Anda di halaman 1dari 65

KONSUMSI IKAN ANAK USIA SEKOLAH PADA KELUARGA NELAYAN DAN NON NELAYAN BERDASARKAN KEADAAN SOSIAL EKONOMI

RATU NURSYAH OKTARI A54103065

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

RINGKASAN
RATU NURSYAH OKTARI. A54103065. Konsumsi Ikan Anak Usia Sekolah pada Keluarga Nelayan dan Non Nelayan berdasarkan Keadaan Sosial Ekonomi. (Di bawah bimbingan SITI MADANIJAH dan AMINI NASOETION) Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsumsi ikan pada anak usia Sekolah Dasar keluarga nelayan dan non nelayan berdasarkan tingkat sosial ekonominya di Kabupaten Serang. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1) Membandingkan konsumsi ikan anak usia Sekolah Dasar pada keluarga nelayan dan non nelayan; 2) Membandingkan konsumsi ikan anak usia Sekolah Dasar pada keluarga nelayan dan non nelayan berdasarkan tingkat pendapatan; 3) Menganalisis sumbangan konsumsi protein ikan terhadap tingkat kecukupan protein; 4) Menganalisis hubungan karakteristik keluarga, karakteristik contoh dan kebiasaan mengkonsumsi ikan dengan konsumsi ikan anak usia Sekolah Dasar. Penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2007 di Kelurahan Kagungan, Kecamatan Serang (non nelayan) dan Desa Banten, Kecamatan Kasemen (nelayan), Kabupaten Serang, Banten. Lokasi penelitian dipilih secara purposive. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study. Contoh dikelompokkan ke dalam empat kelompok, yaitu contoh yang berasal dari keluarga nelayan sejahtera, keluarga nelayan pra sejahtera, keluarga non nelayan sejahtera dan keluarga non nelayan pra sejahtera. Kemudian masing-masing kelompok dipilih secara acak sebanyak 30 contoh, sehingga total contoh dalam penelitian adalah 120 orang. Data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner, meliputi karakteristik keluarga, karakteristik contoh dan data konsumsi ikan. Sedangkan data sekunder meliputi gambaran umum daerah penelitian didapatkan dari kantor pemerintah daerah setempat. Pengolahan data menggunakan program komputer Microsoft Excel dan SPSS versi 13.0 for windows. Uji beda untuk melihat adanya perbedaan variabel terpengaruh dan pengaruh antara keluarga nelayan dan non nelayan menggunakan Mann-Whitney dan Uji T-student. Selain itu, dilakukan pula analisis korelasi Rank Spearman untuk melihat hubungan variabel yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 65% keluarga non nelayan dan 70% keluarga nelayan memiliki jumlah anggota keluarga 5-7 orang dengan pendapatan perkapita rata-rata Rp.179.539 pada keluarga nelayan dan Rp.336.325 pada keluarga non nelayan. Tingkat pendidikan orang tua keluarga non nelayan sejahtera lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Pengetahuan gizi ibu keluarga nelayan (81,7%) dan keluarga non nelayan (46,7%) berada pada kategori kurang. Lebih dari separuh contoh berjenis kelamin perempuan, dengan rata-rata usia sekitar 9 tahun. Terdapat 13,3% contoh keluarga non nelayan dan 8,3% keluarga nelayan yang memiliki alergi terhadap ikan. Sebagian besar contoh berstatus gizi normal berdasarkan BB/U. Sebanyak 63,3% contoh keluarga nelayan dan 41,7% contoh keluarga non nelayan memiliki pengetahuan gizi kurang Pantangan mengkonsumsi ikan hanya ada pada keluarga non nelayan pra sejahtera (13,3%). Sebanyak 46,7% keluarga nelayan dan 28,3% keluarga non nelayan memiliki persediaan ikan dalam rumah tangga. Frekuensi makan ikan contoh keluarga nelayan lebih banyak dibandingkan contoh keluarga non nelayan. Rata-rata konsumsi ikan contoh keluarga nelayan sejahtera sebesar

51,2 g/hari, contoh keluarga nelayan pra sejahtera 42,3 g/hari, contoh keluarga non nelayan sejahtera 40,0 g/hari serta contoh keluarga non nelayan pra sejahtera 17,3 g/hari. Contoh keluarga nelayan mengkonsumsi ikan lebih banyak dibandingkan dengan contoh keluarga non nelayan. Contoh keluarga sejahtera juga mengkonsumsi ikan lebih banyak dibandingkan dengan contoh keluarga pra sejahtera baik pada keluarga nelayan maupun non nelayan. Rata-rata ini masih di bawah anjuran FAO yaitu sekitar 71,2 g/kap/hari, hanya sekitar 10% contoh keluarga nelayan dan 5% contoh keluarga non nelayan yang dapat memenuhi anjuran tersebut. Contoh keluarga nelayan mengkonsumsi ikan air laut (39,4 g/kap/hari) lebih banyak dibandingkan dengan contoh keluarga non nelayan (8,0 g/kap/hari), sedangkan contoh keluarga non nelayan mengkonsumsi ikan budidaya air tawar (20,6 g/kap/hari) lebih banyak dibandingkan contoh keluarga nelayan (8,1 g/kap/hari). Contoh keluarga pra sejahtera mengkonsumsi ikan awetan lebih banyak dibandingkan dengan contoh keluarga sejahtera. Rata-rata konsumsi protein pada contoh keluarga nelayan sejahtera, nelayan pra sejahtera, non nelayan sejahtera dan non nelayan pra sejahtera berturut-turut adalah 9,1 g/hari, 8,9 g/hari, 5,9 g/hari dan 3,4 g/hari. Sumbangan protein ikan dianjurkan oleh WKNPG sebesar 9 g/hari, namun hanya sebanyak 43,3% contoh keluarga nelayan dan 13,3% contoh keluarga non nelayan yang dapat memenuhi anjuran tersebut. Selain itu, rata-rata sumbangan protein ikan terhadap kecukupan protein per hari terbesar berada pada contoh keluarga nelayan sejahtera dan pra sejahtera, yaitu 26,8%, sedangkan sumbangan protein ikan terhadap kecukupan protein contoh per hari keluarga non nelayan sejahtera adalah 15,9% dan 9,4% pada contoh keluarga pra sejahtera. Hasil uji Spearman menunjukkan pendapatan dan mata pencaharian keluarga (nelayan dan non nelayan) serta kebiasaan mengkonsumsi ikan berhubungan dengan konsumsi ikan contoh. Contoh yang berasal dari keluarga nelayan mengkonsumsi ikan lebih banyak. Pendapatan keluarga yang semakin tinggi, maka ada kecenderungan konsumsi ikannya meningkat. Kesukaan anak pada ikan, frekuensi yang lebih sering serta banyaknya persediaan ikan dalam rumah tangga dapat meningkatkan konsumsi ikan. Konsumsi ikan anak masih rendah jika dibandingkan dengan anjuran yang ditetapkan FAO. Oleh karena itu, diperlukan penyuluhan gizi kepada masyarakat, terutama ibu sebagai pengambil keputusan dalam pengaturan konsumsi pangan keluarga tentang manfaat ikan khususnya pada kelompok yang konsumsi ikannya masih sangat rendah, yaitu keluarga non nelayan pra sejahtera. Tidak semua ikan memiliki harga yang mahal, sehingga keluarga pra sejahtera dapat membeli ikan yang harganya lebih terjangkau. Nilai protein ikan segar apa pun jenisnya mengandung protein relatif sama, dengan kisaran 1622%, sehingga tidak perlu membeli ikan yang mahal untuk mencukupi protein ikan. Selain itu, diperlukan penyuluhan gizi mengenai cara penanganan dan pengolahan ikan yang baik agar dapat menghilangkan bau amis pada ikan yang biasanya tidak disukai dan menjadi salah satu penyebab seseorang tidak menyukai ikan. Meningkatnya konsumsi ikan, diharapkan dapat meningkatkan sumbangan protein ikan.

KONSUMSI IKAN ANAK USIA SEKOLAH PADA KELUARGA NELAYAN DAN NON NELAYAN BERDASARKAN KEADAAN SOSIAL EKONOMI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Program Studi S1 Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

RATU NURSYAH OKTARI A54103065

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Judul

: Konsumsi Ikan Anak Usia Sekolah pada Keluarga Nelayan dan Non Nelayan berdasarkan Keadaan Sosial Ekonomi : Ratu Nursyah Oktari : A54103065

Nama Nomor Pokok

Menyetujui, Dosen Pembimbing 1 Dosen Pembimbing 2

(Dr. Ir. Siti Madanijah, MS) NIP. 130. 541. 472

(Prof. Dr. Ir. Amini Nasution, MSc) NIP. 130. 234. 811

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

(Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr) NIP. 131.124.019

Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Serang, 8 Oktober 1984. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Bapak H. Tubagus Hidayat dan Ibu Hj. Yetty Supriyati. Penulis menamatkan pendidikan dasar pada tahun 1997 di SD Negeri 11 Serang. Kemudian menamatkan pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 1 Serang pada tahun 2000 dan pendidikan menengah atas di SMU Negeri 1 Serang pada tahun 2003. Tahun 2003, penulis diterima menjadi mahasiswa di Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Penulis pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan yang berjudul Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat di Lingkar Kampus Darmaga Institut Pertanian Bogor melalui Produksi Dodol Lidah Buaya (Aloe vera) Skala Rumah Tangga dan berhasil lolos ke tingkat nasional pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional XIX pada tahun 2006. Karya lain yang pernah dibuat adalah Program Kreativitas Mahasiswa bidang Pengabdian kepada Masyarakat yang berjudul Program Cinta Kita untuk Anak Jalanan di Kota Bogor pada tahun 2006 dan berhasil menjadi penyaji presentasi terbaik II dan penyaji presentasi poster terbaik III pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional XX pada tahun 2007. Penulis pernah aktif dalam beberapa kegiatan organisasi kampus di antaranya HIMAGITA (Himupunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian) 2004/2005, Bina Desa 2006/2007, serta FKMG (Forum Keluarga Mushalla GMSK) 2004/2006. Penulis juga cukup aktif mengikuti kepanitiaan baik yang diselenggarakan oleh GMSK maupun BEM Faperta.

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya akhirnya penulis dapat menyusun skripsi yang berjudul Konsumsi Ikan Anak Usia Sekolah pada Keluarga Nelayan dan Non Nelayan berdasarkan Keadaan Sosial Ekonomi. Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk dapat memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kelancaran dalam menyelesaikan penelitian ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS dan Prof. Dr. Ir. Amini Nasution, MSc selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, saran, dukungan, semangat serta nasihatnya. 2. 3. 4. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku dosen pemandu seminar dan dosen penguji. Seluruh staf pengajar Program Studi GMSK yang telah memberikan bekal pendidikan dan pengetahuan. Ayah, ibu, kakak dan adik serta seluruh keluarga terkasih, atas semua doa, dukungan, semangat, nasihat dan kasih sayang yang selalu diberikan kepada penulis. 5. 6. Pemerintah daerah setempat atas informasi dan bantuan yang diberikan Teman-teman GMSK tersayang : Dewi, Juli, Eva, Novera, Utie, Inna W, Icha, Anna, Nining, Meilia dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas kenangan yang penuh warna. 7. 8. Sahabat terbaik : Awen, Nova, Ida, Asih dan Solis atas nasihat dan semangat yang diberikan serta anak-anak REGINA. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis selama kuliah hingga penyelesaian skripsi. Akhir kata penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna dan dapat dijadikan sebagai perbandingan maupun penambah pengetahuan para pembaca umumnya. Bogor, Januari 2008

Penulis

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii DAFTAR TABEL............................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vi DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... vii PENDAHULUAN Latar Belakang ..................................................................................... Perumusan Masalah............................................................................. Tujuan................................................................................................... Hipotesis............................................................................................... Kegunaan ............................................................................................. TINJAUAN PUSTAKA Kebutuhan Gizi Anak Usia Sekolah Dasar ........................................... Peran Protein dalam Pertumbuhan dan Perkembangan ...................... Potensi dan Manfaat Ikan ..................................................................... Pola Konsumsi Ikan.............................................................................. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Ikan.............................. METODE Desain, Tempat dan Waktu .................................................................. Penarikan Contoh................................................................................. Jenis dan Cara Pengumpulan Data...................................................... Pengolahan dan Analisis Data ............................................................. Definisi Operasional ............................................................................. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Keluarga .......................................................................... Karakteristik Contoh ............................................................................. Kebiasaan Mengkonsumsi Ikan............................................................ Sumbangan Protein Ikan terhadap Kecukupan Protein ....................... Tingkat Kecukupan Energi dan Protein ................................................ Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Konsumsi Ikan ................... 1 2 3 4 4 5 6 7 9 11

KERANGKA PEMIKIRAN............................................................................... 16 18 18 20 22 23 25 28 31 38 40 42

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan .......................................................................................... 48 Saran ................................................................................................... 49 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 50 LAMPIRAN ..................................................................................................... 53

DAFTAR TABEL
1. Angka kecukupan energi dan zat gizi anak usia sekolah dasar per hari .. 6 2. Mutu protein beberapa bahan makanan................................................... 6 3. Kandungan gizi beberapa jenis sumber protein hewani per 100 g........... 8 4. Variabel, kategori, jenis dan cara yang digunakan dalam pengambilan data........................................................................................................... 21 5. Sebaran contoh menurut besar keluarga pada keluarga nelayan dan non nelayan ...................................................................................... 25 6. Sebaran contoh menurut pendidikan ayah dan ibu pada keluarga nelayan dan non nelayan ........................................................................ 26 7. Sebaran contoh menurut pendapatan per kapita per bulan keluarga pada keluarga nelayan dan non nelayan.................................................. 27 8. Sebaran contoh menurut pengetahuan gizi ibu pada keluarga nelayan dan non nelayan ....................................................................................... 27 9. Sebaran contoh berdasarkan umur pada keluarga nelayan dan non nelayan ....................................................................................... 28 10. Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin pada keluarga nelayan dan non nelayan ......................................................................... 28 11. Sebaran contoh menurut lama pendidikan pada keluarga nelayan dan non nelayan ........................................................................ 29 12. Sebaran contoh menurut alergi contoh terhadap ikan pada keluarga nelayan dan non nelayan ........................................................................ 29 13. Sebaran contoh menurut BB/U pada keluarga nelayan dan non nelayan 30 14. Sebaran contoh menurut pengetahuan gizi contoh pada keluarga nelayan dan non nelayan ........................................................................ 30 15. Sebaran keluarga contoh menurut pantangan terhadap ikan pada keluarga nelayan dan non nelayan .......................................................... 31 16. Sebaran keluarga contoh berdasarkan persediaan ikan dalam rumah tangga pada keluarga nelayan dan non nelayan ..................................... 32 17. Sebaran keluarga contoh berdasarkan bentuk persediaan ikan dalam rumah tangga pada keluarga nelayan dan non nelayan .......................... 32 18. Sebaran keluarga contoh berdasarkan cara mendapatkan ikan pada keluarga nelayan dan non nelayan........................................................... 33 19. Sebaran keluarga contoh berdasarkan frekuensi makan ikan dalam satu bulan terakhir pada keluarga nelayan dan non nelayan .................. 33 20. Sebaran contoh menurut kesukaan terhadap ikan pada keluarga nelayan dan non nelayan ........................................................................ 34 21. Sebaran contoh menurut konsumsi ikan per hari pada keluarga nelayan dan non nelayan berdasarkan anjuran FAO ............................................ 35 22. Keragaan ikan yang dikonsumsi per hari pada keluarga nelayan dan non nelayan ...................................................................................... 37

23. Sebaran contoh menurut asupan protein ikan per hari pada keluarga nelayan dan non nelayan berdasarkan anjuran WKNPG ........................ 39 24. Sebaran contoh menurut sumbangan protein ikan per hari pada keluarga nelayan dan non nelayan ........................................................................ 40 25. Sebaran contoh menurut kategori tingkat kecukupan energi pada keluarga nelayan dan non nelayan .......................................................... 41 26. Sebaran contoh menurut tingkat kecukupan protein pada keluarga nelayan dan non nelayan ........................................................................ 42 27. Persentase contoh menurut besar keluarga dan konsumsi ikan pada keluarga nelayan dan non nelayan........................................................... 42 28. Persentase contoh menurut pendidikan orang tua dan konsumsi ikan pada keluarga nelayan dan non nelayan .......................................................... 43 29. Persentase contoh menurut pendapatan dan konsumsi ikan pada keluarga nelayan dan non nelayan ................................................. 44 30. Persentase contoh menurut pengetahuan gizi ibu dan konsumsi ikan pada keluarga nelayan dan non nelayan ................................................. 44 31. Sebaran contoh menurut karakteristik anak dan konsumsi ikan pada contoh keluarga nelayan dan non nelayan .............................................. 46 32. Persentase contoh menurut kesukaan anak dan konsumsi ikan pada contoh keluarga nelayan dan non nelayan ..................................... 46 33. Persentase contoh menurut persediaan ikan dalam rumah tangga dan konsumsi ikan pada keluarga nelayan dan non nelayan ......................... 47 34. Persentase contoh menurut frekuensi makan ikan dalam satu minggu dan konsumsi ikan pada keluarga nelayan dan non nelayan .................. 47

DAFTAR GAMBAR
1. Hubungan karakteristik anak usia sekolah dan keluarga terhadap konsumsi ikan............................................................................ 17 2. Penarikan contoh penelitian ..................................................................... 19

DAFTAR LAMPIRAN
1. Sebaran contoh berdasarkan persentase jawaban dari pengetahuan gizi ibu ...................................................................................................... 54 2. Sebaran contoh berdasarkan persentase jawaban dari pengetahuan gizi anak ................................................................................................... 55 3. Hasil uji Spearman hubungan konsumsi ikan dengan karakteristik keluarga.................................................................................................... 56 4. Hasil uji Spearman hubungan konsumsi ikan dengan karakteristik anak. 56 5. Hasil uji Spearman hubungan lama pendidikan dengan pengetahuan gizi contoh ................................................................................................ 56 6. Hasil uji Spearman hubungan pengetahuan gizi ibu dengan pengetahuan gizi contoh .......................................................................... 56 7. Hasil uji Spearman hubungan konsumsi ikan dengan kebiasaan makan ikan .............................................................................................. 57 8. Hasil uji Spearman hubungan pengetahuan gizi ibu dengan pendidikan ibu ......................................................................................... 57

PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Tiga per empat dari luas wilayah Indonesia atau sekitar 5,8 juta km2 berupa laut. Garis pantai Indonesia sekitar 81.000 km atau terbesar kedua di dunia. Potensi lestari atau maximum sustainable yield ikan laut seluruhnya 6,4 juta ton per tahun atau sekitar 7% dari total potensi lestari ikan laut dunia, namun baru sekitar 58,5% yang dimanfaatkan. Hasil perikanan laut Indonesia pada tahun 2003 mencapai 4,1 juta ton (63% dari potensi lestari). Sedangkan pada tahun 2005, produksi ikan secara nasional mencapai 4.970.010 ton (Numberi 2006). Bidang kelautan dan perikanan menyumbang 65% dari kebutuhan protein hewani masyarakat, 60% diantaranya merupakan hewan tangkap. Pada tahun 2004, Presiden Megawati Soekarno Putri mencanangkan program GEMARI-IKAN (Gerakan Makan Ikan Nasional), sebuah program yang bertujuan untuk meningkatkan konsumsi ikan Indonesia yang masih rendah. Program ini memasyarakatkan pola makan ikan kepada semua lapisan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan dan kecerdasan bangsa. Peningkatan konsumsi ikan juga dapat meningkatkan pemanfaatan dan pendayagunaan potensi perikanan di Indonesia yang masih terbilang rendah. Konsumsi ikan rata-rata penduduk Indonesia pada tahun 1998 sebesar 17 kg/kap/tahun, 21,57 kg/kap/tahun pada tahun 2000, 23 kg/kap/tahun pada tahun 2003 dan 26 kg/kap/tahun pada tahun 2005. Walaupun jumlahnya meningkat tiap tahunnya, namun jumlah ini masih lebih rendah dibandingkan beberapa negara lain yang luas lautnya lebih kecil. Tingkat Konsumsi ikan ratarata per kapita per tahun di Hongkong, Singapura, Taiwan, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Malaysia berturut-turut adalah 80, 70, 65, 60, 35, dan 30 kg (Dahuri 2004). Ikan merupakan salah satu jenis pangan hewani yang memiliki kandungan protein yang sempurna. Semua asam amino dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan tubuh terkandung di dalamnya. Selain itu, ikan juga memiliki kandungan asam lemak omega-3 yang diketahui dapat menurunkan kadar kolesterol darah(Khomsan 2002). Menurut Madanijah, Zulaikhah dan Munthe (2005), konsumsi ikan pada anak balita keluarga nelayan juragan dan buruh relatif sama, yaitu 37,6 g/hari pada keluarga nelayan juragan dan 34,9 g/hari pada keluarga nelayan buruh. Hal

ini menunjukkan, tingkat sosial ekonomi pada keluarga nelayan tidak menjamin konsumsi ikannya lebih baik. Walaupun nelayan memiliki mata pencaharian menangkap ikan, namun dari tingkat konsumsi tersebut sekitar lebih dari 60% ikan yang dikonsumsi didapatkan dengan membeli baik pada keluarga nelayan juragan maupun buruh. Pada keluarga nelayan juragan hanya sekitar 28% konsumsi ikan berasal dari hasil tangkap sendiri, sedangkan nelayan buruh hanya 25,7%. Perkembangan dan pertumbuhan pada anak usia sekolah relatif stabil jika dibandingkan dengan periode pra sekolah dan remaja (Lee 1993). Namun, anak yang memasuki usia sekolah mulai melakukan kegiatannya tidak hanya di rumah dan lingkungan sekitarnya, tapi juga di sekolah. Oleh karena itu anak usia sekolah membutuhkan asupan gizi yang cukup untuk mencukupi kebutuhannya yang salah satu alternatifnya adalah ikan. Kabupaten Serang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Banten yang memiliki potensi laut yang cukup tinggi. Wilayah barat dibatasi oleh Selat Sunda, sedangkan wilayah utara dibatasi oleh Laut Jawa. Hasil tangkap ikan laut pada tahun 2006 mencapai 7.461,1 ton, hasil tangkap perairan umum 283,2 ton, sedangkan hasil tangkap ikan budidaya (sawah, tambak, kolam) mencapai 3.781 ton. Kondisi alam ini sangat mendukung program peningkatan konsumsi ikan dalam rangka upaya peningkatan sumberdaya manusia untuk selanjutnya akan meningkatkan produksi ikan. Namun sampai saat ini belum ada penelitian konsumsi ikan anak usia sekolah yang dikaitkan dengan keadaan sosial ekonomi di Kabupaten Serang. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti konsumsi ikan anak usia sekolah pada keluarga nelayan dan non nelayan berdasarkan tingkat sosial ekonominya. Perumusan Masalah Ikan merupakan jenis pangan yang tinggi nilai gizinya, namun tingkat konsumsi ikan di Indonesia masih sangat rendah (26 kg/kap/tahun), jika dibandingkan negara lain yang luas lautnya lebih kecil (Hongkong 80 kg/kap/tahun, Singapura 70 kg/kap/tahun). Konsumsi ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya ketersediaan, pendapatan dan pengetahuan gizi. Nelayan yang pekerjaannya menangkap ikan memiliki akses yang cukup besar dalam mendapatkan ikan dibandingkan dengan keluarga non nelayan, karena nelayan dapat mengkonsumsi ikan hasil tangkapannya sendiri. Selain itu, harga ikan di daerah nelayan lebih rendah dibandingkan dengan daerah yang jauh dari

non nelayan. Oleh karena itu seharusnya tingkat konsumsi ikan keluarga nelayan lebih besar daripada keluarga non nelayan. Pendapatan juga memiliki peranan yang penting karena menyangkut dengan daya beli. Keluarga dengan tingkat pendapatan tinggi akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dibandingkan dengan keluarga dengan tingkat pendapatan rendah. Walaupun harga ikan di daerah bukan penghasil ikan lebih tinggi namun dengan daya beli yang tinggi pula maka hal itu bukan jadi masalah. Dilihat dari tingkat pendapatan dan ketersediaan, seharusnya keluarga nelayan dengan tingkat sosial ekonomi menengah ke atas memiliki tingkat konsumsi ikan paling tinggi, keluarga nelayan lebih tinggi konsumsi ikannya daripada keluarga non nelayan. Namun apakah benar hal tersebut mutlak terjadi, karena pada umumnya nelayan menjual hampir semua hasil tangkapannya. Walaupun tingkat pendapatan dan ketersediaan yang tinggi, namun tidak disertai tingkat pengetahuan gizi yang tinggi pula maka hal tersebut belum tentu terjadi, mengingat ikan merupakan jenis pangan yang tidak mudah diolah, mudah rusak sehingga masyarakat akan lebih memilih makanan yang lebih mudah diolah, selain itu, ikan juga memiliki bau amis yang tidak semua orang menyukainya. Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsumsi ikan pada anak usia sekolah dasar keluarga nelayan dan non nelayan berdasarkan tingkat sosial ekonominya di Kabupaten Serang. Tujuan Khusus Tujuan khusus pada penelitian ini adalah : 1. Membandingkan konsumsi ikan anak usia sekolah dasar pada keluarga nelayan dan non nelayan 2. Membandingkan konsumsi ikan anak usia sekolah dasar pada keluarga nelayan dan non nelayan berdasarkan tingkat pendapatan 3. Menganalisis sumbangan konsumsi protein ikan terhadap tingkat kecukupan protein ikan 4. Menganalisis hubungan karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan orang tua, pendapatan, pengetahuan gizi ibu), karakteristik contoh (alergi, pengetahuan gizi, status gizi) dan kebiasaan mengkonsumsi ikan (kesukaan, persediaan ikan, frekuensi konsumsi) dengan konsumsi ikan anak usia sekolah dasar

Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Konsumsi ikan anak keluarga nelayan lebih besar dibandingkan dengan anak keluarga non nelayan 2. Konsumsi ikan anak dari keluarga dengan pendapatan tinggi lebih besar dibandingkan dengan anak dari keluarga dengan pendapatan rendah Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang konsumsi ikan pada anak usia sekolah dasar pada keluarga nelayan dan non nelayan berdasarkan tingkat sosial ekonominya kepada masyarakat pada umumnya dan pemerintah Kabupaten Serang pada khususnya sehingga dapat dijadikan rujukan pada pembuatan kebijakan atau program pemerintah daerah dalam upaya mensosialisasikan GEMARI-IKAN dalam rangka peningkatan gizi masyarakat. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat meningkatkan khasanah pengetahuan tentang keragaan konsumsi pangan hewani, khususnya ikan.

TINJAUAN PUSTAKA
Kebutuhan Gizi Anak Usia Sekolah Dasar Menurut Lee (1993), perkembangan dan pertumbuhan pada anak usia sekolah relatif stabil jika dibandingkan dengan periode pra sekolah dan remaja. Pertumbuhan anak lambat dan stabil, tetapi gizi yang cukup tetap dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, di antaranya: 1. mencukupi kebutuhan energi untuk aktivitasnya 2. menjaga tubuh agar tahan terhadap penyakit 3. menyediakan kebutuhan untuk pertumbuhan 4. menyediakan penyimpanan gizi yang cukup untuk membantu pertumbuhan pada periode dewasa Aktivitas fisik merupakan bagian penting dalam kehidupan sehari-hari anak sekolah, seperti bermain, bersepeda, melempar dan lain-lain, dengan melakukan berbagai aktivitas fisik, kemampuan motorik anak akan bertambah (Hurlock 1991). Sedangkan menurut Riyadi (2001), pertumbuhan fisik anak usia 6-9 tahun merupakan hasil dari faktor lingkungan dan genetik serta interaksi antara keduanya. Faktor lingkungan yang dialami sebelum masa pubertas (10-16 tahun) merupakan faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan anak usia sekolah terutama pada keluarga miskin. Faktor lingkungan tersebut diantaranya angka kesakitan, sanitasi yang buruk, praktek kesehatan dan higiene yang buruk. Makanan yang dikonsumsi anak harus berasal dari sumber gizi yang baik dan dibutuhkan oleh tubuh dan sekurang-kurangnya mengandung tiga jenis zat gizi (Nasoetion & Riyadi menyebabkan 1995). Kekurangan energi yang kronis pada anak terganggu (Suhardjo 2003). dapat menyebabkan anak lemah, pertumbuhan jasmani terlambat serta perkembangan selanjutnya Kebutuhan gizi antar individu bervariasi, ditentukan atau dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur, ukuran tubuh (berat badan, tinggi badan), keadaan fisiologis (hamil dan menyusui), aktivitas fisik serta metabolisme tubuh (Hardinsyah, Briawan, Retnaningsih, Herawati, Wijaya 2002). Tabel 1 menunjukkan kecukupan energi dan zat gizi anak usia sekolah dasar.

Tabel 1 Angka kecukupan energi dan zat gizi anak usia sekolah dasar per hari
Umur BB TB 4-6 18 110 7-9 25 120 10-12 Pria 35 138 Wanita 37 145 a) Hardinsyah & Tambunan, 2004 b) Soekarti & Kartono, 2004 Energi a) (Kal) 1.550 1.800 2.050 2.050 Protein a) (g) 39 45 50 50 Kalsium b) (mg) 500 600 1.000 1.000 Iodium b) (mg) 120 120 120 120

Peran Protein dalam Pertumbuhan dan Perkembangan Protein merupakan bagian tebesar tubuh kedua setelah air dan bagian terbesar semua sel hidup. Protein termasuk ke dalam molekul makro yang mempunyai berat molekul 5000 sampai berjuta molekul. Protein terdiri dari rantairantai panjang asam amino yang terikat satu sama lain dalam ikatan peptida (Almatsier 2001). Proporsi dan jenis asam amino yang terkandung dalam protein menentukan mutu protein. Protein dengan nilai biologi tinggi atau bermutu tinggi adalah protein yang mengandung semua jenis asam amino esensial dalam proporsi yang sesuai untuk keperluan pertumbuhan disebut juga dengan protein komplit. Protein komplit terdapat pada semua protein hewani, kecuali gelatin. Sedangkan protein tidak komplit atau bermutu rendah adalah protein yang tidak mengandung atau mengandung dalam jumlah kurang (satu atau lebih asam amino esensial). Sebagian besar protein nabati merupakan jenis protein tidak komplit kecuali kacang kedelai dan kacang-kacangan lainnya (Almatsier 2001). Berdasarkan penelitian, mutu protein ikan setingkat dengan protein daging, sedikit di bawah telur dan di atas protein serealia dan kacang-kacangan. Mutu protein beberapa bahan makanan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Mutu protein beberapa bahan makanan
Bahan makanan NB NPU Telur 100 94 Ikan 76 Daging sapi 74 67 Beras tumbuk 86 59 Kacang kedelai 73 61 Biji-bijian 62 53 Keterangan : NB = Nilai biologi NPU = Net Protein Utilization PER = Protein Efficiency Ratio Sumber : Wardlaw & Insel dalam Almatsier, 2001 PER 3,92 3,55 2,30 2,32 1,77 Skor asam amino 100 71 69 67 47 42

Fungsi

utama

protein

adalah

membentuk

jaringan

baru

dan

mempertahankan jaringan yang telah ada dalam tubuh. Pertumbuhan atau penambahan otot hanya dapat terjadi jika campuran asam amino yang dibutuhkan tersedia dalam jumlah yang cukup, termasuk untuk pemeliharaan dan perbaikan jaringan tubuh. Protein juga dapat berfungsi sebagai sumber energi; jika keperluan energi dari karbohidrat tidak terpenuhi, protein akan terurai menjadi energi dan menghasilkan 4 Kal per g protein. Selain itu, protein juga berperan dalam pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh, mengatur kesimbangan air dalam tubuh, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi serta mengangkut zat-zat gizi (Almatsier 2001). Menurut FAO/WHO/UNU (1985) dalam Almatsier (2001), kebutuhan protein adalah konsumsi yang dibutuhkan untuk mencegah kehilangan protein tubuh dan memungkinkan produksi protein yang diperlukan dalam masa pertumbuhan, kehamilan atau menyusui. Kekurangan protein banyak terdapat pada masyarakat ekonomi rendah. Tanda awal kekurangan protein adalah terjadinya penumpukan cairan atau disebut juga edema. Kekurangan protein murni pada stadium berat menyebabkan kwashiorkor pada anak-anak Balita. Sedangkan kekurangan protein disertai bersamaan dengan kekurangan energi menyebabkan marasmus (Almatsier 2001). Menurut Suhardjo (2003), kekurangan protein yang kronis pada anak dapat menyebabkan pertumbuhan anak terlambat dan tampak tidak seimbang dengan umurnya. Pada keadaaan yang lebih buruk, dapat mengakibatkan berhentinya proses pertumbuhan dan pada anak-anak tampak gejala-gejala khusus seperti kulit bersisik, pucat bengkak dan perubahan warna rambut. Potensi dan Manfaat Ikan Menurut FAO, definisi ikan tidak terbatas pada ikan (finfish) yang bersirip dan bersisik serta dapat berenang dengan bebas di air, tetapi juga binatang berkulit keras (crustacea) seperti udang dan kepiting, molusca seperti cumi dan gurita, binatang air lainnya seperti penyu dan paus, rumput laut serta lamun laut (Nikijuluw dalam Tiwow 2003). Potensi lestari atau maximum sustainable yield ikan laut di Indonesia seluruhnya 6,4 juta ton per tahun atau sekitar 7% dari total potensi lestari ikan laut dunia, namun baru sekitar 58,5% yang dimanfaatkan. Hasil perikanan laut Indonesia pada tahun 2003 mencapai 4,1 juta ton, sedangkan pada tahun 2005 mencapai 4.970.010 ton (Numberi 2006).

Berat makanan yang dapat dimakan dari ikan sekitar 65-80%. Kualitas protein ikan termasuk ke dalam kategori sempurna. Ikan mengandung semua asam amino esensial dalam jumlah yang cukup untuk kebutuhan tubuh (Sediaoetama 1991). Nilai protein ikan tidak banyak berbeda dengan nilai gizi daging lainnya. Pada umumnya dalam daging ikan tidak terdapat serat-serat yang tidak dapat dicerna, sehingga hampir semua protein daging ikan dapat diambil oleh tubuh. Kadar air dalam ikan sekitar 70%, sedangkan hewan lainnya sekitar 60% (Moehji 2002). Menurut Khomsan (2004), ikan olahan yang sudah dikeringkan umumnya mengandung protein lebih tinggi per 100 g dibandingkan ikan segar. Hal ini dikarenakan ikan telah mengalami proses pengeringan. Ikan segar apa pun jenisnya mengandung protein relatif sama, dengan kisaran 16-22%. Tabel 3 Kandungan gizi beberapa jenis sumber protein hewani per 100 g
Sumber protein hewani Protein (g) Daging sapi 18,8 Daging ayam 18,2 Telur 12,8 Bandeng 20 Ikan mas 16 Gabus 25,2 Mujair 18,7 Bawal 19 Cumi-cumi 16,1 Kakap 20 Kembung 22 Teri segar 16 Udang segar 21 Sardenis (dalam kaleng) 21,1 Ikan asin 42 Sumber : Daftar Komposisi Bahan Makanan 2004 Lemak (g) 14 25 11,5 4,8 2 1,7 1,0 1,7 0.7 0,7 1,0 1 0,2 27 1,5 Kalsium (mg) 11 14 54 20 20 62 96 20 32 20 20 500 136 354 200

Ikan laut kaya akan lemak, vitamin dan mineral, sedangkan ikan tawar banyak mengandung karbohidrat. Ikan laut memiliki kandungan iodium tinggi yang bisa mencapai 830 g per kg. Berbeda dengan daging yang hanya 50 g dan telur 93 g. Selain itu, ikan laut mengandung omega-3 yang bermanfaat menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Asam lemak omega-3 dan omega-6 pada ikan dapat meningkatkan kecerdasan anak. Asam lemak ini juga sangat membantu bagi ibu hamil yang dapat membentuk otot janin. Minyak hati ikan laut dapat menjadi sumber vitamin A dan D. Vitamin A yang ada dalam minyak ikan termasuk yang mudah diserap. Pemberian minyak hati ikan pada balita dapat mencukupi kebutuhan vitamin A dan D, serta omega-3. Selain itu, ikan laut juga

banyak mengandung flour. Anak-anak yang mendapat asupan flour yang cukup memiliki gigi yang sehat, sehingga jarang dijumpai anak yang sakit gigi di daerah pantai, karena banyak mengkonsumsi ikan (Numberi 2006). Menurut Sediaoetama (1991), ikan-ikan kecil dapat dimakan seluruhnya sehingga merupakan sumber kalsium yang baik, untuk ibu menyusui dan hamil serta pertumbuhan tulang anak. Pola Konsumsi Ikan Kebiasaan makan adalah tingkah laku seseorang atau sekelompok orang dalam memilih makanan untuk memenuhi kebutuhannya yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan (Khumaidi 1989). Mengembangkan kebiasaan makan, mempelajari cara yang berhubungan dengan konsumsi pangan dan menerima atau menolak bentuk atau jenis pangan tertentu dimulai dari permulaan hidup seseorang dan akan menjadi bagian perilaku yang berakar di antara kelompok penduduk (Suhardjo 2003). Menurut Sumarwan (2004), kebiasaan dapat diturunkan dari generasi ke generasi secara turun temurun. Menurut Khumaidi (1989), terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi kebiasaan makan seseorang, yaitu faktor intrinsik (berasal dari dalam diri manusia) dan faktor ekstrinsik (berasal dari luar diri manusia). Faktor intrinsik di antaranya adalah asosiasi emosional, keadaan jasmani dan kejiwaan yang sedang sakit dan penilaian yang lebih terhadap mutu makanan, sedangkan faktor ekstrinsik antara lain lingkungan alam, lingkungan sosial serta lingkungan budaya dan agama. Letak geografis akan mempengaruhi bahan makanan yang digunakan, cara memasak, cara menghidangkan dan cara makan. Penduduk yang tinggal di daerah pantai biasanya lebih banyak yang menyukai ikan dan hasil laut lainnya daripada penduduk yang tinggal di daerah pedalaman (Nasoetion & Riyadi 1995). Sedangkan menurut Lucas (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi asupan makanan seseorang adalah lingkungan keluarga, tren masyarakat, media massa, pengaruh teman sebaya dan penyakit. Selain itu, menurut Suhardjo (2003), pembentukan kebiasaan makan seseorang bergantung pada taraf hidup dan kemampuannya. Pada umumnya, makin baik taraf hidupnya maka daya beli semakin tinggi dan mutu makanan dalam rumah tangga meningkat.

Keluarga merupakan pengaruh utama dalam pembentukan kebiasaan makan anak. Sejak dilahirkan, untuk beberapa tahun makanan anak-anak tergantung pada orang lain. Bersamaan dengan pangan yang disajikan dan diterima, langsung atau tak langsung anak-anak menerima pula informasi yang berkembang menjadi perasaan, sikap, tingkah laku dan kebiasaan mereka yang berkaitan dengan pangan (Suhardjo 2003). Pada anak kecil, orang tua dan anggota keluarga yang lebih tua merupakan model dalam pembentukan perilaku. Sikap orang tua terhadap makanan dapat mempengaruhi sikap anak pada makanan yang disukai, tidak disukai serta keragaman makanan anak (Lucas 2004). Oleh karena itu, orang tua diharapkan dapat menunjukkan rasa suka terhadap makanan pada saat makan bersama, sehingga anak akan mengikuti perilaku orang tuanya (Nasoetion & Riyadi 1995). Pada masa ini diperlukan perhatian khusus dalam pembentukan perilaku makan yang baik. Perilaku makan ini harus dibentuk dengan baik, alasan untuk makan harus dimengerti dengan baik, sehingga anak dapat mengerti manfaat dari makanan (Pipes 1981). Pada tahun 1998, konsumsi ikan rata-rata penduduk Indonesia hanya sebesar 17 kg/kap/tahun, 21,57 kg/kap/tahun pada tahun 2000, 23 kg/kap/tahun pada tahun 2003 dan 26 kg/kap/tahun pada tahun 2005. Jika dibandingkan negara lain yang potensi lautnya lebih rendah dari Indonesia seperti Hongkong (80 kg/kap/tahun), Singapura (70 kg/kap/tahun), Taiwan (65 kg/kap/tahun), Korea Selatan (60 kg/kap/tahun), Amerika Serikat (35 kg/kap/tahun), dan Malaysia (30 kg/kap/tahun), tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia masih terbilang rendah (Dahuri 2004). Menurut Buckle et al (1987), kemungkinan rendahnya konsumsi ikan adalah harganya yang relatif mahal dibandingkan dengan produk protein nabati yang biasanya berasal dari kedelai. Selain itu, penangkapan ikan selama ini terpusat di sepanjang pantai utara Jawa dan pantai timur Sumatera dan pendistribusian yang kurang merata menyebabkan persediaan ikan di beberapa daerah terutama yang jauh dari pantai tidak merata. Selain itu, menurut Suhardjo (1989), terdapat kepercayaan dalam masyarakat, jika anak makan ikan anak akan cacingan, sakit mata dan sakit kulit. Hal ini menyebabkan orang tua tidak memberikan ikan pada anaknya. Ikan juga merupakan salah satu bahan pangan yang mudah membusuk. Ikan yang baru ditangkap beberapa jam akan mengalami penurunan mutu gizinya jika tidak ditangani dengan tepat.

Ikan hasil kalengan mempunyai nilai sosial lebih tinggi di masyarakat. Ikan kalengan umumnya dikonsumsi oleh masyarakat menengah ke atas yang memiliki daya beli cukup karena harganya yang lebih mahal. Namun di beberapa negara maju masyarakat cenderung mengkonsumsi ikan segar. Hal ini dipicu anggapan ikan kalengan atau telah melalui proses di pabrik dapat merugikan tubuh selain zat gizinya yang rusak (Sediaoetama 1991). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Ikan Pendapatan Besarnya uang yang dimiliki oleh seseorang atau keluarga dapat menunjukkan banyaknya sumberdaya uang yang dimilikinya, karena dengan uang yang dimilikinya, seseorang atau keluarga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya (Guhardja, Puspitawati, Hartoyo & Martianto 1992). Seseorang atau keluarga yang termasuk ke dalam kelas sosial ekonomi menengah ke atas memiliki pola makan yang sama dengan pola makan masyarakat industri, yaitu tinggi asupan energi, protein, lemak dan gula. Pendapatan yang rendah akan memaksa seseorang untuk membeli dalam jumlah yang kecil (Hartog, Steveren & Brouwer 1995). Ditambahkan pula oleh Suhardjo (2005), penduduk miskin biasanya mengkonsumsi makanan yang lebih murah dengan menu makanan yang tidak atau kurang bervariasi, sedangkan penduduk yang berpenghasilan tinggi umumnya mengkonsumsi makanan yang harganya lebih tinggi, akan tetapi penghasilan yang tinggi tidak menjamin tercapainya gizi yang baik. Peningkatan pendapatan dapat merubah susunan makanan pada keluarga. Menurut Suhardjo (2005), tingkat pendapatan yang nyata dari keluarga menentukan jumlah dan kualitas makanan yang diperoleh. Pada tingkat pendapatan yang rendah sumber energi utama diperoleh dari padi-padian, umbiumbian dan sayuran. Kenaikan pendapatan menyebabkan kenaikan variasi konsumsi makanan yang berasal dari hewan, gula, lemak, minyak dan makanan kaleng. Namun menurut Harper, Deaton dan Driskel (1986), pengeluaran uang yang lebih besar tidak menjamin konsumsi pangan beragam. Perubahan utama yang terjadi biasanya adalah makanan yang dimakan lebih mahal. Namun beberapa bukti menunjukkan peningkatan pendapatan dapat merubah kebiasaan makan seseorang. Studi status gizi menunjukkan anak-anak yang berasal dari keluarga berpendapatan rendah lebih pendek dibandingkan dengan anak dari keluarga berpendapatan tinggi. Hal ini juga mengindikasikan rendahnya asupan makanan mengakibatkan potensi pertumbuhan menurun (Pipes 1981)

Menurut BKKBN (1996), berdasarkan kondisi sosial ekonominya, keluarga dibagi ke dalam lima kategori, yaitu keluarga pra sejahtera , sejahtera tahap 1 (KS-1), sejahtera tahap 2 (KS-2), sejahtera tahap 3 (KS-3) dan sejahtera tahap 3 plus (KS-3 plus). Keluarga pra sejahtera dan sejahtera 1 termasuk ke dalam kelompok keluarga miskin. Keluarga pra sejahtera tidak dapat memenuhi salah satu kebutuhan dasar spiritual, pangan, sandang, papan dan kesehatan. Keluarga sejahtera 1 dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, namun belum dapat memenuhi kebutuhan psikologisnya, seperti kebutuhan akan pendidikan, KB, interaksi dalam keluarga, interaksi lingkungan tempat tinggal dan transportasi. Keluarga sejahtera 2 sudah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, namun belum dapat memenuhi kondisi-kondisi sebagai berikut: 1. Menjalankan ibadah secara teratur 2. Minimal seminggu sekali makan daging/telur/ikan 3. Minimal memiliki baju baru sekali dalam setahun 4. Luas lantai rumah rata-rata 8m2 per anggota keluarga 5. Tidak ada anggota keluarga yang berusia di atas 15 tahun yang buta huruf 6. Semua anak yang berusia 6 sampai 15 tahun bersekolah 7. Salah satu anggota keluarga memiliki penghasilan tetap 8. Dalam tiga bulan terakhir tidak sakit dan masih dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Pengetahuan Gizi Pengetahuan gizi merupakan landasan penting dalam menentukan konsumsi makanan. Seseorang yang memiliki pengetahuan gizi yang baik akan mampu menerapkan pengetahuan gizinya di dalam pemilihan bahan makanan, sehingga konsumsi makanan dapat tercukupi (Khomsan 2000). Sedangkan menurut Moehji (2002), pengetahuan tentang nilai berbagai bahan makanan serta manfaatnya untuk kesehatan tubuh dapat membantu keluarga dalam menyusun makanan yang baik dengan harga yang serendah-rendahnya. Menurut Sukosi (2006), pola makan dan pengetahuan tentang gizi hanya diperoleh melalui sosialisasi keluarga dan sebagian kecil saja yang mendapatkannya melalui pendidikan formal. Akibatnya sumberdaya manusia pengatur gizi (sebagian besar perempuan) menjadi rendah keterampilannya dalam mengatur gizi keluarga yang berakibat pada terjadinya gizi buruk. Menurut Soekirman (2000), pendidikan gizi pada anak-anak di Indonesia masih sangat

kurang. Berbeda dengan negara maju, kurikulum pendidikan dasar di Indonesia belum mengajarkan ilmu gizi secara profesional. Anak-anak di negara mendapatkan pendidikan gizi sejak kecil secara teratur maju dididik untuk

memahami dan mempraktekan pedoman gizi seimbang. ditunjang pula dengan program makan siang di sekolah (school lunch). Oleh karena itu, sikap kritis dan hati-hati anak-anak di Indonesia tentang makanan masih sangat kurang. Kemiskinan dan kekurangan persedian pangan yang bergizi merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi, tetapi penyebab lain yang penting adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut dalam kebidupan sehari-hari. Keterbatasan apapun yang diakibatkan kemiskinan dan kekurangan pangan, kecuali dalam kondisi genting tertentu, penggunaan yang lebih baik dari pangan yang tersedia dapat dilakukan penduduk yang memahami bagaimana mempergunakannya untuk membantu peningkatan status gizi (Suhardjo 2003). Menurut Sumarwan (2004), pengetahuan yang baik mengenai suatu produk akan mendorong seseorang untuk menyukai produk tersebut. Sikap positif terhadap suatu produk seringkali mencerminkan pengetahuan seseorang terhadap suatu produk. Contohnya, seseorang yang menyukai beragam makanan ikan laut, karena tahu manfaat ikan bagi kesehatan tubuh. Menurut Khomsan (2000), pengukuran pengetahuan gizi dapat dilakukan dengan instrumen menggunakan pertanyaan pilihan berganda. Penyajian instrumen ini dapat berbentuk pertanyaan maupun melanjutkan pernyataan yang belum selesai. Pengetahuan gizi dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu : Pengetahuan gizi baik : skor 80% Pengetahuan gizi sedang : skor 60 - 80% Pengetahuan gizi kurang : skor 60% Kesukaan Menurut Suharjo (1989), pemilihan makan dalam keluarga ditentukan juga oleh faktor kesukaan ibu terhadap makanan. Selain itu, kesukaan ayah juga menjadi faktor penting, karena ada anggapan ayah sebagai pencari nafkah harus lebih diutamakan. Kesukaan anak terhadap makanan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor kejiwaan (marah, gelisah, murung) dan faktor makanan (kebosanan, cara menghidangkan yang tidak baik).

Besar keluarga Menurut Harper, Deaton & Driskel (1986), kecukupan gizi anggota keluarga sangat ditentukan oleh distribusi pangan dalam rumah tangga. Distribusi makanan di dalam keluarga dapat tidak merata terutama pada keluarga miskin. Keluarga miskin akan dapat memenuhi kebutuhan pangannya jika individu yang harus diberi makan lebih sedikit. Kelompok yang paling rawan terhadap kekurangan gizi adalah anak-anak dan anak paling kecil biasanya yang paling terkena dampak tersebut. Pembagian makanan dalam setiap keluarga biasanya lebih mementingkan anggota keluarga yang lebih tua dibandingkan anggota keluarga yang lebih muda atau diutamakan orang dewasa yang bekerja. Pada beberapa masyarakat tradisional, prioritas utama pembagian makan adalah ayah, kemudian dilanjutkan dengan anak laki-laki dimulai dari yang tertua. Pada beberapa kasus, anak kecil dan wanita memperoleh makanan yang disisakan oleh anggota keluarga pria (Harper, Deaton & Driskel 1986). Menurut BKKBN (1996), besar keluarga dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori, yaitu keluarga kecil (4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (>7 orang). Penyakit dan Alergi Status kesehatan seseorang dipengaruhi oleh status gizi atau tingkat konsumsi pangan. Sebaliknya, status kesehatan juga mempengaruhi status gizi. Seseorang yang sedang menderita suatu penyakit atau dalam proses penyembuhan memerlukan pangan khusus (Harper, Deaton & Driskel 1986). Sedangkan menurut Riyadi (2001), penyakit mempengaruhi pertumbuhan seseorang dengan cara mengurangi nafsu makan sehingga asupan makanan berkurang, menurunkan penyerapan zat gizi, meningkatkan kebutuhan metabolik atau secara langsung menyebabkan kehilangan zat gizi. Anak-anak yang memiliki orang tua alergi mempunyai kemungkinan untuk memiliki alergi terhadap makanan dibandingkan dengan anak lainnya. Makanan yang menimbulkan alergi pada anak menjadi makanan pantangan anak. Menurut Sediaoetama (1991), beberapa ikan laut dapat menimbulkan reaksi alergi pada sebagian orang setelah memakannya. Reaksi tersebut dapat berupa gatal-gatal ringan maupun berat.

Media massa Media massa (terutama televisi) memiliki pengaruh yang besar terhadap permintaan dan sikap anak pada makanan. Anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya di depan televisi daripada aktivitas lain. Diperkirakan anak usia 6-16 tahun menonton televisi sekitar 25 jam/minggu. Iklan dan program televisi menggunakan model yang perilakunya mungkin diikuti oleh anak. Iklan juga mencoba menggunakan anak untuk mempengaruhi keputusan orang tua dalam membeli (Pipes 1981). Teman sebaya Anak yang memasuki sekolah akan mempunyai lebih banyak teman dibandingkan anak pra sekolah. Keinginan anak untuk bergaul dan diterima oleh anak-anak di luar rumah bertambah. Pada usia ini anak mulai membentuk kelompok. Anak yang menjadi anggota suatu kelompok teman sebaya akan menggantikan posisi keluarga secara bertahap dalam pembentukan perilakunya (Hurlock 1991).

KERANGKA PEMIKIRAN
Menurut FAO/WHO/UNU (1985) dalam Almatsier (2001), kebutuhan protein adalah konsumsi yang dibutuhkan untuk mencegah kehilangan protein tubuh dan memungkinkan produksi protein yang diperlukan dalam masa pertumbuhan, kehamilan atau menyusui. Menurut Suhardjo (2003), kekurangan protein yang kronis pada anak dapat menyebabkan pertumbuhan anak terlambat dan tampak tidak seimbang dengan umurnya. Makanan yang dikonsumsi anak harus berasal dari sumber gizi yang baik dan dibutuhkan oleh tubuh dan sekurang-kurangnya mengandung tiga jenis zat gizi (Nasoetion & Riyadi 1995). Salah satu sumber pangan adalah ikan. Nilai protein ikan tidak banyak berbeda dengan nilai gizi daging lainnya. Pada umumnya daging ikan tidak memiliki serat yang tidak dapat dicerna, sehingga hampir semua protein daging ikan dapat diambil oleh tubuh (Moehji 2002). Konsumsi pangan anak usia sekolah dasar ditentukan oleh dua faktor langsung. Faktor pertama adalah karakteristik anak, yang meliputi pengetahuan gizi anak, kesukaan dan status gizi yang dapat diukur melalui berat badan. Faktor kedua adalah penyediaan ikan dalam rumah tangga, yang meliputi jenis dan jumlah ikan serta bentuk penyimpanan. Rumah tangga yang memiliki persediaan ikan dapat dengan mudah mengolah ikan jika sewaktu-waktu ingin mengkonsumsi ikan. Ketersediaan ikan dalam rumah tangga ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu besar keluarga, pendidikan orang tua, pendapatan, pengetahuan gizi ibu, pantangan dan mata pencaharian keluarga (nelayan dan non nelayan). Besar keluarga akan menentukan distribusi bahan pangan. Pada keluarga miskin, semakin sedikit individu yang harus diberi makanan, maka kebutuhan pangan dapat tercukupi. Keluarga yang memiliki pendapatan rendah akan membeli pangan dalam jumlah yang kecil, karena keterbatasan biaya yang dimiliki. Orang tua yang memiliki pendidikan yang baik diharapkan memiliki pengetahuan tentang gizi yang baik pula. Pengetahuan gizi merupakan landasan penting dalam menentukan konsumsi makanan. Seseorang yang memiliki pengetahuan gizi yang baik akan mampu menerapkan pengetahuan gizinya di dalam pemilihan bahan makanan, sehingga konsumsi makanan dapat tercukupi (Khomsan 2000). Keluarga nelayan memiliki kemudahan akses dalam mendapatkan ikan, selain karena mata pencaharian utamanya menangkap ikan, daerah pantai biasanya memiliki ketersediaan ikan yang cukup tinggi.

Karakteristik keluarga : Besar keluarga Pendidikan orang tua Pendapatan keluarga Pengetahuan gizi ibu Pantangan Pekerjaan Karakteristik anak : Jenis Kelamin Pengetahuan gizi anak Kesukaan Berat badan

Penyediaan dalam rumah tangga: Jenis ikan Jumlah ikan Bentuk penyimpanan

Konsumsi pangan anak usia sekolah dasar

Konsumsi ikan Jenis ikan Jumlah ikan Frekuensi

Sumbangan protein ikan terhadap Tingkat Kecukupan Protein

Gambar 1 Hubungan Karakteristik Anak Usia Sekolah dan Keluarga dengan Konsumsi Ikan

METODE
Desain, Tempat dan Waktu Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian dilakukan selama dua bulan, yaitu bulan Mei sampai dengan Juni 2007. Penelitian dilakukan di dua lokasi, yaitu di Kelurahan Kagungan, Kecamatan Serang dan Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang, Banten. Lokasi penelitian dipilih secara purposive. Desa Banten dipilih karena lokasinya berada di dekat pantai dan memiliki pelabuhan perikanan yang bernama Pelabuhan Perikanan Pantai Karangantu, selain itu Desa Banten juga merupakan desa nelayan sehingga dapat mewakili contoh keluarga nelayan, sedangkan Kelurahan Kagungan dipilih karena letaknya yang jauh dari pantai namun mempunyai akses untuk mendapatkan ikan, selain itu tidak terdapat satu pun penduduk yang berprofesi sebagai nelayan, sehingga dapat mewakili contoh keluarga non nelayan. Penarikan Contoh Contoh dalam penelitian ini adalah anak usia sekolah dasar dan masih bersekolah yang berusia antara 6 sampai dengan 12 tahun. Sedangkan responden dalam penelitian ini adalah ibu contoh dan contoh. Keluarga dikelompokkan menurut tingkat sosial ekonominya (sejahtera dan pra sejahtera) berdasarkan informasi pemerintah daerah setempat, kemudian keluarga yang memiliki anak usia sekolah dasar didata berdasarkan informasi dari RT setempat. Contoh dikelompokkan ke dalam empat kelompok, yaitu contoh yang berasal dari keluarga keluarga nelayan sejahtera, keluarga nelayan pra sejahtera, keluarga non nelayan sejahtera dan keluarga non nelayan pra sejahtera. Kemudian masing-masing kelompok dipilih secara acak sebanyak 30 contoh, sehingga total contoh dalam penelitian adalah 120 orang (Gambar 2).

Kabupaten Serang Kecamatan Serang (Keluarga non nelayan) Kelurahan Kagungan RW 2 RW 7 RW 2 Kecamatan Kasemen (Keluarga nelayan) Desa Banten RW 3 purposive

purposive acak

RT 1
S PS S

RT 3 PS S

RT 1 PS S

RT 4 PS S

RT 1 PS S

RT 2 PS S

RT 1 PS S

RT 3

acak PS

Keterangan:

S = Sejahtera PS = Pra Sejahtera Gambar 2 Penarikan contoh penelitian

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 1. Data primer Data primer yang dikumpulkan meliputi karakteristik contoh, karakteristik keluarga, penyediaan ikan dalam rumah tangga, data konsumsi contoh, serta berat badan. Data primer diperolah melalui wawancara pada ibu dan anak dengan menggunakan kuesioner. Data konsumsi pangan diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan metode recall 2x24 jam, frekuensi konsumsi ikan diperoleh dengan menggunakan metode food frequency questionnaire, sedangkan data konsumsi ikan yang meliputi jenis dan jumlahnya diperoleh dengan menggunakan metode food record. 2. Data sekunder Jenis data sekunder meliputi kondisi sosial ekonomi keluarga contoh (pra sejahtera dan sejahtera) serta gambaran umum daerah penelitian (karakteristik masyarakat dan kondisi sosio geografi setempat) yang didapatkan dari kantor pemerintah daerah setempat.

Tabel 4 Variabel, kategori, jenis dan cara yang digunakan dalam pengambilan data.
No 1 Variabel Usia (tahun) Kategori a. 7 b. 8 c. 9 d. 10 e. 11 a. Laki-laki b. Perempuan a. 1 b. 2 c. 3 d. 4 e. 5 a. kecil (4 orang) b. sedang (5-7 orang) c. besar (8 orang) a. Tidak sekolah b. SD c. SMP d. SMA f. Perguruan tinggi a. <Rp.125.000 b.Rp.125.001-250.000 c.Rp.250.001-375.000 d.Rp.375.001-500.000 e.Rp.500.001 a. kurang (60%) b. sedang (60-80%) c. tinggi (80%) a. ya b. tidak a. ya b. tidak a. ya b. tidak a. ya b. tidak a. beli b. tangkap a. tidak pernah b. 1-2x/bln c. 3-4x/bln d. 8x/bln a. cukup (71,2 g/kap/hari) b. kurang (<71,2 g/kap/hari). a. ikan budidaya air tawar b. ikan laut Jenis data Primer Cara

Wawancara

2 3

Jenis kelamin Lama pendidikan anak

Primer

Wawancara

Primer Primer Primer

Wawancara Pengukuran Wawancara

4 5 6

Berat badan Besar keluarga (BKKBN 1996) Pendidikan orang tua

Primer

Wawancara

Pendapatan (Rp/kap/bln) (rata-rata dan standar deviasi) Pengetahuan gizi (Khomsan 2000) Kesukaan Alergi Pantangan Persediaan Cara mendapatkan ikan Frekuensi

Primer

Wawancara

8 9 10 11 12 13. 13

Primer Primer Primer Primer Primer Primer Primer Primer Primer Primer

Pengukuran Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara food frequency questionnaire food record food record recall 2x24 jam

14 15 16

Jumlah ikan (FAO dalam DKP 2004) Jenis ikan Konsumsi energi dan zat gizi

Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel dan SPSS versi 13.0 for windows. Data diolah melalui beberapa tahap yaitu entry, coding, scoring, editing dan cleaning. Reabilitas instrumen pengetahuan gizi dicek melalui uji metode Cronbachs Alpha untuk mengontrol kualitas data yang didapatkan. Pengukuran pengetahuan gizi dilakukan baik pada ibu maupun anak. Pengetahuan tentang gizi diukur dengan mengajukan 20 pertanyaan dengan skor 1 untuk jawaban benar dan skor 0 untuk jawaban salah. Tingkat pengetahuan gizi ibu dan anak dibagi ke dalam tiga kategori sesuai dengan Khomsan (2000), yaitu kurang (60%), sedang (60-80%) dan baik (80%) dari 20 pertanyaan yang diajukan. Status gizi contoh diukur berdasarkan BB/U dibagi ke dalam tiga kategori (Riyadi 2000) yaitu underweight (Zskor <-2), normal (-2 Zskor 2) dan overweight (Zskor >2). Status gizi diukur berdasarkan rumus : Z skor = Nilai individu subjek Nilai median referensi Nilai standar deviasi referensi

Data konsumsi pangan didapat melalui dua cara yaitu recall 2x24 jam serta food record konsumsi ikan selama satu minggu. Selain itu, dilakukan pula penilaian terhadap kebiasaan konsumsi ikan contoh dengan menggunakan metode food recall meliputi jenis dan jumlah ikan. Data konsumsi pangan (recall dan food record) dikonversi dengan menggunakan DKBM 2004 serta literatur lain yang berasal dari nutrisurvey Indonesia serta hasil penelitian yang dilakukan di Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Jumlah ikan yang dikonsumsi (g) serta asupan protein ikan yang dikonsumsi (gram) diukur berdasarkan ikan yang dikonsumsi selama food record kemudian dirata-rata dalam satu hari. Untuk mengetahui konsumsi ikan sudah memenuhi anjuran FAO (DKP 2004), banyaknya ikan yang dikonsumsi dikategorikan pula ke dalam dua kategori, yaitu kurang (<71,2 g/kap/hari) dan cukup (71,2 g/kap/hari). Asupan protein ikan per hari dibagi ke dalam dua kategori berdasarkan anjuran Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, yaitu kurang (<9 gram/hari) dan cukup (9 gram/hari). Pengelompokan jenis ikan didasarkan pada Atlas Perikanan Tangkap dan Pelabuhan Perikanan di Pulau Jawa tahun 2005.

Tingkat kecukupan gizi dibagi ke dalam empat kategori, yaitu defisit tingkat berat (<70%), defisit ringan (70-80%), cukup (80-90%) dan baik (90%). Kemudian dihitung tingkat kecukupan gizi pada masing-masing contoh dengan menggunakan rumus: Angka Kecukupan Individu =

BBaktual BBs tan dar

x Angka Kecukupan Kelompok

Asupan Gizi Individu x 100% Tingkat Kecukupan Energi dan Protein = Angka Kecukupan Individu Uji beda dilakukan untuk melihat adanya perbedaan variabel pengaruh dan terpengaruh antara keluarga nelayan dan non nelayan. Uji beda yang digunakan adalah uji beda Mann-Whitney untuk data berskala minimal nominal, dan Uji T-student untuk data berskala minimal interval. Selain itu dilakukan pula analisis korelasi Rank Spearman untuk melihat hubungan variabel yang diteliti. Definisi Operasional Contoh adalah anak yang masih dalam kategori anak usia sekolah dan masih bersekolah berusia antara 6-12 tahun. Keluarga nelayan adalah keluarga yang pendapatannya bersumber dari menangkap ikan di laut. Keluarga sejahtera adalah keluarga yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar spiritual, pangan, papan, sandang dan papan, minimal keluarga memenuhi kategori keluarga sejahtera tahap 2. Keluarga pra sejahtera adalah keluarga yang tidak dapat memenuhi salah satu kebutuhan dasar spiritual, pangan, papan, sandang dan papan. Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah atau tinggal di luar rumah namun masih menjadi tanggungan keluarga, dikelompokan ke dalam tiga kategori, yaitu keluarga kecil keluarga kecil (4 orang), keluarga sedang (4-7 orang), dan keluarga besar (>7 orang). Alergi adalah reaksi yang timbul (biasanya berupa gatal-gatal), akibat masuknya bahan pangan ke dalam tubuh Kesukaan adalah besarnya derajat kesenangan seseorang terhadap sesuatu. Pantangan adalah makanan yang tidak boleh dikonsumsi karena alasan sakit, budaya, kepercayaan atau agama. Pendapatan adalah besarnya pemasukan keluarga rata-rata selama satu bulan dalam satu tahun terakhir baik berupa uang maupun barang dinilai setara uang dalam satuan rupiah.

Pengetahuan gizi adalah pemahaman seseorang tentang gizi secara umum meliputi empat aspek, yaitu manfaat dan kegunaan makanan, kandungan gizi, pengolahan pangan dan pengetahuan umum lainnya. Pengetahuan gizi diukur melalui kuesioner dan dikategorikan ke dalam tiga kategori, yaitu kurang (60%), sedang (60-80%) dan baik (80%). Kebiasaan makan ikan adalah perilaku seseorang dalam mengkonsumsi ikan, termasuk frekuensi, jenis ikan, jumlah yang dikonsumsi, cara pengolahan serta ketersediaan ikan yang dapat dikonsumsi dalam rumah tangga. Ketersediaan ikan dalam rumah tangga adalah banyaknya ikan yang tersedia dan dapat dikonsumsi rumah tangga rata-rata perhari dalam satu minggu (g) baik dalam bentuk segar maupun tidak (pengalengan, pengasinan, pengasapan). Jenis ikan adalah berbagai macam ikan yang dapat dikonsumsi seseorang. Ikan budidaya air tawar adalah jenis ikan yang dibudidayakan dan hidup di air tawar (sungai, tambak, danau) Ikan laut adalah jenis ikan yang hidup di laut Tingkat konsumsi ikan adalah banyaknya ikan yang dikonsumsi oleh individu dalam satuan gram/kapita/hari. Tingkat kecukupan protein adalah banyaknya asupan protein seseorang dibandingkan dengan asupan protein yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sumbangan protein ikan adalah kontribusi ikan terhadap tingkat kecukupan protein sehari-hari.

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Keluarga Besar Keluarga Pembagian makanan dalam keluarga dipengaruhi oleh besar keluarga. Keluarga miskin akan dapat memenuhi kebutuhan pangannya jika individu yang harus diberi makan lebih sedikit (Harper, Deaton & Driskel 1986). Pada Tabel 5, lebih dari separuh contoh keluarga nelayan (70%) dan keluarga non nelayan (65%) berasal dari keluarga yang anggota keluarganya berjumlah 5 sampai 7 orang. Persentase terbesar keluarga dengan jumlah anggota lebih dari atau sama dengan 8 orang berada pada keluarga nelayan, sedangkan persentase terbesar keluarga dengan jumlah anggota kurang dari atau sama dengan 4 orang berada pada keluarga non nelayan terutama pada keluarga sejahtera. Tabel 5 Sebaran contoh menurut besar keluarga pada keluarga nelayan dan non nelayan
Besar keluarga (orang) 4 57 8 Total Rata-rata sd( org) Nelayan sejahtera n 5 22 3 30 % 17,2 73,2 10,0 100 pra sejahtera n % 5 17,2 20 66,7 5 16,7 30 100 6,1 1,6 Total n 10 42 8 60 % 16,7 70,0 13,3 100 Non nelayan pra sejahtera sejahtera n % n % 12 41,4 7 24,1 17 56,7 22 73,2 1 3,3 1 3,3 30 100 30 100 4,8 1,3 5,3 1,3 Total n 19 39 2 60 % 31,7 65,0 3,3 100

5,8 1,7

9,4 1,3

9,3 1,3

Pendidikan Orang Tua Kemampuan seseorang dalam membaca akan mempermudah pemberian dan penyerapan informasi, sehingga informasi tentang kesehatan diharapkan dapat dengan mudah diterima oleh keluarga atau masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan formal dan informal menjadi salah satu faktor yang penting dalam menentukan status kesehatan (Sukarni 1989). Tabel 6 menunjukkan persentase terbesar pendidikan ayah pada keluarga non nelayan (33,3%) adalah pada tingkat SMU, sedangkan lebih dari separuh ayah contoh keluarga nelayan (55%) berada pada tingkat SD. Demikian pula dengan pendidikan ibu contoh, persentase terbesar pada keluarga non nelayan (41,7%) berada pada tingkat SMU, sedangkan ibu keluarga nelayan (61,7%) pada tingkat SD. Tingkat pendidikan baik ayah maupun ibu pada keluarga non nelayan terutama keluarga non nelayan sejahtera lebih baik

dibandingkan kelompok lainnya. Hasil uji statistik menunjukkan tingkat pendidikan baik ayah maupun ibu antara keluarga non nelayan dan nelayan berbeda nyata. Tabel 6 Sebaran contoh menurut tingkat pendidikan ayah dan ibu pada keluarga nelayan dan non nelayan
Nelayan Tingkat pendidikan Ayah TS SD SMP SMA PT Ibu TS SD SMP SMA PT sejahtera n 4 16 6 5 0 0 19 8 2 1 % 13,3 53,3 16,7 16,7 0 0 63,3 26,7 6,7 3,3 pra sejahtera n % 6 17 4 1 0 6 18 4 2 0 20,0 56,7 13,3 3,3 0 20,0 60,0 13,3 6,7 0 Total n 10 33 11 6 0 6 37 12 4 1 % 16,7 55,0 18,3 10,0 0 10,0 61,7 20,0 6,7 1,7 Non nelayan pra sejahtera sejahtera n % n % 0 1 1 16 12 0 1 0 20 9 0 3,3 3,3 53,3 40,0 0 3,3 0 66,7 30,0 6 13 7 4 0 2 16 7 5 0 20,0 43,3 23,3 13,3 0 6,7 53,3 23,3 16,7 0 Total n 6 14 8 20 12 2 17 7 25 9 % 10,0 23,3 13,3 33,3 20,0 3,3 28,3 11,7 41,7 15,0

Pendapatan per Kapita per Bulan Besarnya uang yang dimiliki oleh seseorang atau keluarga dapat menunjukkan banyaknya sumberdaya uang yang dimilikinya, karena dengan uang yang dimilikinya, seseorang atau keluarga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya (Guhardja, Puspitawati, Hartoyo & Hastuti 1992). Berdasarkan Tabel 7, keluarga pra sejahtera pada keluarga nelayan dan non nelayan memiliki pendapatan perkapita perbulan sebesar kurang dari atau sama dengan Rp.250.000 dengan rata-rata sekitar Rp.120.000. Pendapatan per kapita per bulan keluarga non nelayan sejahtera lebih tinggi dibandingkan kelompok lainnya, dengan persentase terbesar (46,7%) berada pada pendapatan lebih dari atau sama dengan Rp.500.000/kap/bulan. Sedangkan persentase terbesar pada keluarga nelayan sejahtera (66,7%) berada pada tingkat pendapatan Rp.125.001 sampai nelayan. Rp.250.000/kap/bulan. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan pendapatan per kapita per bulan pada keluarga nelayan dan non

Tabel 7 Sebaran contoh menurut pendapatan per kapita per bulan pada keluarga nelayan dan non nelayan
Nelayan Pendapatan (Rp/kap/bln) 125.000 125.001-250.000 250.001-375.000 375.001-500.000 500.001 Total Rata-rata sd (Rp) sejahtera n % 1 3,3 20 66,7 7 23,3 2 6,7 0 0 30 100 257.932 226.738 pra sejahtera n % 19 63,3 11 36,7 0 0 0 0 0 0 30 100 123.970 27.053 Total n % 20 33,3 31 51,7 7 11,7 2 3,3 0 0 60 100 179.539 80.337 Non nelayan pra sejahtera sejahtera n % n % 1 3,3 17 56,7 1 3,3 13 43,3 7 23,3 0 0 7 23,3 0 0 14 46,7 0 0 30 100 30 100 552.502 120.148 273.349 31.475 Total n % 18 30,0 14 23,3 7 11,7 7 11,7 14 23,3 60 100 336.325 291.098

Pengetahuan Gizi Ibu Pengetahuan tentang nilai berbagai bahan makanan serta manfaatnya untuk kesehatan tubuh dapat membantu keluarga dalam menyusun makanan yang baik dengan harga yang serendah-rendahnya (Moehji 2002). Pengukuran pengetahuan gizi meliputi pengetahuan tentang gizi secara umum, pentingnya gizi untuk anak-anak serta 10 pertanyaan khusus tentang ikan (Lampiran 1). Tabel 8 menunjukkan pengetahuan gizi ibu pada keluarga nelayan sebagian besar (81,7%) berada pada kategori kurang. Sedangkan pada keluarga non nelayan, persentase terbesar pengetahuan gizi ibu pada keluarga pra sejahtera (73,3%) berada pada kategori kurang dan persentase terbesar pendidikan gizi ibu keluarga sejahtera (46,7%) berada pada kategori sedang. Hanya 3,3% ibu keluarga nelayan dan 23,3% ibu non nelayan yang memiliki pengetahuan gizi baik. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata pendidikan gizi ibu keluarga nelayan dan non nelayan. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan ibu keluarga nelayan lebih rendah dibandingkan ibu keluarga non nelayan. Tabel 8 Sebaran contoh menurut pengetahuan gizi ibu pada keluarga nelayan dan non nelayan
Tingkat pengetahuan gizi ibu Kurang Sedang Tinggi Total Nelayan sejahtera n 25 4 1 30 % 83,3 13,3 3,3 100 pra sejahtera n % 24 80,0 5 16,7 1 3,3 30 100 Total n 49 9 2 60 % 81,7 15,0 3,3 100 Non nelayan pra sejahtera sejahtera n % n % 6 20,0 22 73,3 14 46,7 4 13,3 10 13,3 4 13,3 30 100 30 100 Total n 28 18 14 60 % 46,7 30,0 23,3 100

Karakteristik Contoh Umur Contoh dalam penelitian berada pada rentang umur antara 7 sampai 11 tahun (Tabel 9). Persentase terbesar umur contoh baik pada keluarga nelayan (30,0%) dan non nelayan (26,7%) berada pada usia 10 tahun. Rata-rata umur contoh pada masing-masing kelompok relatif sama yaitu sekitar 9 tahun. Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan umur pada keluarga nelayan dan non nelayan
Nelayan Umur (tahun) 7 8 9 10 11 Total Ratarata sd sejahtera n 2 9 3 8 8 30 % 6,7 30,0 10,0 26,7 26,7 100 pra sejahtera n % 3 10,0 4 13,0 6 20,0 10 33,3 7 23,3 30 100 9,3 1,3 Total n 5 13 9 18 15 60 % 8,3 21,7 15,0 30,0 25,0 100 Non nelayan pra sejahtera sejahtera n % n % 7 23,3 0 0 4 13,0 8 26,7 4 13,3 8 26,7 7 23,3 9 30,0 8 26,7 5 16,7 30 100 30 100 9,2 1,6 9,4 1,1 Total n 7 12 12 16 13 60 % 11,7 20,0 20,0 26,7 21,7 100

9,4 1,4

9,4 1,3

9,3 1,3

Jenis Kelamin Berdasarkan Tabel 10, lebih dari separuh contoh pada keluarga non nelayan sejahtera (66,7%), non nelayan pra sejahtera (56,7%) dan nelayan sejahtera (56,7%) berjenis kelamin perempuan. Perbandingan yang sama antara laki-laki dan perempuan terdapat pada contoh keluarga nelayan pra sejahtera. Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin pada keluarga nelayan dan non nelayan
Nelayan Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total sejahtera n 13 17 30 % 43,3 56,7 100 pra sejahtera n % 15 50,0 15 50,0 30 100 Total n 28 32 60 % 46,7 53,3 100 Non nelayan pra sejahtera sejahtera n % n % 10 33,3 13 43,3 20 66,7 17 56,7 30 100 30 100 Total n 23 37 60 % 38,3 61,7 100

Lama Pendidikan Berdasarkan Tabel 11, persentase terbesar lama pendidikan contoh keluarga nelayan (26,7%) terdapat pada lama pendidikan 5 tahun, sedangkan pada keluarga non nelayan terdapat pada lama pendidikan 4 tahun (30,0%). Rata-rata lama pendidikan contoh baik pada keluarga nelayan maupun non nelayan adalah sekitar 3 tahun.

Tabel 11 Sebaran contoh menurut lama pendidikan pada keluarga nelayan dan non nelayan
Lama pendidikan (tahun) 1 2 3 4 5 Total Rata-rata sd (th) Nelayan sejahtera n 2 9 3 8 8 30 % 6,7 30,0 10,0 26,7 26,7 100 pra sejahtera n % 3 10,0 5 16,7 6 20,0 6 20,0 10 6,7 30 100 3,5 1,4 Total n 5 14 9 14 18 60 % 8,3 23,3 15,0 23,3 30,0 100 Non nelayan pra sejahtera sejahtera n % n % 7 23,3 0 0 5 30,0 8 26,7 3 10,0 8 26,7 7 23,3 9 30,0 8 26,7 5 16,7 30 100 30 100 3,1 1,6 3,4 1,1 Total n 7 13 11 16 13 60 % 11,7 21,7 18,3 26,7 21,7 100

3,4 1,4

3,3 1,4

3,4 1,4

Alergi terhadap Ikan Berdasarkan Tabel 12, terdapat 13,3% contoh keluarga non nelayan dan 8,3% keluarga nelayan yang memiliki alergi terhadap ikan. Alergi merupakan reaksi yang ditimbulkan setelah seseorang memakan suatu makanan. Reaksi yang ditimbulkan dapat berupa gatal-gatal ringan hingga berat. Beberapa ikan laut dapat menimbulkan reaksi alergi pada sebagian orang setelah memakannya (Sediaoetama 1991). Tabel 12 Sebaran contoh menurut keadaan alergi terhadap ikan pada keluarga nelayan dan non nelayan
Nelayan Alergi Ya Tidak Total sejahtera n 2 28 30 % 6,7 93,3 100 pra sejahtera n % 3 10,0 27 90,0 30 100 Total n 5 55 60 % 8,3 91,7 100 Non nelayan pra sejahtera sejahtera n % n % 4 13,3 4 13,3 26 86,7 26 86,7 30 100 30 100 Total n 8 52 60 % 13,3 86,7 100

Status Gizi Status gizi contoh dikategorikan berdasarkan BB/U. Berdasarkan Tabel 13, sebagian besar contoh pada keluarga non nelayan (93,3%) dan keluarga nelayan (83,3%) memiliki status gizi yang normal. Sedangkan sebanyak 5% contoh keluarga non nelayan dan 15% contoh keluarga nelayan berstatus underweight. Pada keluarga non nelayan sejahtera tidak terdapat contoh yang berstatus underweight, hal ini menunjukkan status gizi keluarga non nelayan sejahtera cenderung lebih baik dibandingkan yang kelompok lainnya. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata status gizi contoh pada keluarga nelayan dan non nelayan.

Tabel 13 Sebaran contoh menurut BB/U pada keluarga nelayan dan non nelayan
Nelayan Status gizi sejahtera n 4 25 1 30 % 13,3 83,3 3,3 100 pra sejahtera n % 5 16,7 25 83,3 0 0 30 100 Total n 9 50 1 60 % 15,0 83,3 1,7 100 Non nelayan pra sejahtera sejahtera n % n % 0 0 3 10,0 29 96,7 27 90,0 1 3,3 0 0 30 100 30 100 Total n 3 56 1 60 % 5,0 93,3 1,7 100

Underweight Normal Overweight Total

Pengetahuan Gizi Tabel 14 menunjukkan lebih dari separuh contoh pada keluarga nelayan (63,3%) memiliki pengetahuan gizi kurang, hanya 10% contoh keluarga nelayan yang memiliki pengetahuan gizi baik. Sedangkan pada keluarga non nelayan persentase terbesar contoh (41,7%) memiliki pengetahuan gizi kurang dan sebanyak 30% contoh berpengetahuan gizi baik. Pengetahuan gizi contoh keluarga non nelayan cenderung lebih tinggi dibandingkan keluarga nelayan. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan pengetahuan gizi antara contoh keluarga nelayan dan non nelayan. Tabel 14 Sebaran contoh menurut pengetahuan gizi pada keluarga nelayan dan non nelayan
Tingkat pengetahuan gizi Kurang Sedang Baik Total Nelayan sejahtera n 16 10 4 30 % 53,3 13,3 13,3 100 pra sejahtera n % 22 73,3 6 20,0 2 6,7 30 100 Total n 38 16 6 60 % 63,3 26,7 10,0 100 Non nelayan pra sejahtera sejahtera n % n % 11 36,7 14 46,7 9 30,0 8 26,7 10 33,3 8 26,7 30 100 30 100 Total n 25 17 18 60 % 41,7 28,3 30,0 100

Pengetahuan gizi meliputi pengetahuan tentang fungsi zat gizi, sumber zat gizi, akibat kekurangan zat gizi dan enam pertanyaan khusus tentang ikan (Lampiran 2). Sebagian contoh tidak mengetahui fungsi zat gizi, zat gizi yang dibutuhkan olah tubuh, pangan sumber protein dan karbohidrat serta akibat dari defisiensi vitamin C dan B. Sedangkan pengetahuan gizi tentang ikan contoh cukup baik. Pendidikan gizi pada anak-anak diberikan ketika anak mulai bersekolah untuk memperbaiki kebiasaan makan anak yang belum sesuai dengan yang dianjurkan (Suhardjo 2005).

Kebiasaan Mengkonsumsi Ikan Pantangan terhadap Ikan Pantangan memakan ikan dapat dipengaruhi oleh alergi. Alergi makanan yang dialami oleh salah satu anggota keluarga dapat meyebabkan makanan tersebut tidak dikonsumsi oleh keluarga dan menjadi pantangan dalam keluarga. Tabel 15 menunjukkan pantangan memakan ikan hanya ada pada kelompok non nelayan pra sejahtera (13,3%). Walaupun terdapat anggota keluarga yang mempunyai alergi terhadap ikan, keluarga contoh tetap mengkonsumsi ikan, sebagian keluarga yang mempunyai alergi hanya mengurangi konsumsi ikan, tidak menghindarinya. Contoh yang memiliki alergi terhadap ikan mengurangi frekuensi makan ikan atau menghindari jenis ikan tertentu terutama ikan laut yang menyebabkan alergi. Terdapat pula contoh yang tidak memakan ikan jenis apapun sama sekali untuk menghindari reaksi alergi. Tabel 15 Sebaran keluarga contoh menurut pantangan terhadap ikan pada keluarga nelayan dan non nelayan
Nelayan Pantangan sejahtera n Ya Tidak Total % pra sejahtera n % Total n 0 60 60 % 0 100 100 Non nelayan pra sejahtera sejahtera n % n % Total n 3 52 60 % 13,3 86,7 100

0 30
30

0 100
100

0 30
30

0 100
100

0 30
30

0 100
100

3 27
30

10,0 90,0
100

Ketersediaan Ikan dalam Rumah Tangga Persediaan ikan rumah tangga Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang mudah membusuk. Ikan yang baru ditangkap beberapa jam akan mengalami penurunan mutu gizinya jika tidak ditangani dengan tepat (Soehardjo 1989). Makanan yang disajikan dalam rumah tangga oleh ibu dipengaruhi pula oleh bahan makanan apa yang dapat dimasak dan tersedia oleh ibu (Moehji 2002). Tabel 16 menunjukkan lebih dari separuh contoh pada keluarga non nelayan (71,7%) dan keluarga nelayan (53,3%) tidak memiliki persediaan ikan dalam rumah tangga. Persentase terbesar persediaan ikan dalam rumah tangga pada masing-masing kelompok berada pada keluarga non nelayan sejahtera (53,3%) dan keluarga nelayan sejahtera (70%). Ekonomi merupakan salah satu alasan keluarga tidak memiliki persediaan ikan, keluarga tidak dapat membeli ikan dalam jumlah yang banyak, ditambah lagi dengan keterbatasan alat penyimpan (lemari pendingin) yang dimiliki oleh keluarga.

Tabel 16 Sebaran keluarga contoh berdasarkan persediaan ikan dalam rumah tangga pada keluarga nelayan dan non nelayan
Nelayan Persediaan ikan Ya Tidak Total sejahtera n 21 9 30 % 70,0 30,0 100 pra sejahtera n % 7 23,3 23 76,7 30 100 Total n 28 32 60 % 46,7 53,3 100 Non nelayan pra sejahtera sejahtera n % n % 16 53,3 1 3,3 14 46,7 29 96,7 30 100 30 100 Total n 17 43 60 % 28,3 71,7 100

Sebagian besar contoh yang memiliki persediaan ikan dalam rumah tangga, menyimpan ikan dalam bentuk pembekuan dingin (Tabel 17). Sebanyak 88,2% keluarga non nelayan menyimpan ikan dalam bentuk pembekuan dingin, sedangkan pada keluarga nelayan 75,0%. Pada keluarga non nelayan, persediaan ikan hanya untuk dua hari atau sekitar satu sampai dua kg saja begitu pula dengan keluarga nelayan pra sejatera. Sedangkan pada keluarga nelayan sejahtera terdapat keluarga yang menyediakan ikan untuk tiga sampai lima hari hari atau sekitar tiga kg saja. Persediaan ikan yang tidak terlalu banyak dikarenakan khawatir ikan yang disimpan sudah tidak segar lagi. Tabel 17 Sebaran keluarga contoh berdasarkan bentuk persediaan ikan dalam rumah tangga pada keluarga nelayan dan non nelayan
Bentuk persediaan ikan Pembekuan dingin Awetan Total Nelayan sejahtera n 17 4 21 % 81,0 19,0 100 pra sejahtera n % 3 4 7 42,9 57,1 100 Total n 21 7 28 % 75,0 25,0 100 Non nelayan pra sejahtera sejahtera n % n % 14 2 16 87,5 12,5 100 1 0 1 100 0 100 Total n 15 2 17 % 88,2 11,8 100

Cara mendapatkan ikan Jumlah dan jenis pangan yang diproduksi dan tersedia di suatu wilayah turut menjadi faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan (Harper, Deston & Griskel 1986). Ketersediaan ikan di daerah pantai sangatlah tinggi dibandingkan dengan daerah yang jauh dari pantai. Terlebih lagi nelayan yang pekerjaannya menangkap ikan, maka akses untuk mendapatkan ikan lebih tinggi. Seluruh keluarga non nelayan dalam penelitian ini mendapatkan ikan dengan cara membeli baik di pasar maupun warung. Namun lebih dari separuh nelayan (73,3%) mendapatkan ikan untuk dikonsumsi keluarganya sehari-hari dengan cara membeli di pasar (Tabel 18). Hal ini diduga dikarenakan nelayan menjual seluruh ikan hasil tangkapannya dan membeli ikan yang harganya jauh

lebih murah. Selain itu tidak semua nelayan menyimpan sebagian hasil tangkapannya untuk dikonsumsi, sehingga bagi nelayan yang tidak melaut setiap hari tetap harus membeli ikan di pasar terdekat. Tabel 18 Sebaran keluarga contoh berdasarkan cara mendapatkan ikan pada keluarga nelayan dan non nelayan
Nelayan Cara dapat ikan Beli Tangkap Total sejahtera n 20 10 30 % 66,7 33,3 100 pra sejahtera n % 24 80,0 6 20,0 30 100 Total n 44 16 60 % 73,3 26,7 100 Non nelayan pra sejahtera sejahtera n % n % 30 100 30 100 0 0 0 0 30 100 30 100 Total n 60 0 60 % 100 0 100

Frekuensi Makan Ikan Tabel 19 menunjukkan frekuensi makan ikan selama satu bulan yang dikategorikan ke dalam empat kategori, yaitu tidak pernah, 1-2 kali/bulan, 3-4 kali/bulan dan 2 kali/minggu. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar keluarga nelayan (96,7%) mengkonsumsi ikan lebih besar atau sama dengan 2 kali/minggu, sedangkan pada keluarga non nelayan yang mengkonsumsi ikan lebih besar atau sama dengan 2 kali/minggu sebanyak 73,3%. Keluarga yang mengkonsumsi ikan pada ketagori tidak pernah, 1-2 kali/bulan, 3-4 kali/bulan dikarenakan beberapa alasan, bagi keluarga pra sejahtera faktor ekonomi sebagai salah satu yang mempengaruhinya, selain itu rendahnya konsumsi ikan keluarga juga disebabkan rendahnya tingkat kesukaan keluarga terhadap ikan atau terdapat anggota keluarga yang alergi terhadap ikan sehingga ikan jarang dikonsumsi. Hasil uji beda menunjukkan terdapat perbedaan frekuensi makan ikan selama satu bulan pada keluarga nelayan dan non nelayan. Tabel 19 Sebaran keluarga contoh berdasarkan frekuensi makan ikan dalam satu bulan terakhir pada keluarga nelayan dan non nelayan
Frekuensi makan ikan 1 bulan terahir (8x/bulan) (3-4x/bulan) (1-2x/bulan) Tidak pernah Total Nelayan sejahtera n 30 0 0 0 30 % 100 0 0 0 100 pra sejahtera n % 28 93,3 2 6,7 0 0 0 0 30 100 Total n 58 2 0 0 60 % 96,7 3,3 0 0 100 Non nelayan pra sejahtera sejahtera n % n % 24 80,0 20 66,7 4 13,3 4 13,3 1 3,3 3 10,0 1 3,3 3 10,0 30 100 30 100 Total n 44 8 4 4 60 % 73,3 13,3 6,7 6,7 100

Kesukaan Contoh terhadap Ikan Sebagian besar contoh baik pada keluarga nelayan (96,7%) maupun keluarga non nelayan (86,7%) menyukai ikan. Hanya 13,3% contoh keluarga non nelayan dan 3,3% contoh keluarga nelayan yang tidak menyukai ikan. Sebagian besar alasan contoh tidak menyukai ikan karena baunya yang amis serta banyaknya tulang (duri) pada ikan, sehingga contoh malas mengkonsumsi ikan. Selain itu, alergi menjadi salah satu penyebab contoh tidak menyukai ikan, namun hanya 1,7% contoh dari 120 contoh yang tidak menyukai ikan karena alergi. Hal ini disebabkan contoh menyukai ikan yang tidak menimbulkan reaksi alergi. Kesukaan seseorang terhadap jenis pangan tertentu dapat mempengaruhi konsumsi pangan tersebut. Sebaran contoh menurut kesukaan terhadap ikan pada keluarga nelayan dan non nelayan dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Sebaran contoh menurut kesukaan terhadap ikan pada keluarga nelayan dan non nelayan
Nelayan Kesukaan ikan Ya Tidak Total sejahtera n 29 1 30 % 96,7 3,3 100 pra sejahtera n % 29 96,7 1 3,3 30 100 Total n 58 2 60 % 96,7 3,3 100 Non nelayan pra sejahtera sejahtera n % n % 28 93,3 24 80,0 2 6,7 6 20,0 30 100 30 100 Total n 52 8 60 % 86,7 13,3 100

Jumlah dan Jenis Ikan yang Dikonsumsi Contoh Jumlah ikan yang dikonsums Contoh Contoh keluarga nelayan sejahtera memiliki konsumsi ikan terbesar yaitu 51,2 g/kap/hari, contoh keluarga nelayan pra sejahtera 42,3 g/kap/hari, contoh keluarga non nelayan sejahtera 40,0 g/kap/hari, sedangkan contoh keluarga non nelayan mengkonsumsi ikan paling kecil yaitu hanya sekitar 17,3 g/kap/hari. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan jumlah ikan yang dikonsumsi contoh keluarga nelayan dan non nelayan serta berdasarkan keadaan sosial ekonominya. Contoh keluarga nelayan mengkonsumsi ikan lebih banyak dibandingkan dengan contoh keluarga non nelayan. Konsumsi ikan contoh keluarga sejahtera lebih banyak dibandingkan contoh keluarga pra sejahtera. Menurut FAO, jumlah minimal konsumsi ikan sebesar 26 kg/kap/tahun atau sekitar 71,2 g/kap/hari (DKP 2004). Walaupun rata-rata konsumsi ikan seluruh kelompok contoh masih di bawah anjuran dari FAO, namun terdapat beberapa contoh yang dapat memenuhi standar FAO tersebut (Tabel 21).

Berdasarkan anjuran FAO, konsumsi ikan contoh yang memenuhi standar FAO hanya sekitar 10,0% contoh keluarga nelayan dan 5,0% keluarga non nelayan. Tabel 21 Sebaran contoh menurut konsumsi ikan per hari pada contoh keluarga nelayan dan non nelayan berdasarkan anjuran FAO
Nelayan Konsumsi ikan Cukup Kurang Total sejahtera n 4 26 30 % 13,3 86,7 100 pra sejahtera n 2 28 30 % 6,7 93,3 100 n 6 54 60 Total % 10,0 90,0 100 Non nelayan sejahtera n 3 27 30 % 10,0 90,0 100 pra sejahtera n 0 30 30 % 0 100 100 n 3 57 60 Total % 5,0 95.0 100

Jenis ikan yang dikonsumsi Contoh Tabel 22 menunjukkan keragaan ikan yang dikonsumsi oleh contoh keluarga nelayan dan non nelayan yang dikelompokan berdasarkan Atlas Perikanan Tangkap dan Pelabuhan Perikanan di Pulau Jawa tahun 2005. Berdasarkan Tabel 22 jenis ikan yang dikonsumsi oleh contoh keluarga nelayan lebih beragam jika dibandingkan dengan contoh keluarga non nelayan. Contoh keluarga nelayan sejahtera mengkonsumsi sebanyak 23 jenis ikan (20 ikan segar, 3 ikan awetan) dan pada contoh keluarga nelayan pra sejahtera sebanyak 22 jenis (18 ikan segar, 4 ikan awetan). Sedangkan pada contoh keluarga non nelayan jenis ikan yang dikonsumsi masing-masing 13 jenis (11 ikan segar, 2 ikan awetan) untuk contoh keluarga non nelayan sejahtera dan 16 jenis (10 ikan segar, 6 ikan awetan) untuk contoh keluarga non nelayan pra sejahtera. Hal ini disebabkan ketersediaan ikan yang ada di daerah pantai jauh lebih beragam dibandingkan dengan daerah non pantai baik dalam jumlah maupun jenisnya. Contoh keluarga nelayan lebih banyak mengkonsumsi ikan segar dibandingkan ikan yang sudah diawetkan, begitu pula dengan contoh keluarga non nelayan. Namun contoh keluarga pra sejahtera baik nelayan maupun non nelayan mengkonsumsi ikan awetan lebih banyak dibandingkan contoh keluarga sejahtera, yaitu 2,7 g/kap/hari pada contoh keluarga non nelayan pra sejahtera dan 4,3 g/kap/hari pada contoh keluarga nelayan pra sejahtera. Hasil uji beda menunjukkan terdapat perbedaan konsumsi ikan segar dengan ikan awetan pada contoh keluarga nelayan dan non nelayan. Ikan awetan dapat dibeli dengan harga yang relatif lebih rendah namun jumlah yang didapat jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan membeli ikan segar. Selain itu, ikan awetan rata-rata sudah memiliki rasa yang asin sehingga cukup dikonsumsi dalam jumlah yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan mengkonsumsi ikan segar.

Contoh keluarga nelayan baik pada keluarga sejahtera maupun pra sejahtera hanya mengkonsumsi 3 jenis ikan hasil budidaya dalam jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan contoh keluarga non nelayan. Sedangkan contoh keluarga non nelayan mengkonsumsi ikan hasil budidaya lebih banyak dibandingkan ikan laut, walaupun jenis ikan laut yang dikonsumsi cukup beragam. Konsumsi ikan laut contoh keluarga nelayan (39,4 g/kap/hari) lebih besar dibandingkan keluarga non nelayan (8,0 g/kap/hari). Demikian pula sebaliknya, konsumsi ikan budidaya air tawar pada contoh keluarga non nelayan (20,6 g/kap/hari) lebih besar daripada contoh keluarga nelayan (8,1 g/kap/hari). Hasil uji beda menunjukkan terdapat perbedaan konsumsi ikan budidaya air tawar dengan ikan laut pada contoh keluarga nelayan dan keluarga non nelayan. Hal ini diduga karena keluarga nelayan memiliki kemudahan akses dalam mendapatkan ikan laut karena letaknya di daerah pantai dibandingkan keluarga non nelayan. Selain itu masyarakat yang tinggal di daerah pantai sudah terbiasa memakan ikan laut dari kecil, sehingga lebih memilih mengkonsumsi ikan laut yang sudah menjadi kebiasaan. Begitu pula sebaliknya, masyarakat yang tinggal jauh dari pantai lebih banyak mengkonsumsi ikan budidaya air tawar karena kemudahan akses dalam mendapatkan ikan. Contoh keluarga non nelayan sejahtera mengkonsumsi jenis ikan yang harganya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan contoh keluarga non nelayan pra sejahtera. Gurame, udang, cumi-cumi memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang dikonsumsi contoh keluarga non nelayan lainnya, harganya dapat mencapai lebih dari Rp.20.000,-/kg. Sedangkan contoh kedua kelompok keluarga nelayan mengkonsumsi ikan dengan nilai ekonomi yang relatif sama. Hanya saja konsumsi ikan yang bernilai ekonomi tinggi pada contoh keluarga nelayan sejahtera lebih banyak dibandingkan contoh keluarga nelayan pra sejahtera, seperti udang, cumi-cumi dan kakap.

Tabel 22 Keragaan ikan yang dikonsumsi per hari pada contoh keluarga nelayan dan non nelayan
Jenis ikan Ikan budidaya air tawar Segar : Mas Mujair Lele Gurame Banding Ikan seribu Awetan Asin gabus Ikan laut Pelagis besar Segar : Tenggiri Tongkol Salem Awetan : Sarden (kaleng) Pelagis kecil Segar : Belanak Bentong Japuh Kembung Selar Tembang Tengke Teri segar Awetan : Asin japuh Asin selar Asin sepat Teri kering Demersal besar Segar : Bawal Kakap Layur Demersal kecil Segar : Pepetek Kurisi Semadar Sembilang Udang-udangan Segar : Udang awetan : Rebon Molusca Segar : Cumi-cumi Kerang Awetan Cumi kering Total Konsumsi ikan Nelayan Non nelayan sejahtera pra sejahtera sejahtera pra sejahtera n g/kap/ hr n g/kap/ hr n g/kap/ hr n g/kap/hr 15 0 2 1 0 14 0 0 0 7,0 0 1,2 0,2 0 5,6 0 0 0 15 0 5 1 0 12 0 0 0 9,1 0 2,9 0,4 0 5,8 0 0 0 23 13 13 11 1 5 0 1 1 30,8 7,6 10,4 9,5 0,5 2,8 0 0.3 0,3 18 0 6 4 0 10 4 3 3 8,2 0 3,0 1,4 0 3,3 1,5 0,4 0,4

11 1 11 0 0 0 24 7 2 1 22 2 0 1 8 6 1 0 0 7 5 1 4 0 9 7 1 1 0 7 7 1 1 10 9 1 0 0

5,9 0,4 5,5 0 0 0 23,1 2,9 0,8 0,1 17,4 0,4 0 0,3 1,2 1,5 0,1 0 0 1,4 2,2 0,2 1,9 0 4,4 3,1 0,5 0,8 0 1,5 1,5 0 0 5,5 5,4 0,1 0 0 51,2

17 1 16 0 0 0 23 3 1 0 17 0 5 2 11 10 5 0 0 5 3 1 0 2 12 9 4 0 1 3 3 1 1 1 1 0 2 2

6,8 0,4 6,4 0 0 0 14,2 1,4 0,4 0 7,8 0 1,5 1,3 1,8 3,3 1,6 0 0 1,7 1,0 0,3 0 0,7 5,7 3,9 1,5 0 0,3 0,9 0,9 0 0 0,3 0,3 0 1,0 1,0 42,3

1 0 1 0 2 2 10 0 0 0 10 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 6 0 0 2 1 1 0 0

1,8 0 1,8 0 0,4 0,4 4,9 0 0 0 4,7 0 0 0 0,2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1,3 1,3 0 0 0,3 0,3 0,2 0 0 40,0

5 0 5 1 0 0 8 2 0 0 4 0 1 0 3 7 0 3 2 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 3 0 0 0 1 1

1,6 0 1,2 0,4 0 0 3,5 0,9 0 0 2,0 0 0,2 0 0,4 2,1 0 1,1 0,6 0,4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,1 0,1 0 0 0 0,1 0,1 17,3

Sumbangan Protein Ikan terhadap Kecukupan Protein Contoh Asupan Protein Ikan Rata-rata asupan protein ikan terbesar terdapat pada contoh keluarga nelayan sejahtera, yaitu 9,1 g protein per kapita per hari, contoh keluarga nelayan sejahtera 8,9 g protein per kapita per hari, contoh keluarga non nelayan pra sejahtera 5,9 g protein per kapita per hari, sedangkan asupan protein ikan yang paling kecil terdapat pada contoh keluarga non nelayan pra sejahtera, yaitu 3,4 g protein per kapita per hari. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi V (LIPI 1994 dalam Ariningsih 2004) yang menganjurkan konsumsi protein hewani yang berasal dari ikan sebesar 9 g per hari, nilai tersebut hanya bisa dipenuhi oleh contoh keluarga nelayan sejahtera, sedangkan kelompok lainnya berada di bawah anjuran (Tabel 23). Rata-rata yang dikonsumsi contoh keluarga nelayan pra sejahtera tidak begitu jauh dengan angka yang dianjurkan, namun perbedaan rata-rata yang dikonsumsi dengan angka yang dianjurkan pada contoh keluarga non nelayan cukup jauh. Hasil uji beda menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan asupan protein ikan antara contoh keluarga nelayan dan contoh keluarga non nelayan berdasarkan keadaan sosial ekonominya. Hal ini diduga dipengaruhi oleh frekuensi makan ikan dan jumlah ikan yang dikonsumsi contoh keluarga nelayan cukup besar. Selain itu, ikan yang dikonsumsi oleh contoh keluarga nelayan rata-rata memiliki kandungan protein yang cukup tinggi, yaitu di atas 20 g protein per 100 g ikan, seperti kembung (22 g protein), tongkol (24 g protein), pepetek (32 g protein), kakap (20 g protein), bandeng (20 g protein), udang (21 g protein) dan tenggiri (21,4 g protein). Walaupun contoh keluarga nelayan sejahtera dan pra sejahtera konsumsi ikannya berbeda jauh, namun rata-rata asupan proteinnya sama. Hal ini diduga karena jenis ikan yang dimakan relatif sama. Sedangkan contoh keluarga non nelayan lebih banyak mengkonsumsi ikan hasil budidaya air tawar yang mempunyai kandungan protein yang lebih rendah, yaitu di bawah 20 g protein per 100 g ikan, seperti ikan mas (16 g protein), mujair (18,7 g protein) dan lele (14,8 g protein). Ikan awetan memiliki kandungan protein lebih tinggi dibandingkan dengan ikan segar, yaitu sekitar 30 g protein per 100 g ikan, namun karena jumlah yang dimakan sedikit, maka tidak memberikan sumbangan yang banyak terhadap konsumsi protein ikan.

Asupan protein yang dianjurkan oleh WKNPG hanya dapat dipenuhi oleh contoh keluarga nelayan sejahtera, namun jika dilihat per individu contoh, terdapat beberapa contoh pada setiap kelompoknya yang memenuhi anjuran WKNPG. Pada contoh keluarga nelayan, sebanyak 40,0% contoh keluarga nelayan sejahtera dan 43,3% contoh keluarga nelayan pra sejahtera yang memiliki asupan protein pada kategori cukup. Sedangkan pada keluarga non nelayan, hanya 20,0% contoh keluarga non nelayan sejahtera dan 6,7% contoh keluarga non nelayan pra sejahtera yang asupan protein ikannya berada pada kategori cukup (Tabel 23). Tabel 23 Sebaran contoh menurut asupan protein ikan per hari pada contoh keluarga nelayan dan non nelayan berdasarkan anjuran WKNPG
Asupan protein ikan (g) Cukup Kurang Total Nelayan sejahtera n 12 18 30 % 40,0 60,0 100 pra sejahtera n % 14 46,7 16 53,3 30 100 Total n 26 34 60 % 43,3 56,7 100 Non nelayan pra sejahtera sejahtera n % n % 6 20,0 2 6,7 24 80,0 28 93,3 30 100 30 100 Total n 8 52 60 % 13,3 86,7 100

Contoh keluarga non nelayan pra sejahtera yang dapat memenuhi asupan protein adalah contoh yang mengkonsumsi ikan lebih besar atau sama dengan dua kali per minggu dalam satu bulan dan dalam jumlah yang cukup besar yaitu lebih dari 40 g per harinya. Namun pada keluarga nelayan, contoh keluarga pra sejahtera yang memenuhi asupan protein ikan lebih besar dibandingkan dengan contoh keluarga sejahtera. Sebanyak 60% contoh keluarga nelayan sejahtera memiliki asupan protein ikan yang kurang. Penyebabnya antara lain frekuensi makan ikan yang lebih rendah, sehingga ikan yang dikonsumsi lebih sedikit. Selain itu, terdapat contoh yang memiliki asupan protein ikan kurang, mengkonsumsi pangan sumber protein hewani lainnya (daging, ayam dan telur) cukup banyak. Sumbangan Protein Ikan Rata-rata angka kecukupan protein baik pada contoh keluarga nelayan dan non nelayan mempunyai nilai yang relatif sama, yaitu 35,0-38,6 g (Tabel 25). Namun karena rata-rata konsumsi protein ikan per hari pada contoh keluarga nelayan lebih besar dibandingkan dengan contoh keluarga non nelayan, rata-rata sumbangan protein ikan antara keluarga nelayan dan non nelayan memiliki perbedaan yang cukup tinggi. Rata-rata sumbangan protein ikan terhadap kecukupan protein individu contoh per hari baik pada contoh keluarga nelayan

sejahtera maupun pra sejahtera memiliki nilai yang sama yaitu sekitar 26,8%. Sedangkan sumbangan protein ikan terhadap kecukupan protein individu contoh per hari keluarga non nelayan masih sangat rendah, yaitu 15,9% pada contoh keluarga non nelayan sejahtera dan 9,4% pada contoh keluarga non nelayan pra sejahtera. Tabel 24 Sebaran contoh menurut sumbangan protein ikan pada keluarga nelayan dan non nelayan
Nelayan Variabel Konsumsi protein ikan (g/hr) Angka kecukupan protein (g/hr) Sumbangan protein ikan terhadap kecukupan protein (%) sejahtera 9,1 35,6 26,8 pra sejahtera 8,9 35,0 26,8 Non nelayan pra sejahtera sejahtera 5,9 3,4 38,6 37,9 15,9 9,4

Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Asupan gizi yang cukup pada anak-anak dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, di antaranya mencukupi kebutuhan energi untuk aktivitas, menjaga tubuh agar resisten terhadap penyakit, menyediakan kebutuhan untuk pertumbuhan, serta menyediakan penyimpanan gizi yang cukup untuk membantu pertumbuhan pada periode dewasa (Lee 1993). Oleh karena itu, kekurangan asupan gizi dapat menyebabkan terganggunya aktivitas dan metabolisme tubuh. Berdasarkan Tabel 25, persentase tingkat kecukupan energi terbesar contoh pada keluarga non nelayan sejahtera (53,3%) berada pada kategori baik, contoh pada keluarga non nelayan pra sejahtera (43,3%) berada pada kategori defisit tingkat berat, contoh pada keluarga nelayan sejahtera (30,0%) berada pada kategori cukup dan contoh pada keluarga nelayan pra sejahtera (40,0%) berada pada kategori defisit ringan. Rata-rata tingkat kecukupan energi contoh keluarga non nelayan sejahtera cenderung lebih tinggi (88,65%) dibandingkan kelompok lainnya. Jika dibandingkan keluarga nelayan dan non nelayan, persentase terbesar keluarga non nelayan (30%) berada pada kategori cukup, sedangkan keluarga nelayan (33,3%) berada pada kategori defisit ringan. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan tingkat kecukupan energi antara keluarga nelayan dan non nelayan. Namun jika dibandingkan pula dengan tingkat sosial ekonominya (sejahtera dan pra sejahtera), maka terdapat perbedaan yang nyata pada tingkat kecukupan energi.

Tabel 25 Sebaran contoh menurut kategori tingkat kecukupan energi per kapita per hari pada contoh keluarga nelayan dan non nelayan
Kategori tingkat kecukupan energi Defisit berat Defisit ringan Cukup Baik Total Rata-rata sd (%) Nelayan sejahtera n 7 8 9 6 30 % 23,3 26,7 30,0 20,0 100 pra sejahtera n % 10 33,3 12 40,0 6 20,0 2 6,7 30 100 77,2 15,5 Total n 17 20 15 8 60 % 28,3 33,3 25,0 13,3 100 Non nelayan pra sejahtera sejahtera n % n % 2 6,7 13 43,3 4 13,3 9 30,0 8 26,7 6 20,0 16 53,3 2 6,7 30 100 30 100 88,7 13,5 72,2 10,5 Total n 15 13 14 18 60 % 25,0 21,7 23,3 30,0 100

78,3 13,3

77,8 14,3

80,4 14,6

Menurut FAO/WHO/UNU (1985) dalam Almatsier (2001), kebutuhan protein adalah konsumsi yang dibutuhkan untuk mencegah kehilangan protein tubuh dan memungkinkan produksi protein yang diperlukan dalam masa pertumbuhan, kehamilan atau menyusui. Oleh karena itu, anak-anak harus mengkonsumsi protein dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya baik untuk pertumbuhan maupun aktivitas sehari-hari. Persentase terbesar tingkat kecukupan protein pada contoh keluarga non nelayan sejahtera (86,7%), contoh keluarga nelayan sejahtera (60%) serta keluarga non nelayan pra sejahtera (38,7%) berada pada kategori baik (Tabel 26). Sedangkan persentase terbesar pada contoh keluarga non nelayan pra sejahtera (40%) berada pada kategori defisit tingkat berat. Hal ini diduga karena contoh yang berasal dari keluarga non nelayan pra sejahtera mengkonsumsi lebih rendah makanan sumber protein terutama protein hewani seperti daging, telur, ikan dan susu dengan alasan faktor ekonomi. Sedangkan pada keluarga nelayan pra sejahtera memiliki tingkat ekonomi yang rendah, namun tingkat konsumsi proteinnya cukup tinggi. Hal ini dikarenakan tingginya konsumsi ikan di daerah nelayan. Hasil uji beda menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara contoh keluarga nelayan dan non nelayan berdasarkan keadaan sosial ekonominya, namun hasil uji beda antara keluarga nelayan dan non nelayan tidak menunjukkan adanya perbedaan. Tingkat kecukupan protein contoh lebih baik dari pada tingkat konsumsi energinya. Namun, belum tentu protein yang dikonsumsi oleh contoh dapat berfungsi dengan baik. Protein yang dikonsumsi contoh bisa saja diubah menjadi energi untuk menutupi defisit energi contoh, karena dalam kondisi tertentu, protein dapat menyumbang 4 Kal/g protein.

Tabel 26 Sebaran contoh menurut tingkat kecukupan protein pada keluarga nelayan dan non nelayan
Kategori tingkat kecukupan protein Defisit berat Defisit ringan Cukup Baik Total Rata-rata sd (%) Nelayan sejahtera n 2 4 6 18 30 % 6,7 13,3 20,0 60,0 100 pra sejahtera n % 7 23,3 6 20,0 6 20,0 11 38,7 30 100 91,0 32,4 Total n 9 10 12 29 60 % 15,0 16,7 20,0 48,3 100 Non nelayan pra sejahtera sejahtera n % n % 2 6,7 12 40,0 2 6,7 4 13,3 0 0 5 16,7 26 86,7 9 30,0 30 100 30 100 117,5 32,9 80,3 23,3 Total n 14 6 5 35 60 % 23,3 10,0 8,3 58,3 100

100 23,9

96,0 28,7

98,9 33,9

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Konsumsi Ikan Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Konsumsi Ikan Besar keluarga Menurut Harper, Deaton dan Driskel (1986), kecukupan gizi anggota keluarga sangat ditentukan oleh distribusi pangan dalam rumah tangga. Distribusi makanan di dalam keluarga dapat tidak merata terutama pada keluarga miskin. Keluarga miskin akan dapat memenuhi kebutuhan pangannya jika individu yang harus diberi makan lebih sedikit. Tabel 27 menunjukkan semakin besar jumlah anggota keluarga tidak berarti jumlah ikan yang dikonsumsi lebih sedikit. Masih terdapat beberapa contoh yang berasal dari keluarga yang memiliki jumlah anggota lebih kecil atau sama dengan empat mengkonsumsi ikan pada kategori rendah. Persentase terbesar konsumsi ikan pada contoh keluarga nelayan (56,7% contoh keluarga nelayan sejahtera, 46,7% contoh keluarga nelayan pra sejahtera) berada pada kategori tinggi. Hasil uji Spearman (Lampiran 3), menunjukkan tidak terdapat hubungan antara besar keluarga dengan jumlah ikan yang dikonsumsi. Tabel 27 Persentase contoh menurut besar keluarga dan konsumsi ikan pada keluarga nelayan dan non nelayan
Konsumsi ikan (g)
Besar Keluarga (orang) 4 57 8

Nelayan sejahtera pra sejahtera <37,6 37,6 <37,6 37,6 3,3 13,3 6,7 10,0 16,7 56,7 20,0 46,7 3,3 6,7 13,3 3,3

Non nelayan sejahtera pra sejahtera <37,6 37,6 <37,6 37,6 26,7 13,3 23,3 0 36,7 20,0 66,7 6,7 0 3,3 0 3,3

Pendidikan orang tua Kemampuan seseorang dalam membaca akan mempermudah pemberian dan penyerapan informasi, sehingga informasi tentang kesehatan diharapkan dapat dengan mudah diterima oleh keluarga atau masyarakat. (Sukarni 1989). Walaupun orang tua contoh keluarga nelayan memiliki tingkat pendidikan yang rendah, tetapi konsumsi ikannya cukup tinggi, sedangkan contoh keluarga non nelayan mengkonsumsi ikan lebih rendah, walaupun tingkat pendidikannya lebih tinggi (Tabel 28). Hasil uji Spearman (Lampiran 3), menunjukkan tidak terdapat hubungan antara pendidikan orang tua dengan jumlah ikan yang dikonsumsi. Tabel 28 Persentase contoh menurut pendidikan orang tua dan konsumsi ikan pada keluarga nelayan dan non nelayan
Konsumsi ikan (g)
Pendidikan Orangtua Pendidikan ayah TS SD SMP SMA PT Pendidikan ibu TS SD SMP SMA PT

Nelayan sejahtera pra sejahtera <37,6 37,6 <37,6 37,6 6,7 6,7 6,7 3,3 0 0 10,0 10,0 0 3,3 6,7 46,7 10,0 13,3 0 0 53,3 16,7 6,7 0 13,3 16,7 10,0 0 0 10,0 20,0 10,0 0 0 6,7 40,0 10,0 3,3 0 10,0 40,0 3,3 6,7 0

Non nelayan sejahtera pra sejahtera <37,6 37,6 <37,6 37,6 0 3,3 0 43,3 16,7 0 3,3 0 46,7 13,3 0 0 3,3 10,0 23,3 0 0 0 20,0 16,7 20,0 36,7 23,3 10,0 0 6,7 46,7 23,3 13,3 0 0 6,7 0 3,3 0 0 6,7 0 3,3 0

Pendapatan per kapita per bulan Berdasarkan Tabel 29, terdapat kecenderungan peningkatan konsumsi pangan dengan semakin meningkatnya pendapatan. Konsumsi ikan pada contoh keluarga nelayan cenderung semakin baik dengan meningkatnya pendapatan. Begitu pula dengan contoh keluarga non nelayan, persentase contoh yang mengkonsumsi ikan 37,6 g semakin besar dengan meningkatnya pendapatan. Hasil uji Spearman (Lampiran 3) menunjukkan bahwa pendapatan memiliki hubungan nyata positif terhadap konsumsi ikan (p<0,05). Hal ini sesuai dengan Guhardja, Puspitawati, Hartoyo dan Hastuti (1992), besarnya uang yang dimiliki oleh seseorang atau keluarga dapat menunjukkan banyaknya sumberdaya uang yang dimilikinya, karena dengan uang yang dimilikinya, seseorang atau keluarga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Tabel 29 Persentase contoh menurut pendapatan dan konsumsi ikan pada keluarga nelayan dan non nelayan
Konsumsi ikan (g)
Pendapatan (Rp/kap/bln) 125.000 125.001-250.000 250.001-375.000 375.001-500.000 > 500.000

Nelayan sejahtera <37,6 3,3 0 6,7 0 0 37,6 0 53,3 16,7 6,7 0 pra sejahtera <37,6 26,7 13,3 0 0 0 37,6 36,7 23,3 0 0 0 <37,6 0 3,3 20,0 13,3 26,7

Non nelayan sejahtera 37,6 3,3 0 3,3 10,0 20,0 pra sejahtera <37,6 50,0 40,0 0 0 0 37,6 6,7 3,3 0 0 0

Pengetahuan gizi ibu Tabel 31 menunjukkan semakin tinggi pengetahuan gizi ibu, tidak berarti konsumsi ikannya semakin besar. Persentase terbesar contoh keluarga nelayan (63,3% contoh keluarga nelayan sejahtera, 46,7% contoh keluarga nelayan para sejahtera) yang mengkonsumsi ikan 37,6 g memiliki pengetahuan gizi ibu yang rendah. Pada contoh keluarga non nelayan sejahtera, walaupun terjadi peningkatan persentase contoh yang mengkonsumsi ikan 37,6 g, namun jumlahnya masih lebih rendah jika dibandingkan dengan contoh yang mengkonsumsi ikan <37,6 g. Hal ini diduga karena faktor kebiasaan makan sejak kecil. Masyarakat yang tinggal di daerah pantai memiliki kemudahan akses dalam mendapatkan ikan karena ketersediaan ikan cukup tinggi dengan harga yang lebih rendah pula, sehingga mereka lebih memilih membeli ikan daripada pangan hewani lainnya yang lebih sulit didapatkan dan memiliki harga yang lebih tinggi. Oleh karena itu masyarakat daerah pantai sudah terbiasa memakan ikan semenjak kecil. Menurut Sumarwan (2004), kebiasaan dapat diturunkan dari generasi ke generasi secara turun temurun. Hasil uji Spearman menunjukkan pengetahuan gizi ibu tidak mempengaruhi konsumsi ikan keluarga. Tabel 30 Persentase contoh menurut pengetahuan gizi ibu dan konsumsi ikan pada keluarga nelayan dan non nelayan
Pengetahuan gizi ibu Kurang Sedang Tinggi

Konsumsi ikan (g) Nelayan Non nelayan sejahtera pra sejahtera sejahtera pra sejahtera <37,6 20,0 3,3 0 37,6 63,3 10,0 3,3 <37,6 33,3 6,7 0 37,6 46,7 10,0 3,3 <37,6 13,3 33,3 16,7 37,6 6,7 13,3 16,7 <37,6 66,7 13,3 10,0 37,6 6,7 0 3,3

Hubungan Karakteristik Contoh dengan Konsumsi Ikan Alergi pengetahuan gizi dan status gizi tidak berhubungan dengan jumlah ikan yang dikonsumsi oleh contoh (Tabel 31). Hasil uji Spearman menunjukkan tidak ada hubungan antara alergi contoh terhadap ikan, pengetahuan gizi dan status gizi contoh dengan konsumsi ikan (Lampiran 4). Hal ini diduga karena contoh memiliki alergi ikan tetap memakan ikan tanpa memperdulikan alergi yang akan timbul. Pada usia ini juga pengetahuan gizi contoh terutama tentang ikan masih rendah sehingga contoh mengkonsumsi ikan hanya karena rasanya yang enak dan kesukaannya terhadap ikan bukan karena kandungan gizi ikan yang baik. Selain itu, contoh juga memakan apa yang disediakan dalam keluarganya sejak kecil. Sehingga keputusan orangtua dalam menyediakan makanan mempengaruhi konsumsinya. Menurut Lucas (2004), pada anak kecil, orang tua dan anggota keluarga yang lebih tua merupakan model dalam pembentukan perilaku. Sikap orang tua terhadap makanan dapat mempengaruhi sikap anak pada makanan yang disukai, tidak disukai serta keragaman makanan anak. Lamanya pendidikan contoh tidak berhubungan dengan pengetahuan gizi contoh berdasarkan hasil uji Spearman (Lampiran 5). Artinya pendidikan yang lebih tinggi tidak menjamin pengetahuan gizi lebih baik. Menurut Soekirman (2000), pendidikan gizi pada anak-anak di Indonesia masih sangat kurang. Sehingga pengetahuan gizi yang didapatkan contoh di sekolah masih sangat terbatas. Padahal pendidikan gizi dianjurkan diberikan pada anak segera setelah anak masuk sekolah. Pengetahuan gizi contoh berhubungan nyata positif dengan pengetahuan gizi ibu (Lampiran 6). Artinya, semakin baik pengetahuan gizi ibu maka pengetahuan gizi contoh semakin baik pula. Ibu merupakan guru pertama bagi anak, anak akan memperoleh informasi pertama tentang gizi dari ibu dan anggota keluarga lainnya. Menurut Sukosi (2006), pola makan dan pengetahuan tentang gizi hanya diperoleh melalui sosialisasi keluarga dan sebagian kecil saja yang mendapatkannya melalui pendidikan formal.

Tabel 31 Persentase contoh menurut karakteristik anak dan konsumsi ikan pada keluarga nelayan dan non nelayan
Karakteristik Anak
Alergi

Konsumsi ikan (g) Nelayan Non nelayan sejahtera pra sejahtera sejahtera pra sejahtera <37,6 37,6 6,7 70,0 33,3 30,0 13,3 13,3 60,0 3,3 <37,6 36,7 3,3 33,3 3,3 3,3 10,0 30,0 0 37,6 53,3 6,7 40,0 16,7 3,3 6,7 33,3 0 <37,6 6,7 56,7 20,0 20,0 23,3 0 60,0 3,3 37,6 6,7 30,0 16,7 10,0 10,0 0 36,7 0 <37,6 10,0 80,0 46,7 23,3 20,0 10,0 80,0 0 37,6 3,3 6,7 0 3,3 6,7 0 10,0 0

Ya Tidak

0 23,3

Pengetahuan gizi anak Kurang 20,0 Sedang 3,3 Tinggi 0 Status gizi

Underweight Normal Overweight

0 23,3 0

Hubungan Kebiasaan Makan Ikan dengan Konsumsi Ikan Kesukaan seseorang terhadap suatu makanan akan mempengaruhi konsumsi pangan seseorang (Suhardjo 1989). Anak yang tidak menyukai ikan akan mengkonsumsi ikan lebih sedikit bahkan tidak sama sekali. Sedangkan anak yang menyukai ikan akan lebih banyak mengkonsumsi ikan, bahkan terdapat anak yang mengkonsumsi ikan setiap hari. Tabel 32 menunjukkan kecenderungan peningkatan konsumsi ikan pada contoh yang menyukai ikan. Hasil uji Spearman (p<0,01) menunjukkan terdapat hubungan nyata positif antara kesukaan anak dengan konsumsi ikan (Lampiran 7). Tabel 32 Persentase contoh menurut kesukaan anak dan konsumsi ikan pada keluarga nelayan dan non nelayan
Kesukaan contoh

Ya Tidak

Konsumsi ikan (g) Nelayan Non nelayan sejahtera pra sejahtera sejahtera pra sejahtera <37,6 37,6 <37,6 37,6 <37,6 37,6 <37,6 37,6 20,0 76,7 40,0 56,7 56,7 36,7 70,0 10,0 3,3 0 0 3,3 6,7 0 20,0 0

Menurut Moehji (2002), makanan yang disajikan dalam rumah tangga oleh ibu dipengaruhi pula oleh bahan makanan apa yang dapat dimasak dan tersedia oleh ibu. Persediaan ikan dalam rumah tangga menunjukkan kemudahan rumah tangga dalam mengkonsumsi ikan setiap saat diperlukan. Semakin banyak rumah tangga memiliki persediaan ikan semakin banyak jumlah ikan yang akan dikonsumsi oleh anggota keluarga. Nelayan yang menyimpan hasil tangkapannya akan memiliki kemudahan dalam mengkonsumsi ikan

walaupun tidak melaut. Rumah tangga yang memiliki persediaan ikan yang ketersediaan ikan di daerahnya berkurang. Selain itu, persediaan ikan dalam rumah tangga juga tergantung pada kemudahan rumah tangga dalam menyimpan persediaan ikan. Konsumsi ikan semakin tinggi dengan bertambahnya persediaan dalam rumah tangga (Tabel 33), yang dibuktikan dengan hasil uji Spearman (p<0,01), persediaan ikan dalam rumah tangga berhubungan nyata positif dengan konsumsi ikan (Lampiran 7). Tabel 33 Persentase contoh menurut persediaan ikan dalam rumah tangga dan konsumsi ikan pada keluarga nelayan dan non nelayan
Konsumsi ikan (g)
Persediaan ikan dalam rumah tangga Ya Tidak

Nelayan sejahtera pra sejahtera <37,6 37,6 <37,6 37,6 10,0 60,0 6,7 16,7 13,3 16,7 33,3 43,3

Non nelayan sejahtera pra sejahtera <37,6 37,6 <37,6 37,6 33,3 20,0 3,3 0 30,0 16,7 86,7 10,0

Frekuensi konsumsi ikan menunjukkan seberapa seringnya seseorang mengkonsumsi ikan. Semakin sering seseorang mengkonsumsi ikan semakin banyak ikan yang dikonsumsi. Frekuensi makan ikan pada keluarga nelayan lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga non nelayan, begitu pula dengan ratarata konsumsi ikan contoh pada keluarga nelayan lebih tinggi dibandingkan contoh keluarga non nelayan (Tabel 34). Hasil uji Spearman (p<0,01), menunjukkan terdapat hubungan nyata positif Tabel 31antara frekuensi makan ikan dengan konsumsi ikan (Lampiran 7). Tabel 34 Persentase contoh menurut frekuensi makan ikan dalam satu minggu dan konsumsi ikan pada keluarga nelayan dan non nelayan
Frekuensi makan ikan dalam 1 minggu (kali)

Tidak pernah (1-2) (3-5) (6)

Konsumsi ikan (g) Nelayan Non nelayan sejahtera pra sejahtera sejahtera pra sejahtera <37,6 37,6 <37,6 37,6 <37,6 37,6 <37,6 37,6 0 0 0 0 6,7 0 13,3 0 10,0 0 10,0 0 43,3 3,3 53,3 0 13,3 53,3 30,0 30,0 13,3 23,3 23,3 6,7 0 23,3 0 30,0 0 10,0 0 3,3

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan Contoh dalam penelitian ini berjumlah 120 orang. Lebih dari separuh contoh berjenis kelamin perempuan, dengan rata-rata usia sekitar 9 tahun. Sebagian besar contoh berstatus gizi normal berdasarkan BB/U. Lebih dari separuh contoh berasal dari keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga 5 sampai 7 orang, dengan pendapatan per kapita per bulan rata-rata Rp. 257.932,1. Tingkat pendidikan orang tua keluarga non nelayan sejahtera lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga nelayan. Contoh keluarga nelayan mengkonsumsi ikan lebih banyak dibandingkan dengan contoh keluarga non nelayan. Keluarga sejahtera mengkonsumsi ikan lebih banyak dibandingkan dengan keluarga pra sejahtera baik pada keluarga nelayan maupun non nelayan. Rata-rata konsumsi ikan contoh keluarga nelayan sejahtera sebesar 51,2 g/kap/hari, contoh keluarga nelayan pra sejahtera 42,3 g/kap/hari, contoh keluarga non nelayan sejahtera 40,0 g/kap/hari serta contoh keluarga non nelayan pra sejahtera 17,3 g/kap/hari. Rata-rata ini masih dibawah anjuran FAO yaitu sekitar 71,2 g/kap/hari. Contoh keluarga nelayan mengkonsumsi ikan laut (39,4 g/kap/hari) lebih banyak dibandingkan dengan contoh keluarga non nelayan (8,0 g/kap/hari), sedangkan contoh keluarga non nelayan mengkonsumsi ikan budidaya air tawar (20,6 g/kap/hari) lebih banyak dibandingkan contoh keluarga nelayan (8,1 g/kap/hari). Contoh keluarga pra sejahtera mengkonsumsi ikan awetan lebih banyak dibandingkan dengan contoh keluarga sejahtera. Rata-rata konsumsi protein pada contoh keluarga nelayan sejahtera, keluarga nelayan pra sejahtera, keluarga non nelayan sejahtera dan keluarga non nelayan pra sejahtera berturut-turut adalah 9,1 g/kap/hari, 8,9 g/kap/hari, 5,9 g/kap/hari dan 3,4 g/kap/hari. Sumbangan protein dari ikan diharapkan oleh WKNPG sebesar 9 g/hari, sedangkan dari rata-rata asupan protein ikan hanya contoh keluarga nelayan sejahtera yang mencukupi anjuran tersebut. Selain itu, rata-rata sumbangan protein ikan terhadap kecukupan protein per hari terbesar berada pada contoh keluarga nelayan yang memiliki nilai yang sama baik keluarga sejahtera maupun pra sejahtera, yaitu 26,8 persen. Pendapatan dan mata pencaharian orang tua (nelayan dan non nelayan) serta kebiasaan mengkonsumsi ikan berhubungan dengan konsumsi ikan contoh. Contoh yang berasal dari keluarga nelayan mengkonsumsi ikan lebih

banyak. Pendapatan keluarga yang semakin tinggi, maka ada kecenderungan konsumsi ikannya meningkat. Kesukaan anak pada ikan, frekuensi konsumsi ikan yang lebih sering serta tingginya persediaan ikan dalam rumah tangga dapat meningkatkan konsumsi ikan. Saran Ikan memiliki harga yang sangat bervariasi. Tidak semua ikan memiliki harga yang mahal, sehingga keluarga pra sejahtera dapat membeli ikan yang harganya lebih terjangkau. Nilai protein ikan segar apa pun jenisnya relatif sama, dengan kisaran 16-22%, sehingga tidak perlu membeli ikan yang mahal untuk mencukupi protein ikan. Selain itu, diperlukan penyuluhan gizi mengenai cara penanganan dan pengolahan ikan yang baik agar dapat menghilangkan bau amis pada ikan yang biasanya tidak disukai dan menjadi salah satu penyebab seseorang tidak menyukai ikan. Meningkatnya konsumsi ikan, diharapkan dapat meningkatkan sumbangan protein ikan.

DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Ariningsih, E. 2004. Kajian Konsumsi Protein Hewani pada Masa Krisis Ekonomi di Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Buckle, K.A., R.A. Edwards, G. Fleet, M. Wootton. 1987. Purnomo, H & Adiono, penterjemah. Jakarta: UI Press Ilmu Pangan.

BKKBN. 1996. Opini Pembangunan Keluarga Sejahtera. Jakarta: BKKBN Dahuri, R. 2004. Gerakan Makan Ikan, Budaya Bahari, dan Kualitas Hidup Bangsa. http://www.kompas.com.[21 Februari 2007] Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (DKP). 2004. Merajut Ikatan "GEMARIKAN" Dari Daerah ke Derah Melalui Penyuluhan. http://www.dkp. go.id. [17 September 2007] Guhardja, S, H. Puspitawati, Hartoyo & D. Hastuti. 1992. Menejemen Sumberdaya Keluarga [diktat]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Hardinsyah, D. Briawan , Retnaningsih, T. Herawati, R. Wijaya. 2002. Modul Ketahanan Pangan O3: Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan. Bogor: Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi Institut Pertanian dan Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan, Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian Hardinsyah & V. Tambunan. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak dan Serat Makanan. Dalam: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Muhilal, dkk. Editor. Prosiding Widyakarya nasional Pangan dan Gizi. Jakarta: LIPI Harper, L.J, B.J. Deaton & J.A. Driskel. 1986. Pangan, Gizi dan Pertanian. Suhardjo, penterjemah. Jakarta : UI Press Hartog, A.P, W.A. Steveren & I.D. Brouwer. 1995. Manual for Social Surveys on Food Habits and Consumption in Developing Countries. Weikershiem: Margraf Verlag Hurlock, E.B. 1991. Perkembangan Anak. Jakarta : Penerbit Erlangga Khomsan, A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor __________. 2002. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Khumaidi, M. 1989. Gizi Masyarakat. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Lee, S.L. 1993. Infant, Children & Adolescents. Dalam Owen, A. L. & Frankle, R. T, editor. Nutrition in The Community. St. Louis: Mosby-Year Book, Inc Lucas, B.L. 2004. Nutrition in Childhood. Dalam Mahan, K. L & S. E. Stump, Editor. Krauses: Food, Nutrition and Diet Therapy. Pennsylvania: Saunders Madanijah. S, Zulaikhah, Y.B. Munthe. 2005. Sumbangan Konsumsi Ikan dan Makanan Jajanan terhadap Kecukupan Gizi Anak Balita pada Keluarga Nelayan Buruh dan Nalayan Juragan. Media Gizi dan Keluarga. Departemen Gizi Masyarakat dan Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Partanian Bogor. Moehji, S. 2002. Ilmu Gizi. Jakarta : Bhratara Karya Aksara Nasoetion, A & H. Riyadi. 1995. Gizi Terapan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Proyek Peningkatan Pendidikan Kejuruan Non Teknik II Numberi, F. 2006. Ikan Menyehatkan http://www.indonesia.go.id. [21 Februari 2007] dan Mencerdaskan.

Pipes, P.L. 1981. Nutrition in Infancy and Childhood. St. Louis: The CV Mosby Company Riyadi, H. 2001. Metode Penilaian Status Gizi Secara Antropometri [diktat]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Sediaoetama. 1991. Ilmu Gizi: untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta: Dian Rakyat Soekarti, M. & D.Kartono. 2004. Angka Kecukupan Mineral. Dalam: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Muhilal, dkk. Editor. Prosiding Widyakarya nasional Pangan dan Gizi. Jakarta: LIPI Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya Untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. _______. 2003. Berbagai cara Pendidikan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara _______. 2005. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara

Sukarni, M. 1989. Bahan Pengajaran Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Sukosi, K. 2006. Revitalisasi Kelembagaan Sosial Pedesaan dalam Penganekaragaman Pangan. Dalam: Hariyadi, P, D. Martianto, B. Arifin, B. Wijaya, F.G. Winarno, editor. Prosiding Lokakarya Nasional II Penganekaragaman Pangan: Rekonstruksi Kelembagaan Sosial Penanganan dan Pencegahan Rawan Pangan dan Gizi Buruk. Jakarta: Forum Kerja Penganekaragaman Pangan 2006 Sumarwan, U. 2004. Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya dalam Pemasarannya. Jakarta: Ghalia Tiwow, C. 2003. Kawasan Pesisir Penentu Stok Ikan di Laut [disertasi]. Bogor: Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor.

Fish Consumption of School-Age Children in Fisherman and Non Fisherman Family based on Socio Economic Condition
Ratu Nursyah Oktari1), Siti Madanijah2) , Amini Nasoetion3) Abstract The general objective of this research was to understand fish consumption of elementary school-age children in Fisherman and Non Fisherman Family based on the socio economic level in Serang District. The particular objective of the research were to 1) Compare fish consumption of School-Age Children in Fisherman and Non Fisherman Family; 2) Compare fish consumpti on of SchoolAge Children in Fisherman and Non Fisherman Family based on income level; 3) Analyze contribution of fish protein consumption to the protein sufficiency level; 4) Analyze the correlation of family characteristic, sample characteristic, and fish consumption habit with fish consumption of School-Age Children. This research was conducted in May until June 2007, located in Kagungan Village, Serang Sub district (non Fisherman) and Banten Village, Kasemen Sub district (fisherman). The location was chosen by purposive method. The design used in this research was cross sectional study. Sample was classified into four groups; they are sample come from prosperous fisherman family, pre prosperous fisherman family, prosperous non fisherman family, and pre prosperous non fisherman family. Then, from each groups, 30 samples were chosen randomly. Thus, total sample of this research were 120 samples. The average fish consumption in sample come from prosperous fisherman family, pre prosperous fisherman family, prosperous non fisherman family, and pre prosperous non fisherman family are in a row 9.1 g/day, 8.9 g/day, 5.9 g/day, and 3.4 g/day. Result from Spearman test shows that income and parents job (fisherman and non fisherman) and fish consumption habit were correlated with fish consumption of sample. Sample come from fisherman family consume larger amount of fish. Higher family income have tendency to more fish consumption. Children preference of fish, high frequency, and high fish availability in household can increase fish consumption. Keywords: fish consumption, fsherman family, shcool age children

1) Alumni Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga 2) Staf pengajar Departemen Gizi Masyarakat 3) Staf pengajar Departemen Gizi Masyarakat

Anda mungkin juga menyukai