Anda di halaman 1dari 10

1

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Refluks Laringofaringeal (RLF) adalah aliran balik asam lambung ke daerah laringofaring, dengan karakteristik gejala suara serak, throat clearing, sekret di belakang hidung, kesulitan dalam proses menelan, batuk setelah makan/berbaring, tersedak, batuk kronik, dan perasaan mengganjal di tenggorok . Keadaan ini diduga sebagai salah satu

penyebab timbulnya penyakit-penyakit pada laring, termasuk refluks laringitis, stenosis pita subglottik, suara karsinoma dan laring, fiksasi ulkus/granuloma arytenoid.(Wong

kontak,nodul

dkk.,2000;Belafskydkk.,2001). Beberapa istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan kelompok keluhan dan tanda penyakit ini ialah Penyakit refluks supraesofageal, penyakit refluks laringitis, dan komplikasi ekstaresofageal penyakit refluks gastresofageal (PRGE). Kekerapan penyakit ini lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan wanita yaitu 55%:45%.(Milstein dkk., 2005). Diperkirakan 4-10% penderita yang dirujuk ke dokter spesialis THT mempunyai keluhan yang berhubungan dengan refluks.(Christian and Peter,2008). Beberapa penelitian melaporkan sekitar 50-80% penderita asma, 10-20% batuk kronis, 25-50% dengan sensasi globus dan hampir 80% penderita dengan

suara

serak

mempunyai

hubungan

dengan

refluks.(Koufmandkk.,

1996;Hawkins, 1997;Hopkinsdkk.,2005). Penyakit Refluks laringofaringeal sering ditemukan baik sebagai penyakit yang berdiri sendiri maupun sebagai bagian dari penyakit yang ada. Sejak akhir tahun 1960, refluks asam gastroesofageal diduga terlibat dalam patogenesis terjadinya gangguan ekstraesofageal

(Cherrydkk.,1968). Meskipun hubungan sebab akibat terjadinya telah diperkuat oleh beberapa penelitian,namun fakta-fakta yang mendasari terjadinya refluks masih tetap berkembang.(Bardia dkk.,2009). Beberapa alasan utama sehingga beberapa peneliti sulit untuk menentukan

hubungan yang jelas antara PRGE dengan RLF antara lain:


Tidak semua penderita PRGE mempunyai keluhan supraesofageal Pada penderita dengan keluhan laring-faring yang diduga

komplikasi refluks tidak memperlihatkan karakteristik keluhan PRGE seperti keluhan rasa panas didada dan regurgitasi bahkan pada beberapa penderita didapatkan keluhan supraesofageal dan ulkus peptik esofagus yang masing-masing berdiri sendiri

Respon obat-obatan yang digunakan untuk menghambat sekresi asam lambung pada RLF masih belum jelas sebagaimana pada PRGE Tidak hanya mekanisme dan manifestasi RLF dan PRGE yang

berbeda, banyak penelitian yang memperlihatkan bahwa mukosa laring

lebih sensitif pada pemaparan asam-pepsin dibandingkan mukosa esophagus(Koufman, 1991) Diagnosa RLF dapat ditegakkan dari riwayat penyakit, gejala klinik, pemeriksaan laringoskopi, serta monitoring pH 24 jam dengan probe

ganda untuk menentukan adanya refluks asam lambung ke laringofaring. Monitoring pH selama 24 jam dengan probe ganda pada faring dan esofagus masih merupakan pemeriksaan baku emas untuk menentukan adanya refluks, namun pemeriksaan ini masih jauh dari kriteria ideal oleh karena sensitifitas pH-metri yang dilaporkan sekitar 50 %-80 %, dan

sekitar 12 % dari pasien THT tidak dapat mentoleransi prosedur ini. Biaya pemeriksaan pH-metri masih mahal serta tidak semua pusat pelayanan menyediakan alat ini.(Knight,2005;Kornel, 2008) Berdasarkan penelitian dengan menggunakan pH probe yang dikonfirmasi dengan kasus-kasus RLF, Belafsky dkk.(2002)

mengembangkan suatu sistem skoring dengan menggunakan skala 0 sampai 5 berdasarkan penilaian terhadap gejala-gejala laring. Sistem

skoring yang dinamakan Reflux Symptom Index (RSI) ini dapat membantu klinisi dalam menilai berat ringannya penyakit sebelum dan sesudah terapi.Nilai RSI lebih besar dari 13 dianggap abnormal.Selain RSI, Belafsky dkk.juga telah mengembangkan Reflux Finding Score (RFS) untuk menilai berat ringannya gambaran klinis kelainan laring berdasarkan pemeriksaan laringoskopi fiberoptik. Skor maksimum dari RFS adalah 26 dan bila skor 7 atau lebih dapat didiagnosa sebagai RLF

(Belafskydkk.,2001;Ford, 2005). Pada penelitian yang dilakukan oleh Messalam Tamer dkk.(2007) untuk membandingkan keakuratan RSI dan RFS dalam mendiagnosa RLF pada 40 pasien secara random didapatkan korelasi yang signifikan antara RSI dan RFS (p < 0,001). (Tamer M dkk., 2007) Pepsin telah lama diketahui sebagai penyebab penyakit ulkus peptik namun keterkaitan dengan organ saluran napas atas baru diketahui beberapa tahun terakhir.Karena pepsin tidak disintesis oleh tipe sel apapun dalam saluran napas, maka adanya pepsin pada saluran nafas merupakan bukti nyata bahwa pepsin tersebut berasal dari refluks isi lambung ke laringofaring, oleh karena itu pengukuran pepsin pada saliva dan sekret saluran nafas dapat menjadi petanda diagnostik yang sensitif pada RLF.Penelitian yang dilakukan oleh Johnston N dkk.didapatkan pepsin pada epitel laring penderita RLF sementara pada kontrol tidak ditemukan.(Johnston, 2003; Knight, 2005; Mahmoud, 2008;Kahrilas, 2000) Pengobatan RLF mencakup modifikasi gaya hidup, terapi supresi asam dan operasi. Pemberian proton pump inhibitor (PPI) sebagai terapi supresi asam masih merupakan terapi pilihan. Sebagai terapi pilihan, penggunaan penggunaan PPI obat masih ini dari diperdebatkan satu oleh ke karena efektivitas lainnya

penelitian

penelitian

menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Beberapa penelitian secara statistik memperlihatkan perbaikan terhadap keluhan dan kelainan laring setelah pemberian PPI selama 6-24 minggu.(Ulualp dkk., 2001;Delgadio

dkk., 2003;Park dkk., 2005;Siupsinskiene dkk., 2007). Penelitian lain yang dilakukan untuk membandingkan efektifitas potensial pemberian terapi PPI dengan pemberian plasebo pada RLF, menunjukkan secara statistik pemberian PPI terhadap perbaikan keluhan refluks, tidak bermakna (Wo dkk.,2006; Steward dkk.,2004;Ehererdkk.,2003). Penelitian prospektif dengan skala besar terhadap 145 pasien dengan membandingkan efek pemberian esomeprazole slama 16 minggu dengan plasebo menunjukkan resolusi keluhan primer RLF hanya 14,7% dibandingkan dengan kelompok plasebo sebesar 16% (Vaezi dkk., 2006;Gatta dkk., 2007). Penelitianpenelitian ini juga menunjukkkan kegagalan PPI yang disebabkan oleh timbulnya fenomena rebound acid hypersecretion setelah penghentian PPI(Wo dkk., 2006). Faktor lain kegagalan PPI sebagai terapi supresi asam adalah tidak memberikan respon terhadap kandungan refluks selain pepsin yaitu asam lemah yang berasal dari asam empedu yang ikut berperan dalam timbulnya keluhan RLF (Mainiedkk., 2006). Selain itu pula PPI tidak mengurangi episode refluks yang terjadi tetapi hanya mengubah kondisi keasam refluks menjadi tidak asam atau sedikit

asam(Tamhankardkk., 2004). Meskipun hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan hubungan yang bermakna antara terjadinya komplikasi ekstraesofageal akibat paparan asam-pepsin dengan mekanisme pertahanan mukosa laring, tetapi penjelasan bagaimana mekanisme terjadinya refluks laring-faring

masih belum jelas.Diduga defek primer RLF berhubungan dengan disfungsi Spinkter Atas Esofagus(SAE).(Belafsy dkk., 2001). Satu-satunya neurotransmiter utama yang ditemukan pada otot-otot yang membuka maupun menutup SAE adalah asetilkolin yang bekerja melalui reseptor nikotinik asetilkolin(Tadakidkk.,1995). Reseptor nikotinik asetilkolin (NACh) adalah reseptor kolinergik yang membentuk ligand-

gate ion channel pada membran plasma serabut saraf. Reseptor ini bekerja akibat adanya ikatan dengan neurotransmiter asetilkolin.Reseptor NACh banyak ditemukan pada sistem saraf pusat dan saraf perifer dan merupakan reseptor ionotropik yang terbaik untuk dikaji.Stimulasi reseptor NACh yang terdapat pada neuromuscular junction otot somatik dapat menyebabkan kontraksi otot.Otot-otot SAE merupakan jenis otot

skelet/rangka yang diperantarai oleh reseptor nikotinik asetilkolin tipe muskularis.Reseptor ini bertanggung jawab atas terjadinya transmisi impuls saraf dari saraf motorik ke serat-serat otot.Reseptor nikotinik asetilkolin tipe muskularis memiliki 4 subunit yaitu 1, 1, , /. Masing masing subunit bekerjasama dan memiliki fungsi masing-masing pada proses terjadinya transmisi impuls listrik. Subunit 1 dikatakan sebagai bagian yang prinsipil pada reseptor nikotinik asetilkolin sebabbinding pocket (tempat terikatnya neurotransmiter asetilkolin dengan reseptor)

berada pada subunit ini Penelitian yang berhubungan dengan distribusi reseptor NACh dengan timbulnya gejala-gejala degenerasi saraf, defisit kognitif dan

kelemahan

otot

telah

banyak

dilakukan

pada

penyakit-penyakit

:Alzheimer, epilepsi, schizophrenia, Parkinson dan Mystenia gravis (Nashmi dkk. 2003;SL Gorgi,2005; Pimlott,2004; Bianca M.dkk 2006) Dari fakta-fakta yang telah dipaparkan diatas peneliti menduga bahwa refluks isi lambung ke ruang laring-faring berhubungan dengan berkurangnya kadarreseptor nikotinik asetilkolin1 pada otot-otot yang mempertahankan penutupan dan pembukaan SAE,oleh sebab itu peneliti tertarik untuk membuktikan hipotesis ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : a. Bagaimana distribusi reseptor nikotinik asetilkolin 1 spinkter atas esofagus pada penderita RLF ? b. Apakah distribusi reseptornikotinik asetilkolin 1spinkter atas esophagus berhubungan dengan kadar pepsin penderita RLF ? c. Apakah distribusi reseptornikotinik asetilkolin 1spinkter atas esophagus berhubungan dengan beratnya keluhan penderita RLF ? d. Apakah distribusi reseptornikotinik asetilkolin 1spinkter atas esophagus berhubungan dengan beratnya gejala penderita RLF ?

e. Apakah distribusi reseptornikotinik asetilkolin 1 spinkter atas esofagus berhubungan dengan patomekanisme RLF ? C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah distribusireseptor nikotinik asetilkolin 1spinkter atas esofagus sebagai faktor penyebab terjadinya RLF 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui distribusi reseptornikotinik asetilkolin 1reseptor

nikotinik asetilkolin spinkter atas esofagus pada penderita RLF b. Mengetahui peran reseptor nikotinik asetilkolin 1spinkter atas esofagus dalam peningkatan kadar pepsin refluksatpada penderita RLF c. Mengetahui peran reseptor nikotinik asetilkolin 1spinkter atas esofagus dalammemperberat keluhan penderita RLF. d. Mengetahui peran reseptor nikotinik asetilkolin 1spinkter atas esofagus dalam memperberat gejala penderita RLF e. Mengetahui peran reseptor nikotinik asetilkolin 1spinkter atas esofagus dalam patomekanisme RLF

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapan dari penelitian ini adalah : 1. Dapat membuktikan bahwa ada hubungan antara distribusi reseptor nikotinik asetilkolin 1 spinkter atas esofagus dengan

patomekanisme yang mendasari kejadian RLF. 2. Dengan mengetahui mekanisme yang mendasari, dapat

dikembangkan model terapi obat untuk RLF dengan target pada reseptor tersebut. 3. Dapat dilakukan penatalaksanaan pada RLF yang lebih

komprehensif 4. Memperoleh data mengenai kejadian RLF di Makassar

HIPOTESIS Hipotesis yang ingin dibuktikan adalah : 1. Semakin berkurang distribusi reseptor nikotinik asetilkolin 1pada spinkter atas esofagus semakin tinggi kadar pepsin refluksat dan semakin memperberat keluhan dan gejala penderita RLF 2. Ada hubungan antara distribusi reseptor nikotinik asetilkolin 1spinkter atas esofagus dengan patomekanisme terjadinya RLF.

10

Anda mungkin juga menyukai