Anda di halaman 1dari 6

PILKADA

PILKADA ajang suksesi kepemimpinan. Forum rakyat yang dianggap paling demokratis dan representatif. Hasilnya, cukup memadai. Dari ratusan pilkada provinsi, kabupaten, dan kota yang sudah diselenggarakan berjalan dengan baik, kecuali di beberapa daerah t erjadi ekses-ekses sehingga muncul kekerasan. Seperti yang terjadi di Kaur, Bengkulu, Sulawesi Selatan, dan saat ini di Maluku Utara. Proporsi kekerasan sosial yang terjadi pasca-pilkada di Sulsel dan Malut dipicu oleh resistensi masing-masing pendukung atas keputusan Mahkamah Agung. Di Sulsel, para pendukung Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Numang melampiaskan kekecewaannya, karena MA memutuskan pilkada ulang di empat kabupaten. Di Malut, pendukung Abdul Gafur-Fabanyo kecewa lalu melakukan tindakan kekerasan menyusul keputusan MA menganulir keputusan KPU Pusat. Ekses sosial atas keputusan MA ini bukan sesuatu yang normal dalam pemikiran demokrasi. Rakyat tidak bisa disalahkan, yang patut dan bertanggung jawab adalah elit politik, elit partai, dan para politisi. Mereka secara tidak langsung memancing kemarahan, menebar aroma kekerasan, dan memprovokasi pendukung. Aspek hukum dari sebuah keputusan seyogianya tidak ditunggangi kepentingan politik tertentu. Putuskan sesuai proporsi masalahnya. Berulangkali kita mengingatkan bahwa yang belum siap berdemokrasi itu adalah para pelaku politik. Slogan simpatik yang mencerminkan kebesaran jiwa sebelum pertarungan dimulai dengan kata-kata siap menang siap kalah hanya isapan jempol belaka. Implementasinya tidak demikian. Komentar-komentar yang disampaikan menunjukkan kekerdilan jiwa dan bersikap apriori terhadap keputusan yang sudah diambil. Pengaruh komentar dan reaksi sporadis yang diekspresikan adalah jalan masuk dalam memprovokasi kemarahan. Sikap seperti ini kita sesalkan, seharusnya para elit politik, politisi, dan elit partai memberi contoh baik, karena demokrasi bukan sebatas pilkada, melainkan lebih luas lagi. DEMOKRASI dalam pilkada tidak melulu urusan menang-kalah. Demokrasi adalah cara kita untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yakni memajukan kesejahteraan rakyat. Kita berharap pada kesamaan pandang, demokrasi tetap kita penting, tetapi mewujudkan kemakmuran rakyat jauh lebih penting lagi. Pengertian ini tidak berarti kita mengalahkan demokrasi dan menempuh cara-cara a-demokratis untuk mengejar kemakmuran. Artinya, mekanisme pilkada sejatinya adalah memilih dan menentukan figur yang dinilai mampu memenuhi harapan rakyat mewujudkan kesejahteraan. Apa yang hendak kita sampaikan dalam ruang editorial ini bahwa pilkada bukan demokrasi kalau dibumbui dengan perilaku a-demokratis. Lebih tidak demokratis lagi jika kita mengabaikan substansi dan tujuan demokrasi. Bukankah kita sepakat untuk mengatakan bahwa demokrasi mempunyai pengertian yang jauh lebih mendasar daripada siklus lima tahunan pemilu? Kita ingin menekankan bahwa yang

terpokok dari proses politik yang tertuang dalam mekanisme pilkada itu tujuan akhirnya adalah mewujudkan kesejahteraan, menghargai dan meninggikan kesetaraan hak antarkomunitas sosial, dan lain-lain. Prosedur pemilihan hanya bagian kecil dari sisi luas demokrasi. Saatnya kita mengisi demokrasi pilkada tanpa curiga dan mengandalkan prosedur, tetapi dengan kecerdasan mengarahkan proses ini menuju jembatan kesejahteraan

Pemilihan umum di Indonesia


Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Di tengah masyarakat, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.

Sejarah
Pemilihan umum diadakan pada saat tahun (1955, 1971, 1977-1997, 1999, 2004, 2009)

Asas
Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah ada sejak zaman Orde Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri. Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.

Jadwal
Posisi Presiden dan wakil presiden DPD DPR Gubenur dan wakil gubernur 2009 Ya Ya Ya 2010 Tidak Tidak Tidak Sulteng, Sulbar, Papua, Pabar Aceh, Babel, Jakarta, Banten 2011 2012 2013 Ya Ya Ya Sumut, Sumbar, Riau, Sumsel, Jabar, Jateng, Jatim, Bali, NTB, Lampung, NTT, Kalbar, Kalsel, Gorontalo Sumsel, Sultara, Maluku, Malut 2014

Jambi, Bengkulu, Lampung, Kepri, Gorontalo Kalteng, Kaltim, Sulut

Pemilihan umum anggota lembaga legislatif


Sepanjang sejarah Indonesia, telah diselenggarakan 10 kali pemilu anggota lembaga legislatif yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009.

Pemilu 1955
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Anggota DPR dan Konstituante Indonesia 1955 Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu 1955, dan dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:

Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu, Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.

Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.

Pemilu 1971

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1971 Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 3 Juli 1971. Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 9 Partai politik dan 1 organisasi masyarakat. Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia. Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya dua partai politik (yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya.

Pemilu 1977-1997
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1977, Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1982, Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1987, Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1992, dan Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1997 Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. PemiluPemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan "Pemilu Orde Baru". Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.

Pemilu 1999
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1999 Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik. Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional. Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara sekitar 35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.

Pemilu 2004
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2004 Pada Pemilu 2004, selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggota DPD, suatu lembaga perwakilan baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah.

Pemilu 2009
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2009

Pemilihan umum presiden dan wakil presiden


Pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) pertama kali diadakan dalam Pemilu 2004.

Pemilu 2004
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2004 Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres 2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla. Pergantian kekuasaan berlangsung mulus dan merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa huru-hara. Satu-satunya cacat pada pergantian kekuasaan ini adalah tidak hadirnya Megawati pada upacara pelantikan Yudhoyono sebagai presiden.

Pemilu 2009
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2009 Pilpres 2009 diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.

Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) menjadi bagian dari rezim pemilu sejak 2007. Pilkada pertama di Indonesia adalah Pilkada Kabupaten Kutai Kartanegara pada 1 Juni 2005.

Anda mungkin juga menyukai