Anda di halaman 1dari 30

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Perubahan-perubahan akan terjadi pada tubuh manusia sejalan dengan semakin meningkatnya usia. Perubahan tubuh terjadi sejak awal kehidupan hingga usia lanjut pada semua organ dan jaringan tubuh. Keadaan demikian itu tampak pula pada semua sistem muskuloskeletal dan jaringan lain yang ada kaitannya dengan kemungkinan timbulnya beberapa golongan reumatik. Salah satu golongan penyakit reumatik yang menimbulkan gangguan muskuloskeletal adalah rheumatoid arthritis. Reumatik dapat mengakibatkan perubahan otot hingga fungsinya dapat menurun bila otot pada bagian yang menderita tidak dilatih guna mengaktifkan fungsi otot. Dengan meningkatnnya usia menjadi tua fungsi otot dapat dilatih dengan baik. Namun usia lanjut tidak selalu mengalami atau menderita rematik. Bagaimana timbulnya kejadian reumatik ini, sampai sekarang belum sepenuhnya dapat dimengerti. Reumatik bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu sindrom. Golongan penyakit yang menampilkan perwujudan sindroma reumatik cukup banyak, namun semua menunjukkan adanya persamaan ciri. Menurut kesepakatan para ahli dibidang rematologi,rematik dapat terungkap sebagai keluhan atau tanda. Dari kesepakatan, dinyatakan ada tiga keluhan utama pada sistem muskuloskeletal yaitu: nyeri, kekakuan(rasa kaku) dan kelemahan, serta adanya tiga tanda utama yaitu: pembengkakan sendi,kelemahan otot dan gangguan gerak. (sonarto,1982) Dari berbagai masalah ksehatan itu ternyata gangguan muskuloskletal menempati urutan kedua 14,5 % setelah pnyakit kardiovaskuler dalam pola penyakit masyarakat usia >55 tahun (Household Survey on Health,1996) dan berdasarkan WHO di jawa ditemukan bahwa rheumatoid arthritis menempati urutan pertama ( 49% ) dari pola penyakit lansia (Boedhi Darmojo et.al, 1991). Rheumatoid Arthritis merupaka kasus panjang yang sering

diujikan,biasanya terdapat banyak tanda-tanda fisik. Diagnosa penyakit ini


1

mudah ditegakkan. Tata laksananya sering merupakan masalah utama. Insiden puncak dari rheumatoid arthritis terjadi pada umur dekade keempat, dan penyakit ini terdapat pada wanita 3 kali lebih sering dari pada laki-laki. Terdapat familial ( HLADR-4 ditemukan pada 70% pasien ). Rheumatoid arthritis diyakini sebagai respon imun terhadap antigen yang tidak diketahui. Stimulusnya dapat virus atau bakterial. Mungkin juga terdapat predisposisi terhadap penyakit. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang maka dapat dirumuskan masalah dalam makalah ini adalah Bagaimana Konsep Dasar Medik dan Konsep Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Muskuloskeletal (Arthritis Rheumatoid)?. C. TUJUAN PENULISAN 1. Tujuan Umum Menjelaskan konsep dasar medik dan konsep dasar keperawatan pada klien dengan gangguan muskuloskeletal (Arthritis Rheumatoid) 2. Tujuan Khusus a. b. c. d. e. f. g. h. i. Menjelaskan definisi Arthritis Rheumatoid Menjelaskan klasifikasi Arthritis Rheumatoid Menjelaskan etiologi Arthritis Rheumatoid Menjelaskan manifestasi klinis Arthritis Rheumatoid Menjelaskan patofisiologi Arthritis Rheumatoid Mengetahui jenis pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada kasus Arthritis Rheumatoid Mengetahui penatalaksanaan medik yang dapat dilakukan pada kasus Arthritis Rheumatoid Mampu menentukan diagnose keperawatan yang timbul pada kasus Arthritis Rheumatoid Mampu menyusun perencanaan/ intervensi asuhan keperawatan pada kasus Arthritis Rheumatoid
2

D. MANFAAT PENULISAN 1. Pembaca dapat memahami definisi, etiologi, faktor risiko, manifestasi klinis, penatalaksanaan medis, serta patofisiologi Arthritis Rheumatoid 2. Pembaca, khususnya mahasiswa memahami asuhan keperawatan pada klien dengan Arthritis Rheumatoid 3. Perawat dapat menerapkan asuhan keperawatan yang tepat pada klien dengan Arthritis Rheumatoid

BAB II TINJAUAN TEORI


A. KONSEP DASAR MEDIK 1. Definisi

a. Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang berarti sendi. Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang sendi. Sedangkan rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi (Gordon, 2002).
b.

Engram (1998) mengatakan bahwa, rheumatoid arthritis adalah penyakit diartroidial. jaringan penyambung sistemik dan kronis dikarakteristikkan oleh inflamasi dari membran sinovial dari sendi

c.

Artritis Reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang walaupun manifestasi utamanya adalah poliartritis yang progesif, akan tetapi penyakit ini juga melibatkan seluruh organ tubuh. Terlibatnya sendi pada pasien artritis reumatoid terjadi setelah penyakit ini berkembang lebih lanjut sesuai dengan sifat progesifitasnya. Pada umumnya selain gejala
4

artikular, AR dapat pula menunjukkan gejala konstitusional berupa kelemahan umum, cepat lelah atau gangguan organ non artikular lainnya 2. Anatomi Fisiologi Tulang Tulang adalah bahan yang hidup dan tumbuh yang mempunyai kerangka protein dan diperkuat kalsium, di mana lapisan luar tulang mempunyai saraf dan jaringan pembuluh darah yang kecil. Tulang terdiri atas 3 komponen yaitu korteks, spongiosa, dan periusteum. Dikenal juga sebagai osseus tissue, yaitu sejenis endoskeletal keras yang menjadi jaringan penghubung yang ditemukan pada banyak hewan vertebrata (bertulang belakang). Ada beberapa jenis sel penyusun tulang sebagai tulang. yaitu, osteoblas, osteosit, dan osteoklas. kalsifikasi. Osteosit berfungsi Osteoblas berfungsi dan meresorbsi

sintesis kolagen dan substansi dasar serta mengangkut mineral untuk membentuk Sedangkan Osteoklas bersama hormon paratiroid meresorbsi tulang. Tulang mulai terbentuk sejak bayi dalam kandungan dan kemudian berlangsung terus sampai decade kedua dalam susunan yang teratur. Organ ini merupakan organ yang mendukung struktur tubuh, melindungi organorgan internal, serta memungkinkan pergerakan atau perpindahan. Otototot skeletal (kerangka) melalui tendon (urat daging) menghubungkan tulang-tulang panjang, dan ligamen (ikatan sendi tulang) menghubungkan tulang dengan tulang sendi. Pada sumsum tulang merah (pada matriks tulang spongy) diproduksi sel darah merah, sementara pada diaphysis diproduksi sel darah putih. Secara umum, kerangka tubuh manusia dewasa terdiri dari 206 tulang Terdapat dua hormon yang sangat berpengaruh pada proses pembentukan dan reabsorbsi tulang yaitu hormon paratiroid dan kalsitonin. Hormon paratiroid berfungsi untuk mengabsorbsi garam kalsium dari tulang dan menyuplainya dalam darah, sedangkan hormon kalsitonin berlawanan dengan efek paratiroid yaitu mengambil garam kalsium dari darah dan sistem pencernaan.
5

3.

ETIOLOGI Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti, namun faktor predisposisinya adalah : a. b. c. Auto imun Faktor hormon Faktor genetik

Dan faktor presipitasinya adalah : a. Infeksi virus ( mykoplasma, rubella, & Epstein barr ) b. Faktor metabolik 4. PATOFISIOLOGI Membran sinovial pada pasien rheumatoid arthritis mengalami hiperplasia, peningkatan vaskulariasi, dan ilfiltrasi sel-sel pencetus inflamasi, terutama sel T CD4+. Sel T CD4+ ini sangat berperan dalam respon imun. Pada penelitian terbaru di bidang genetik, rheumatoid arthritis sangat berhubungan dengan major-histocompatibility-complex class II antigen HLA-DRB1*0404 dan DRB1*0401. Fungsi utama dari molekul HLA class II adalah untuk mempresentasikan antigenic peptide kepada CD4+ sel T yang menujukkan bahwa rheumatoid arthritis disebabkan oleh arthritogenic yang belum teridentifikasi. Antigen ini bisa berupa antigen eksogen, seperti protein virus atau protein antigen endogen. Baru-baru ini sejumlah antigen endogen telah teridentifikasi, seperti citrullinated protein dan human cartilage glycoprotein 39.

Antigen mengaktivasi CD4+ sel T yang menstimulasi monosit, makrofag dan sinovial fibroblas untuk memproduksi interleukin-1, interleukin-6 dan TNF- untuk mensekresikan matrik metaloproteinase melalui hubungan antar-sel dengan bantuan CD69 dan CD11 melalui pelepasan mediator-mediator pelarut seperti interferon- dan interleukin17. Interleukin-1, interlukin-6 dan TNF- merupakan kunci terjadinya inflamasi pada rheumatoid arthritis.

Aktifasi CD4+ sel T juga menstimulasi sel B melalui kontak sel secara langsung dan ikatan dengan 12 integrin, CD40 ligan dan CD28 untuk memproduksi immunoglobulin meliputi rheumatoid faktor. Sebenarnya fungsi dari rhumetoid faktor ini dalam proses patogenesis rheumatoid arthritis tidaklah diketahui secara pasti, tapi kemungkinan besar rheumatoid faktor mengaktiflkan berbagai komplemen melalui pembentukan imun kompleks. Aktifasi CD4+ sel T juga mengekspresikan osteoclastogenesis yang secara keseluruhan ini menyebabkan gangguan sendi. Aktifasi makrofag, limfosit dan fibroblas juga menstimulasi angiogenesis sehingga terjadi peningkatan vaskularisasi yang ditemukan pada sinovial penderita rheumatoid arthritis. 5. MANIFESTASI KLINIS Gejala-gejala umum pada rheumatoid arthritis adalah : a. Sakit persendian dissertai kaku terutama pada pagi hari (morning stiffness) dan gerakan terbatas, kekakuan berlangsung dengan durasi setidaknya 1 jam dan dapat berlanjut sampai berjam2 dalam sehari. b. Lambat laun membengkak, panas, merah c. Poli arthritis simetris sendi perifer, semua sendi bisa terkena, seperti panggul, lutut, pergelangan tangan, siku, rahang, bahu. d. Arthritis erosive, peradangan sendi yang kronik meyebabkan erosi pada pinggir tulang dan ini dapat dilihat pada penyinaran sinar X e. Deformitas, pergeseran ulnar, deviasi jari-jari, subluklsasi sendi f. Berat badan menurun

Kerusakan fungsi pada sendi yang mengalami rheumatoid arthritis diklasifikasikan berdasarkan tingkat kerusakan pada sendi berdasarkan klasifikasi Steinbroker yaitu; a. Stadium I : hasil radiografi menunjukkan tidak adanya kerusakan pada sendi.
8

b. Stadium II : terjadi osteoporosis dengan atau tanpa kerusakan tulang yang ringan disertai penyempitan pada ruang sendi. c. Stadium III : terjadi kerusakan pada kartilago dan tulang tertentu dengan penyempitan ruang sendi; sehingga terjadi perubahan bentuk sendi. d. Stadium IV : imobilisasi menyeluruh pada sendi karena menyatunya tulang-tulang dengan sendi. Gejala-gejala rheumatoid arthritis tergantung pada derajat peradangan jaringan. Ketika jaringan-jaringan tubuh meradang, penyakitnya aktif. Ketika peradangan jaringan surut/mereda, penyakitnya tidak aktif (dalam remisi). Remisi-remisi dapat terjadi secara spontan atau dengan perawatan, dan dapat berlangsung berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bertahun-tahun. Selama remisi-remisi, gejala-gejala penyakit hilang, dan pasien-pasien umumnya merasa baik. Ketika penyakitnya kembali aktif (kambuh), gejalagejala kembali. Kembalinya aktivitas penyakit dan gejala-gejala disebut suatu flare. Perjalanan dari rheumatoid arthritis bervariasi dari pasien ke pasien, dan periode-periode dari flare-flare dan remisi-remisi adalah khas. Di bawah ini merupakan tabel revisi kriteria untuk klasifikasi dari artritis reumatoid dari American Rheumatism Association tahun 1987 Revised American Rheumatism Association Criteria for the Classification of Rheumatoid Arthritis Kriteria 1. Kekakuan pagi hari 2. Artrit is pada tiga atau lebih area sendi Setidaknya tiga area sendi secara bersama-sama dengan peradangan pada jaringan lunak atau cairan sendi. 14 kemungkinan area yang terkena, kanan maupun kiri proksimal interfalangs (PIP), metakarpofalangs (MCP),
9

Definisi Kekakuan pagi hari pada sendi atau disekitar sendi, lamanya setidaknya 1 jam

pergelangan tangan, siku, lutut, pergelangan kaki, dan sendi metatarsofalangs (MTP) 3. tangan 4. is simetris 5. Nodu l-nodul reumatoid 6. m faktor reumatoid Seru Artrit Secara bersama-sama terjadi pada area sendi yang sama pada kedua bagian tubuh Adanya nodul subkutaneus melewati tulang atau permukaan regio ekstensor Menunjukkan adanya jumlah abnormal pada serum faktor reumatoid dengan berbagai metode yang mana hasilnya positif jika < 5% pada subyek kontrol yang normal Perubahan radiografik tipikal pada artritis reumatoid pada 7. Perub radiografik tangan dan pergelangan tangan posteroanterior, dimana termasuk erosi atau dekalsifikasi ahan radiografik terlokalisasi yang tegas pada tulang. Untuk klasifikasi, pasien dikatakan menderita atrtritis reumatoid jika pasien memenuhi setidaknya 4 dari 7 kriteria diatas. Kriteria 1 - 4 harus sudah berlangsung sekurang-kurangnya 6 minggu. Pasien dengan dua diagnosis klinis, tidak dikeluarkan pada kriteria ini. Artrit is pada sendi Setidaknya satu sendi bengkak pada pergelangan tangan, sendi MCP atau sendi PIP

6.

PEMERIKSAAN PENUNJANG a. Suatu indeks peradangan yang bersifat tidak spesifik. Pada artritis reumatoid nilainya dapat tinggi (100 mm / jam atau lebih tinggi) . b. Sinar X dari sendi yang sakit : menunjukkan pembengkakan pada jaringan lunak, erosi sendi, dan osteoporosis dari tulang yang berdekatan ( perubahan awal ) berkembang menjadi formasi kista tulang, memperkecil jarak sendi dan subluksasio. c. Pemeriksaan darah lengkap : Leukosit normal atau meningkat sedikit, Anemia
10

d. MRI : digunakan terutama pada pasien dengan kelainan tulang belakang leher e. Bone scanning : dapat membantu membedakan inflamasi dari perubahan yang biasa menyebabkan peradangan pada pasien f. Densitometry : pemeriksaan yang berguna untuk membantu mendiagnosis perubahan dalam kepadatan mineral tulang 7. PENATALAKSANAAN Sampai saat ini belum ditemukan suatu cara pencegahan dan pengobatan rheumatoid arthritis yang memuaskan. Pengobatan penderita rheumatoid arthritis bertujuan untuk : a. Menghilangkan gejala peradangan/inflamasi yang aktif baik lokal maupun sistemik. b. c. Mencegah terjadinya kerusakan pada jaringan. Mencegah terjadinya deformitas atau kelainan bentuk sendi dan menjaga fungsi persendian agar tetap dalam keadaan baik. d. Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persendian yang mengalami rheumatoid arthritis agar sedapat mungkin menjadi normal kembali. Di bawah ini akan dibahas beberapa macam terapi rheumatoid arthritis. Pada penderita yang tidak ingin dilakukan tindakan operasi, tersedia terapi alternatif dengan radiosinovektomi yang cukup menjanjikan tingkat keberhasilannya. a. Terapi Farmakologi Terapi dengan obat bergantung pada tingkat kerusakan sendi yang terjadi akibat RA. Beberapa kombinasi pengobatan dapat mengurangi rasa sakit, mengurangi peradangan/ inflamasi dan menurunkan resiko terjadinya kerusakan sendi. Obat-obatan yang digunakan antara lain;
11

1) Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) antara lain, aspirin, ibuprofen dan obat analgesik lainnya, yang pada umumnya diberikan terhadap penderita RA dari awal penyakit dengan tujuan untuk mengatasi rasa nyeri sendi akibat peradangan. Tetapi golongan OAINS ini tidak memiliki khasiat yang dapat melindungi tulang rawan (kartilago) dan tulang sendi akibat proses kerusakan dari RA. Seluruh golongan OAINS umumnya bersifat toksik terutama bila digunakan dalam jangka panjang. Toksisitas OAINS yang umum dijumpai adalah gangguan pada saluran pencernaan, gangguan fungsi hati dan ginjal. 2) Pengobatan reumatik menggunakan kombinasi beberapa obat dikenal dengan istilah terapi DMARD (desease-modifying antirheumatic drug). Obat-obatan yang digunakan dalam terapi DMARD banyak digunakan di Indonesia antara lain, klorokuin, methotrexate, cyclosporin-A, sulfasalazine dan D-penisilillamin. Terapi DMARD dalam jangka panjang tidak berhasil mencegah terjadinya kerusakan sendi yang progresif. Terapi DMARD dalam jangka panjang mempunyai efek samping yang merugikan yaitu menyebabkan kerentanan terhadap infeksi, gangguan saluran pencernaan, fungsi hati dan ginjal. 3) Glukokortikoid yang disebut juga kortikosteroid adalah golongan obat-obatan antiinflamasi steroid. Hormon steroid yang dihasilkan oleh tubuh mempunyai efek terhadap peradangan, oleh karena itu glukokortikoid seringkali digunakan oleh dokter untuk anti peradangan. Glukokortikoid juga mempunyai efek samping antara lain dapat menyebabkan diabetes, katarak, kerentanan terhadap infeksi, penipisan massa tulang yang dikenal dengan osteoporosis, menaikan tekanan darah dan berat badan karena penumpukan cairan intrasel.

12

Kerja obat-obatan rheumatoid arthritis, umumnya dengan cara menstabilisasi membran sinovial, menghambat pelepasan dan aktifitas dari mediator peradangan (histamin, serotonin, enzim lisosomal serta enzim lainnya), menghambat migrasi sel ke tempat peradangan, menghambat proliferasi selular (pertumbuhan sel), menetralisasi radikal oksigen, dan menekan rasa nyeri. Penderita yang tidak cocok dengan pengobatan OAINS, dalam beberapa minggu dapat diberikan golongan DMARD yang berfungsi mengontrol progresivitas penyakit. Tetapi dalam jangka panjang, terapi golongan DMARD tetap tidak berhasil untuk mencegah terjadinya kerusakan sendi yang progresif. Terapi dengan obat-obatan akan efektif bila rheumatoid arthritis masih dalam stadium I. Berikut pilihan terapi arthritis dengan OAINS beserta pertimbangannya :

1) Salisilat
Kelompok obat ini merupakan cikal bakal berkembangnya OAINS. Salisilat menimbulkan efek analgesia, anti inflamasi, dan anti piretik dengan menekan produksi prostaglandin dan tromboksan dengan menghambat siklooksigenase (Cox-1 dan Cox-2). Oleh karena itu salisilat dan turunannya disebut juga dengan OAINS konvensional, karena tak selektif terhadap salah satu tipe siklooksigenase. OAINS, asam asetil salisilat, lebih dikenal sebagai antiplatelet pada dosis rendah ketimbang sebagai pengobatan gejala arthritis. Namun turunannya, yaitu diflunisal biasa digunakan untuk meredakan gejala arthritis. Efek analgesia diflunisal muncul 1 jam setelah pemberian dan efek maksimal dicapai setelah 2-3 jam. Namun, kelompok salisilat ini berbahaya terhadap saluran cerna.

13

2) Arylalkanoic Acid
Kelompok ini yang kerap dikenal dalam pengobatan arthritis di antaranya adalah indometasin dan diklofenak. Keduanya diindikasikan mengatasi gejala arthritis dan gout ( ankylosing spondylitis, rheumatoid arthritis, arthritic gout, osteoarthritis, juvenile arthritis, dan pseudogout). Indometasin merupakan turunan indol metilat dengan efek lebih kuat dibanding aspirin. Kekuatan ini tak lain berasal dari 2 mekanisme tambahan di samping menghambat pembentukan prostaglandin. Modus kerja tambahan ini mencakup inhibisi motilitas leukosit polimorfonuklear, seperti halnya kolkisin dan melepaskan fosforilasi oksidatif pada mitokondria kartilago, seperti layaknya salisilat. Akhirnya kedua mekanisme ini memperkuat efek analgesia dan antiinflamasi indometasin. Meski cukup superior,

namun sebagai OAINS nonselektif, indometasin tak lepas dari efek samping yang cukup serius. Di antaranya adalah komplikasi pada saluran cerna dan gangguan mental ringan yang reversibel. Oleh karena itu, obat ini tidak boleh diberikan untuk mengatasi nyeri ringan dan sederhana. Indometasin sebaiknya diberikan sesuai indikasi klinisnya. Mengingat efek samping tersebut, maka indometasin tidak boleh diberikan untuk pasien dengan tukak GI aktif. Penggunaan indometasin harus dibatasi dan dilakukan secara hati-hati pada pasien dengan kolitis bertukak, epilepsi, parkinson, dan gangguan mental. Belum ada data tentang efektivitas dan keamanan indometasin pada
14

anak, jadi sebaiknya indometasin tidak diberikan pada anak usia 14 tahun ke bawah. Indometasin juga tidak boleh diberikan pada ibu hamil karena bisa dengan mudah melewati plasenta. Serupa dengan indometasin, diklofenak tampaknya juga merupakan OAINS yang superior dan unik. Selain menghambat siklooksigenase, ada evidence bahwa diklofenak juga mengintervensi jalur lipooksigenase sehingga mengurangi pembentukan leukotrien. Leukotrien merupakan pro-inflammatory autacoid. Tak hanya itu, diklofenak disinyalir juga menghambat fosfolipase A2. Mekanisme tambahan ini diduga menjadi sumber kekuatan diklofenak. Jadi wajar saja bila obat ini juga dikenal sebagai OAINS yang superior. Kerja diklofenak yang menginhibisi siklooksigenase, ternyata juga menurunkan prostaglandin di epitel lambung. Akibatnya epitel jadi lebih sensitif mengalami korosif oleh asam lambung. Ini pulalah yang menjadi efek samping utama diklofenak. Tapi bagusnya, diklofenak memiliki kecenderungan (sekitar 10 kali) menghambat COX-2 dibandingkan dengan COX-1. Itu sebabnya keluhan GI akibat penggunaan diklofenak lebih rendah ketimbang indometasin dan aspirin. Alhasil diklofenak dikenal sebagai OAINS yang bisa ditoleransi dengan baik. Dari 20% pasien yang mengalami efek samping pada penggunaan diklofenak jangka panjang, hanya 2% yang akhirnya menghentikan pengobatan.

3) -Arylpropionic acid (profen)


Profen merupakan salah satu kelompok OAINS yang sangat banyak digunakan. Ibuprofen dan ketoprofen, misalnya, digunakan secara luas hampir disebagian besar negara di dunia. Ibuprofen dosis rendah (200 mg dan terkadang 400 mg) dan ketoprofen 12,5 mg dapat diperoleh tanpa resep atau over the counter (OTC) untuk mengatasi sakit kepala, nyeri haid, demam, dan nyeri ringan lainnya.
15

Dosis lebih tinggi digunakan untuk mengatasi nyeri sedang seperti gejala arthritis. Keputusan untuk melempar ibuprofen dan ketoprofen ke pasar OTC tak lain karena obat ini relatif aman pada dosis rendah. Di antara semua OAINS nonselektif, ibuprofen menunjukkan efek samping pada GI paling rendah. Tapi untuk dosis di atas preparat OTC, penggunaannya harus tetap diawasi atau diresepkan (maksimum 3200 mg per hari). Pasalnya, pemberian ibuprofen dosis tinggi dalam jangka panjang risiko miokard. Berbeda dengan kedua anggota profen yang telah disebut di atas, penggunaa naproxen dan ketorolak malah harus diawasi secara ketat. Seperti OAINS lain, kedua obat ini bisa menimbulkan gangguan pada GI. Bahkan ketorolak bisa menyebabkan retensi cairan dan edema. Karenanya, penggunaan ketorolak hanya diperbolehkan untuk jangka waktu pendek (maksimal tiga hari). Ketorolak tak diindikasikan untuk mengatasi gejala arthritis. Sedangkan naproxen biasa diindikasikan untuk mengatasi gejala arthritis. Agar bisa memberikan efek memadai, naproxen membutuhkan dosis yang lebih tinggi ketimbang OAINS lain (dosis minimal 200 mg), dengan loading dose 550 mg. Meski demikian, naproxen terikat baik dengan albumin sehingga waktu paruhnya lebih panjang, yakni 12 jam per dosis. dikaitkan infark dengan peningkatan

16

4) Coxib
Awalnya, COX-2 selective inhibitors atau coxib

dikembangkan untuk menghindari efek samping pada saluran cerna yang umum dijumpai pada penggunaan OAINS nonselektif. Tapi seperti yang telah dijelaskan di atas, ternyata beberapa coxib ditemukan berisiko terhadap kardiovaskular. Meski demikian, beberapa konsensus tetap menggunakan obat golongan ini dengan mempertimbangkan risk and benefit-nya. Potensi coxib dibedakan berdasarkan selektifitasnya. Coxib yang lebih baru (valdecoxib, etoricoxib, lumiracoxib) menghambat COX-2 lebih selektif dari celecoxib atau rofecoxib. Bagaimana relevansi klinis dari peningkatan selektivitas ini masih belum jelas. Celecoxib dan valdecoxib sama-sama memiliki suatu ikatan sulfonamida, yakni suatu metabolit aktif dari prodrug parecoxib. Uji klinis memperlihatkan bahwa kedua obat ini efektif mengatasi OA dan RA. Pada uji juga terlihat, insiden ulser gastrik dan duodenum secara endoskopi pada pasien yang menggunakan obat ini lebih rendah secara bermakna ketimbang pasien yang menerima OAINS nonselektif. Namun valdecoxib tak seberuntung celecoxib. Nasibnya kandas ditengah jalan. Pada 2005 silam, valdecoxib ditarik secara sukarela dari beberapa market utama terkait dengan efek reaksi kulit yang serius. Menurut FDA, setidaknya 7 pasien dengan atau tanpa riwayat alergi sulfonamide meninggal. Sementara rofecoxib dan etoricoxib sama-sama memiliki suatu gugus sulfon. Tapi rofecoxib mesti ditarik dari peredaran lantaran terkait dengan risiko kardiovaskularnya. Etoricoxib, generasi lebih baru, kini tengah menjalani uji klinis fase III/IV. Sejak penarikan rofecoxib, FDA lebih hati-hati dan meminta data

17

tambahan tentang efikasi dan keamanan etoricoxib sebelum diapproval. Menurut hasil uji yang telah berjalan, etoricoxib memiliki efikasi yang sama dengan diklofenak 50 mg tiga kali sehari atau naproksen 50 mg dua kali sehari untuk OA atau RA, dan sebanding atau unggul terhadap naproksen 1000 mg per hari untuk pasien RA. Etoricoxib memiliki tingkat lesi lambung dan duodenum yang dilihat dengan endoskopik lebih rendah ketimbang ibuprofen, dan memiliki risiko yang lebih kecil mengalami gangguan saluran cerna serius (perforasi, ulser, dan pendarahan (PUB)) daripada OAINS nonselektif. Etoricoxib relatif memliki waktu paruh yang panjang, sekitar 22 jam. Di antara semua coxib yang telah dikembangkan, lumiracoxib tampaknya paling selektif untuk inhibisi COX-2 (rasio COX-2/COX1 500). Secara struktural, lumiracoxib merupakan analog lemah dari asam fenilasetat dan berefek sama dengan diklofenak. Lumiracoxib memiliki yang paruh yang sangat singkat (36 jam). Uji klinis memperlihatkan lumiracoxib 100400 mg per hari efektif pada pasien OA dan RA, dengan risiko komplikasi saluran cerna yang lebih rendah secara signifikan ketimbang OAINS nonselektif.

b. Terapi Non-Farmakologi 1) Tindakan Bedah Terapi RA dengan tindakan operasi dilakukan bila gangguan serta rasa sakit yang dialami penderita tidak dapat ditanggulangi dengan obat-obatan. Bila ruang sendi mengecil atau kartilago sudah terkikis sehingga gejala yang diderita sangat mengganggu dan penderita tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara normal
18

lagi, maka tindakan operasi perlu dipertimbangkan. Tindakan operasi bertujuan untuk memperbaiki fungsi dan bentuk sendi yang cacat dan untuk menghilangkan sinovium yang rusak sehingga sinovium baru dapat terbentuk, transfer tendon (otot) bisa memperbaiki fungsi bila telah putus. Dengan prosedur operasi dapat dilakukan pemindahan distribusi berat beban ke bagian sendi yang masih baik, kartilago yang tersisa dapat dipertahankan kemudian diisi kembali, sendi yang cacat dapat disatukan atau diikat ke dalam tulang tunggal tanpa sambungan, rekonstruksi jaringan lunak untuk menstabilkan sendi dapat mengurangi rasa sakit dan menjaga gerakan. Teknologi tersebut dapat mengganti sendi RA yang rusak dengan komponen baru yang terbuat dari plastik atau logam . Terapi operasi ini dikenal sebagai sinovektomi terbuka dan radikal, sehingga mempunyai resiko antara lain; pendarahan, penggunaan anastesi, infeksi pada sendi artifisial, bekuan darah, dan sendi artifisial yang tidak cocok. Pemulihan pasca tindakan operasi membutuhkan waktu hingga 2 minggu rawat inap di rumah sakit. Rehabilitasi sendi pasca tindakan operasi memerlukan waktu beberapa minggu hingga beberapa bulan. 2). Terapi Dengan Radiosinovektomi Radiosinovektomi dengan bermacam-macam sediaan

radiofarmaka telah digunakan untuk mengurangi rasa sakit serta pembengkakan pada rheumatoid arthritis dan penyakit persendian lainnya yang diperkenalkan oleh Fellinger dan Schmidt sejak tahun 1952. Teknik terapi dengan radiosinovektomi dilakukan dengan cara penyuntikan sediaan radiofarmaka pemancar sinar ke daerah sinovial. Radiasi sinar tersebut akan menghancurkan atau merusak membran yang meradang. Bila jaringan yang meradang telah hilang, jaringan baru yang sehat dan normal akan terbentuk. Keuntungan radiasi menggunakan sinar adalah daya tembusnya di dalam jaringan hanya
19

beberapa milimeter saja, sehingga tingkat kerusakan jaringan yang sehat disekitarnya dapat ditekan seminimal mungkin.

8.

KOMPLIKASI a. b. c. d. e. Parastesia Gangguan faal jantung Lesi purpura / ekimosis Gastritis Ulkus peptikum

20

9. PATHWAY Predisposisi Faktor Genetik


Epstein barr )

Presipitasi Hormon Obesitas Virus


(Ex.: mykoplasma, rubella, &

Autoimun

HLA class II diturunkan Mempresentasikan antigenic peptide

APC (sel sinoviosit A, sel dendritic, Estrogen Tekanan beban berlebihan atau makrofag) yg mengekspresi Pada sendi determinan HLA-DR pada membran Gangguan produksi selnya memproses antigen penyebab AR cairan sinovial Kerusakan rawan sendi Antigen yg telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+ bersama dgn determinan HLA-DR membentuk kompleks trimolekular Kompleks trimolekular dan IL-1 mengaktivasi CD4+ Kompleks trimolekular mengekspresi IL-2 pada permukaan CD4+ IL-2 mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada permukaannya sendiri Mitosis dan proliferasi sel Proliferasi CD4+ akan berlangsung terus selama Perubahan pelumas Fungsi sendi Kompresi antarpermukaan sendi Gangguan mekanis dan fungsi pada sendi Sendi susah digerakkan

Masuk ke dalam peredaran darah Masuk ke persendian

MK : Gangguan mobilitas TG : Gerakan terbatas,

antigen masih terdapat dalam lingkungan tersebut


21

IL-2 dan CD4+ mensekresi berbagai limfokin Merangsang peningkatan aktivitas fagositosis oleh makrofag ; Merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk menghasilkan antibodi Antibodi berikatan dengan antigen yg sesuai
TG : pembengkakan sendi, merah, nyeri, Pemeriksaan histopatologis membran sinovial menunjukkan permeabilitas mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan pengendapan

Sist. Saraf Penekanan pada nervus Neuropati Kelemahan otot Sist. Kardio
K : Parastesia

Membentuk kompleks imun Berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi Lesi inflamasi pada miokard dan katub Pengendapan kompleks imun Mengaktifkan system komlemen dan melepaskan komplemen C5a Kulit PMN dan monosit tertarik lebih banyak ke lokasi sendi Nodul reumatik di bawah kulit Proses fagositosis terus berlanjut Terjadi tekanan di bawah kulit Membran synovial hipertrofi dan Menyumbat aliran darah Pannus Protease neutral Erosi rawan sendi dan tulang
TG : Pada pemeriksaan radiologi ditemukan adanya Arthritis erosive MK : Nyeri K : Lesi TG : Morning stiffness

Nyeri dada

K : Gangguan faal

purpura /

TG : Deformitas MK : Gangguan body

Sist. GI Iritasi mukosa lambung Erosi mukosa Gangguan lambung


K : Gastritis ;

Pembebasan radikal O2 bebas Merusak kolagen dan prosteoglikan rawan sendi Penurunan viskositas cairan sendi

ulkus peptikum

ARTHRITIS
22

B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN 1. Pengkajian a. Pola nutrisi dan metabolik Pasien mengalami anoreksia, terjadi Penurunan berat badan b. Pola aktifitas dan latihan Pasien mengalami Nyeri sendi karena gerakan, kekakuan pada pagi
hari, ditandai dengan adanya malaise, keterbatasan rentang gerak

c. Pola istirahat dan tidur Umumnya pada pasien arthritis rheumatoid mengalami mengalami gangguan istirahat tidur karena merasa nyeri pada saat istirahat/ tidur . d. Pola peran persepsi dan konsep diri Umumnya Pasien merasa malu dan minder dengan penyakitnya karena adanya deformitas. 2. Diagnosa a. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot/ deformitas skeletal c. Gangguan bodi image berhubungan dengan perubahan bentuk tubuh d. Resiko ketidakseimbangan nutrisi < kebutuhan tubuh b/d anoreksia

3. Intervensi a. Dx : Nyeri akut b/d proses inflamasi DS: Laporan secara verbal adanya nyeri DO: 1) Posisi untuk menahan nyeri 2) Tingkah laku berhati-hati 3) Gangguan tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai)
23

4) Terfokus pada diri sendiri 5) Fokus menyempit (penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan) Noc : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama. Pasien tidak mengalami nyeri, dengan kriteria hasil: 1) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) 2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri 3) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) NIC : 1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi 2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan 3) Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan 4) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti kebisingan 5) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi selanjutnya 6) Ajarkan tentang teknik nonfarmakologi: napas dalam, relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin 7) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ... 8) Tingkatkan istirahat 9) Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur 10) Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesic pertama kali

24

b. DS :

Dx : Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot/ deformitas skeletal Melaporkan secara verbal keterbatasan dalam bergerak DO : 1) Penurunan waktu reaksi 2) Kesulitan merubah posisi 3) Perubahan gerakan (penurunan untuk berjalan, kecepatan, kesulitan memulai langkah pendek) 4) Keterbatasan motorik kasar dan halus 5) Keterbatasan ROM 6) Gerakan sangat lambat dan tidak terkoordinasi NOC : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama.gangguan mobilitas fisik teratasi dengan kriteria hasil: 1) Klien meningkat dalam aktivitas fisik 2) Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas 3) Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah 4) Memperagakan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi (walker) NIC : 1) Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan 2) Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan 3) Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera 4) Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi 5) Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi 6) Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADL secara mandiri sesuai kemampuan
25

7) Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs ps. 8) Berikan alat Bantu jika klien memerlukan. 9) Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan c. Dx : Gangguan body image b/d penyakit DS : 1) Perasaan negatif tentang tubuh 2) Secara verbal menyatakan perubahan gaya hidup DO : 1) Perubahan aktual struktur dan fungsi tubuh 2) Bagian tubuh mengalami penurunan fungsi NOC : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama . gangguan body image pasien teratasi dengan kriteria hasil: 1) Body image positif 2) Mampu mengidentifikasi kekuatan personal 3) Mendiskripsikan secara factual perubahan fungsi tubuh 4) Mempertahankan interaksi sosial NIC : 1) Kaji secara verbal dan nonverbal respon klien terhadap tubuhnya 2) Monitor frekuensi mengkritik dirinya 3) Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan dan prognosis penyakit 4) Dorong klien mengungkapkan perasaannya 5) Identifikasi arti pengurangan melalui pemakaian alat bantu 6) Fasilitasi kontak dengan individu lain dalam kelompok kecil d. Resiko ketidakseimbangan nutrisi < kebutuhan tubuh b/d anoreksia DS: - Nyeri abdomen - Mual, muntah
26

DO: - Kurang nafsu makan - Denyut nadi lemah NOC : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama.nutrisi kurang teratasi dengan indikator NIC : Kaji adanya alergi makanan Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian. Monitor adanya penurunan BB dan gula darah Monitor lingkungan selama makan Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva Monitor intake nuntrisi Informasikan pada klien dan keluarga tentang manfaat nutrisi Nafsu makan normal Intake adekuat

4. Discharge Planning Pendidikan kesehatan yang diperlukan untuk pasien Rheumatoid Arthritis a. Perawat memberikan pendidikan kesehatan yang cukup kepada pasien, keluarganya, dansiapa saja yang berhubungan dengan pasien. Pendidikan kesehatan yang diberikan meliputipengertian penyakit, pengertian tentang patofisologinya, penyebab, prognosis penyakit ini,semua komponen program penatalaksanaan termasuk regimen obat
27

yang kompleks,simber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini, dan metode-metode efektif tentangpenatalaksanaan yang diberikan oleh tim kesehatan. b. Proses pendidikan ini harus dilakukan secara terus menerus. Bantuan dapat diperoleh dariklub penderita, badan-badan kemasyarakatan, dan dari orang-orang lain yang jugamenderita artritis reumatoid, serta keluarga mereka. c. Pendidikan kesehatan mengenai pentingnya istirahat karena artritis reumatoid biasanyadisertai rasa lelah yang hebat d. Kekakuan dan rasa tidak nyaman dapat meningkat apabila beristirahat, hal ini berartibahwa pasien dapat mudah terbangun dari tidurnya pada malam menjelang subuh karenanyeri. Karena itu perawat berperan dalam memberikan pendidikan kesehatan mengenaipenggunaan obat anti radang kerja lama dan analgetik. e. Pentingnya penatalaksanaan mengenai perencanaan aktivitas. Pasien harus membagi waktuseharinya menjadi beberapa kali beraktivitas yang diikuti oleh masa istirahat. f. Latihan-latihan spesifik dapat bermanfaat dalam mempertahankan fungsi sendi. Latihan inimencangkup gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit, sedikitnya dua kalisehari. Obat-obatan untuk menghilangkan memulailatihan. g. Menginformasikan mengenai Kompres panas pada sendi-sendi yang sakit dan bengkak mungkin dapat mengurangi nyeri. h. Pendidikan kesehatan mengenai nutrisi sebenarnya tidak ada yang spesifik dan khusus,yang terpenting prisip umumnya adalah pentingnya diet seimbang. i. Karena penyakit ini rentan sekali pada penderitanya untuk mengalami penurunan ataupunpeningkatan berat badan. Penyakit ini dapat juga menyerang sendi temporomandibular,sehingga membuat gerakan mengunyah menjadi sulit. Sejumlah obat yang dipakai untuk mengobati penyakit ini dapat menyebabkan rasa tidak enak
28

nyeri

mungkin

perlu

diberikan

sebelum

pada

lambung

dan

menguranginutrisi

yang

diperlukan.

Mempertahankan berat badan pada batas-batas yang sewajarnya

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

29

Rheumatoid Arthritis (RA) merupakan penyakit autoimun (penyakit yang terjadi pada saat tubuh diserang oleh sistem kekebalan tubuhnya sendiri) yang mengakibatkan peradangan dalam waktu lama pada sendi.Penyakit ini menyerang persendian, biasanya mengenai banyak sendi, yang ditandai dengan radang pada membran sinovial dan struktur-struktur sendi serta atrofi otot dan penipisan tulang. Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti, namun faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen antibodi), faktor metabolik , hormone dan infeksi virus . B. Saran Sebaiknya kita menjaga aktivitas, pola tidur, diet dan yang lainnya agar seimbang, untuk menghindari AR menyerang pada sistem imun kita.

30

Anda mungkin juga menyukai