Anda di halaman 1dari 13

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem irigasi di Indonesia merupakan bagian dari sistem kehidupan


sosial masyarakat yang cukup tua keberadaannya. Dari sisi kesejarahan,
sistem irigasi di Indonesia sudah ada sejak zaman kerajaan sebelum
penjajahan Belanda datang. Sehingga ketika ada pihak-pihak yang
membicarakan kebijakan sistem irigasi, siapapun pihak tersebut, perlu selalu
berpijak pada realitas sistem irigasi yang telah ada.
Oleh karenanya sebagai bagian dari suatu sistem sosial, sistem
irigasi merupakan suatu realitas dari gabungan dari berbagai aspek
pengetahuan dan kewenangan. Sistem irigasi tidak dapat hanya ditentukan hanya
oleh faktor phisik atau artefak (keberadaan air dan lahan) saja. Begitu pula
sistem irigasi tidak cukup hanya ditentukan oleh faktor kelembagaan saja. Atau
pada sisi lain, sistem irigasi tidak dapat hanya ditentukan oleh faktor teknik
pengaturan air atau bercocok tanam semata. Sistem irigasi merupakan aspek
untuk mendukung hidup masyarakat yang memilih komoditi beras sebagai
bahan makanan pokok untuk kehidupan mereka sehari-hari. Oleh
karenanya dalam diri sistem irigasi selalu terdapat gabungan dari berbagai faktor,
yaitu faktor phisik (artefak), faktor sosial masyarakat, dan faktor teknologi
pengaturan air dan cocok tanam. Yang pada akhirnya faktor-faktor tersebut
sangat dipengaruhi oleh kapasitas masyarakat setempat, selaku subyek
pengguna dan pengelola, dalam memperlakukan sistem irigasi yang ada.
Dengan pemahaman tersebut maka akan dapat memandu kita untuk
membangun pemahaman, bahwa upaya untuk meningkatkan
efektivitaspembangunan dan pengelolaan sistem irgasi harus berbasis pada
berbagai faktor di ats. Begitu juga dalam membahas pembagian peran ( role
sharing ) dalam pembangunan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif, semua
pihak perlu membangun kesepahaman bersama, bahwa pembagian peran
tersebut perlu selalu diarahkan dan bermuara pada upaya peningkatan kapasitas
masyarakat dalam bentuk pemberdayaan masyarakat.
Dalam UU No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air, dalam Bab II mulai pasal
13 sampai dengan pasal 19 telah mengatur wewenang dan tanggung
jawab dari pemerintah, pemerintah daerah, dan pemerintah desa.

1
Sedangkan dalam hal pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi
irigasi, secara khusus pada UU tersebut diatur dalam pasal 41, ayat (2), yang
di penjelasan diuraikan bahwa daerah irigasi dengan luas kurang dari 1000
hektar,dan ada dalam satu wilayah kabupaten/kota menjadi kewenangan dan
tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota; daerah irigasi dengan luas areal
1000 – 3000 hektar atau daerah irigasi dengan luas areal kurang dari 1000
hektar dan lintas wilayah kabupaten/kota menjadi kewenangan dan tanggung
jawab pemerintah provinsi; dan daerah irigasi dangan luas areal lebih dari 3000
hektar, atau daerah irigasi yang lintas provinsi, dan daerah irigasi strategis
nasional serta lintas negara menjadi kewenangan dan tanggung jawab
pemerintah. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No. 20/2006 tentang
Irigasi dalam pasal 4, ayat (2), menyebutkan bahwa ”pengembangan dan
pengelolaan sistem irigasi diselenggarakan secara partisipatif, terpadu,
berwawasan lingkungan hidup, transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
Beberapa regulasi yang disebutkan di atas merupakan acuan dasar,
sehingga pemerintah mengembangkan program keirigasian yang disebut ”
Pembangunan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif/PPSIP”. Akan
tetapi dari Laporan Kajian Pembangian Urusan dalam PPSIP dari BAPPENAS
(Anonymous, 2007) dan Lembaran Kesepakatan Rapat Pembagian Peran
pelaksanaan program PPSIP, tanggal 21 Juni
2006, tampak tersurat bahwa pembagian peran yang diatur hanya
antar instansi pemerintah yang terlibat dalam pengembangan dan pengelolaan
irigasi. Sedangkan peran bagi masyarakat petani sama sekali tidak
disebutkan. Ironisnya kebijakan keirigasian sesuai PP No. 20/2006 justru
disebut sebagai aktivitas Pembangunan dan Pengelolaan Sistem Irigasi
Partisipatif.

B. KONSEP METODE PELAKSANAAN

Dalam sebuah Negara, urusan pemerintahan terbagi atas dua kelompok


besar (1) urusan yang tidak mungkin didesentralisasikan, yang mutlak menjadi
wewenang Pemerintah (pusat); dan (2) urusan yang dapat di-desentralisasikan
yang tidak eksklusif menjadi wewenang daerah otonom (Hoessein: 2005). Dalam
kelompok pertama, Pemerintah dapat melakukan sendiri secara sentralisasi
murni dan atau dengan pengembangan dekonsentrasi dengan menempatkan
instansi vertikal-nya di daerah (field administration). Dalam praktek Indonesia,
urusan dalam kelompok pertama juga dapat dilakukan dengan melakukan tugas
pembantuan kepada daerah otonom.

2
Kelompok urusan kedua adalah urusan yang dapat didesentralisasikan.
Dalam urusan seperti ini, Pemerintah masih memiliki peran. Oleh karena itu
terkandung elemen sentralisasi pula sebagaimana diketahui bahwa desentralisasi
selalu bertalian dengan sentralisasi dalam organisasi (Sherwood: 1969).
Peran pemerintah yang masih ada tersebut dapat dilakukan dengan
cara yang sama dengan kelompok urusan pertama. Dengan demikian, terjadi
perpaduan sentralisasi dan desentralisasi dalam kelompok urusan kedua.
Situmorang (2005) menyebut urusan seperti ini sebagai urusan yang bersifat
konkuren. Urusan irigasi termasuk urusan yang bersifat konkuren.
Tesis makalah ini adalah pembagian urusan dalam irigasi di Indonesia
masih berasaskan pada satu konsep desentralisasi yang tidak utuh.
Urusan tersebut didistribusikan hanya dengan konsep desentralisasi territorial.
Sementara dalam kondisi empirik, potensi dan kebutuhan akan pengembangan
desentralisasi fungsional mendesak sesuai karakter urusan tersebut. Makalah ini
akan mambahas persoalan tersebut.

***

3
II. PEMBAHASAN

A. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PPSIP

Upaya untuk membangun kesepakatan dalam pembagian peran.urusan


antar berbagai instansi pemerintah dalam pelaksanaan PPSIP merupakan
upaya yang baik sebagai salah satu upaya dalam mengembangkan kerja
yang koordinatif dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi. Pendekatan ini
dapat dijadikan terobosan dalam mengatasi kelemahan dalam koordeinasi di
tingkat pemerintah yang selama ini sering menjadi penyebab kegagalan suatu
program atau proyek pemerintah.
Akan tetapi upaya ini perlu dijadikan momentum bagi semua pihak yang
terkait dalam pembahasan ”role sharing” pelaksanaan PPSIP, bahwa dalam
membagi peran dan urusan keirigasian tidak hanya menjadi urusan pemerintah
dan pemerintah daerah. Akan tetapi organisasi petani secara legal dan secara
faktual herus diberi peran/urusan sesuai dengan tingkat kemampuanya. Oleh
karena itu pemerintah perlu menempatkan ”pemberdayaan masyarakat” sebagai
paradigma pendekatan pembangunan dalam pelaksanaan PPSIP. Apalagi
program keirigasian ini juga menggunakan tema ”partisipatitif”, sehingga
sangat wajar jika setiap tahap pelaksanaan kegiatan pemerintah
mampu memberi ruang partisipasi organisasi petani.
Salah satu usaha yang terkait dengan pembahasan pembagian urusan ini
yaitu menempatkan organisasi petani yang mempunyai peran dan urusan
yang dalam implementasinya juga didukung oleh pembiayaan dari
pemerintah, dalam mengimplementasikan peran/urusan tersebut. Sudah banyak
pengalaman dan pelajaran bagaimana jika kegiatan keirigasian tidak
menempatkan organisasi petani sebagai subyek. Maka kegagalan program dan
keberlanjutan program menjadi persoalan ketika kegiatan masih berjala, apalagi
ketika program sudah selesai.
Oleh karena itu, ada dua hal yang perlu segera mereposisi organisasi
petani dalam implementasi PPSIP yaitu pertama, pemerintah memasukkan
institusi organisasi petani (P3A/GP3A/IP3A) sebagai pihak yang
memiliki peran/urusan – bukan wewenang – dalam pelaksanaan PPSIP;
dan kedua, pemerintah juga mengalokasikan dana atau anggaran bagi
organisasi petani (P3A/GP3A/IP3A) untuk menjalankan peran atau urusan yang
diberikan kepada organisasi petani. Pendekatan pemberdayaan masyarakat
ini merupakan upaya nyata menempatkan organisasi petani sebagai subyek
pembangunan pada tingkat tertentu ( LP3ES, 2001).

4
Bentuk pemberdayaan ini sudah dilakukan di beberapa proyek
pemerintah yang ada dalam Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat/PNPM.

Pemberdayaan masyarakat merupakan ruh atau nyawa dalam


pelaksanaan PPSIP. Oleh karenanya sudah seharusnya setiap jenis kegiatan yang
diimplementasikan selalu berorientasi kepada hasil yang memberdayakan
masyarakat. Bukan sebaliknya bahwa setiap jenis kegiatan dalam PPSIP
hanya untuk ”pemberdayaan birokrasi” pemerintah.

B. Sumberdaya Air (Irigasi): Lokalitas dan Satu Kesatuan

Persoalan air irigasi yang umumnya menyangkut kelangkaan air di berbagai


negara berkembang telah diakui oleh Saleth dan Dinar (2005) yang
menyatakan bahwa kelangkaan air yang bisa berdimensi kuantitatif maupun
kualitatif disebabkan oleh manajemen (pengelolaan) yang lemah. Dituliskan oleh
kedua pakar tersebut sebagai berikut:
―Although the nature and severity of water problems are different from
country to country, one aspect is common to most countries; water
scarcity –whether quantitative, qualitative, or both—originates more from
inefficient use and poor management than any real physical limits on
supply augmentation.

Disampaikan pada acara Lokakarya Pembagian Urusan dalam


Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi (Role Sharing) di Hotel
Patrajasa Semarang, 5-7 Juni 2007 yang diselenggarakan oleh
BAPPENAS-RI.
Diketahui bahwa pengelolaan air irigasi didorong oleh adanya sumberdaya air
yang tersedia. Sumberdaya air irigasi ini memiliki jenjang mulai dari jenjang
(tingkatan) primer, sekunder, tersier sampai kuarter. Jenjang-jenjang tersebut
merupakan jalinan sistemik yang terpadu keberadaanya. Sistem irigasi sendiri
merupakan sistem penyediaan dan pengaturan air untuk pertanian. Sumber irigasi ini
bisa dari air permukaan atau dari air tanah (Kodoatie, Robert, J., dan Sjarief,
Roestam,: 2005).
Oleh karena itu, pengelolaan irigasi hakekatnya adalah sebuah sistem yang
tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lainnya menurut jenjang daerah irigasi.
Semakin tinggi jenjangnya, semakin luas jangkauannya dan semakin luas pula
berbagai pihak yang berkepentingan terhadap keberadaan sumberdaya air yang
ada di sana. Berikut adalah ilustrasi yurisdiksi sistem irigasi dalam sebuah Daerah
Aliran Sungai (DAS):

5
Aliran Sungai dan Batas Administratif daerah otonom

Sumber: Kodoatie dan Sjarief (2005)

Dengan demikian, sistem irigasi terdiri atas sumber air, bangunan


pengambilan (intake), saluran primer, saluran sekunder, saluran tersier, saluran
kuarter dan saluran pembuang (ibid.,). Sistem tersebut berada dalam satu teritori
tertentu dalam sebuah wilayah negara. Antara jenjang yang satu dengan
yang lain, dengan demikian sesungguhnya sulit dipisah-pisahkan. Dibutuhkan satu
manajemen yang kuat terintegrasi. Jika saja penjenjangan tersebut yang terjadi ada
di dalam satu wilayah administrasi pemerintahan tertentu, mungkin ini dapat di-
attach dalam sistem pemerintahannya. Lain halnya jika sistem tersebut telah meliwati
batas-batas administrasi pemerintahan tertentu, tentu sangat sulit di-attach dalam
sistem pemerintahannya karena membutuhkan peran pemerintahan yang
bersinggungan.

6
C. Fungsi-Fungsi dalam Sistem Irigasi

Selama ini urusan irigasi dalam konteks pemerintahan menggunakan dasar


tingkatan daerah irigasi sebagai cara untuk mendistribusikan urusan-urusan tersebut
dari berbagai jenjang (tingkatan) Pemerintahan dari sudut pandang teritorial
semata. Oleh karena pemerintahan teritorial tersusun atas Pemerintah Pusat,
Provinsi, dan kabupaten/ Kota bahkan hingga kecataman dan Desa/ kelurahan atau
yang sejenisnya, maka distribusinya pun berjenjang dengan bersandar pada karakter
jenjang pemerintahan tersebut.
Dalam praktek, umumnya sulit terjadi pola yang simetrik antara karakter
hidrologis dan karakter susunan teritorial pemerintahan tersebut. Namun, dapat
digambarkan bahwa urusan-urusan dalam bidang irigasi yang strategis dimiliki oleh
Pemerintah. Pemerintah tetap menjadi pihak yang memiliki tanggungjawab akhir
dalam pengelolaan irigasi ini. Untuk itu, selalu ada urusan dalam bidang irigasi
ini yang dikembangkan secara sentralistik.
Kemudian, pemerintah Provinsi akan bergradasi di bawah Pemerintah
dan seterusnya di jenjang (tingkatan) Kabupaten/ Kota mengelola Daerah irigasi
Primer dan Sekunder sebatas dalam lingkup teritorinya. Jika terdapat daerah irigasi
yang melebihi jangkauan Kabupaten/ kota, maka diambil alih oleh provinsi. Menurut
Situmorang (2002) hal ini yang disebut sebagai kriteria eksternalitas dan akuntabilitas
dalam distribusi urusan pemerintahan.

McLean menyatakan bahwa desentralisasi dalam pengelolaan urusan irigasi


bukan saja kepada pemerintah daerah (berdasarkan desentralisasi teritorial semata),
melainkan dapat pula kepada kelompok pengguna. Dituliskan oleh McLean sebagai
berikut:

‖Two important levels of devolution have evolved in water services


management; devolution to local governments, and devolution to community
based user groups. The later is more common and, depending on the
country, is often incorporated into the first type.”

7
Meskipun McLean menyatakan bahwa umumnya yang dilakukan di
berbagai negara terutama negara berkembang dengan menyatukan kedua cara
devolusi tersebut ke dalam sistem yang pertama, dari pendapat tersebut
sebenarnya dapat dilakukan secara terpisah: yang pertama desentralisasi teritorial,
yang kedua adalah desentralisasi fungsional. Pakar tersebut menambahkan
penjelasannya sebagai berikut:
‖The new push toward participatory management process has
enabled decentralization to user groups. These groups
comprise the intended beneficiaries, who weigh all technically
feasible options, consider capital and recurrent cost implications, make
choices, and then manage systems. The approach pays dividends for
both government and communities; communities get what they need,
and governments are relieved of long term operation and
maintenance (O&M) burden. User groups are common to irrigation and rural
water supply and sanitation. Generally they are referred to as water users
associations
(WUAs) in the former and water and sanitation committees (WSCs) in the
latte.

Pendapat McLean di atas dapat diarahkan pula kepada desentralisasi


fungsional jika organisasi WUAs atau WSCs mendapatkan pelimpahan wewenang
secara langsung dari Pemerintah, bukan sekedar dari pemerintah daerah. McLean
merinci dalam sebuah tabel kemungkinan rincian distribusi tanggungjawab
antara WUAs dan lembaga Pemerintah dalam 6 model mulai dari sepenuhnya
ditangani oleh agensi Pemerintah sampai sepenuhnya dikelola oleh asosiasi
pengguna air. Organisasi pengelolaan irigasi dapat otonom penuh jika pada
model ke-enam yakni ’WUA/WSC full control’ dimana aktivitas sepenuhnya
dilakukan organisasi tersebut. Namun, belum sepenuhnya apakah ada dalam
kategori desentralisasi fungsional atau desentralisasi teritorial yang sangat
ditentukan oleh pemberi wewenang. Jika pemerintah secara langsung,
maka desentralisasi fungsional yang dilakukan.

8
III. PENUTUP : MEMBANGUN KOMITMEN BERSAMA

Lokakarya mengkaji ulang pembagian urusan dalam PPSIP yang


sekarang sedang dilasanakan merupakan momentum bagi semua pihak dari
unsur pemerintah untuk membangun kesepahaman diantara instansi
pemerintah yang terlibat. Oleh karena itu diharapkan para pihak seperti
Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, dan Departemen Dalam
Negeri dalam membangun rumusan pemabngian peran/urusan tidak hanya
terpaku pada ”tugas pokok dan fungsi” masing-masing, akan tetapi mampu
membangun pemahaman bersama yang berimplikasi pada pemberdayaan
masyarakat petani.
Paling tidak ada tiga faktor utama dalam membangun efektivitas
pembagian peran/urusan dalam PPSIP yaitu pertama pembagian peran
harus mampu meningkatkan koordinasi kerja antar instansi pemerintah dan
pemerintah daerah yang terlibat baik dalam kegiatan perencanaan, misalnya
menyusun AWP, atau dalam pelaksanaan kegiatan; kedua, implementasi
pembagian peran oleh instansi pemerintah manapun harus mampu memberikan
akses partisipasi organisasi petani – P3A/GP3A, IP3A – pada setiap tahap
pelaksanaan PPSIP; dan ketiga, berhasil disepakatinya oleh pemerintah untuk
memberikan peran/urusan dan alokasi anggaran bagi
P3A/GP3A/IP3A dalam pelaksanaan PPSIP.
Sudah saatnya semua instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang
terlibat dalam implementasi PPSIP ini membangun komitmen baru
dalam mengimplementasikan pendekatan partisipasi dan dalam
pemberdayaan masyarakat petani dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi.
Sehingga kita semua diharapkan dapat menjawab anggapan sinis masyarakat
luas, bahwa dengan PPSIP ini bukan merupakan bagian dari skenario yang
hanya akan ”memberdayakan birokrasi” pemerintah dengan baju baru PPSIP,
tetapi secara nyata bahwa program ini sebagai
”vehicle” untuk memberdayakan petani dalam pengembangan dan pengelolaan
sistem irigasi di Indonesia, untuk saat sekarang dan masa depan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Atmanto, Sudar Dwi (Edit). Kebijakan Setengah Hati Dalam Mewujudkan


Kesejahteraan dan Kemandirian Petani. PSDAL-LP3ES. 2004.

Anonymous. Transparansi Pembangunan. Beberapa Pengalaman


Program Pengembangan Kecamatan. Pengalaman Media Masa Dalam
Pemantauan.. CESDA-LP3ES. 2001.

Ostrom V. Policentricity and Local Public Economic. The University of Michigan


Press. Ann-Arbor. 1999.

Pasandaran, Effendi. Pembangunan Irigasi Masa Depan. Pendekatan Arus Balik


Dalam Pengelolaan Irigasi. Paper untuk Bahan Sarasehan di Jaringan
Komunikasi Irigasi Indonesia JKI-Indonesia). 2006.

Rahardjo, M. Dawam. Pembangunan Sektor Pertanian di Indonesia. Dari


Zaman Revolosi sampai dengan Orde Baru. Prisma-LP3ES, No.8/Tahun 1989.
1989.

10
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang mana telah memberi kita taufiq
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah yang berjudul “ UPAYA
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT IRIGASI PERTANIAN ”.

Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membimbing kita dari jalan kegelapan
menuju jalan yang terang benderang.

Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi kami
khususnya, dan segenap pembaca umumnya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat kami
harapkan untuk menuju kesempurnaan makalah ini.

Tak lupa kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah bersusah payah membantu hingga terselesaikannya penulisan makalah
ini. Semoga semua bantuan dicatat sebagai amal sholeh di hadapan Allah SWT. Amin.

Makassar, Juli 2009

Penulis

i 11
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ........................................................................................... …………. i

DAFTAR ISI .......................................................................................................………… ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................………… 1

A. LATAR BELAKANG ..................................................................………… 1


B. KONSEP METODE PELAKSANAAN………………………………………………….. 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... ………… 4

A. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PPSIP ....................... ………… 4


B. SUMBER AIR (IRIGASI : LOKALITAS DAN SATU KESATUAN ......…………. 5
C. FUNGSI-FUNGSI DALAM SISTEM IRIGASI…………………………………………. 7
BAB III PENUTUP PENUTUP : MEMBANGUN KOMITMEN BERSAMA…. 9

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ ………….. 10

ii12
UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT IRIGASI
PERTANIAN

O
L
E
H

HENDRA YANTO

JL. LANTO DG PASEWANG NO. 15A

13

Anda mungkin juga menyukai