang mana kedua lembaga pendidikan ini yang mengilhami mengubah pendidikan tradisioal di Majalengka. Beliau adalah pelopor pergerakan pembaharuan di Majalengka yang awalnya bernama Hayatul qulub, yang kemudian berkembang menjadi Perserikatan Ulama, pada 1911, kemudian berubah menjadi Persatuan Umat Islam (PUI) pada 5 April 1952. Dalam bidang pendidikan KH. Abdul Halim semula menyelenggarakan pendidikan agama seminggu sekali untuk orang dewasa dengan pelajaran Fiqih dan hadits. Pada Tanggal 7 Mei 1962, KH. Abdul Halim meninggal dunia di Majalengkan dalam usia 75 tahun. 4. Prof. Dr. H. MAHMUD YUNUS Mahmud Yunus dilahirkan pada tanggal 30 Ramadhan 1316 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 10 Februari 1899 Masehi di desa Sungayang Batusangkar Sumatera Barat. Ia dilahirkan dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang petani biasa, bernama Yunus bin Incek, dari suku Mandailing dan ibunya bernama Hafsah dari suku 10

Chaniago. Walaupun dilahirkan dari keluarga yang sederhana, namun mempunyai nuansa keagamaan yang kuat.. Belajar mengaji di surau adalah jalur pendidikan awal yang ditempuh oleh Mahmud kecil. Ia belajar dengan kakeknya sendiri, Muhammad Thaher bin Muhammad Ali gelar Angku Gadang. Mahmud mulai mengaji di surau kakeknya ini dalam usia 7 tahun dan dalam waktu kurang dari satu tahun, berkat ketekunannya, ia dapat menamatkan Al-Quran. Segera setelah khatam Al-Quran, Mahmud pun dipercaya oleh kakeknya menjadi Guru Bantu untuk mengajari anak-anak yang menjadi pelajar pemula sambil ia mempelajari dasar-dasar tata bahasa Arab (ilmu Sharaf) dengan kakeknya. Pada tahun 1908, dengan dibukanya Sekolah Desa oleh masyarakat Sungayang, Mamudpun tertarik untuk memasuki sekolah ini. Ia kemudian meminta restu dari ibunya untuk belajar ke Sekolah Desa tersebut. Setelah mendapat restu ibunya, iapun mengikuti pelajaran di Sekolah Desa pada siang hari, namun tanpa meninggalkan tugas-tugasnya di Surau kakeknya mengajar Al-Quran pada malam harinya Pendidikan di Sekolah Desa hanya dijalaninya selama kurang dari tiga tahun. Pada waktu ia belajar di kelas empat, Mahmud menunjukkan ketidakpuasannya terhadap mata pelajaran di Sekalah Desa, karena pelajaran yang diberikan tidak berbeda jauh dari pelajaran kelas tiga. Bertepatan pula pada waktu itu H. M. Thaib Umar membuka madrasah di surau Tanjung Pauh Sungayang. Madrasah ini bernama Madras School. Sekalilagi dengan restu ibunya Mahmud pun pindah ke Madras School di bawah asuhan H.M. Thaib Umar yang dikenal sebagai salah seorang ulama pembaharu Minangkabau. Di sekolah ini ia mempelajari ilmu Nahwu, ilmu Sharaf, Berhitung dan Bahasa Arab. Ia belajar di sini dari jam 09.00 pagi hingga jam 12.00 siang, sementara pada malam harinya ia tetap mengajar di surau kakeknya. Pada tahun 1911, karena keinginan untuk mempelajari ilmu-ilmu agama.secara lebih mendalam dengan H.M. Thaib Umar, Mahmud menarik diri dari surau kakeknya untuk kemudian menggunakan waktu sepenuhnya, siang dan malam, belajar ilmu Fiqh dengan H.M. Thaib Umar di surau Tanjung Pauh. Ia belajar dengan tekun dengan ulama pembaharu ini, hingga ia menguasai ilmu-ilmu agama dengan baik, bahkan ia dipercayakan oleh gurunya ini untuk mengajarkan kitab-kitab yang cukup berat untuk ukuran seusianya. Setelah memiliki pengalaman beberapa tahun belajar, kemudian mengajar dan memimpin Madras School serta telah menguasi dengan mantap beberapa bidang ilmu agama, Mahmud kemudian berkeinginan untuk melanjutkan pelajarannya ke tingkat yang lebih tinggi di Mesir. Keinginan ini muncul setelah ia berkesempatan menunaikan ibadah Haji ke Mekkah. Pada tahun 1924 ia berangkat ke Mesir bersama rombongan jemaah Haji. Di Mesir, Mahmud kembali memperlihatkan prestasi yang istimewa. Ia mencoba untuk menguji kemampuannya dalam ilmu-ilmu agama dengan mengikuti ujian akhir untuk memperoleh Syahadah (ijazah) Alimiyyah, yaitu ujian akhir bagi siswa-siswa yang telah belajar sekurang-kurangnya 12 tahun ( Ibtidaiyyah 4 tahun, Tsanawiyah 4 tahun, dan Aliyah 4 tahun). Ada 12 mata pelajaran yang diuji untuk mendapatkan syahadah ini, namun kesemuanya telah dikuasai oleh Mahmud waktu belajar di tanah air, sebagaimana dicatatkannya :. Kalau hanya ilmu itu saja yang akan diuji. Saya sanggup masuk ujian itu, karena keduabelas macam ilmu itu telah saya pelajari di Indonesia, bahkan telah saya ajarkan beberapa tahun lamanya (1915-1923) Ujian ini dapat diikutinya dengan baik dan berhasil lulus serta mendapatkan ijazah (syahadah) Alimiyyah pada tahun yang sama tanpa melalui proses pendidikan. Dengan ijazah ini, Mahmud lebih termotivasi untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Dia kemudian memasuki Darul Ulum Ulya Mesir. Pada tahun 1925 ia berhasil memasuki lembaga pendidikan yang merupakan Madrasah Ulya (setingkat perguruan tinggi) agama yang juga mempelajari pengetahuan umum. Ia memilih jurusan Tadris (Keguruan). Perkuliahan di Darul Ulum Ulya mulai dari tingkat I sampai tingkat IV dan semua tingkat itu dilaluinya dengan baik, Bahkan pada tingkat terakhir, dia memperoleh nilai tertinggi pada mata kuliah Insya` 11

(mengarang). Pada waktu ini Mahmud adalah satu-satunya mahasiswa asing yang berhasil menyelesaikan hingga ke tingkat IV di Darul Ulum. Setelah menjalani masa pendidikan dan menimba berbagai pengalaman di Mesir, iapun kembali ke tanah air pada tahun 1931. Karir Prof. Dr. Mahmud Yunus di bidang Kependidikan a. Memimpin Al-Jamiah Al-Islamiyyah di Sungayang b. Memimpin Normal Islam di Padang c. Memimpin Sekolah Islam Tinggi (SIT) di Padang d. Mendirikan dan Memimpin Sekolah Menengah Islam (SMI) di Bukittinggi e. Memimpin IAIN Imam Bonjol di Padang Gagasan dan Perjuangan Prof. Dr. Mahmud Yunus a. Pembaharuan Metode Pengajaran Agama Islam dan Bahasa Arab b. Memasukkan Pelajaran Agama ke Kurikulum Sekolah Pemerintah c. Memperjuangkan Sekolah Agama Pemerintah dan Merintis IAIN Karya tulis Prof. Dr. Mahmud Yunus : Mahmud Yunus di masa hidupnya dikenal sebagai seorang pengarang yang produktif. Aktivitasnya dalam melahirkan karya tulis tak kalah penting dari aktivitasnya dalam lapangan pendidikan. Popularitas Mahmud lebih banyak dikenal lewat karangan-karangannya, karena buku-bukunya tersebar di setiap jenjang pendidikan khususnya di Indonesia. Buku-buku karangan Mahmud Yunus menjangkau hampir setiap tingkat kecerdasan. Justru karangan-karangannya bervariasi, mulai dari buku-buku untuk konsumsi anak-anak dan masyarakat awam dengan bahasa yang ringan, hingga merupakan literatur pada perguruan-perguruan tinggi. A. Bidang Pendidikan : (6 karya) seperti Pengetahuan Umum dan Ilmu Mendidik, (tidak teridentifikasi lengkap), Metodik Khusus Pendidikan Agama, 1980, Hidakarya Agung , Jakarta, Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran, 1978, Hidakarya Agung, Jakarta. dsb B. Bidang Bahasa Arab : (15 karya) seperti : Durusu al-Lughah al-Arabiyyah Ala Thariqati al-Haditsah I, tt. CV Al-Hidayah, Jakarta. dan sebagainya. C. Bidang Fiqh : (17 karya) seperti : Marilah Sembahyang I-IV, 1979, PT Hidakarya Agung, Jakarta, Puasa dan Zakat, 1979, PT Hidakarya Agung, Jakarta dsb. D. Bidang Tafsir : (15 karya) seperti :Tafsir Al-Fatihah, 1971, Saadiyah Putra, Padang Panjang Jakarta, Juz Amma dan Terjemahannya, 1978, PT. Hidakarya Agung, Jakarta. Dsb. E. Bidang Akhlak : (9 karya) seperti : Keimanan dan Akhlak I - IV, 1979, (tidak teridentifikasi lengkap), Beriman dan Berbudi Pekerti, 1981, PT. Hidakarya Agung, Jakarta, dsb F. Bidang Sejarah : (5 karya) seperti Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 1979, Mutiara, Jakarta, Tarikh al-Islam, tt, PT. Hidakarya Agung, Jakarta. Dsb. G. Bidang Perbandingan Agama : ( 2 karya): Ilmu Perbandingan Agama, 1978, PT. Hidakarya Agung, Jakart, Al-Adyaan, (tidak teridentifikasi lengkap) H. Bidang Dakwah : (1 karya) : Pedoman Dakwah Islamiyyah, 1980, PT. Hidakarya Agung, Jakarta I. Bidang Ushul Fiqh : (1 karya) yaitu Muzakaraat Ushulu al-Fiqh (tidak teridentifikasi lengkap) K. Bidang Ilmu Jiwa : ( 1 karya) yaitu Ilmu an-Nafs (tidak teridentifikasi lengkap) L. Lain-Lain : (9 karya) seperti : Beberapa Kisah Nabi dan Khalifahnya, 1980, PT. Hidakarya Agung, Jakarta, Doa-Doa Rasulullah, 1979, PT. Hidakarya Agung, Jakarta, Pemimpin Pelajaran Agama I, tt. CV. Al-Hidayah, Jakarta. Dsb.

12

5. SYEIKH AHMAD SURKATI Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Muhammad al-Anshori yang diberi gelar Surkati. Syaikh Ahmad Surkati diyakini memiliki hubungan nasab dengan sahabat Jabir bin Abdillah al-Anshori. Ahmad Surkati lahir di desa Udfu, Jazirah Arqu, daerah Dongula, Sudan 1292 H atau 1875 M. Karena masih keturunan Jabir bin Abdillah al-Anshari, maka Muhammad memakai nama tambahan alAnshari. Sebutan Surkati diambil dari bahasa Dongula Sudan. Surkati berarti banyak kitab (sur menurut bahasa setempat artinya kitab, dan katti menunjukan pengertian banyak). Namanya ini diambil dari sebutan yang dilekatkan pada neneknya yang memperoleh sebutan itu, karena sepulangnya dari menuntut ilmu di Mesir ia membawa banyak kitab. Ayah Ahmad Surkati adalah lulusan Al-Azhar juga mewarisi sebutan yang sama. Seperti neneknya, ayah Ahmad Surkati memiliki banyak kitab pula. Dengan kata lain, Ahmad Surkati lahir dari keluarga terpelajar dalam ilmu agama Islam. Sejak kanak-kanak Ahmad Surkati memiliki kelebihan berupa kejernihan pikiran dan kecerdasan. Karena kecerdasannya, dia tidak menemui kesulitan dalam menghapal al-Quran seperti teman-temannya. Menghafal al-Quran sendiri adalah bentuk permulaan dari pendidikan agama Islam. Pendidikan seperti itu adalah salah satu sistem pendidikan tradisonal di Sudan. Kebiasan menghafal al-Quran itu berlanjut hingga usia tua, disaat dia tidak dalam kesibukan mengajar atau lainnya. Ayahnya menginginkan Ahmad Surkati melanjutkan pendidikannya ke AlAzhar, Mesir, sebagaimana dirinya dahulu. Namun maksud tersebut tidak terpenuhi, karena ketika itu pemerintahan Sudan dikuasai oleh pemerintahan al-Mahdi yang bermaksud melepaskan diri dari kekuasaan Mesir. Raja Sudan saat itu bernama Abdullah Ath-Thayaisi tidak memperbolehkan orang-orang Sudan bepergian ke Mesir. Namun Ahmad Surkati tidak patah semangat untuk menuntut ilmu ke luar negeri. Dalam kondisi yang kurang memungkinkan itu, akhirnya ia memutuskan untuk berangkat ke Mekkah pada tahun 1314 H / 1869 M tanpa memberitahu dulu keluarganya. Setelah di Mekkah, hubungan dengan keluarganya di Sudan terputus karena terputusnya jalan haji antara Sudan dan Hijaz. Baru pada tahun 1316 H atau tahun 1898 M, yakni setelah tentara Mesir dan Inggris memasuki negeri Sudan, hubungan itu pun pulih kembali. Surkati hanya tinggal sebentar di Mekkah, lalu beliau pindah ke Madinah. Di Madinah, beliau memperdalam ilmu agama dan bahasa Arab selama kurang lebih empat setengah tahun. Dua guru beliau yang terkenal di Madinah adalah dua ahli hadits kenamaan asal Maroko, yaitu Syaikh Shalih dan Umar Hamdan. Surkati juga belajar al-Quran pada Syaikh al-Khuyari. Beliau belajar ilmu fikih kepada ulama ahli fikih saat itu, yaitu Syaikh Ahmad Mahjub dan Syaikh Mubarak an-Nismat. Ia mendalami bahasa Arab kepada seorang ahli bahasa yang bernama Syaikh Muhammad al-Barzanji. Dari Madinah, beliau kembali lagi ke Mekkah dan tinggal di sana kurang lebih 11 tahun serta mendalami fikih madzhab Syafiiyah. Di Mekkah, Surkati adalah orang Sudan pertama yang mendapat gelar sebagai al-Allamah pada tahun 1326 H. Di antara gurunya di sana adalah al-Allamah Syaikh Yusuf al-Khayyath dan Syaikh Syuaib Musa al-Maghribi. Setelah itu beliau membuka madrasah di sana dan mengajar. Beliau juga tercatat sebagai pengajar tetap Masjidil Haram, aktif berkoresponden dengan ulama-ulama al-Azhar, sehingga beliau cukup dikenal dikalangan ulama-ulama al-Azhar pada saat itu. Syaikh Ahmad Surkati datang ke Indonesia pada Bulan Rabiul Awwal 1329, bertepatan dengan bulan Maret 1911. Kedatangannya ke Jawa ini berkat hubungan korespondensi dengan ulama-ulama al-Azhar yang merekomendasikan nama Ahmad Surkati kepada Jamiat al-Khair, Sebuah perhimpunan masyarakat Arab pertama di Indonesia yang dikelola oleh Alu Baalawi. Ia berangkat ke Jawa disertai dengan dua orang sahabatnya, Syaikh Muhammad Abdul Hamid as-Sudani dan Syaikh

13

Muhammad Thayib al-Maghribi. Itulah kali pertama Ahmad Surkati datang ke Indonesia atas permintaan Jamiat al-Khair, Jakarta. Di Jamiat al-Khair Ahmad Surkati diangkat sebagai penilik di sekolah-sekolah yang dibuka oleh perkumpulan masyarakat pertama ini. Sekolah yang berada di Krukut dikepalai oleh Syaikh Muhammad Thayib al-Maghribi, di Bogor dikepalai oleh Syaikh Muhammad Abdul Hamid as-Sudani dan yang di Pekojan dikepalai sendiri oleh Ahmad Surkati. Di tangan Ahmad Surkati, madrasah Jamiat al-Khair menjadi maju pesat. Pendiri Jamiyyt al-Ishlh wa al-Irsyd al-Arabiyyh Pada awalnya setelah mundur dari Jamiat al-Khair, Syaikh Ahmad Surkati akan kembali lagi ke Mekkah. Namun hal itu urung dilakukannya setelah mendapat permintaan dari Umar Manggusyi dan dua sahabatnya, Saleh Ubaid dan Said Salim Masyabi untuk tidak meninggalkan Indonesia dan memintanya untuk memimpin madrasah yang mereka dirikan di Jati Petamburan, Jakarta. Ahmad Surkati menerima ajakan dan permintaan itu. Bertepatan dengan tanggal 15 Syawal 1332 H atau 6 September 1914 secara resmi Ahmad Surkati membuka serta memberi nama sekolah itu dengan Madrash Al-Irsyd al-Islamiyyh. Bersamaan dengan pembukaan itu, ia menyetujui didirikannya jamiyyh yang akan menaunginya. Jamiyyh itu ia namakan Jamiyyt al-Ishlh wa al-Irsyd al-Arabiyyh. Jamiyyh itu pada tanggal 11 Agustus 1915 memperoleh pengakuan status badan hukum dari pemerintah Belanda. Tetapi walau pengakuan badan hukum itu keluar 11 Agustus 1915, mereka mencatat hari dan tanggal kelahirannya bersamaan dengan dibukanya madrasah alIrsyd yang pertama di Jati Petamburan, Jakarta, pada hari Ahad 15 Syawal 1332 H atau 6 September 1914. Tanggal itulah yang dicatat sebagai tanggal resmi berdirinya Perhimpunan Al-Irsyad. Dalam perkembangannya, al-Irsyd mempunyai cabang di berbagai kota, seperti Cirebon, Bumiayu, Tegal, Pekalongan, Solo, Surabaya, dan kota-kota lainnya. AlIrsyd juga mendapatkan simpati dari golongan Sayyid Abdullah bin Ali Alatas, pedagang kaya dan banyak menyumbang untuk perkembangan al-Irsyd. Dr. Pijper dalam bukunya Sejarah Islam Indonesia 1900-1950, sebagaimana dikutip Hussein Badjerei, mengatakan bahwa berdirinya al-Irsyd bukan didorong oleh keinginan Surkati untuk mengadakan sesuatu yang baru, tetapi didasarkan pada ketaatannya kepada akidah agama yang murni yang diturunkan oleh Allah lewat alQuran dan hadits. Dan Ahmad Surkati merupakan seorang pembaharu Islam di Indonesia. Ahmad Surkati meninggal pada usia 69 tahun, pada tahun 1943. Syaikh Ahmad Surkati wafat di kediamannya Jalan KH. Hasyim Asyari no. 25 Jakarta, dulu orang lebih mengenal dengan Gg. Solan, pada hari Kamis tanggal 16 September 1943 pukul 09 pagi. Ia tidak dikaruniai seorang anak pun. Jenazahnya di makamkan di pemakaman Karet Tanah Abang Jakarta. Karya-Karya Syaikh Ahmad Surkati Syaikh Ahmad Surkati memiliki beberapa karya tulis, sebagian besar karyanya berbentuk sanggahan dan bantahan terhadap penyimpangan-penyimpangan akidah, ibadah, maupun amalan lainnya dari al-Quran dan Sunnah yang shahih. Dan beliau adalah orang pertama yang memperkenalkan kritik sanad hadits dalam ber-istinbath (menggali hukum), dan menolak terhadap hadits-hadits yang tidak shahih dalam beristidlal (berdalil). Bila dilihat maka hal itu menunjukan kedalaman ilmu dan pemahaman penulisnya. Berikut adalah beberapa karya Ahmad Surkati yang cukup terkenal : 1. Surt al-Jawb (1915), yang berisi bantahan mengenai masalah kafaah (kufu dalam pernikahan). Dalam risalah ini Surkati membantah pemahaman kafaah yang keliru dengan argumentasi dari al-Quran dan Sunnah yang shahih, ucapan para salaf dan ulama Mujtahid. Risalah ini pertama kali disebarkan oleh surat kabar Suluh Hindia. 14

2. Tawjih al-Qurn il Adab al-Quran (1917). Risalah ini menguatkan risalah sebelumnya dengan tambahan-tambahan ilmiah yang lebih memperkuat argumentasi Ahmad Surkati dalam membantah masalah kafaah. 3. Al-Dzakhirah al-Islamiyyh (1923), adalah majalah bulanan yang dipimpinnya. Majalah ini hanya terbit sampai edisi ke-10. Isinya lebih banyak tentang fatwafatwa, pembahasan hadits-hadits palsu, pembahasan fiqh, tafsir, juga membahas tentang syirik, bidah, khurafat dan tahayul yang ketika itu sudah lama menjadi keyakinan kaum muslimin ketika itu. 4. Al-Masil al-Tsalts (1925)), atau Tiga persoalan yang berisikan tertang masalah ijtihd taklid, sunnah bidah, dan ziarah kubur tawassul. 5. Al-Washyah al-Amiriyyah (1918) berisi tentang anjuran-anjuran kepada sunnah dan kebajikan. Buku ini senantiasa diawali dengan seruan ayyuha al-mumin 6. Al-Adb al-Qurniyyah yang diterjemahkan oleh Van der Plaas ke dalam bahasa Belanda dengan judul Zedeleer Uit den Qoran. Buku ini ditujukan kepada orangorang Islam yang berpendidikan Belanda. 7. Al-Khawtir al-Hisan (1914) adalah risalah beliau yang terakhir ketika beliau telah berusia lanjut dan buta matanya yang berisikan syair-syair. 8. Muhammadiyah Bertanya Surkati Menjawab. Buku kecil ini bersumber dari naskah Surkati atas pertanyaan Pimpinan Muhammadiyah bulan Maret 1938, yang kemudian diterjemahkan Abdullah Badjerei dan diterbitkan pada tahun 1985. 9. Hak Soeami Istri, yang diterbitkan oleh Persatoean Islam, Bandung tahun 1933. Buku ini adalah naskah ceramah Ahmad Surkati Huqq al-Nis (hak-hak kaum wanita)

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Drs. H. Djamaluddin, Drs. Aly Abdullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1998. 2. http://irhashshamad.blogspot.com/2008/12/prof-dr-h-mahmud-yunus-danperkembangan.html 3. http://www.jurnalstidnatsir.co.cc/2009/06/syaikh-ahmad-syurkati-guru-daritokoh.html

16

Anda mungkin juga menyukai