Anda di halaman 1dari 14

TUGAS

INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA)

Oleh: Bagoes Ario Bimo 2071210011

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNISMA MALANG 2013

BAB I PENDAHULUAN
ISPA adalah infeksi akut yang menyerang saluran pernapasan yaitu organ tubuh yang di mulai dari hidung ke alveoli beserta adneksa (Romelan, 2006). Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada anak di negara berkembang. Pada akhir tahun 2000, ISPA mencapai enam kasus di antara 1000 bayi dan balita. Tahun 2003 kasus kesakitan balita akibat ISPA sebanyak lima dari 1000 balita (Oktaviani, 2009). Setiap anak balita diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya dan proporsi kematian yang disebabkan ISPA mencakup 20-30% (Suhandayani, 2007 ). Untuk meningkatkan upaya perbaikan kesehatan masyarakat, Departemen Kesehatan RI menetapkan 10 program prioritas masalah kesehatan yang ditemukan di masyarakat untuk mencapai tujuan Indonesia Sehat 2010, dimana salah satu diantaranya adalah Program Pencegahan Penyakit Menular termasuk penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (Depkes RI, 2002). Sebagai kelompok penyakit, ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien ke sarana kesehatan. Sebanyak 40%-60% kunjungan berobat di Puskesmas dan 15%-30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit disebabkan oleh ISPA (Suhandayani, 2007 ). Penyebab ISPA paling berat disebabkan infeksi Streptococus pneumonia atau Haemophillus influenzae . Banyak kematian yang diakibatkan oleh pneumonia terjadi di rumah, diantaranya setelah mengalami sakit selama beberapa hari. Program pemberantasan ISPA secara khusus telah dimulai sejak tahun 1984, dengan tujuan berupaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian khususnya pada bayi dan anak balita yang disebabkan oleh ISPA, namun kelihatannya angka kesakitan dan kematian tersebut masih tetap tinggi (Rasmaliah, 2004).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Etiologi

Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebabnya antara lain dari genus Streptokokus, Stafilokokus, Pnemokokus, Hemofilus, Bordetella dan Korinebakterium. Virus penyebabnya antara lain golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus. II.2. Patomekanisme Menurut Baum (1980), saluran pernapasan selama hidup selalu terpapar dengan dunia luar sehingga guna mengatasinya dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang efektif dan efisien. Ketahanan saluran pernapasan terhadap infeksi mauapun partikel dan gas yang ada di udara amat tergantung pada tiga unsur alami yang selalu terdapat pada orang sehat, yaitu: 1. Keutuhan epitel mukosa dan gerak mukosilia. 2. Makrofag alveoli terjadi. 3. Antibodi setempat.

Sudah menjadi suatu kecenderungan bahwa infeksi bakteri mudah terjadi pada saluran napas yang sel-sel epitel mukosanya rusak, akibat infeksi terdahulu. Selain itu, hal-hal yang dapat menggangu keutuhan lapisan mukosa dan gerak sila adalah:

1. Asap rokok dan gas SO yang merupakan polutan utama dalam pencemaran udara. 2. Sindrom immotil. 3. Pengobatan dengan O konsentrasi tinggi (25 % atau lebih).

Makrofag banyak terdapat di alveolus dan akan dimobilisasikan ke tempat lain bila terjadi infeksi. Asap rokok dapat menurunkan kemampuan makrofag membunuh bakteri, sedangkan alkohol akan menurunkan mobilitas sel-sel ini (Baum,1980). Antibodi setempat yang ada pada saluran pernapasan ialah imunoglobulin A (IgA). Antibodi ini banyak terdapat di mukosa. Kekurangan antibodi ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernapasan, seperti yang sering terjadi pada anak. Mereka dengan defisiensi IgA akan mengalami hal yang serupa dengan penderita yang mengalami imunodefisiensi lain, seperti penderita yang mendapat terapi sitostatik atau radiasi, penderita dengan neoplasma yang ganas dan lain-lain (immunocompromised host) (Baum,1980).Menurut Baum (1980) gambaran klinik radang yang disebabkan oleh infeksi sangat tergantung Pada: 1. Karakteristik inokulum meliputi ukuran aerosol, jumlah dan tingkat virulensi jasad renik yang masuk. 2. Daya tahan tubuh seseorang tergantung pada utuhnya sel epitel mukosa, gerak mukosilia, makrofag alveoli dan IgA. 3. Umur mempunyai pengaruh besar. ISPA yang terjadi pada anak dan bayi akan memberikan gambaran klinis yang lebih buruk bila dibandingkan dengan orang

dewasa. Gambaran klinis yang buruk dan tampak lebih berat tersebut terutama disebabkan oleh infeksi virus pada bayi dan anak yang belum memperoleh kekebalan alamiah. Terjadinya infeksi antara bakteri dan flora normal disaluran nafas. Infeksi oleh bakteri, virus dan jamur dapat merubah pola kolonisasi bakteri. Timbul mekanisme pertahanan pada jalan nafas seperti filtrasi udara inspirasi di rongga hidung, refleksi batuk, refleksi epiglottis, pembersihan mukosilier dan fagositosis. Karena menurunnya daya tahan tubuh penderita maka bakteri pathogen dapat melewati mekanisme sistem pertahanan tersebut Akibatnya terjadi invasi di daerah-daerah saluran pernafasan atas maupun bawah.
II.3. Manifestasi Klinis Penyakit saluran pernapasan atas dapat memberikan gejala klinik yang beragam, antara lain: 1. Gejala koriza (coryzal syndrome), yaitu penegeluaran cairan (discharge) nasal yang berlebihan, bersin, obstruksi nasal, mata berair, konjungtivitis ringan. Sakit tenggorokan (sore throat), rasa kering pada bagian posterior palatum mole dan uvula, sakit kepala, malaise, nyeri otot, lesu serta rasa kedinginan ( chilliness), demam jarang terjadi. 2. Gejala faringeal, yaitu sakit tenggorokan yang ringan sampai berat. Peradangan pada faring, tonsil dan pembesaran kelenjar adenoid yang dapat menyebabkan obstruksi nasal, batuk sering terjadi, tetapi gejala koriza jarang. Gejala umum seperti rasa kedinginan, malaise, rasa sakit di seluruh badan, sakit kepala, demam ringan, dan parau (hoarseness). 3. Gejala faringokonjungtival yang merupakan varian dari gejala faringeal. Gejala faringeal sering disusul oleh konjungtivitis yang disertai fotofobia dan sering pula

disertai rasa sakit pada bola mata. Kadang-kadang konjungtivitis timbul terlebih dahulu dan hilang setelah seminggu sampai dua minggu, dan setelah gejala lain hilang, sering terjadi epidemi. 4. Gejala influenza yang dapat merupakan kondisi sakit yang berat. Demam, menggigil, lesu, sakit kepala, nyeri otot menyeluruh, malaise, anoreksia yang timbul tiba-tiba, batuk, sakit tenggorokan, dan nyeri retrosternal. Keadaan ini dapat menjadi berat. Dapat terjadi pandemi yang hebat dan ditumpangi oleh infeksi bakterial. 5. Gejala herpangina yang sering menyerang anak-anak, yaitu sakit beberapa hari yang disebabkan oleh virus Coxsackie A. Sering menimbulkan vesikel faringeal, oral dan gingival yang berubah menjadi ulkus. 6. Gejala obstruksi laringotrakeobronkitis akut ( cruop), yaitu suatu kondisi serius yang mengenai anak-anak ditandai dengan batuk, dispnea, dan stridor inspirasi yang disertai sianosis (Djojodibroto, 2009).

II. 4. Pemeriksaan Penunjang

Umumnya diagnosis ditegakkan secara klinik walaupun diagnosis etiologik sangat menentukan keberhasilan pengobatan. Pemeriksaan bakteriologik dan penunjang lainnya dapat membedakan penyebabnya bakteri atau virus. Tidak spesifiknya gejala klinik, basil biakan oro dan nasofaring yang positif terhadap S. pneumonia dan H. influenzae, basil kultur bakteri yang positif akibat kontaminasi, kultur darah yang hanya sebagian kecil positif dan kultur aspirat pungsi paru yang sulit dilakukan dan invasif walaupun merupakan metoda paling baik untuk menentukan etiologi, semuanya merupakan masalah. Untuk mengatasinya harus difikirkan pengembangan pemeriksaan serologis terhadap S. pneumonia dan H.

influenzaeberupa pemeriksaan antigen, antibodi dan CRP. Pemeriksaan CRP berguna untuk membedakan penyebab ISPA bakteri atau virus. Untuk mengetahui virus sebagai penyebab dapat dilakukan pemeriksaan kultur walaupun umumnya sangat sulit dilakukan. Sediaan berasal dari hapusan tenggorok, hidung, aspirat nasofaring atau dari serum pada masa akut dan konvalesen. Kultur ini dilakukan pada embrio ayam, ginjal monyet, Hela/Hep 2 cells atau human lung fibroblast. Pemeriksaan mikroskop elektron, imunofloresen, enzim,

redioimmunoassay, haemagglutination, haernadsorption dan deteksi IgM spesifik membutuhkan waktu lebih singkat sehingga deteksi virus secara dini dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran dan penggunaan antibiotika yang tidak rasional.

II. 5. Penatalaksanaan II.5.1. Farmakologi Pada viral faringitis pasien dianjurkan untuk istirahat, minum yang cukup dan berkumur dengan air yang hangat. Analgetika diberikan jika perlu. Antivirus metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada infeksi herpes simpleks dengan dosis 60-100mg/kgBB dibagi dalam 4-6kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak <5tahun diberikan 50mg/kgBb dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari. Pada faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya streptococcus group A diberikan antibiotik yaitu Penicillin G Benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau amoksisilin 50mg/kgBB dosis dibagi 3kali/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3x500mg selama 6-10 hari atau eritromisin

4x500mg/hari. Selain antibiotik juga diberikan kortikosteroid karena steroid telah menunjukan perbaikan klinis karena dapat menekan reaksi inflamasi. Steroid yang dapat diberikan berupa deksametason 8-16mg/IM sekali dan pada anak-anak 0,080,3 mg/kgBB/IM sekali. dan pada pasien dengan faringitis akibat bakteri dapat diberikan analgetik, antipiretik dan dianjurkan pasien untuk berkumur-kumur dengan menggunakan air hangat atau antiseptik. Pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan terapi lokal dengan melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia larutan nitras argenti atau dengan listrik (electro cauter). Pengobatan simptomatis diberikan obat kumur, jika diperlukan dapat diberikann obat batuk antitusif atau ekspetoran. Penyakit pada hidung dan sinus paranasal harus diobati. Pada faringitis kronik atrofi pengobatannya ditujukan pada rhinitis atrofi dan untuk faringitis kronik atrofi hanya ditambahkan dengan obat kumur dan pasien disuruh menjaga kebersihan mulut.

II.5.2. Non Farmakologi Beberapa pencegahan dan perawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi radang tenggorokan antara lain : 1) cukup beristirahat 2) berkumur dengan air garam hangat beberapa kali sehari 3) bagi perokok harus berhenti merokok 4) banyak minum dan hindari makanan yang dapat menyebabkan iritasi 5) minum antibiotik, dan jika diperlukan dapat minum analgesik. (George, 1997).

BAB III ILUSTRASI KASUS Nama Keluhan Utama : An. Ahmad ( 10 th) : Nyeri Tenggorok

RPS : Nyeri dirasakan sejak 1 hari yang lalu. Pasien sudah diberi Parasetamol Dan Nyerinya Berkurang. Pasien merasa nyeri saat menelan Ada. Pasien juga Demam Ada. Pasien juga batuk dengan dahak sedikit keputihan. Keluhan telinga Dan hidung Muntah juga Tidak Ada. RPD: Riwayat Sakit Serupa Riwayat Hidung Meler : Disangkal : Disangkal disangkal. Malaise Tidak Ada, Mual

Riwayat Demam Rheumatik : Disangkal Pemeriksaan Fisik Vital Sign Tensi Nadi RR Suhu : 120/80 mmHg : 88 X/Mnt : 24 X/Mnt : 37,8 C,

Keadaan umum Gizi Auris Dan Membrane Timpani

: Fatigue, Compos Mentis : Cukup : Dalam Batas Normal

Rhinoskopi Anterior Dan Posterior : Dalam Batas Normal Pemeriksaan Orofaring Laringoskopi Indirek Limfadenopati. TUJUAN PENGGUNAAN OBAT Untuk menghilangkan penyebab utama Untuk menghilangkan gejala simptomatis yang dirasa mengganggu : Tampak Hiperemis Dan Granul : Dalam Batas Normal : (-)

KERANGKA BERPIKIR PENGGUNAAN OBAT PENULARAN SECARA DROPLET

Kuman menginfiltrasi jar. epitel faring dan terjadi pengikisan

BATUK

Bakteri + MF + Monosit

GG

PENICILLI N

IL 1 B IL 6 IFN TNF

Endogen pirogen

PARACETAMO L RADAN G NYERI MERA H PANAS BENJOLAN FUNCTIO LESA

Prostagland in

Hipothalam us

DEMAM

PEMBAHASAN OBAT 1. Penicillin Dalam kasus diatas kita dapat menggunakan antibiotic untuk membunuh kuman. Penegakan diagnosis infeksi kuma dapat dilihat dari adanya demam dan tidak ada nyeri sendi. Bakteri tersering yang menyebabkan infeksi faring ialah streptococcus B hemolitikus , yaitu bakteri gram positif. Kita dapat menggunakan antibiotic Penicillin tablet sebanyak 250 mg. pemberian penicillin ini diberikan tiap 6 jam. Penicillin bekerja dengan menghambat pembentukan mukopeptid yang digunakan oleh kuman untuk mensintesis dinding sel. Selain itu keadaan inipun akan menyebabkan terjadinya aktivasi proteolitik. 2. Paracetamol Paracetamol diberikan untuk menghilangkan demam dan sebagai analgesik. Paracetamol bekerja menghambat pembentukan prostaglandin yang merupakan inisial peningkatan temperature set body . Dosis yang digunakan ialah 250 mg untuk anak dengan waktu paruh 1-3 jam. Dosis maksimal yang bisa diberikan per hari ialah 1,2 g. paracetamol di metabolisme di hati. Efek samping yang mungkin terjadi ialah dapat terjadi methemoglobinemia, hemolisis eritrosit, hepatotoksik. 3. GG GG diberikan karena pasien batuk berdahak. GG merupakan obat golongan ekspektoran. Dosis anak yang diberikan untuk usia 10 th seperti kasus diatas ialah 10/20 x 100 mg, yaitu sebanyak 50 mg.

RESEP

R/ Penicillin tab Paracetamol tab GG tab

mg 250 mg 250 mg 50

m.f.l.a Pulv dtd No.XII 3 dd Pulv 1 Pro : An Ahmad (10 Tahun)

DAFTAR PUSTAKA

1.

Hilger PA. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam: Boeis

Buku Ajar Penyakit THT ed.6. Jakarta: EGC.1994. 2. Rusmarjono, Soepardi, E.A. Dalam: Supardi, E.A., Iskandar. Buku Ajar

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Ed ke-5. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indinesia. 2001. 3. Kazzi,A.,Antoine, Wills,J. Pharyngitis.. http://www.emedicine.com/med/topic735 htm.2006. 4. Alan,L.,Bisno. Acute Pharyngitis. http://www.nejm.org.vol 344;3;205-210 5. Vincent, T., Mirian, Celestin,N.,Hussain,N.,Aneela. Pharyngitis. http://www.a.f.p.org.2004;69:1469-70www.emedicine.com/med/topic735 htm.2006. 6. www.emedicine.com/med/topic735 htm.2006.

Anda mungkin juga menyukai