Anda di halaman 1dari 18

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara di kawasan Asia Tenggara yang memiliki banyak sekali kesamaan, baik dari segi penduduk, budaya, bahasa dan agama. Kedua negara juga mengalami periode masa penjajahan oleh kekuatan kolonial Eropa, yakni Belanda dan Inggris. Penduduk mayoritas di Indonesia dan Malaysia berasal dari kelompok Malayo-Polynesia. Bahasa yang dipakai oleh kedua negara memiliki akar yang sama, yakni bahasa Melayu. Sedangkan dari sisi agama yang dianut oleh mayoritas kelompok pribumi adalah agama Islam, yang datang ke kawasan ini melalui kontak dengan para pedagang dari Timur Tengah serta dari beberapa pedagang Cina di Indonesia. Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara yang memiliki penduduk minoritas dari etnis Cina. Etnis Cina yang ada di kedua negara merupakan keturunan dari etnis Cina yang datang pada masa sebelum dan selama berlangsungnya penjajahan. Hubungan-hubungan antara penduduk pribumi di Indonesia dan Malaysia dengan etnis Cina telah berlangsung jauh sebelum masa berlangsungnya penjajahan. Hubungan ini dimulai dengan adanya hubungan perdagangan di kota-kota perdagangan utama, baik di Malaya ataupun di pulau-pulau Nusantara seperti Sumatra dan Jawa. Berawal dari hubungan dagang, banyak pedagang asing yang kemudian menikah dengan perempuan lokal di kawasan ini, dan kemudian menghasilkan kelompok yang merupakan percampuran antara budaya Melayu lokal dengan budaya pendatang. Contoh dari hubungan-hubungan ini adalah adanya kaum Peranakan di Indonesia dan Malaysia. Dalam perjalanan sejarahnya, kedua negara pernah mengalami konflik etnis yang terjadi diantara penduduk pribumi dan penduduk etnis Cina. Konflik-konflik ini seringkali dilatarbelakangi oleh adanya stereotype tertentu dari penduduk pribumi terhadap etnis Cina. Tulisan ini akan mencoba menelusuri bagaimana pengaruh kolonialisme terhadap dinamika dalam relasi etnis Cina dengan pribumi.
1|Page

Rumusan Masalah Bagaimanakah kolonialisme di Indonesia dan Malaysia mempengaruhi dinamika dari relasi penduduk pribumi dengan etnis minoritas Cina?

2|Page

BAB II ISI

Sejarah imigrasi etnis Cina ke kawasan Asia Tenggara Sejarah mencatat, kontak antara etnis Cina dengan kawasan Asia Tenggara telah berlangsung sejak zaman Dinasti Han (abad ke-2 Masehi), atau bahkan pada periode waktu sebelum itu. Namun imigrasi etnis Cina secara massal baru berlangsung pada pertengahan abad ke-19, dimana kekuatan Barat mengalahkan Dinasti Ching di Cina daratan. Sebelum pertengahan abad ke-19, etnis Cina yang datang ke kawasan Asia Tenggara (terutama ke Thailand, Filipina, Malaysia dan Indonesia) berjumlah terbatas. Imigrasi dalam skala massal belum berlangsung pada periode ini. Dengan jumlahnya yang terbatas serta minimnya kaum wanita yang datang ke kawasan Asia Tenggara, kebanyakan imigran Cina menikah dengan wanita lokal. Pernikahan campuran ini menghasilkan keturunan Cina campuran, yang dikenal dengan nama kaum Peranakan. Pendatang Cina pada periode ini banyak yang kemudian tinggal menetap dan membentuk komunitas di tempat mereka tinggal. Dalam prosesnya, kelompok ini kehilangan kemampuan berbahasa Cina yang dahulu dimiliki oleh nenek moyangnya. Imigrasi secara massal baru berlangsung setelah pertengahan abad ke-19. Ada faktor-faktor yang mendorong terjadinya gelombang imigrasi etnis Cina ke kawasan Asia Tenggara. Peluang ekonomi yang luas di kawasan Asia Tenggara menjadi faktor penarik yang membuat etnis Cina dari Cina daratan untuk melakukan imigrasi ke kawasan Asia Tenggara. Sedangkan faktor pendorong yang membuat etnis Cina berimigrasi dari negaranya adalah situasi Cina daratan yang sedang mengalami gejolak. Inilah kemudian yang menjadi faktor pendorong untuk etnis Cina untuk pindah ke Asia Tenggara. Kombinasi dari keadaan Cina yang buruk serta adanya peluang ekonomi di kawasan Asia Tenggara, membuat etnis Cina berbondong-bondong berimigrasi ke kawasan Asia Tenggara.1

Suryadinata, L. (Ed.). 2007. Understanding the Ethnic Chinese in Southeast Asia.

Singapore: ISEAS Publishing, hlm. 50-51.

3|Page

Peranan Pihak Kolonial dalam Dinamika Penduduk di Malaysia dan Indonesia Baik Indonesia maupun Malaysia, sama-sama melewati periode kolonisasi oleh kekuatan Eropa. Indonesia dijajah oleh Belanda, sedangkan Malaysia dijajah oleh Inggris. Periode penjajahan di Indonesia berlangsung kurang lebih selama 3 abad lebih, sedangkan di Malaysia berlangsung selama kurang lebih 2 abad. Periode penjajahan di Indonesia dan Malaysia sangat berpengaruh dalam membentuk relasi etnis minoritas Cina dengan penduduk pribumi di kedua negara. Malaysia2 Pada masa penjajahan Inggris di Malaysia, ditemukan cadangan timah yang besar. Inggris juga membuka perkebunan-perkebunan karet setelah diperkenalkannya karet dari Brazil. Baik timah maupun karet merupakan sumber pendapatan yang besar bagi Inggris. Inggris kemudian mengimpor tenaga kerja dalam jumlah besar. Sumber tenaga kerja tersebut berasal dari Cina dan India (yang pada masa tersebut juga sedang berada dibawah kekuasaan Inggris). Tenaga kerja ini dibutuhkan untuk mengeksplorasi kekayaan alam Malaysia, terutama di sektor pertambangan timah dan perkebunan karet. Pada masa itu, sebagian besar Malaysia masih berupa hutan belantara, dengan jumlah penduduk Melayu yang masih sedikit. Langkah Inggris untuk mengimpor tenaga kerja dari beberapa wilayah tetangga dilakukan karena kurangnya tenaga kerja yang tersedia di Malaysia. Inggris enggan untuk mempekerjakan etnis Melayu karena menganggap bahwa etnis Melayu tidak cukup cakap untuk bekerja di pertambangan dan perkebunan. Inggris juga enggan untuk mengajari etnis Melayu agar mempunyai kemampuan yang cukup untuk bekerja di pertambangan dan perkebunan. Alasan Inggris, selain anggapan bahwa etnis Melayu tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengelola pertambangan dan perkebunan, adalah adanya kekhawatiran Inggris, bahwa etnis Melayu akan memberontak dari kolonialisme Inggris seandainya mereka diajari dan menjadi pintar.

Sebagian besar pembahasan pada bagian ini diambil dari: Guan, L. H. 2000. Ethnic Relations in Peninsular Malaysia: The Cultural and Economic Dimensions. Social and Cultural Issues, (Online), 1(2000), (http://www.sabrizain.org/malaya/library/ethnicrels.pdf, diakses 19 Desember 2009).

4|Page

Pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20, Malaysia menjadi penghasil timah terbesar di dunia. Etnis Cina dikenal sebagai orang-orang yang memiliki kecakapan yang tinggi dalam urusan penambangan timah, dan oleh sebab itu Inggris mendatangkan banyak orang Cina ke Malaysia untuk melakukan penambangan timah. Sedangkan orang India didatangkan Inggris ke Malaysia, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dalam sektor perkebunan, terutama perkebunan karet, yang memberikan pemasukan yang besar bagi Inggris. Dengan masuknya imigran dari Cina dan India ke Malaysia, komposisi kependudukan di Malaysia menjadi berubah. Penduduk dari etnis Melayu, tidak lagi menjadi mayoritas di beberapa negara bagian, seperti yang terjadi di Perak, Selangor, Negeri Sembilan dan Pahang pada 1930, jumlah penduduk dari etnis Cina berjumlah 64% dari total populasi. Berubahnya komposisi penduduk di Malaysia ini merupakan awal dari permasalah etnis yang kemudian terjadi di kemudian hari. Masalah ini diperparah dengan kebijakan divide and rule dari pemerintah Inggris. Dibawah kebijakan ini, kelompok etnis yang berbeda tidak dibiarkan untuk berbaur satu sama lain, dengan tujuan tidak ada persatuan etnis yang dapat mengancam kekuasaan Inggris. Alih-alih, masing-masing kelompok etnis pada zaman kolonial Malaysia hidup berkelompok berdasarkan kelompok etnis masing-masing. Etnis Melayu kebanyakan berprofesi sebagai petani dan tinggal di kawasan pedesaan dimana kebanyakan dari etnis Melayu yang berpendidikan dipekerjakan sebagai pegawai pemerintah. Etnis Cina mendominasi industry perdagangan dan kebanyakan dari etnis India bekerja di sektor perkebunan. Kebijaksanaan Inggris ini membuat kelompok-kelompok etnis di Malaysia tidak saling mengenal satu sama lain, dan akibatnya, masing-masing kelompok tidak mempunyai pengetahuan akan kelompok etnis yang lain. Hal inilah yang kemudian menyebabkan adanya stereotype yang tumbuh terhadap satu kelompok etnis dari kelompok etnis lainnya. Etnis Melayu dianggap sebagai kelompok etnis yang bekerja sebagai petani di pedesaan dan tidak maju. Sebaliknya, etnis Cina dianggap sebagai etnis yang unggul secara ekonomi. Persepsi ini tumbuh karena adanya anggapan bahwa etnis Cina memiliki pengaruh yang luas dalam bidang ekonomi, yang berkisar dari sektor produksi timah pada bidang pertambangan, sektor produksi karet pada bidang perkebunan dan juga transportasi dari komoditas-komoditas tersebut. Oleh karena adanya pandangan seperti ini dari etnis lainnya terhadap etnis Cina, etnis Melayu menganggap dominasi

5|Page

etnis Cina di bidang ekonomi ini sebagai ancaman terhadap keberlangsungan hidup mereka. Kebijakan kolonial Inggris ini akhirnya menghasilkan masyarakat Malaysia yang secara kemampuan ekonomi terbagi-bagi berdasarkan garis etnis. Posisi etnis Melayu menjadi berada di lapisan paling bawah dalam hal pencapaian ekonomi, dan hal ini sudah barang tentu menimbulkan ketidakpuasan di kalangan etnis Melayu, yang merasa bahwa di tanah airnya sendiri, merekan menjadi terpinggirkan. Kondisi ini terus terbawa hingga kemerdekaan Malaysia, dan kemudian pecah menjadi konflik. Bagian mengenai konflik akan dibahas secara lebih jauh pada pembahasan berikutnya pada tulisan ini. Indonesia Di Indonesia, sejak masa sebelum penjajah Belanda datang, telah ada populasi etnis Cina yang tinggal menetap. Catatan sejarah menunjukkan bahwa komunitas Cina Muslim telah ada pada abad ke-15 dan abad ke-16 di sepanjang daerah pantai utara Pulau Jawa. Berkaitan dengan komunitas tersebut adalah adanya kunjungan dari Laksamana Cheng Ho ke Pulau Jawa. Laksamana Cheng Ho adalah seorang Muslim dan dilaporkan mengunjungi Pulau Jawa selama beberapa kali diantara tahun 1405 dan 1433. Sumber-sumber sejarah Belanda menyatakan bahwa pemukiman penduduk Cina yang paling awal di Indonesia diketahui berada di Pulau Jawa, terutama di sepanjang pantai utara. Sebagian besar merupakan pedagang, namun di beberapa daerah mereka bekerja dalam bidang agrikultur. Masuknya Belanda ke Indonesia membuka kesempatan baru bagi etnis Cina. Banyak imigran Cina berdatangan untuk berdagang, membuka perkebunan, dll. Gelombang besar imigrasi Cina ini merupakan gelombang imigrasi kedua dimana terjadi pada paruh kedua abad ke-19. Banyak dari mereka datang ke pulau-pulau diluar Jawa, seperti contohnya ke Kalimantan Barat karena tertarik untuk mencari emas, ke Sumatera Utara untuk bekerja di perkebunan tembakau, ke Pulau Bangka dan Belitung untuk bekerja di pertambangan timah.3 Sebelum Belanda berpengaruh di Indonesia,
3

Tan, M. G. 2008. Etnis Tionghoa di Indonesia Kumpulan Tulisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 3-4.

6|Page

kebanyakan pendatang Cina dapat hidup berdampingan dengan damai dengan kalangan penduduk pribumi. Namun berkuasanya Belanda merubah hal ini. Ketika berkuasa, penjajah Belanda mempengaruhi dinamika relasi etnis dengan cara melakukan pembagian penduduk Hindia Belanda kedalam tiga kelompok. Pembagian tersebut adalah sebagai berikut: (1) Golongan Eropa, yang menempati posisi teratas, (2) Golongan Timur Asing, yang menempati posisi tengah, termasuk kedalam golongan ini adalah orang-orang etnis Cina, India dan Arab, (3) Golongan Pribumi, yang menempati posisi paling bawah dari stratifikasi masyarakat. Pengaturan ini berdasarkan pada pasal 163 IS/1854 Indische Staatsregeling.4 Pembagian penduduk Indonesia oleh Belanda ini termasuk ke dalam strategi pecahbelah Belanda (devide et impera), dengan tujuan yang sama seperti yang dilakukan oleh Inggris di Malaysia, yakni untuk menjamin agar kekuasaannya tidak terganggu. Kebijakan Belanda ini sangat mempengaruhi dinamika masyarakat pada saat itu. Masyarakat pribumi, yang sebagian besar merupakan rakyat kecil, menjadi terpinggirkan oleh kebijakan ini. Masyarakat pribumi yang merupakan penghasil berbagai komoditas hasil bumi Nusantara yang diperdagangkan oleh Belanda melalui VOC, tidak bisa meningkatkan taraf hidupnya dengan terlibat lebih jauh pada kegiatan perdagangan berbagai komoditas hasil bumi tersebut, karena melalui sistem stratifikasi masyarakat buatan Belanda ini, posisi etnis Cina yang berada di tengah mengambil peranan sebagai penghubung perdagangan (disebut middlemen atau broker) antara masyarakat pribumi sebagai produsen dengan pihak Belanda sebagai pembeli (untuk kemudian dijual kembali di pasar Eropa). Peranan masyarakat pribumi tereduksi tidak lebih dari hanya sekedar buruh yang menghasilkan berbagai komoditas, sedangkan kegiatan perdagangannya sendiri lebih dipegang oleh etnis Cina. Masyarakat pribumi juga merasakan bahwa kedudukan mereka sebagai penghuni asli Nusantara, menjadi lebih rendah daripada etnis Cina yang merupakan pendatang. Peranan etnis Cina sebagai middlemen atau broker dalam perdagangan diantara penjajah Belanda dengan penduduk pribumi dibahas secara lebih jauh oleh Mely G. Tan. Ia menulis dalam bukunya yang berjudul Etnis Tionghoa di Indonesia, tentang

Focus Asia-Pacific. Maret 2009. Discrimination Against Ethnic Chinese in Indonesia, p. 2.

7|Page

peranan etnis Cina sebagai penghubung dalam kegiatan perdagangan diantara produsen pribumi dengan pembeli dari pihak Belanda. Dengan posisinya ini, peranan etnis Cina dalam kegiatan perekonomian Hindia Belanda menjadi penting. Sebagai penghubung ekonomi antara pribumi dan Belanda, etnis Cina berperan dalam proses transaksi barang yang diproduksi oleh pribumi dengan cara membeli barang tersebut dari produsen pribumi. Barang yang sudah dibeli tersebut kemudian dijual ke pembeli Belanda, yang kemudian akan dikapalkan ke Eropa untuk diperdagangkan disana. Keterlibatan etnis Cina dalam kegiatan perekonomian menjadi besar, dan hal ini memungkinkan mereka untuk menjadi lebih mapan secara ekonomi. Sedangkan penduduk pribumi tidak banyak menerima keuntungan ekonomi dan tetap hidup dengan keterbatasan. Terpusatnya kegiatan etnis Cina dalam bidang ekonomi juga disebabkan oleh adanya kebijakan Belanda yang membatasi keterlibatan mereka dalam bidang sektor pelayanan publik. Pemerintah Belanda juga melarang etnis Cina untuk memiliki tanah, sehingga membuat etnis Cina tidak bisa terlibat secara langsung di sektor pertanian. Oleh karena itu, hanya di bidang perdagangan dan bisnislah etnis Cina dapat memperoleh penghasilan. Dengan posisinya juga yang berperan sebagai penghubung perdagangan antara kaum pribumi dan Belanda, etnis Cina menjadi mendominasi kegiatan perdagangan dan bisnis; seperti kegiatan perdagangan dalam bidang agrikultur, dan juga dalam distribusi domestik dari berbagai komoditas dan juga pasar retail.5 Pemaparan singkat diatas menunjukkan bagaimana etnis Cina dapat memegang kendali yang besar dalam perekonomian dikarenakan posisinya yang spesial yang merupakan bentukan pemerintah Belanda. Dilihat dari kacamata pribumi, tentu saja hal ini menyakitkan, karena sebagai pemilik sah tanah-air Indonesia, mereka tersingkirkan dan berada di level paling bawah dari stratifikasi sosial, dan akibatnya menjadi kekurangan secara ekonomi. Kebijakan pemerintah Belanda lainnya yang berpengaruh pada relasi etnis di Hindia Belanda adalah aturan passenstelsel (kebijakan surat jalan) dan wijkenstelsel. Dibawah peraturan wijkenstelsel, etnis Cina tidak dibolehkan bermukin di sembarang tempat. Dibawah aturan ini orang Cina ditempatkan di sebuah pemukiman khusus orang Cina, dan konsentrasi pemukiman orang Cina ini biasanya disebut dengan nama pecinan di
5

Tan, op. cit., hlm. 116-120.

8|Page

sejumlah kota besar Hindia Belanda.6 Sedangkan kebijakan surat jalan membuat orang Cina harus selalu membawa surat jalan ketika mengadakan perjalanan/keluar dari kawasan tempat tinggal. Dibawah peraturan-peraturan ini pihak Belanda mencoba membatasi interaksi antara kaum pribumi dan etnis Cina. Dibatasinya interaksi ini dapat memicu proses timbulnya stereotyping dari masing-masing etnis, baik etnis Cina maupun pribumi, karena terbatasnya interaksi, seperti yang terjadi di Malaysia. Konflik-konflik diantara pribumi dengan etnis Cina Dalam bahasan diatas, diuraikan beberapa kebijakan kaum kolonial baik di Malaysia maupun di Indonesia yang membuat timbulnya jurang ekonomi diantara kaum pribumi dan etnis Cina. Pemisahan dalam pergaulan diantara pribumi dan etnis Cina yang dilakukan oleh pihak kolonial juga membuat pergaulan antara etnis Cina dan pribumi menjadi terbatas, sehingga memberikan ruang bagi timbulnya prasangka-prasangka negatif diantara kedua kelompok. Keadaan seperti ini sangatlah berpotensi dalam timbulnya konflik diantara penduduk pribumi dan etnis Cina. Dalam perjalanan sejarahnya, baik Indonesia dan Malaysia pernah mengalami konflik antara kelompok pribumi dengan kelompok etnis minoritas Cina, beberapa diantaranya diuraikan dibawah: Malaysia Di Malaysia, konflik besar terjadi pada tahun 1969. Peristiwa tersebut disebut dengan nama Insiden 13 Mei. 7 Konflik di Malaysia ini merupakan puncak dari adanya perasaan ketimpangan ekonomi antara penduduk pribumi (bumiputera dalam bahasa Melayu) dengan penduduk etnis Cina. Sebagai warisan dari sistem kolonial, selepas Malaysia merdeka, kelompok etnis Cina adalah kelompok dengan status ekonomi yang baik dan dianggap memegang perekonomian Malaysia. Sedangkan penduduk Melayu masih banyak hidup didalam kemiskinan dan keterbelakangan. Penyebab terjadinya kerusuhan dimulai dari adanya kekalahan dari koalisi aliansi yang memerintah yang dipimpin oleh United Malays National Organization (UMNO). Partai

Setiono, B. G. 2003. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Penerbit Elkasa.

Wikipedia.org. May 13 Incident. (Online), (http://en.wikipedia.org/wiki/May_13_incident, diakses 11 Januari 2009).

9|Page

terbesar golongan Tionghoa Democratic Action Party dan Gerakan mendapat suara dalam pemilihan, dan berhak untuk mengadakan pawai kemenangan di Kuala Lumpur. Pawai inilah yang kemudian menjadi masalah. Pawai diadakan dengan berisik dan mengolok-olok penduduk Melayu. Kelompok Melayu mengadakan pawai tandingan pada kesokan harinya, dan disinilah kerusuhan etnis pecah. Pertumpahan darah antar etnis pun terjadi. Tercatat 196 orang tewas menurut data kepolisian Malaysia. Indonesia Di Indonesia, sejarah konflik antara kelompok pribumi dengan kelompok minoritas Cina pernah terjadi beberapa kali, diantaranya adalah peristiwa Tangerang pada tahun 1946, peristiwa G 30-S/PKI, Peristiwa Malari, Peristiwa tahun 1998. Mengenai konflik-konflik antara etnis Cina dengan kelompok pribumi di Indonesia, saya tidak akan membahasnya satu persatu. Saya akan memberikan beberapa contoh untuk memberikan gambaran bahwa di Indonesia terjadi beberapa konflik karena adanya stereotype/sentimen negatif terhadap etnis Cina dari masyarakat pribumi, sehingga mudah sekali masyarakat pribumi tersulut emosinya ketika ada masalah dan diprovokasi untuk melakukan kekerasan terhadap etnis Cina. Beberapa contoh konflik antara pribumi dan etnis Cina di Indonesia antara lain: Peristiwa Tangerang 1946 Pada 6 Juni 1946, di Tangerang, sebanyak kurang lebih 600 etnis Cina dibunuh oleh penduduk pribumi Indonesia. Pembunuhan terhadap etnis Cina berlangsung hingga tanggal 8 Juni 1946. Peristiwa pada 1946 dimulai dari adanya tuduhan sepihak yang menyatakan bahwa ada orang-orang etnis Cina yang pro-Belanda menjadi agen NICA. Rumor yang kemudian berkembang adalah memang ada tentara NICA yang beretnis Cina yang menurunkan bendera merah-putih dan menggantinya dengan bendara merah-putih-biru (bendera Belanda). Rumor ini menyulut kemarahan rakyat, apalagi pada waktu itu republik ini belum genap berusia satu tahun, dan menghadapi kemungkinan akan dikuasai kembali oleh Belanda. Oleh karena itu, sentimen terhadap segala sesuatu yang berbau Belanda menjadi sangat kental.

10 | P a g e

Kekerasan terhadap etnis Cina di Tangerang ini tersulut karena adanya anggapan bahwa etnis Cina masih mendukung Belanda (pro-Belanda). Sikap ini dapat dipahami sebagai warisan dari penjajahan dimana etnis Cina menempati posisi kedua dalam stratifikasi sosial (berada di bawah Belanda) dalam pembagian masyarakat yang dilakukan oleh Belanda (sebagaimana sudah dijelaskan pada bagian terdahulu). Oleh karena itu masyarakat pribumi masih mempunyai ingatan akan adanya anggapan kedekatan etnis Cina dengan Belanda.8 Peristiwa Malari Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) adalah peristiwa yang terjadi di Jakarta pada tanggal 15 Januari 1974. Peristiwa ini diawali dengan adanya demonstrasi mahasiswa antimodal asing yang ditujukan kepada Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka. Demonstrasi ini berujung pada terjadinya tindakan pengrusakan terhadap toko-toko. Sebenarnya, pada tahun-tahun tersebut pemerintah sedang menerima kecaman yang semakin gencar mengenai praktik-praktik cukong9 dalam bisnis dan dampak yang parah mengenai kesenjangan yang semakin membesar antara pribumi dan non-pribumi. Oleh karena itu, meskipun peristiwa Malari adalah kejadian yang didasari pada gerakan penolakan modal asing (yang dianggap tidak memberikan manfaat ekonomi bagi sebagian besar rakyat Indonesia) dengan sasaran perusahaanperusahaan Jepang, permasalahan mengenai praktik cukong yang banyak dijalankan oleh kaum etnis Cina juga menjadi salah satu permasalahan besar yang berada di benak kesadaran para mahasiswa pada masa itu, dan dapat dianggap sebagai bagian dari rangkaian konflik pribumi dan etnis Cina yang telah berlangsung lama.

Peristiwa Mei 1998 Peristiwa pada Mei 1998 adalah peristiwa kekerasan terhadap etnis Tionghoa yang paling baru, dan paling besar skala kekerasannya.
8

Majalah Tempo. 10 Juni 1998. Tragedi Cina Benteng. (Online), (http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1998/10/06/INT/mbm.19981006.INT95675.id .html, diakses 11 Januari 2010).
9

Istilah cukong dalam bisnis mempunyai pengertian sebagai seorang finansir yang kuat yang beroperasi di belakang layar. Menurut Dr. Mely G. Tan, istilah itu berasal dari tsu kung, pemimpin kongsi dalam masyarakat Cina tradisional.

11 | P a g e

Peristiwa Mei 1998 dilatarbelakangi dengan terjadinya krisis moneter yang mendera Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya. Para mahasiswa pun mengadakan demonstrasi untuk memprotes pemerintahan orde baru atas kondisi bobroknya ekonomi Indonesia yang beberapa sebabnya diantaranya adalah adanya KKN yang sudah parah. Demonstrasi ini berubah kacau dengan terjadinya penembakan atas mahasiswa dari Universitas Triskati. Kejadian ini memicu terjadinya kerusuhan yang besar. Masyarakat etnis Cina di Jakarta dan Solo menjadi target kekerasan dalam kerusuhan ini. Tokotoko, pusat perbelanjaan, rumah, kendaraan dibakar. Banyak korban jiwa yang jatuh dalam peristiwa ini. Diperkirakan ribuan orang terkorban dalam kerusuhan pada Mei 1998. Penyerangan terhadap etnis Cina dipicu oleh provokator yang membakar emosi masyarakat. Masyarakat Cina masih dianggap sebagai pihak yang menikmati keuntungan ekonomi ditengah sulitnya kehidupan rakyat. Konstruksi stereotype negatif terhadap etnis Cina di mata kaum pribumi Indonesia dan Malaysia Peter L. Berger, seorang sosiolog, menyatakan bahwa pengetahuan (knowledge) yang dimiliki oleh masyarakat, dibangun dari realitas keseharian yang dibangun oleh masyarakat tersebut. Peter L. Berger berargumen, masyarakat dapat menerima sebuah keadaan sebagai sebuah kenyataan, terlepas dari sahih atau tidaknya kenyataan tersebut. Argumentasi dari Peter L. Berger ini menyatakan bahwa masyarakat menerima sebuah keadaan sebagai kenyataan dari apa yang mereka lihat sehari-hari. Kenyataan yang dipercaya oleh masyarakat boleh jadi belum jelas kebenarannya, tetapi hal itulah yang dipercaya oleh masyarakat. Penjelasan sosiologis ini saya rasa cukup relevan untuk menjelaskan fenomena terbentuknya stereotype negatif yang timbul di kalangan penduduk pribumi terhadap etnis Cina di Indonesia dan Malaysia, dan juga pandangan etnis Cina yang negatif terhadap pribumi. Kebijakan pemerintah kolonial, baik di Indonesia dan Malaysia, menciptakan suatu kondisi dimana masing-masing etnis membangun pandangannya terhadap etnis lainnya dengan karakteristik-karakteristik tertentu, yang boleh jadi tidak selalu sesuai dengan kenyataan sebenarnya.

12 | P a g e

Di Malaysia, pemerintah kolonial Inggris memilih untuk mendatangkan tenaga kerja dari Cina dan India untuk menggarap pertambangan timah dan perkebunan karet. Inggris tidak mau memberdayakan kelompok etnis Melayu, dengan berbagai alasan, diantaranya adalah adanya anggapan bahwa etnis Melayu adalah tidak mempunyai cukup kepintaran (alias dianggap bodoh/terbelakang). Sikap dari Inggris ini membuat kaum Melayu terpinggirkan di negaranya sendiri. Dan di depan matanya, kaum Melayu melihat etnis Cina berkembang secara ekonomi, karena adanya sikap preferential dari Inggris. Pada poin inilah, masyarakat Melayu membangun kenyataan bahwa etnis Cina adalah etnis yang maju secara ekonomi (kaya). Pandangan ini diterima oleh etnis Melayu sebagai generalisir dari apa yang mereka yakini bagaimana kehidupan etnis Cina di Malaysia. Padahal, pandangan bahwa etnis Cina semuanya kaya tentu saja tidak benar. Hal yang sama seperti di Malaysia juga terjadi di Indonesia. Dari beberapa konflik antara penduduk pribumi dan etnis Cina yang terjadi di Indonesia sepanjang perjalanan sejarahnya, dapat ditarik benang merah, yakni adanya anggapan bahwa etnis Cina adalah kelompok yang menikmati kekayaan. Pandangan di Indonesia ini juga berakar dari kebijakan kolonial Belanda, yang menempatkan posisi etnis Cina diatas pribumi, seperti yang sudah saya jelaskan pada bagian terdahulu. Donald Horowitz, menyatakan bahwa dalam memahami adanya konflik dari kelompok etnis yang satu dengan kelompok etnis yang lainnya, kita harus dapat memahami bagaimana seseorang dapat memandang dirinya sebagai suatu kelompok dan bagaimana dia membenci sebuah kelompok lainnya. Horowitz menyatakan bahwa, secara psikologis, persepsi terhadap sebuah kelompok dari kelompok lainnya adalah dasar yang fundamental dari adanya konflik antar kelompok. Horowitz mendapatkan bahwa pihak kolonial, dalam menghadapi keberagaman tingkat pendidikan dan ekonomi dari penduduk negara jajahannya, seringkali menerapkan kebijakan yang mengistimewakan golongan tertentu dan di saat yang bersamaan meminggirkan golongan lainnya. Pemikiran Horowitz sejalan dengan apa yang terjadi di Malaysia dan Indonesia. Penduduk pribumi, berbagi kesamaan dalam sejarah sebagai pihak yang terpinggirkan dari sistem sosial dan ekonomi. Penduduk pribumi di Indonesia dan Malaysia bersama-sama mengalami, bagaimana lewat politik pecah belah kaum kolonis, tumbuhnya persepsi mereka akan etnis Cina di kedua negara yang diuntungkan secara ekonomi. Penduduk pribumi, membangun kesadaran kolektif bahwa mereka adalah korban dari setting kaum kolonial, dan
13 | P a g e

menganggap bahwa etnis Cina adalah kelompok yang diuntungkan. Ketika pemikiran kolektif bahwa sebagai pribumi (sebagai satu kesatuan kelompok) adalah kelompok yang dirugikan dan ketika etnis Cina (dianggap sebagai satu kelompok secara pukul rata), sebagai pihak yang menerima keuntungan (terutama ekonomi) atas berbagai kebijakan di masa lalu, maka akan sangat mudah sekali bagi kaum pribumi untuk terprovokasi untuk melakukan kekerasan melawan etnis Cina ketika timbul masalah. Berbagai konflik yang sudah saya paparkan pada bagian terdahulu merupakan contoh nyata dari hal ini. Kebijakan affirmative action pemerintah Indonesia dan Malaysia10 Malaysia Pemerintah Malaysia mengeluarkan kebijakan yang bersifat affirmative sebagai reaksi dari adanya kerusuhan rasial pada tahun 1969. Pemerintah menyadari, bahwa sumber permasalahan ada pada lebarnya jurang ekonomi antara kaum Melayu bumiputera dengan etnis Cina, sehingga menyulut terjadinya konflik. Oleh karena itu, pada tahun 1970 pemerintah Malaysia memperkenalkan kebijakan New Economic Policy atau biasa disingkat dengan NEP. NEP dimaksudkan untuk menghapus kemiskinan tanpa memandang kelompok dan membuat restrukturisasi masyarakat agar negara dapat membangun dengan stabil, aman, dan hasilnya dapat dinikmati seluruh rakyat. Garis besar kebijakan NEP adalah memajukan golongan miskin bumiputera dengan cara memodernkan sektor pertanian, meningkatkan tingkat pendidikan, serta mendorong lahirnya usahawan bumiputera. Secara umum NEP dianggap cukup berhasil, dimana tingkat kemiskinan dapat diturunkan, tingkat pendidikan bumiputera meningkat dan membuat banyak golongan bumiputera dapat bekerja di level yang lebih tinggi.11 Indonesia Pada era Orde Lama, pemerintah Indonesia membuat program affirmative yang bertujuan untuk memajukan para pengusaha pribumi, untuk memberikan mereka pengaruh yang lebih
10

Meskipun bahasan pada bagian ini telah meninggalkan periode kolonial, saya ingin menuliskannya (meskipun secara singkat), dengan tujuan untuk memberikan gambaran bagaimana usaha-usaha pemerintah Indonesia dan Malaysia dalam rangka mengatasi permasalahan warisan kolonialisme diantara kaum pribumi dan etnis Cina di masingmasing negara.
11

Abidin, M. Z. 2007. Membangun Keseimbangan dengan NEP. Kompas, (Online), (http://202.146.5.33/kompas-cetak/0709/22/opini/3859754.htm, diakses pada 11 Januari 2010)

14 | P a g e

besar dalam ekonomi. Program ini dinamakan Program Benteng, yang memberikan bantuan kredit kepada pengusaha pribumi agar mereka dapat memajukan usahanya dan dapat bersaing. Namun karena keterbatasan kemampuan pengusaha pribumi, Program Benteng ini malah melahirkan praktek yang disebut dengan nama Ali-Baba, yakni praktek kerjasama dengan pengusaha etnis Cina, dimana pengusaha etnis Cina yang menjalankan bisnis dibalik nama perusahaan pribumi. Program Benteng akhirnya gagal, kaum pribumi tidak memperoleh manfaat dan malah sebagian pengusaha etnis Cina diuntungkan dari adanya kebijakan ini. Praktek Ali-Baba pada masa Orde Lama berkembang menjadi praktek percukongan. Yang dimaksud dengan cukong disini adalah pengusaha Cina yang berkolaborasi dengan elit penguasa, dimana penguasa memberikan perlindungan pada pengusaha Cina sementara mereka menjalankan bisnis. Praktek percukongan inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan meletusnya peristiwa Malari, dimana rakyat merasa bahwa kepentingan ekonomi pribumi terabaikan dan tersisihkan. Pemerintah kemudian merespon rakyat dengan cara mengeluarkan kebijakan ekonomi yang berpihak pada pribumi, diantaranya pemberian bantuan usaha, pemberian lisensi usaha khusus pribumi, dsb.12 Namun berbagai kebijakan pemerintah tersebut tidak berefek banyak pada kesejahteraan rakyat pribumi. Kesenjangan ekonomi tetap ada, dan hal ini diperparah dengan adanya praktek kronisme pada era Orde Baru diantara pemerintah dengan konglomerat etnis Cina. Hal ini semakin memperkukuh stereotype negatif terhadap etnis Cina yang sudah ada di dalam benak masyarakat pribumi.

BAB III KESIMPULAN

12

Suryadinata, L. op. cit. hlm. 232-235.

15 | P a g e

Etnis Cina yang tinggal menetap di Indonesia dan Malaysia telah ada sebelum pihak kolonial Belanda dan Inggris datang dan menguasai kedua negara tersebut. Sebelum masa penjajahan, secara umum relasi diantara penduduk pribumi di kedua negara dengan etnis Cina terbilang harmonis. Datangnya pihak kolonial Belanda dan Inggris ke Indonesia dan Malaysia, ternyata mempengaruhi dinamika relasi penduduk pribumi etnis Cina di kedua negara. Kebijakan pecah-belah dari kaum kolonis berakibat kepada terbangunnya pandangan yang sifatnya stereotype diantara penduduk pribumi dan etnis Cina. Kebijakan kolonial menghasilkan etnis Cina yang lebih maju secara ekonomi, dan hal ini juga yang menjadikan adanya pandangan bahwa etnis Cina adalah golongan penduduk yang kayaraya. Jurang ekonomi yang ada diantara etnis Cina dengan penduduk pribumi seringkali menjadi alasan yang melatarbelakangi beberapa konflik etnis yang terjadi di kedua negara. Secara umum, kondisi relasi etnis diantara pribumi etnis Cina di Indonesia dan Malaysia mempunyai kemiripan, namun setelah kedua negara merdeka, terlihat adanya perbedaan. Di Malaysia, secara umum kebijakan affirmative dalam bentuk New Economic Policy dianggap berhasil dalam mengurangi jurang ekonomi diantara etnis Cina dengan penduduk bumiputera, dimana di Indonesia, beberapa kebijakan yang dijalankan pemerintah pada masa Orde Lama dan Orde Baru dalam rangka menangani permasalahan etnis belum menunjukkan keberhasilan yang besar.

DAFTAR PUSTAKA

16 | P a g e

Abidin, M. Z. 2007. Membangun Keseimbangan dengan NEP. Kompas, (Online), (http://202.146.5.33/kompas-cetak/0709/22/opini/3859754.htm, diakses pada 11 Januari 2010) Astarini, R. 2001. Kebijakan Affirmative Action Bidang Ekonomi dalam Penyelesaian Konflik Etnis: Studi Komparasi Malaysia Indonesia. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Berger, P. L. dan Luckmann, T. 1967. The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. United States: Anchor Books. Focus Asia-Pacific. Maret 2009. Discrimination Against Ethnic Chinese in Indonesia, p. 23. Guan, L. H. 2000. Ethnic Relations in Peninsular Malaysia: The Cultural and Economic Dimensions. Social and Cultural Issues, (Online), 1(2000), (http://www.sabrizain.org/malaya/library/ethnicrels.pdf, diakses 19 Desember 2009). Horowitz, D. L. 1985. Ethnic Groups in Conflict. Berkeley: University of California Press. Jesudason, J. V. 2001. State Legitimacy, Minority Political Participation, and Ethnic Conflict in Indonesia and Malaysia. Dalam Colletta, N. J., Lim, T. G. dan KellesViitanen, A. (Ed.), Social Cohesion and Conflict Prevention in Asia: Managing Diversity through Development (hlm. 65-98). Washington D. C.: The World Bank. Majalah Tempo. 10 Juni 1998. Tragedi Cina Benteng. (Online), (http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1998/10/06/INT/mbm.19981006.INT9567 5.id.html, diakses 11 Januari 2010). Setiono, B. G. 2003. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Penerbit Elkasa. Suryadinata, L. (Ed.). 2004. Ethnic Relations and Nation-Building in Southeast Asia: The Case of the Ethnic Chinese. Singapore: ISEAS Publishing. Suryadinata, L. (Ed.). 2007. Understanding the Ethnic Chinese in Southeast Asia. Singapore: ISEAS Publishing. Tan, M. G. 2008. Etnis Tionghoa di Indonesia Kumpulan Tulisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
17 | P a g e

Vivanews.com.

15

Januari

2009.

Malari

Riot

of

1974. diakses

(Online), pada 11

(http://en.vivanews.com/news/read/21646-malari_riot_of_1974, Januari 2010).

Wikipedia.org. May 13 Incident. (Online), (http://en.wikipedia.org/wiki/May_13_incident, diakses 11 Januari 2009).

18 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai