Anda di halaman 1dari 82

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah Sejak Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2005 tentang Pemerintah Daerah diberlakukan penyelenggaraan pemerintahan daerah mengalami pergeseran dan perubahan yang mendasar. Kepala Daerah baik gubernur dan wakilnya di wilayah propinsi maupun Bupati/Wali Kota dan wakilnya ditingkat kabupaten/kota yang sebelumnya dipilih oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) masing-masing wilayah dirubah dengan cara dipilih secara langsung oleh rakyat di masing-masing daerahnya melalui proses pilkada sejak efektif berlakunya ketentuan tentang Pilihan Kepala Daerah (Pilkada) tanggal 1 Juni 2006. Rakyat yang sebelumnya hanya menjadi pemerhati dalam menentukan kepala daerah mereka, berubah menjadi subjek pelaku dan penentu. Perubahan dalam sistim pemilihan tersebut tentu memberikan pengaruh besar baik ditingkat elit politik, khususnya elit partai di DPRD maupun bagi para pemilih sendiri yaitu rakyat. Bagi elit partai, persoalan mendasar terutama berkaitan dengan hilangnya kewenangan anggota DPRD dalam menentukan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah yang semula merupakan ajang pertarungan di antara elit partai dalam menentukan pilihan yang sering kali dengan relatif mudah diselesaikan melalui lobi-lobi politik berubah menjadi pertarungan untuk merebut hati ribuan bahkan jutaan rakyat agar bersedia menentukan pilihan pada tokoh yang diajukan oleh elit partai tersebut. Dalam sudut pandang kehidupan bermasyarakat, pilkada secara langsung membawa dampak dua sisi, positif dan negatif. Positif, karena yang paling

mengetahui tentang apa yang dianggap baik sesuai dengan aspirasi dan kepentingannya antara lain bisa dilakukan dengan cara memilih partai politik yang mengangkat isu sesuai dengan preferensinya, memilih kandidat yang

memperjuangkan program sesuai dengan prioritasnya, melalui kebijakan yang dilahirkan serta dilaksanakan oleh pemimpin yang dipilihnya itu.

(Marijan, 2006 : 4). Di sisi lain, terutama dalam masa proses transisi dan konsolidasi pelaksanaan pilkada seperti sekarang ini sering kali membawa dampak negatif. Pilkada secara langsung dapat menimbulkan konflik politik diantara kelompok masyarakat pemilih. Konflik yang terjadi kemudian berkembang menjadi pertentangan yang berlarut-larut karena pihak yang dinyatakan kalah oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) tidak mau menerima kekalahannya, berhadapan dengan pihak yang dinyatakan menang yang tentu tidak bersedia melepas kemenangan yang telah diperolehnya itu. Menurut Paul Con, konflik yang terjadi dalam proses politik bisa muncul dalam bentuk perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan tajam bahkan pertentangan yang bersifat fisik diantara pihak yang mengupayakan nilai-nilai dengan mereka yang berupaya keras mempertahankan apa yang selama ini telah mereka dapatkan. (Surbakti, 1992 : 8). Walaupun sesungguhnya tidak semua konflik yang terjadi dalam masyarakat itu berlatar belakang politik, tetapi apabila konflik tersebut kemudian berkaitan dengan para pelaku politik maka konflik yang semula tidak berdimensi politik tersebut akan berkembang menjadi konflik politik. (Surbakti, 1992 : 8).

Konflik politik dalam pilkada secara langsung seperti terurai di atas yang paling mengemuka adalah konflik dalam Pilkada di Jawa Timur untuk memilih gubernur dan wakil gubernur periode 2009 2014. Pilkada Jawa Timur dimulai dengan pelaksanaan pilkada putaran pertama pada hari Rabu tanggal 23 Juli 2008. Tiga partai yang pada pemilu 2004 yang merupakan partai besar di Jawa Timur karena memperoleh suara dan memperoleh kursi DPRD lebih banyak

dibandingkan dengan partai-partai lainnya pada Pemilu 2004, secara sendirisendiri mengusung calon gubernur dan wakil gubernur. Dengan kata lain tidak terjadi koalisi antara partai besar dalam pilkada di Jawa Timur. Partai-partai yang dimaksud di atas adalah Partai Golkar yang

mencalonkan pasangan Soenaryo-Ali Machsan Moesa, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan pasangan calon Soetjipto-Ridwan Hisjam dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mengusung pasangan calon Achmady-Soehartono. Sementara itu partai-partai lainnya melakukan koalisi. Partai Demokrat bersama dengan Partai Amanat Nasional (PAN) bersama-sama mengajukan pasangan calon Soekarwo-Syaifulah Yusuf yang kemudian memperoleh dukungan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono yang kemudian diketahui maju ke putaran kedua justru diusung oleh sejumlah partai kecil berkoalisi dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan salah satu partai cukup kuat di Jawa Timur. Ketetapan 5 (lima) pasangan calon tersebut dituangkan dalam Surat Keputusan (SK) Komisi Pemilihan Umum (KPU) No. 821.1/70/KPU-Jtm/VI/2008. Penetapan calon gubernur dan wakil gubernur tersebut telah sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 32 ahun 2004 dan UU No. 18 Tahun 2008 yang

menyatakan bahwa peserta pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Indonesia No.32 Tahun 2004, Pasal 59 ayat (1)). Sebagaimana diketahui, Jawa Timur merupakan lumbung Nahdatul Ulama (NU). Hal ini dipahami betul oleh elilt partai politik. Kader-kader memiliki nama besar baik di tingkat nasional maupun di wilayah Jawa Timur menjadi incaran partai politik untuk didukung menjadi calon gubernur atau wakil gubernur. Walaupun demikian, akhirnya hanya ada empat kader NU yang tersebar di empat pasangan calon, dua calon gubernur dan dua calon wakil gubernur. Calon-calon dari kader NU tersebut adalah Khofifah Indar Parawansa dan Achmadi masingmasing sebagai calon gubernur serta Ali Machsan Moesa dan Syaifulah Yusuf yang dicalonkan sebagai wakil gubernur pada pasangan yang berbeda. Kecuali PDIP, semua partai politik mencalonkan kader NU untuk salah satu calon dari pasangan yang dcalonkannya. Kader-kader NU yang tersebar pada pasangan yang berbeda-beda itulah dapat dikatakan sebagai awal penyebab konflik politik pada Pilkada Jawa Timur. Konflik ditandai dengan adanya persaingan pengaruh diantara elit NU. Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang pada waktu lalu dianggap sebagai tokoh yang paling kharismatik di NU memberikan dukungan pada Achmady, sedangkan saudaranya Salahudin Wahid mendukung Ali Maschan, Lili Wahid cenderung untuk menyokong Khofifah, KH Abdullah Schaal mendukung pasangan Karsa khususnya Syaifulah Yusuf sedangkan KH Fuad Amin Imron medukung Achmady. Pesantren terbesar di Kabupaten Pasuruan, Pondok Pensantren (UU

Sidogiri yang terkenal sangat kental ke-NU-annya terbelah dua. Sebagian mendukung Karsa dan sebagian lagi mendukung pasangan Salam.

(http://www.cahayasura.com, 25 Juli 2008). Persaingan pengaruh antar elit dalam tubuh NU itu telah mengakibatkan suara warga NU menjadi terpecah. Akibatnya, tidak ada satupun pasangan calon yang memperoleh suara yang cukup untuk menjadi pemenang pada Pilkada

Putaran Pertama. Walaupun para elit NU terpecah tetapi dalam proses pilkada putaran pertama, dapat dikatakan tidak terjadi konflik berarti yang dapat mempengaruhi proses dan hasil pilkada. Rekapitulasi perolehan suara berjalan lancar dan cepat. Seluruh saksi dari pasangan calon menerima hasil perhitungan suara KPU. Tidak ada protes dari para saksi yang dapat menganggu jalannya perhitungan suara. Mereka hanya memberikan beberapa catatan yang terkait dengan pelaksanaan pilkada seperti masalah perbedaan terminologi kampanye antara KPU dengan Panwaslu, temuan adanya saksi fiktif, tindakan panwas yang berlebihan dan sebagainya. Minimnya protes tersebut disebabkan data perolehan suara yang dibawa oleh masing-masing saksi calon sesuai atau tidak berbeda banyak dari hasil perhitungan suara KPU. (http://Kompas.co.id, 2 Agustus 2008). Konflik politik mulai menajam mewarnai pilkada sejak persiapan pilkada putaran kedua. Sebagai gambaran tajamnya konflik yang terjadi, dapat dilihat dari jumlah petugas keamanan yang dipersiapkan untuk mengamankan

pelaksanaannya. Ribuan polisi diterjunkan untuk mengamankan setiap TPS dengan minimal satu orang petugas. Di sana-sini terjadi penahanan orang oleh

petugas kepolisian karena dianggap melanggar ketertiban umum atau ketentuan kampanye. Suhu konflik semakin memanas setelah diketahui bahwa perolehan suara yang diraih oleh kedua pasangan hanya berbeda sangat tipis. Selisih perolehan suara yang sangat tipis tersebut memicu konflik politik yang semakin tajam. Dapat dipahami apabila kemudian pasangan Kaji merasa masih memiliki peluang untuk mengambilalih kemenangan melalui upaya yang masih dimungkinkan oleh ketentuan UU No. 32 tahun 2004. Menurut Karl W.Deutsch, politik adalah seni kemungkinan (the art of possible). Selama kemungkinan untuk mencapai tujuan itu masih ada, maka upaya untuk memperoleh kemenangan terus dilakukan. (Surbakti, 2006 : 10). Pasangan Kaji menolak untuk menandatangani berita acara rekapitulasi hasil pemungutan suara dengan alasan bahwa pihak mereka merasa dicurangi dan memiliki bukti-bukti untuk itu. Undang-undang mengatur bahwa keberatan yang boleh diajukan hanya permasalahan yang berkaitan dengan hasil perhitungan suara yang dapat mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Keberatan harus diajukan selambat- lambatnya 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pilkada. (UU No.32 Tahun 2004, Pasal 106 ayat (1) dan(2)). Atas dasar itu, pihak Kaji mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan dikirimkan hari Rabu tanggal 12 Nopember 2009 atau satu hari setelah penetapan hasil pilkada. Permohonan mereka adalah meminta agar dilakukan pilkada ulang, khususnya untuk wilayah Madura.

Menjelang pilkada ulang, para pakar

memberikan perhatian dan

mengingatkan banyak pihak tentang kemungkinan terulangnya peristiwa masa lalu. Sebagian dari pakar itu melihatnya dari sudut pandang perilaku politik masyarakat sampang. Menurut Prof Dr Solichin Wahab, pakar kebijakan publik Universitas Brawijaya Malang, warga Madura umumnya tak mudah diikat dan bersifat egaliter. Karena itu, ada sedikit saja kekuatan baik negara maupun non negara yang dianggap merusak kebebasan mereka, pasti dilawan. Menurutnya, posisi Sampang yang berada di tengah-tengah pulau Madura lebih

memperlihatkan karakter keras dibanding dengan komunitas Madura di Sumenep dan Pamekasan walaupun mereka tidak berada dalam kategori ekstriminitas dibanding dengan komunitas lainnya di Madura. Indikator adanya kekhawatiran yang tinggi terhadap kemungkinan

terjadinya kerusuhan dapat dilihat dari ketatnya penjagaan keamanan. Pada hari pelaksanaan pilkada ulang itu penjagaan keamanan sangat ketat. Pengamanan ditangani langsung oleh Polda Jawa Timur dibantu oleh gabungan beberapa Polres di Jawa Timur. Setiap TPS dijaga oleh 4 (empat) orang petugas keamanan. (http://www.surabayapagi.com 12 Desember 2008). Lebih dari dua ribu personel yang berstatus Bawah Kendali Operasi (BKO) dikerahkan untuk itu dan masih ditambah dengan personal Brimob dan anggota kepolisian Polwil Madura.

(http://www.tebuireng.net, 22 Januari 2009). Karena Sampang dikenal sebagai daerah yang sangat rentan konflik sehingga seluruh kekuatan pasukan selalu disiagakan selama dua puluh empat jam. Aparat bersenjata lengkap diturunkan ke

titik-titik rawan seperti KPUD Sampang dan dibeberapa daerah yang rawan konflik.(http://www.surabayapagi.com 12 Desember 2008). Beberapa hari menjelang pelaksanaan pilkada ulang, di Sampang terjadi demonstrasi yang diikuti oleh ribuan warga Kabupaten Sampang yang tergabung dalam Gerakan Madura Bersatu (GMB) turun ke jalan. Warga yang datang dari berbagai kecamatan itu, menghujat MK yang dianggap telah menghina warga sampang dengan menuding telah terjadinya pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif saat pilkada putaran kedua Mereka mengajukan beberapa tuntutan antara lain menolak pilkada ulang dan menuntut dibubarkannya MK. Menurut mereka MK adalah propokator karena tidak ada kecurangan di Sampang Namun gejolak masa itu bisa diredam setelah Ketua KPUD Sampang menyatakan akan menolak pilkada ulang (http://www.surabayapagi, 12 Desember 2008). Dalam suatu konflik politik banyak faktor yang menjadi penyebab timbulnya konflik tersebut. Akan tetapi selalu adan faktor yang dominan sebagai penyebab terjadinya peristiwa konflik politik dalam suatu proses demokrasi. Dalam Pilkada Jawa Timur 2008-2009 terdapat indikasi adanya dua penyebab utama terjadinya konflik baik konflik antar elit politik maupun konflik horisontal dalam bentuk protes, demontrasi dan kritikan-kritikan tajam terhadap pemerintah daerah Jawa Timur. Indikator dua penyebab terjadinya konflik yang dimaksud adalah terpecahnya dukungan kalangan elit NU Jawa Timur yang kemudian melebar sampai ke tingkat pusat. Tidak kurang dari Ketua Umum NU, Hasyim Mujadi melemparkan kritik-kritik tajam terhadap adanya indikasi kecurangan yang

dilakukan oleh KPU Jatim yang diduga banyak kalangan secara tidak langsung telah mendukung pasangan Karsa. Kritikan-kritikan tersebut tidak lepas dari dukungan dan keberpihakan ketua umum NU yang secara terang-terangan mendukung pasangan Kaji. Kedua, faktor penyebab yang paling mengemuka adalah kekisruhan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang disinyalir adanya unsur kecurangan yang sistemik dan didukung oleh sejumlah bukti, misalnya adanya manipulasi nomor induk kependudukan sehingga secara kasat mata dapat dilihat sebagai niat tidak baik untuk melakukan pengelembungan suara. Kasus yang paling menyolok, adalah terjadinya konflik di tubuh Polri dengan mundurnya pejabat tinggi Polda Jawa Timr dengan alasan kecewa atas keputusan Kapolda yang merubah status tersangka bagi Ketua KPUD Jawa Timur menjadi status saksi.

1.2 Rumusan Permasalahan Dari uraian pada latar belakang masalah diatas, maka penulis mengajukan rumusan permasalahan yaitu: Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya konflik dalam Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur tahun 2008 - 2009? Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka dalam penulisan skripsi ini penulis memilih judul Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Konflik dalam Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur Tahun 2008 2009 (Studi Kasus Konflik Politik Antara Pasangan Kaji dan Karsa).

10

1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penulisan ini adalah : 1. Mengetahui konflik politik yang terjadi dalam pilkada Jawa Timur periode tahun 2008 2009. 2. Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya konflik dalam proses pilkada Jawa Timur tahun 2008 2009. 1.4 Kegunaan Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat memberikan manfaat yaitu: 1. Bagi penulis dapat menambah pengetahuan tentang penggunaan teori ilmu politik, sosial dan penelitian sosial yang terkait dengan Timur. 2. Bagi Komisi Pemililhan Umum (KPU) khususnya KPU Jawa Timur serta elit partai politik dapat merupakan tambahan informasi tentang faktor-faktor penyebab terjadinya konflik politik dalam proses pilkada Jawa Timur 2008 2009 . pilkada di Jawa

1.5 Sistematika Penulisan Penulisan ini terdiri dari 5 bab, yaitu : BAB I : Pendahuluan Dalam bab ini berisi tentang Latar Belakang Masalah. Tujuan Penulisan, Kegunaan Penulisan dan Sistematika Penulisan.

11

BAB II : Kerangka Teori Bab ini menguraikan tentang teori dan konsep yang digunakan sebagai dasar atau landasan untuk membantu menjawab permasalahan yang ada dalam penelitian. Mencakup tinjauan pustaka yang berisi teori dan konsep yang digunakan, kemudian teori tersebut akan diturunkan dalam bentuk operasionalisasi konsep serta hipotesa sehingga dapat menjadi landasaan bagi analisis terhadap faktor-faktor penyebab tejadinya konflik dalam pilkada Jawa Timur 2008 2009. BAB III : Metode Penelitian Bab ini menjelaskan tentang metode penelitian yang digunakan yang meliputi desain penelitian, bahan penelitian, unit analisis, metode

pengumpulan data yaitu menjelaskan metode yang dipakai dalam pengumpulan data dan metode analisis data yang digunakan dalam menjelaskan pokok permasalahan dan membuktikan hipotesa. BAB IV : Hasil Penelitian Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian yang terdiri dari deskripsi data tentang peta politik di Jawa Timur dan Pelaksanaan Pilkada Jawa Timur 2008 2009 serta fakor-faktor penyebab terjadinya konflik, berikut analisis beserta pembahasannya.. BAB V : Penutup Dalam bab ini berisi kesimpulan dari seluruh pembahasan dalam babbab sebelumnya serta saran-saran dari penulis.

12

BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu Faktor Penyebab Terjadinya

Konflik Politik dalam Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur Tahun 2008 2009 sebagai suatu analisis terhadapa konflik antara Pasangan Kaji dan Karsa telah dirumuskan yaitu tentang bagaimana terjadinya konflik politik antara pasangan Soekarwo-Syaifulah Yusuf (Karsa) dengan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji) dalam proses Pilkada Jawa Timur tahun 2008 2009. Untuk dapat menjawab pokok permasalahan tersebut maka telah ditentukan beberapa teori dan konsep yang dapat memberikan landasan bagi analisis yang akan dilakukan terhadap penelitian skripsi ini. Teori yang dipergunakan adalah sebagai berikut: 1. Elit 2. Konflik 3. Demokrasi

2.1.1 Elit Kata elit berasal dari eligere yang artinya memilih. (Rauf, 1999 : 12). Seorang elit berada pada posisi dalam masyarakat di puncak stuktur sosial terpenting, yaitu posisi yang tinggi dalam ekonomi, pemerintahan, aparat militer, politik, pendidikan dan pekerjaan-pekerjaan. Elit merupakan orang terpilih karena memiliki kemampuan yang lebih dibanding kebanyakan orang.

12

13

Aristoteles menyatakan bahwa suatu elit kelompok muncul untuk melanjutkan atau memikul urusan-urusan Negara, karena kelompok elit itu adalah lebih permanen pada susunan kelembagaan tertentu, golongan elit spesialis yang terampil sekaligus juga adalah orang baik dan harus bertanggung jawab atas kesejahteraan moral dan material masyarakat. (Keller : 7). Pareto merumuskan tentang elit sebagai berikut: Setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas-kualitas lebih yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasaan sosial dan politik yang penuh, mereka yang bisa menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu merupakan yang terbaik. Merekalah yang dikenal sebagai elit. Elit merupakan orang-orang yang berhasil dan mampu menduduki jabatan tinggi di dalam lapisan masyarakat(Pareto, 1990 : 202). Dari pendapat para ilmuwan di atas dapat memporoleh pemahaman

bahwa elit adalah setiap orang yang menduduki suatu puncak kekuasaan atau strata dalam masyarakat. Elit memiliki kriteria terbaik dalam masyarakat sehingga memiliki peluang untuk memimpin atau mempengaruhi orang lain. Kekuasaan atau pengaruh tersebut diperoleh karena orang tersebut memiliki kelebihan atau kemampuan yang dianggap lebih pada lapisan masyarakat pada umumnya. Nurhasim membagi elit ke dalam dua kategori yaitu elit politik dan elit non-politik. Elit politik merupakan seseorang yang menduduki jabatan-jabatan politik (kekuasaan) di ekskutif dan legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum dan dipilih dalam proses politik yang demokratis. Elit poliltik lokal menduduki jabatan politik tinggi di tingkat lokal yang membuat dan menjalankan kebijakan politik. (http://www.balitbangjatim.com, 15 Mei 2008). Gubernur, bupati, walikota, Ketua DPRD, anggota DPRD, dan pemimpin-pemimpin partai politik merupakan bagian dari elit politik lokal. Elit non-politik adalah seseorang yang

14

menduduki jabatan-jabatan strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam lingkup masyarakat. Elit non-politik ini seperti: elit keagamaan, elit organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, profesi dan komunitas lain yang memperoleh penghargaan dari masyarakat. Elit non politik merupakan golongan elit strategis dikarenakan seseorang tersebut mempunyai pengaruh yang berarti dalam masyarakat seperti yang ikut memegang kekuasaan. ( Alfian, 1985 : 137). Dalam proses perkembangan politik peranan elit strategis ini biasanya sangat menentukan, antara lain karena pola sikap dan tingkah laku politik mereka tidak selalu sama dengan suasana lingkungan masyarakatnya serta memiliki daya tarik tersendiri. Ketika seorang elit strategis peduli terhadap salah satu kandidat calon kepala daerah, maka hal ini dapat mempengaruhi masyarakat yang ada sekitar untuk mengikutinya. Elit dapat juga lahir dari kepemimpinan yang berakar pada struktur sosial. Dalam masyarakat tradisional, kepemimipinan berakar pada struktur sosial yang tersusun berdasarkan kelahiran dan status. Ini lazim disebut sebagai elit politik bercirikan kharisma yang diterima menurut garis keturunan tertentu dan bersifat tertutup dalam arti bahwa sedikit peluang untuk diambil alih orang lain. Kaisar, ratu, raja, pangeran, bangsawan atau kepala suku merupakan kalangan elit yang dilahirkan berdasarkan garis keturunan. Di Indonesia meskipun telah memasuki alam demokrasi dimana para pemimpin politik harus memperoleh legitimasi dari rakyat tetapi masih banyak elit kharismatik yang ditermima masyarakat karena keturunan. Keturunan ploklamator dan pejuang kemerdakaan, keturunan Sultan,

15

keturunan kiai besar dan lain-lain banyak yang masih memiliki kharisma dalam politik. Menurut Mosca, karakteristik yang membedakan elit dengan non elit adalah kecakapan untuk memimpin dan menjalankan kontrol politik, sekali kelas yang memerintah tersebut kehilangan kecakapannya dan kehilangan kriteria yang diterima masyarakat, maka terdapat segala kemungkinan bahwa kelas yang berkuasa akan dijatuhkan dan digantikan oleh kelas penguasa yang baru. Mosca juga percaya pada suatu jenis hukum atau dampak terhadap elit yang berkuasa tetapi tidak lagi mampu memberikan layanan-layanan yang diperlukan oleh atau masyarakat atau layanan yang diberikan dianggap tidak bernilai, maka perubahan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. (Mosca, 1999 : 205). Pareto (1848-1923) percaya bahwa elit merupakan orang-orang yang berhasil, mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto juga percaya bahwa elit yang ada berasal dari orang kaya dan juga pandai, yang juga mempunyai kelebihan. Karena itu menurut Pareto, masyarakat terdiri dari dua kelas yaitu: 1. Lapisan atas, yaitu elit yang terbagi kedalam elit yang memerintah (Gouverning Elit) dan elit yang tidak memerintah (No Gouverning Elit). 2. Lapisan yang paling rendah adalah non elit. Pareto sendiri lebih memusatkan perhatiannya pada elit yang memerintah, yang menurut dia berkuasa bisa menggabungkan kekuasaan dan kelicikan yang dilihat sebagai hal yang sangat penting. (Pareto, 1990 : 199-200)

16

Keberadaan lapisan tersebut menurut Mosca dilandasi oleh asumsi bagi distribusi kekuasaan dalam masyarakat bahwa dalam setiap masyarakat tidak pernah terdapat distribusi kekuasaan secara merata. Mereka yang memiliki sumber kekuasaan politik sedikit sekali, apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk dalam masyarakat-negara. Asumsi kedua, jumlah orang yang memerintah suatu masyarakat selalu lebih sedikit daripada yang diperintah. Itu sebabnya, mengapa elit politik dirumuskan sebagai sekelompok kecil orang yang mempunyai pengaruh besar dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Asumsi ketiga, diantara elit politik terdapat kesamaan nilai dan berusaha mempertahankan nilai-nilai, yang berarti mempertahankan status sebagai elit politik. Menurut Berger dalam setiap kelompok masyarakat memiliki tokoh-tokoh penting yang berpengaruh dan memiliki kekuasaan dalam mengarahkan tindakan individu-individu, mereka adalah para elit kekuasaan yang sering membangun opini publik dalam proses perjuangan kepentingan mereka. (Ebers, 1988). Dalam kaitannya dengan pilkada di Jawa Timur tahun 2008-2009 para calon gubernur dan wakil gubernur yang bersaing dalam pilkada tersebut adalah para elit yang muncul dalam berbagai kelompok masyarakat yaitu pejabat pemerintah, elit partai, elit pemuda, elit keagamaan khususnya NU, anggota DPR, anggota DPRD, elit pengusaha dan militer. Mereka memiliki kekuasaan dan kemampuan yang lebih dari masyarakat pada umumnya di Jawa Timur serta memiliki pengaruh dalam komunitas masing-masing baik secara langsung maupun melalui elit lain yang mendukungnya.

17

Para calon dari kader NU misalnya, didukung oleh sejumlah elit NU (para kiyai) yang masing-masing dari mereka memiliki pengaruh besar terhadap kelompok-kelompok warga NU. Soekarwo salah satu calon gubernur yang memenangkan pilkada adalah pejabat Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur dan ketika itu masih aktif sebagai Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur sehingga memiliki pengaruh terhadap sejumlah para pejabat di pemerintah daerah Kabupaten/Kota yang juga memiliki pengaruh kalangan elit lokal di wilayahnya masing-masing seperti tokoh masyarakat, kepemudaan dan kelompok lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Berger bahwa dalam setiap kelompok masyarakat memiliki tokoh-tokoh penting yang berpengaruh dan memiliki kekuasaan dalam mengarahkan tindakan individu-individu, mereka adalah para elit kekuasaan yang sering membangun opini publik dalam proses perjuangan kepentingan mereka.

2.1.2 Konflik . Menurut Paul Con, konflik yang terjadi dalam proses politik bisa muncul dalam bentuk perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan tajam bahkan pertentangan yang bersifat fisik diantara pihak yang mengupayakan nilai-nilai dengan mereka yang berupaya keras mempertahankan apa yang selama ini telah mereka dapatkan. (Surbakti, 2006 : 8).

Konflik dapat dipahami dari berbagai dimensi untuk melihat faktor penyebab, motif dan kepentingan politiknya. Menurut N.S Kartikasari tentang penyebab konflik, yaitu :

18

Pertama, dari segi pengertiannya konflik diartikan sebagai pertentangan yang terbuka antara kekuatan-kekuatan politik yang memperebutkan kekuasaan sehingga dapat dilihat oleh orang luar. Pengertian konflik disini merujuk pada hubungan antar kekuatan politik (kelompok dan individu) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran yang tidak sejalan. Kedua, sasaran-sasaran yang tidak sejalan sesungguhnya menunjukan adanya perbedaan kepentingan, karena itu kepentingan dapat di gunakan sebagai cara untuk melihat perbedaan motif diantara kelompok yang saling bertentangan, baik dalam kelompok yang kecil maupun kelompok yang besar. Perbedaan kepentingan setidaknya akan menunjukan motif mereka yang berkonflik. (Kartikasari, 2000). Motivasi seseorang untuk berebut kekuasaan, selain dia ingin berkuasa, mereka juga menginginkan uang, jaringan, dan investasi yang strategis. Bentuk investasi strategis bisa bermacam-macam dari segi kultural, ekonomi, politik, jaringan kekuasaan dan lain sebagainya. Umumnya elit lokal dan non politik lokal menilitik motif untuk menduduki jabatan strategis politik di pemerintahan maupun di lingkungan daerah itu sendiri. Hal ini dikarenakan keuntungan keuntungan seperti itu, karena kekuasaan sifatnya terbatas dan menjadi rebutan di setiap kelompok, sehingga konflik akan terjadi. Ketika elite kekuasaan menyatakan kepentingannya, orang merasa itu juga sebagai kepentingannya sendiri. Posisi dominan kelompok elite di dalam masyarakat melakukan komunikasi politik, dan kemudian terbentuklah suatu pola hubungan memberi dan menerima, artinya bagaimana elite masyarakat menggunakan kekuasaannya kepada kelompok politik. Wacana yang dibangun elite tertanam dalam setiap orang yang terhegemoni dengan mengikutinya, membenarkannya, dan terlibat dalam perdebatan wacana dengan orang-orang lain yang berbeda. Kepentingan para elite dalam wacana itu, yang telah dibenarkan masayarakat grass root, menjadi selaras dengan kepentingan masyarakar tanpa

19

harus menyadari bahwa di balik itu semua telah terjadi penindasan terhadap kepentingan mereka yang sebenarnya. (Suryadi, 1993 : 72). Wacana para elite merupakan suatu pesan politik yang dikemas dengan teknik pemasaran yang sebaiknya dibaca sebagai perembesan nilai komersial kedalam politik dan perembesan itu, tanpa disadari oleh semua pelaku politik, tiba-tiba sebuah budaya baru muncul, atau lebih tepatnya kerangka besar kolonialisme budaya itu menjadi nyata, dan amat bersifat politis. (Subangun, 1999 : 46). Kelompok-kelompok politik dan para elit itu menciptakan kerangka besar kolonialisme budaya yang pada dasarnya berusaha mengontrol kehidupan sosial politik masyarakat dan dengan begitu masyarakat kapanpun bisa menjadi prajurit yang mendukung kepentingan mereka tanpa harus membayar dengan apapun terhadap masyarakat. (Susan, 2009 : 81). Wacana yang diproduksi sebagai pemasaran komersial oleh para elite terabsorpsi oleh kesadaran masyarakat. Menciptakan tindakan-tindakan konflik tertentu. Pada gilirannya wacana yang plural dari berbagai elite yang bersaing akan dipraktikkan melalui bahasa yang tidak lepas dari kooptasi, dominasi dan hegemoni. Bahasa bukan semata-mata alat komunikasi atau sebuah nilai yang menunjuk pada realitas monolitik. Bahasa adalah suatu praktik sosial, yang secara sosial, terikat, dikonstruksi dan rekonstruksi dalam kondisi khusus dan social setting tertentu daripada menurut hukum yang diatur secara universal.(Susan, 2009 : 81). Pada dasarnya, teori konflik dihubungkan oleh tiga asumsi umum yaitu, pertama, bahwa setiap orang mempunyai angka dasar kepentingan, mereka ingin

20

dan mencoba mendapatkannya, masyarakat selalu terlibat dalam situasi yang diciptakan oleh keinginan-keinginan dari setiap orang dalam meraih

kepentingannya. Kedua, pusat pada perspektif teori konflik secara keseluruhan, adalah satu pemusatan perhatian pada kekuasaan sebagai inti hubungan sosial. Teori konflik selalu melihat kekuasaan tidak hanya sebagai kelangkaan dan pembagian tak merata, dan oleh sebab itu satu sumber konflik, dan juga sebagai paksaan penting. Ketiga, aspek khusus teori konflik adalah bahwa nilai dan ideide dilihat sebagai instrumen yang digunakan oleh kelompok-kelompok sosial dalam mempermudah pencapaian satu identitas masyarakat keseluruhan dan tujuannya. (Susan, 2009 : 103-104). Dalam kaitannya dengan konflik pada proses pilkada di Indonesia, menurut Kacung Marijan berdasarkan pengamatannya terhadap pelaksanaan di Indonesia setelah diberlakukannya pemillihan secara langsung, paling tidak ada tiga tahapan yang potensial menyulut terjadinya konflik, yaitu sebagai berikut: (Marijan, 2006 : 75-76). 1. Tahap pencalonan Termasuk didalam tahap ini adalah proses penyaringan di internal partai atau gabungan dari partai-partai, pengajuan calon ke KPUD, dan penetapan calon oleh KPUD. Proses ini memiliki potensi kuat bagi lahirnya kekerasan karena berkaitan dengan ruang awal untuk menjadi pasangan calon. Masing-masing orang yang bermaksud mencalonkan diri tentu saja akan berusaha serius memperjuangkan diri sampai KPUD menetapkannya sebagai pasangan calon di dalam Pilkada. Pola konflik di dalam tahap ini memang

21

berbeda-beda. Didalam proses penyaringan, konflik yang lebih mengemuka biasanya lebih antara konstituen dengan para pengurus partai, atau antara kelompok konstituen yang satu dengan yang lain. Konflik, dalam tahapan demikian, masih terlokalisasi. Massa yang terlibat biasanya terdiri dari pendukung partai tertentu. Lokasi konfliknya juga demikian, masih terlokalisasi. Massa yang terlibat biasanya terdiri dari pendukung partai tertentu. Lokasi konflik juga demikian, diseputar kantor partai-partai tersebut. Tetapi, ketika KPUD sudah memutuskan pasangan calon yang berhak mengikuti Pilkada, konflik terjadi antara KPUD dengan massa pendukung calon yang tidak jadi. Massa yang tidak puas itu ramai-ramai mendatangi kantor KPUD, sebagai wujud protes. Tidak hanya itu, di sejumlah daerah, aksi demikian diiringi dengan aksi kekerasan sampai pembakaran kantor-kantor KPUD. 2. Tahap kampanye Proses ini memiliki potensi bagi lahirnya konflik yang lebih mengemuka karena melibatkan mobilisasi massa yang besar antara pendukung pasangan satu dengan pasangan yang besar antara pendukung pasangan satu dengan pasangan yang lain. Hanya saja, mengingat masing-masing KPUD berusaha mengatur mekanisme kampanye yang sehat, mengemukanya konflik dimusim kampanye sebenarnya bisa dihiondari. Konflik akan mengemuka

22

manakala terjadi kampanye negatif dan pelanggaran-pelanggaran lain, seperti adanya dugaan money politics yang dilakukan pasangan calon tertentu. 3. Tahap perhitungan suara dan penetapan pemenang. Proses ini merupakan tahap yang paling menentukan siapa yang secara resmi bisa dilantik sebagai kepala daerah. Proses ini bisa berpotensi sebagai sumber munculnya konflik, khususnya apabila berkaitan dengan dua hal. Pertama, terjadi kecurigaan adanya kecurangan yang dilakukan oleh pasangan calon tertentu. Kedua, ketika perbedaan perolehan suara antara pasangan calon yang satu dengan pasangan calon yang lain tidak terpaut jauh. Di sejumlah daerah khususnya diluar Jawa yang kondisi geografisnya sulit dijangkau dan terbelakang, kasusnya lebih rumit lagi. Pelaksanaan Pilkada, sebagaimana dalam Pemilu-pemilu yang lain, tidak semuanya dilakukan oleh individu-individu pemilih, melainkan secara kolektif dilakukan oleh kepala adat, bahkan oleh petugas KPPS.

2.1.3

Demokrasi Demokrasi muncul bersamaan dengan sistem kapitalis dan secara kausal

berhubungan dengan sistem ekonomi kapitalis dan secara kausal berhubungan dengan hal itu dan oleh karenanya dimengerti dalam konteks tersebut. Peran rakyat dalam suatu masyarakat demokratis adalah tidak untuk memerintah atau bahkan untuk menjalankan keputusan umum atas kebanyakan masalah politik. Peranan pemilihan umum dalam sistem demokrasi adalah untuk menghasilkan

23

suatu pemerintah atau suatu badan penengah lainnya yang pada gilirannya menghasilkan suatu eksekutif nasional atau pemerintah. (Varma, 1999 : 211). Schumpeter menyampaikan rumusan: metode demokratis merupakan suatu tatanan kelembagaan untuk sampai pada pada keputusan-keputusan politik di mana individu-individu mendapatkan kekuasaan untuk memutuskan dengan alatalat perjuangan kompetitif bagi suara rakyat. (Varma, 1999 : 212). Untuk sampai pada rumusan itu, Schumpeter berpendapat bahwa demokrasi secara sederhana adalah suatu mekanisme untuk pemilihan dan memberi kekuasaan pada pemerintah, -bukan suatu jenis masyarakat dan bukan juga seperangkat tujuan moral- suatu mekanisme yang mengandung suatu kompetisi antara satu atau lebih kelompok para politisi yang terpilih sendiri, yang terorganisasikan dalam partai politik, bagi suara yang akan mencerahkan mereka untuk memerintah sampai pemilihan berikutnya. (Varma, 1999 : 211). Dalam hububungannya dengan demokrasi di tingkat lokal. Brian C. Smith menyatakan bahwa munculnya perhatian terhadap transisi demokrasi di daerah berangkat dari suatu keyakinan bahwa adanya demokrasi di daerah merupakan prasyarat bagi munculnya demokrasi di tingkat nasional. Pandangan yang bercorak fungsional ini berangkat dari asumsi bahwa ketika terdapat perbaikan kualitas demokrasi di daerah, secara otomatis bisa diartikan sebagai adanya perbaikan kualitas demokrasi di tingkat nasional. Lebih jauh, berdasarkan studistudi yang pernah dilakukan di sejumlah negara di berbagai belahan dunia, Smith mengemukakan empat alasan menguatnya perbincangan demokratisasi di tingkat daerah di kalangan akademisi seperti berikut ini:

24

Pertama, demokrasi pemerintahan di daerah merupakan suatu ajang pendidikan politik yang relevan bagi warga negara di dalam suatu masyarakat yang demokratis (free societies). Kedua, Pemerintah daerah dipandang sebagai pengkontrol bagi perilaku pemerintah pusat yang berlebihan dan memiliki kecenderungan anti demokratis di dalam suatu pemerintahan yang sentralistis. Ketiga, demokrasi di daerah dianggap mampu menyuguhkan kualitas partisipasi yang lebih baik kalau dibandingkan dengan yang terjadi di tigkat nasional. Keempat, legitimasi pemerintah pusat akan mengalami penguatan manakala pemerintah pusat itu melakukan reformasi di tingkat lokal. (Marijan, 2006 : 1011). Demokrasi di tingkat lokal dapat menjadi ajang pendidikan politik karena proximity (jarak) dari pemerintah daerah dengan masyarakat. Pemerintah daerah merupakan bagian dari pemerintah yang langsung berinteraksi dengan masyarakat ketika proses demokratisasi itu berlangsung. Pemerintah Daerah dapat menjadi pengontrol pemerintah pusat terutama pada masa transisi dari pemerintahan yang otoriter menuju pemerintahan yang demokratis. Di dalam transisi ini pemerintah daerah memiliki posisi tawar menawar yang lebih tinggi atas kekuasaan dan otoritas dengan pemerintah pusat. Demokrasi tingkat lokal lebih mampu membawa partisipasi yang lebih baik karena komunitas di daerah relatif terbatas dan anggota masyarakatnya lebih tahu di antara satu dengan lainnya dianggap sebagai dasar argumen bahwa partisipasi masyarakat di daerah itu lebih bermakna apabila dibandingkan dengan partisipasi di tingkat nasional. Partisipasi politik di daerah lebih memungkinkan

25

adanya deliberative democracy, yakni adanya komunikasi yang lebih langsung di antara anggota komunitas didaerah berdemokrasi. (Marijan, 2006 : 10-11). Apabila pemerintah pusat mampu melakukan reformasi di tingkat lokal maka akan timbul kepercayaan masyarakat di daerah terhadap pemerintah pusat yang lebih tinggi dan karenanya akan meningkatkan penguatan legitimasi bagi pemerintah pusat.

2.2 Operasionalisasi Konsep Elit politik adalah seseorang yang menduduki jabatan-jabatan politik yang dipilih oleh masyarakat melalui proses politik yang dianggap yang terbaik. Elit non politik adalah seseorang yang menduduki jabatan-jabatan strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam lingkungan masyarakat. Setiap kelompok masyarakat di Jawa Timur memiliki elit politik yang mampu memberikan pengaruh terhadap anggota kelompoknya dalam Pilkada Jawa Timur 2008-2009. Ketika elite kekuasaan menyatakan kepentingannya, orang merasa itu juga sebagai kepentingannya sendiri. Posisi dominan kelompok elite di dalam masyarakat melakukan komunikasi politik, dan kemudian terbentuklah suatu pola hubungan memberi dan menerima, artinya bagaimana elite masyarakat menggunakan kekuasaannya kepada kelompok politik. Wacana yang dibangun elite tertanam dalam anggota kelompok masyarakat di Jawa Timur yang terhegemoni; dengan mengikutinya, membenarkannya, dan terlibat dalam perdebatan wacana dengan orang-orang lain yang berbeda. Kepentingan para elite

26

dalam wacana itu, yang telah dibenarkan masayarakat grass root, menjadi selaras dengan kepentingan masyarakar tanpa harus menyadari bahwa di balik itu semua telah terjadi penindasan terhadap kepentingan mereka yang sebenarnya. Konflik yang terjadi dalam proses politik bisa muncul dalam bentuk perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan tajam bahkan pertentangan yang bersifat fisik diantara pihak yang mengupayakan nilai-nilai dengan mereka yang berupaya keras mempertahankan apa yang selama ini telah mereka dapatkan. Konflik yang terjadi dalam Pilkada Jawa Timur 2008-2009 terjadi pada setiap tahapan proses pilkada, dari mulai tahap pencalonan gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur, tahap kampanye, serta tahap perhitungan suara dan penetapan pemenang. Demokratis merupakan suatu tatanan kelembagaan untuk sampai pada pada keputusan-keputusan politik di mana individu-individu mendapatkan kekuasaan untuk memutuskan dengan alat-alat perjuangan kompetitif bagi suara rakyat. Secara sederhana, proses demokrasi adalah suatu mekanisme untuk

pemilihan dan memberi kekuasaan pada pemerintah, suatu mekanisme yang mengandung suatu kompetisi antara satu atau lebih kelompok para politisi yang terpilih sendiri, yang terorganisasikan dalam partai politik, bagi suara yang akan mencerahkan mereka untuk memerintah sampai pemilihan berikutnya. Pilkada Jawa Timur tahun 2008 2009 merupakan proses demokrasi tingkat lokal melalui pemilihan untuk memberi kekuasaan pada Pemerintah

Daerah Provinsi Jawa Timur dalam bentuk kompetisi diantara lima pasangan

27

calon Gubernur dan Wakil Gubernur

yang diusung oleh partai politik dan

pemenangnya akan memerintah sampai dengan Pilkada Tahun 2014.

2.3 Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran merupakan hubungan antara variabel dalam suatu penelitian. Variabel-variabel diperlukan untuk membantu sistimatika alur pikir dalam menganalisis sehingga dapat menjawab pokok permasalahan yang ditentukan. Berdasarkan pokok permasalahan tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik dalam pilkada Jawa Timur 2008-2009 serta mengacu pada konsep dan teori elit, konflik dan pemilihan umum di atas, penulis menyusun kerangka pemikiran sebagai berikut : Variabel Bebas 1) Persaingan pengaruh di kalangan elit NU. 2) Permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada Jawa Timur 2008- 2009 1) 2.4 Hipotesis Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah, kerangka teori dan Variabel Terikat Konflik antara Pasangan Kaji dan Karsa serta para pendukungnya dalam Pilkada Jawa Timur 2008- 2009

kerangka pemikiran yang telah dikemukakan, penulis membuat hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini sebagai berikut : Terjadinya konflik antara Pasangan Kaji dan Karsa serta para pendukungnya dalam Pilkada Jawa Timur 2008- 2009 disebabkan oleh adanya persaingan pengaruh di kalangan elit NU dan proses pendafaran pemilih hingga menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada Jawa Timur yang tidak lengkap.

28

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian merupakan salah satu bagian penting dari penelitian karena berhasil atau gagalnya penelitian terletak pada pemahaman metode yang digunakan. Metode penelitian merupakan suatu prosedur atau cara yang

dipergunakan dalam penelitian yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis. (Usman, 1998 : 42). Jenis dan desain penelitian serta tehnik pengumpulan dan analisis data yang digunakan dalam menganalisis permasalahan pokok tentang faktor-faktor penyebab terjadinya konflik dalam pilkada Jawa Timur 2008 2009 seperti berikut ini.

3.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Pengunaan metode ini dalam penelitian dimaksudkan tidak untuk menguji suatu hipotesis tertentu akan tetapi hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel gejala atau keadaan. Deskripsi atau description merupakan suatu lukisan kata atau cerminan suatu gejala politik yang khas atau penting. Signifikansi model ini, setidaknya mampu menjawab klasifikasi masalah dalam bentuk studi perbandingan. Penelitian deskriptif adalah metode penelitian yang digunakan untuk

menggambarkan secara tepat (apa adanya) sifat-sifat suatu keadaan atau gejala

28

29

untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala dari adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala lain. (Bakry, 2002 : 17). Pendekatan kualitatif dipergunakan dalam penelitian ini karena yang dicari adalah kualitas dan tidak melakukan perhitungan. Penelitian kualitatif umumnya sulit diberi pembenaran secara sistematik, penelitian ini lebih kepada penyampaian perasaan atau wawasan yang datanya diambil berdasarkan sample. Dapat disimpulkan bahwa penelitian deskriptif dengan menggunakan penelitian kualitatif adalah menggambarkan atau memaparkan keadaan situasi tentang suatu objek dari segi kualitas, bukan dari segi kuantitas atau perhitungan angka. Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang serta perilaku yang dapat diamati. (Moleong, 2002 : 103). Kirk dan Miller mendefinisikan penelitian kualitatif adalah sebagai tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergabung pada pengamatan dalam kawasannya sendiri dan berhubungan orang-orang tersebut. (Moleong, 2002 : 4). Rumusan lain dari Bogdan dan Taylor sebagaimana dikutip oleh Lexy J. Moleong menyatakan bahwa penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang serta perilaku yang dapat diamati. (Moleong, 2002 : 103).

3.2 Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian menunjukan apa atau siapa yang mempunyai karakteristik yang akan diteliti. Dalam penelitian kali ini yang menjadi unit

30

analisisnya konflik antara Pasangan Kaji dan Karsa dalam hubungannnya dengan proses pilkada Jawa Timur tahun 2008 2009.

3.3.Tehnik Pengumpulan Data Data adalah semua keterangan seseorang yang dijadikan responden maupun yang berasal dari dokumen baik dalam bentuk statistik atau dalam bentuk isinya guna keperluan penelitian yang sedang dilakukan. Data yang dikumpulkan terdiri data primer dan data sekunder. Data primer adalah adalah data yang diperoleh langsung dari objek penelitian dalam hal ini adalah KPU Jawa Timur, Pengurus Wilayah Partai Persatuan Pembangunan Jawa Timr dan Pengurus Daerah Partai Demokrat Jawa Timur serta masyarakat Jawa Timur. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber buku-buku, tulisantulisan di media cetak dan elektronik serta berita-berita di televisi. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pengumpulan data dari media massa baik media cetak maupun

elektronik dan sumber-sumber pendukung lainnya yang dianggap dapat memberikan masukan untuk menganalisis permasalahan yang dianalisis. 2. Pengumpulan data melalui in-depth interview atau wawancara dengan key informan (narasumber) sebagai penguat data. Wawancara dilakukan dengan Bapak Arif Budiman SS, S, Bapak Yordan dan Bapak Pirman sebagai narasumber pihak-pihak yang terkait dengan Pilkada Jawa Timur 2008 2009. 3.4.Metode Analisis Data Setelah data dikumpulkan, kegiatan penelitian dilanjutkan dengan pengolahan data (data processing). Pengolahan data mencakup kegiatan

31

menyunting dan mengklasifikasikan data. Menyunting data merupakan kegiatan memeriksa data yang terkumpul, termasuk kelengkapan dan keperluannya untuk penelitian kemudian mengklasifikasikan atau mengelompokkan data guna memfokuskan spesifikasi dalam penelitian. (Faisal, 1999 : 33). Tahap pengolahan data ini kemudian dilanjutkan dengan menganalisis dan menginterpretasikan data. Analisis data merujuk pada kegiatan pengorganisasian data ke dalam susunan-sususnan tertentu dalam rangka interpretasi data untuk menjawab hipotesis penelitian (Faisal, 1999 : 33). Analisis data menurut Patton (1980:268), yang dikutip oleh Lexy J. Moleong adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditentukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan data. (Moleong, 2002 : 106). Melalui analisis data, diharapkan penulis memperoleh jawaban dari

permasalahan pokok karena dapat menemukan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik dalam proses pilkada di Jawa Timur terutama konflik yang terjadi antara pasangan Calon Gubernur/Wakil Gubernur Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (KAJI) dan Soekarwo-Syaifulah Yusuf (KARSA).

32

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.1 Subjek Penelitian Untuk memberikan gambaran tentang subjek yang diteliti sebelum

masuk pada pembahasan permasalahan pokok, berikut ini diuraikan mengenai subjek penelitian yaitu profil Jawa Timur yang terdiri dari wilayah, budaya, ekonomi riwayat politik dan kepemimpinan sejarah singkat politik dan

kepemimpinan wilayah Jawa Timur serta Peserta dan Perolehan Suara Pilkada Jawa Timur 2008-2009.

4.1.1 Profil Jawa Timur 1. Wilayah Jawa Timur adalah sebuah provinsi di bagian timur Pulau Jawa, Indonesia. Ibukotanya adalah Surabaya. Luas wilayahnya 47.922 km, dan jumlah penduduknya 37.070.731 jiwa (2005). Jawa Timur merupakan provinsi terluas diantara 6 provinsi di Pulau Jawa, dan memiliki jumlah penduduk terbanyak kedua di Indonesia setelah Jawa Barat. Jawa Timur berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Selat Bali di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Provinsi Jawa Tengah di barat. Wilayah Jawa Timur juga meliputi Pulau Madura, Pulau Bawean, Pulau Kangean serta sejumlah pulau-pulau kecil di Laut Jawa dan Samudera Hindia (Pulau Sempu dan Nusabarung).

33

2. Budaya Mayoritas penduduk Jawa Timur adalah Suku Jawa, namun demikian, etnisitas di Jawa Timur lebih heterogen. Suku Jawa menyebar hampir di seluruh wilayah Jawa Timur daratan. Suku Madura mendiami di Pulau Madura dan daerah Tapal Kuda (Jawa Timur bagian timur), terutama di daerah pesisir utara dan selatan. Di sejumlah kawasan Tapal Kuda, Suku Madura bahkan merupakan mayoritas. Hampir di seluruh kota di Jawa Timur terdapat minoritas Suku Madura, umumnya mereka bekerja di sektor informal. Selain penduduk asli, Jawa Timur juga merupakan tempat tinggal bagi para pendatang. Orang Tionghoa adalah minoritas yang cukup signifikan dan mayoritas dibeberapa tempat, diikuti dengan Arab; mereka umumnya tinggal di daerah perkotaan. Suku Bali juga tinggal di sejumlah desa di Kabupaten Banyuwangi. Dewasa ini banyak ekspatriat tinggal di Jawa Timur, terutama di Surabaya dan sejumlah kawasan industri lainnya. Bahasa Jawa dituturkan oleh sebagian besar Suku Jawa. Bahasa Jawa yang dituturkan di Jawa Timur memiliki beberapa dialek/logat. Bahasa Madura dituturkan oleh Suku Madura di Madura maupun dimanapun mereka tinggal. Bahasa Madura juga dikenal tingkatan bahasa seperti halnya Bahasa Jawa, yaitu enja-iya (bahasa kasar), engghi-enten (bahasa tengahan), dan engghi-bhunten (bahasa halus). Dialek Sumenep dipandang sebagai dialek yang paling halus, sehingga dijadikan bahasa standar yang diajarkan di sekolah. Di daerah Tapal Kuda, sebagian penduduk menuturkan dalam dua bahasa: Bahasa Jawa dan Bahasa Madura. Kawasan kepulauan di sebelah timur Pulau Madura

34

menggunakan Bahasa Madura dengan dialek tersendiri, bahkan dalam beberapa hal tidak dimengerti oleh penutur Bahasa Madura di Pulau Madura (mutually unintellegible). Suku Osing di Banyuwangi menuturkan Bahasa Osing. Bahasa Tengger, bahasa sehari-hari yang digunakan oleh Suku Tengger, dianggap lebih dekat dengan Bahasa Jawa Kuno. Suku Jawa umumnya menganut agama Islam, sebagian menganut agama Kristen dan Katolik, dan ada pula yang menganut Hindu dan Buddha. Sebagian orang Jawa juga masih memegang teguh kepercayaan Kejawen. Agama Islam sangatlah kuat dalam memberi pengaruh pada Suku Madura. Suku Osing umumnya beragama Islam. Sedangkan Suku Tengger menganut agama Hindu. Orang Tionghoa umumnya menganut Konghucu, meski ada pula sebagian yang menganut Buddha, Kristen, dan Katolik; bahkan Masjid Cheng Ho di Surabaya dikelola oleh orang Tionghoa dan memiliki arsitektur layaknya kelenteng. Kebudayaan dan adat istiadat Suku Jawa di Jawa Timur bagian barat menerima banyak pengaruh dari Jawa Tengahan, sehingga kawasan ini dikenal sebagai Mataraman; menunjukkan bahwa kawasan tersebut dulunya merupakan daerah kekuasaan Kesultanan Mataram. Daerah tersebut meliputi eks-Karesidenan Madiun (Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan), eks-Karesidenan Kediri (Kediri, Tulungagung, Blitar, Trenggalek) dan sebagian Bojonegoro. Seperti halnya di Jawa Tengah, wayang kulit dan ketoprak cukup populer di kawasan ini. Kawasan pesisir barat Jawa Timur banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Kawasan ini mencakup wilayah Tuban, Lamongan, dan Gresik. Dahulu

35

pesisir utara Jawa Timur merupakan daerah masuknya dan pusat perkembangan agama Islam. Lima dari sembilan anggota walisongo dimakamkan di kawasan ini. Di kawasan eks-Karesidenan Surabaya (termasuk Sidoarjo, Mojokerto, dan Jombang) dan Malang, memiliki sedikit pengaruh budaya Mataraman, mengingat kawasan ini cukup jauh dari pusat kebudayaan Jawa: Surakarta dan Yogyakarta.

3. Ekonomi Jawa Timur dikenal sebagai pusat Kawasan Timur Indonesia, dan memiliki signifikansi perekonomian yang cukup tinggi, yakni berkontribusi 14,85% terhadap Produk Domestik Bruto nasional.Kontribusi terbesar ke pertumbuhan ekonomi Jatim berasal dari sektor angkutan dan komunikasi mencapai 12,16 persen. Namun, angka itu lebih rendah daripada pencapaian nasional yang sumbangan sektor angkutan dan komunikasi juga terbesar yakni mencapai 16,7%. Subsektor komunikasi memberi sumbangan terbesar ke sektor angkutan dan komunikasi sebanyak 24,68%, atau lebih rendah dari pencapaian nasional di subsektor yang sama sebesar 30,9%. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jatim selama triwulan I/2009 tetap dipengaruhi komponen konsumsi rumah tangga, yang mencatatkan pertumbuhan sangat tinggi sebesar 9,35%, Kondisi itu karena adanya dorongan konsumsi nonmakanan yang tumbuh 11,82%. Bahkan, konsumsi pemerintah dan konsumsi lembaga swasta nirlaba juga menunjukkan pertumbuhan bagus dengan masing-masing 10,22% dan 19,96%. Jawa Timur memiliki sejumlah industri besar, diantaranya galangan pembuatan kapal terbesar di Indonesia PT PAL di Surabaya, industri kereta api PT

36

INKA di Madiun, pabrik kertas (PT Tjiwi Kimia di Tarik-Sidoarjo, PT Leces di Probolinggo), pabrik rokok (Gudang Garam di Kediri, Sampoerna di Surabaya dan Pasuruan, serta Bentoel di Malang). Di Gresik terdapat Semen Gresik dan Petrokimia. Pemerintah telah menetapkan 12 kawaan industri estate, diantaranya Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) di Surabaya, Pasuruan Industrial Estate Rembang (PIER) di Kabupaten Pasuruan, Ngoro Industrial Park (NIP) di Kabupaten Mojokerto, Kawasan Industri Jabon di Kabupaten Sidoarjo, serta Lamongan Integrated Shorebase (LIS) di Kabupaten Lamongan. Sentra industri kecil tersebar di seluruh kabupaten/kota, dan beberapa diantaranya telah menembus ekspor; Industri kerajinan kulit berupa tas dan sepatu di Tanggulangin, Sidoarjo adalah salah satu industri kecil yang sangat terkenal. Blok Cepu, salah satu penghasil minyak bumi terbesar di Indonesia, ditambang di Bojonegoro. Pembangkit listrik di Jawa Timur dikelola oleh PT PJB, dimana meliputi PLTA (Ir. Sutami, Selorejo, Bening), PLTU, dan PLTGU, yang menyediakan energi listrik ke sistem Jawa-Bali. Beberapa daerah menikmati pembangkit energi mikrohidro dan energi surya.

4.1.2. Sejarah Jawa Timur 1. Sejarah Dapat dikatakan catatan sejarah dimulai dengan terjadinya perebutan kekuasaan. Diawali dengan berkuasa Ken Arok mendirikan Kerajaan Singasari dan

di kerajaan itu sampai tahun 1292. Sebelum berkuasa, Ken Arok

merebut kekuasaan di Tumapel, Kediri, dari Tungul Ametung. Kerajaan Singasari

37

memberi kita peninggalan berupa candi Dieng. Keturunan Dinasti Ken Arok ini kemudian menjadi raja-raja Singasari dan Majapahit di abad ke 13 sampai abad 15.Pada tahun 1227, Anusapati membunuh Ken Arok. Ia kemudian menjadi raja Singasari. Kekuasaan Anusapati hanya berlangsung 20 tahun. Ia dibunuh Tohjaya. Tiga tahun kemudian, Tohjaya terbunuh dalam pemberontakan yang dipimpin oleh Jaya Wisnuwardhana, putra Anusapati. Tahun 1268, Wisnuwardhana meninggal, takhtanya sebagai raja Singasari digantikan oleh Kertanegara (12681292). Pada tahuan 1292, Kertanegara dikalahkan oleh pemberontak bernama Jayakatwang, maka berakhirlah kekuasaan Kertanegara sekaligus mengakhiri riwayat Kerajaan Singasari. (http;//www.sejarahbangsaindonesia.com., 5 Juni 2009). Pada tahun 1294, Kerajaan Majapahit berdiri. Pendirinya adalah Raden Wijaya. Majapahit mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Dia didampingi oleh mahapatih Gajah Mada. Bersama patihnya ini Hayam Wuruk berhasil menyatukan wilayah yang luas di bawah nama Dwipantara. Pada tahun 1357, Terjadi peristiwa Bubat, yaitu perang antara Raja Sunda dan Patih Majapahit Gajah Mada. Peristiwa ini bermula dari keinginan raja Hayam Wuruk untuk mengambil putri Sunda yang bernama Dyah Pitaloka sebagai permaisurinya. Namun karena terjadi salah paham mengenai prosedur perkawinan, rencana tersebut berujung pada suatu pertempuran di Bubat. Pasukan Majapahit, di bawah pimpinan Patih Gajah Mada berhasil menaklukan Pajajaran dalam perang Bubat tersebut.

38

Pada tahun 1389, Hayam Wuruk meninggal dunia. Posisinya digantikan oleh Wikramawardhana. Era ini merupakan awal dari runtuhnya Majapahit. Salah satunya diakibatkan adanya kekecewaan anak Hayam Wuruk yang lain, yaitu, Wirabumi. Setelah periode itu, mulai bermunculan kerajaan Islam. Perkembangan lain, bangsa Eropa mulai datang ke Nusantara dan berusaha untuk membangun kekuatan. Pada akhirnya mereka menerapkan kolonialisme. Pada permulaan abad 20, sistem pemerintahan kerajaan dihapuskan, diganti dengan sistem keresidenan. Bangsa Portugis adalah bangsa barat yang pertama kali datang di Jawa Timur. Kapal Belanda dipimpin oleh Cornelis de Houtman mendarat di Pulau Madura pada tahun 1596. Surabaya jatuh ke tangan VOC pada tanggal 13 Mei 1677. Ketika pemerintahan Stamford Raffles, Jawa Timur untuk pertama kalinya dibagi atas karesidenan, yang berlaku hingga tahun 1964. Setelah kemerdekaan Indonesia, Indonesia dibagi menjadi 8 provinsi, dimana Jawa Timur adalah salah satu provinsi tersebut. Gubernur pertama Jawa Timur adalah R. Soerjo, yang juga dikenal sebagai pahlawan nasional. Pada era penjajahan Jepang, perlawanan rakyat tetap terjadi. Di Blitar terjadi pemberontaka PETA (Pembela Tanah Air) pada awal tahun 1945. Pemberontakan ini dipimpin oleh Supriyadi, Moeradi, Halir Mangkudijoyo, dan Soemarto. Meskipun pada akhirnya pemberontakan ini dapat dipadamkan. Namun jiwa pemberontakan tersebut mampu mengobarkan semangat kemerdekaan pada seluruh rakyat Jawa Timur. (http//:www.mikimedia .com : 1 Juni 2009) Dua pekan setelah proklamasi kemerdekaan, Surabaya telah memiliki pemerintahan sendiri dan berbentuk residen. Residennya yang pertama adalah

39

R. Soedirman. Terbentuknya pemerintahan di Surabaya ini menimbulkan sengketa dengan Jepang, bahkan terjadi berbagai pertempuran. Penyebabnya adalah Jepang yang saat itu telah menyerah kepada sekutu, diwajibkan untuk tetap berkuasa sampai saatnya kekuasaan tersebut diserahkan kepada sekutu. Kedatangan pasukan sekutu dengan diboncengi Belanda (NICA) ke Surabaya, menambah panas suasana. Puncaknya terjadi pada tanggal 10 November 1945 dimana terjadi perang besar antara arek-arek Suroboyo melawan Sekutu. Tanggal 10 November kemudian ditetapkan sebagai hari pahlawan. Pertempuran tersebut memaksa gubernur Suryo, atas saran Tentara Keamanan Rakyat (TKR), memindahkan kedudukan pemerintahan daerah ke Mojokerto. Seminggu kemudian,

pemerintahan pindah lagi ketempat yang lebih aman, yaitu, di Kediri. Namun kondisi keamanan Kediri kian hari kian buruk sampai akhirnya, pada bulan Februari 1947, pemerintahan provinsi Jawa Timur dipindah lagi ke Malang. Pada waktu pemerintahan berada di Malang ini, terjadi pergantian Gubernur, Suryo digantikan oleh R.P. Suroso yang kemudian digantikan lagi oleh Dr. Moerdjani. Pada tanggal 21 Juli 1947, meskipun masih terikat dengan perjanjian Linggarjati dan perjanjian gencatan senjata yang berlaku sejak tanggal 14 Oktober 1946, Belanda melakukan Aksi Militer I. Aksi militer Belanda ini menyebabkan kondisi keamanan di Malang memburuk. Akhirnya Pemerintahan Provinsi Jawa Timur pindah lagi ke Blitar. Aksi militer ini berakhir setelah dilakukan perjanjian Renville. Namun perjanjian ini berakibat negatif bagi Jawa Timur, yakni, berkurangnya wilayah kekuasaan pemerintah provinsi Jawa Timur. Belanda

40

kemudian menjadikan daerah yang dikuasainya sebagai negara baru, misalnya negara Madura dan negara Jawa Timur. Ditengah kesulitan yang dihadapi pemerintah RI ini, terjadi

pemberontakan PKI di Madiun tanggal 18 September 1948. Namun akhirnya pemberontakan ini dapat ditumpas oleh Tantara Republik Indonesia. Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Aksi Militer II. Blitar, yang waktu itu masih dipergunakan sebagai tempat pemerintahan provinsi Jawa Timur diserang. Gubernur Dr. Moerdjani dan stafnya terpaksa menyingkir dan bergerilya di lereng Gunung Willis. Aksi militer II berakhir setelah tercapai persetujuan Roem-Royen tanggal 7 Mei 1949. Belanda menarik pasukannya dari Jawa Timur setelah

diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menghasilkan piagam pengakuan kedaulatan negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Jawa Timur berubah status dari provinsi menjadi negara bagian. Namun rakyat Jawa Timur ternyata tidak mendukung perubahan status tersebut. Rakyat menuntut dibubarkannya negara Jawa Timur. Akhirnya pada tanggal 25 Februari 1950, negara Jawa Timur dibubarkan dan menjadi bagian wilayah Republik Indonesia. Keputusan untuk bergabung kembali dengan RI ini diikuti oleh negara Madura. Pasca peristiwa G30S/PKI, pemerintahan daerah Jawa Timur kembali goyah. Pada tahun 1967, R.P. Mohammad Noer dilantik sebagai pemangku jabatan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I menggantikan Brigjen Mohammad Wijono. Ketika Mohammad Noer menjadi pemangku jabatan gubernur, muncul PKI gaya baru yang memiliki basis pertahanan di Blitar Selatan. Setelah pemberontakan ini ditumpas pada akhir tahun 1968, keadaan mulai membaik.

41

2. Riwayat Gubernur Jawa Timur Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia sampai dengan terpilihnya gubernur hasil Pilkada 2008-2009 Provinsi Jawa Timur telah mengalami 12 kali penggantian gubernur ditambah dengan seorang Pejabat Sementara Gubernur untuk mengisi kekosongan sampai dengan terpilihnya gubernur hasil Pilkada 2008-2009. Berikut ini daftar gubernur Jawa Timur sebelum gubernur terpilih dalam Pilkada menurut urutan periode kepemimpinannya: (http//:www.mikimedia .com : 1 Juni 2009). Tabel 4.1 Daftar Gubernur Jawa Timur Sejak Tahun 1945 s/d Gubernur Terpilih dalam Pilkada 2008-2009 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Nama Gubernur R. M. T. Ario Soerjo Dr. Moedjani R. Samadikun R. T. A. Milono R. Soewondo Ranuwidjojo Moch. Wijono R.P. Mohammad Noer Soenandar Prijosoedarmo Wahono Soelarso Basofi Sudirman Imam Utomo Setia Purwaka Periode Jabatan (Tahun) 1945-1948 1948-1949 1949-1957 1957-1959 1959-1963 1963- 1967 1967-1978 1978-1983 1983-1988 1988-1993 1993-1998 1998 -2008

2008-2009

Sumber: http//:www.mikimedia .com : 1 Juni 2009

42

R. M. T. Ario Soerjo adalah gubernur pertama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dari 12 gubernur yang pernah memimpin Provinsi Jawa Timur ada 3 (tiga) gubernur yang memegang dua kali periode jabatan secara berturut-turut yaitu R. Samadikun yang memerintah Jawa Timur pada masa

perang kemerdekaan sampai pertengahan masa pemerintahan Ir. Soekarno pada masa orde lama. Kedua, R.P. Mohammad Noer yang menjabat gubernur pada awal masa pemerintahan orde baru pada tahun 1967 sampai dengan tahun 1978. Ketika itu pemilihan gubernur masih dilakukan melalui sisterm perwakilan. Gubernur yang memerintah dalam masa dua kali periode jabatan berturut-turut adalah Imam Utomo yang memerintah mulai dari awal masa reformasi yaitu pada tahun 1998 sampai dengan tahun 2008. Imam Utomo tidak menjabat gubernur sampai dengan adanya gubernur terpilih pada Pilkada 2008-2009 dan

pemerintahan Provinsi Jawa Timur dipegang oleh Pejabat Sementara Gubernur Setia Purwaka sampai dengan dilantiknya gubernur terpilih. Imam Utomo mengalami dua kali Pilkada yang berbeda, pada tahun 1998 melalui pemilihan sistem perwakilan dan pada tahun 2004 dengan sistem Pilkada langsung. Ada 6 (enam) gubernur yang memerintah dalam 1 (satu) periode yaitu R. Samadikun, R. Soewondo Ranuwidjojo gubernur Jawa Timur periode tahun

1959-1963, Moch. Wijono gubernur Jawa Timur periode tahun 1963 - 1967, Soenandar Prijosoedarmo gubernur Jawa Timur periode tahun 1978-1983, Wahono gubernur Jawa Timur periode tahun 1983-1988, Soelarso gubernur Jawa

43

Timur periode tahun 1988-1993 dan periode tahun 1993-1998.

Basofi Sudirman gubernur Jawa Timur

3 (empat) gubernur lainnya hanya memerintah antara satu sampai dengan tiga tahun. R. M. T. Ario Soerjo sebagai gubernur Jawa Timur pertama, hanya memerintah selama 3 (tiga) tahun yaitu sejak proklamasi kemerdekaan sampai dengan bubarnya Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949 dan

kemudian digantikan oleh Dr. Moedjani yang masa pemerintahannya lebih pendek dari pendahulunya selama kurang dari 2 (dua) tahun, R.T.A. Milono hanya memerintah kurang dari 3 (tiga) tahun pada tahun 1957 sampai dengan 1959. Adapun Setia Purwa hanya memerintah kurang dari 1 (satu) tahun karena memang statusnya sebagai Pejabat Sementera Gubernur sampai dengan terpilihnya gubernur hasil pilkada 2008.

4.2 Hasil Penelitian Dalam hasil penelitian ini penulis menyajikan data peserta dan perolehan suara Pilkada Jawa Timur 2008-2009.

4.2.1

Peserta Pilkada Jawa Timur 2008-2009 KPUD Jawa Timur telah menetapkan lima pasang calon gubernur-wakil

gubernur Jawa Timur pada Juni lalu. Mereka adalah Khofifah Indar ParawansaMudjiono (Kaji), Soenarjo-Ali Maschan Moesa (Salam), Soekarwo-Syaifullah Yusuf (Karsa), Soejtipto-Ridwan Hisjam (SR), Achmady-Soehartono (Achsan).

44

Ketetapan ini dituangkan dalam SK KPU nomor 821.1/70/KPU-Jtm/VI/2008 yang ditandatangani oleh lima anggota KPU. Nama-nama calon Gubernur/Wakil Guibernur Jawa Timur dan partai

pendukungnya selengkapnya adalah sebagai berikut: Tabel 4.2 Daftar Calon Gubernur dan Partai Pendukungnya dalam Pilkada Jawa Timur Tahun 2008

No.

Nama Calon

Inisial KAJI

Partai Pendukung PPP, PPNU, PNI Marhaen, Partai Merdeka, Partai Pelopor, Partai PIB, PNBK, PKPI, PBR, PDS, PKPB dan Partai Patriot Pancasila Partai Golkar Partai Demokrat dan PAN didukung PKS PDIP

1. Khofifah Indar ParawansaMudjiono

2. Soenaryo-Ali Machsan Moesa 3. 4. 5. Soekarwo-Syaifulah Yusuf Soetjipto-Ridwan Hisjam Achmady-Soehartono

SALAM KARSA SR

ACHSAN PKB

Sumber : Diolah dari data sekunder (http://www.cahayasura.com, 1 juni 2009)

Kesepuluh calon gubernur dan wakil gubernut tersebut datang dari latar belakang yang berbeda meskipun dalam hal-hal tertentu mereka memiliki kesamaan latar belakang. Khofifah Indar Parawansa yang merupakan salah satu elit NU adalah mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan/Kepala BKKBN dalam kabinet

45

Gusdur. Berhenti menjadi Menteri karena Presiden Gus Dur lengser tidak lantas membuat Khofifah mundur dari kancah politik. Ia tidak segan-segan untuk merintis karirnya kembali dengan menjadi anggota DPR dan kemudian dipilih menjadi Ketua Komisi VI DPR (2004-2005), Ketua FKB MPR RI (2004-2006), Wakil Ketua Tim Sosialisasi UUD 1945/Tap MPR (2004-2006) dan Anggota Komisi VII DPR RI (2006-sekarang). Calon wakil gubernut yang akan mendampingi Khofifah, Mudjiono memiliki latar belakang militer. Karier militernya dimulai di Kodam Pattimura, lalu berlanjut ke Trikora, AKMIL, Diponegoro, Udayana, Kostrad, Sriwijaya, Mabesad, dan terakhir menjabat Kasdam Brawijaya (2005-2008 ). Selain karier militer, ia juga pernah mengetuai PSSI Lampung (1999-2002), Pengda INKAI (1999-2002) dan Pengda Perbakin Jawa Timur (2005-2008 ). Sutjipto memiliki latar belakang adalah pribadi gabungan ilmuwan dan tehnokrat yang sangat aktif dalam kancah politik. Di bangku sekolah ia sudah aktif di GSNI Kediri (1964-1965) dan GMNI Jawa Timur (1965-1971). Ia sempat menjadi Bendahara PDI Jawa Timur (1986-1993), Ketua DPD PDI Pro Mega (1994-1997) dan akhirnya sepuluh tahun menjadi Sekjen PDI P (1998-2008 ). Di bidang teknik ia menjadi pemegang 4 hak paten sejak tahun 1980, yaitu pondasi sarang laba-laba, jalan raya margaton, bangunan tinggi kalista dan bangunan dermaga sistem BOM. Ia menjabat sebagai Komisaris Utama Kontraktor PT. Tata Bumi Raya (1981-sekarang), Dosen Fakultas Teknik Universitas 17 Agustus 1945 dan Universitas Bhayangkara Surabaya (1985-1992), Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI (1992-1997, 1999-2004, 2004-sekarang), Wakil Ketua MPR RI (2001-2004), Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Otonomi Daerah dan

46

Pemerintahan Dalam Negeri (2005-sekarang) dan Ketua Dewan Pembina Universitas 17 Agustus 1945 (2007-sekarang). Calon wakil gubernur dari pasargan SR adalah pengusahan yang aktif berorganisasi dan politik. Sebagai pengusaha real estate Ia aktif di REI hingga menduduki jabatan Bendahara Umum DPP REI (2001-2004) dan Dewan Pertimbangan DPP REI (2004-2007), Ketua DPD Golkar Jawa Timur (20012004), Ketua Komite Organisasi Kadin (2004-2008 ) dan Ketua PDK Kosgoro 1957 Jawa Timur (2005-2009). Di konvensi Golkar ia kalah dari Soenarjo dan akhirnya mendampingi Sutjipto dari PDI P. Sedangkan pasangan Sutjipto, Soenarjo perjalanan karirnya pada jalur birokrasi. Karir tertinggi sebagai pegawai negeri adalah wakil gubrnur Jawa Timur tahun 2003-2008 mendampingi Imam Utomo. Ali Maschan Moesa adalah kader NU yang cukup militan sesuai denan latar belakang pendidikan dan lingukungannya. Ia menjabat sebagai ketua OSIS di sekolahnya, PGAN 6 Tahun Tulungagung mulai tahun 1973-1974. Demikian juga ketika di Perguruan Tinggi mulai aktif di Organisasi Kepemudaan antara lain ketua rayon PMII Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya 1976 dan tahun 1975-

kemudian menjabat sebagai sekretaris GP Ansor Ancab Taman

Sidoarjo sejak tahun 1975 sampai dengan tahun 1978. Ia juga aktif di Organisasi Kemahasiswaan menjabat sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa Fak. Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 1976 sampai tahun 1977 dan kemudian sebagai Ketua Umum Dewan Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 1978 sampai dengan tahun 1980. Perhatiannya terhadap organisasi

47

Islam telah dimulai sejak muda dengan memegang jabatan Wakil Sekretaris PMII Cabang Surabaya tahun Timur tahun 1977-1978, Wakil Sekretaris PMII Koorcab. Jawa

1982 - 1984, Ketua Umum PMII Koorcab. Jawa Timur 1984 -

1986, Ketua LP Ma arif NU Cab. Sidoarjo tahun 1983-1989, Wakil Ketua Khatib Syuriyah NU Cabang Sidoarjo tahun 1989-1994, Wakil Ketua GP Ansor Wilayah Jawa Timur tahun 1987-1991, Ketua LDNU Wilayah Jawa Timurtahun 1987-1992, Katib Syuriyah NU Wilayah Jawa Timur tahun 1992-1997, Sekretaris Pokja Program Kerukunan Umat Beragama Jawa Timur tahun 1992 - 1997,

Wakil Ketua PWNU Wilayah Jawa Timur tahun 1997 - 1999, dan yang terakhir adalah sebagai Ketua PWNU Wilayah Jawa Timur tahun 1999 sampai dengan Maret 2008. Achmady adalah mantan bupati Mojokerto. Karirnya di pemerintahan dimulai dari sebagai penarik retribusi di Pasar Pohjejer Kabupaten Mojokerto, staf kecamatan Gondang, PNS APDN MAlang, camat Bangsal, camat Trawas, Kepala Bappeda Mojokerto, Wedana Jabung dan terakhir Bupati Mojokerto. Sedangkan pendampingnya, Soehartono adalah militer murni. Doktor bidang hukum, Soekarwo berlatar pendidikan hukum yang berkarir di pemerintahan daerah. Pernah menjadi Kepala Cabang Dinas Pendapatan Daerah di Surabaya, Kepala Sub Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Timur, Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Timur dan terakhir masih aktif sebagai Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur. Pasangannya Syaifullah Yusuf merupakan salah satu kader NU. Seperti halnya Khofifah, Saifulah Yusuf adalah

48

mantan menteri pada cabinet Gus Dur. Sebagai Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Syaifullah Yusuf alumnus Universitas Nasional Jakarta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (2003). Ia pernah menjabat Ketua Senat Fisip Universitas Jakarta (1988-1990), Ketua HMI Cabang Jakarta (1990-1992), Pengurus Pusat IPNU (1992-1994), Ketua PP IPNU (1990-1995), Wakil Sekjen PP GP Ansor

(1995), Sekjen DPP Partai Kebangkitan Bangsa (2002-2004), Ketua DP KORPRI Jawa Timur (2000-2005) dan Ketua Umum IPSI Jawa Timur (2005-sekarang). Ia pernah menjadi Wartawan Tabloid Detik (1993-1995), Wartawan Tabloid Target (1996-1997), Anggota DPR-RI (1999-2001), Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (2004-2007) dan Komisaris Bank Rakyat Indonesia (2007-sekarang).

4.2.2. Perolehan Suara Peserta Pilkada Jawa Timur 2008-2009 Sebelum KPU Jatim mengumumkans perolehan suara Pilkada putaran pertama, Perhitungan cepat atau quick count sejumlah lembaga survei menunjukkan keunggulan pasangan cagub Soekarwo-Saifullah Yusuf (Gus Ipul). Lembaga Survei Nasional (LSN) mengklaim pasangan berjuluk Karsa ini meraih 29,76 persen. menurut LSN, suara yang diraih pasangan Karsa yang diusung Partai Demokrat dan PAN ini terpaut 4,11 persen dari pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono yang dikenal sebagai pasangan Kaji. Pasangan ini meraih 25,65 persen suara. Sementara itu urutan ketiga diduduki pasangan cagub yang diusung PDIP, Soetjipto-Ridwan Hisjam dengan 20,32 persen. Diikuti

49

pasangan Soenarjo-Ali Maschan Moesa yang diusung Partai Golkar dengan 18,17 persen. Di urutan buncit, ada pasangan Achmady-Suhartono (Achsan) dari PKB dengan 6,20 persen. Berikut ini hasil survey LSN pada tabel 2 di bawah ini: Tabel 4.3 Prosentase Perolehan Suara Pilkada Putaran I Versi Lembaga Survey Nasional (LSN) No. Peserta Pilkada 1. 2. 3. 4. 5. Suara Khofifah Indar Parawansa Moedjiono 25,65 % Sutjipto-Ridwan Hisjam Soenarjo-Ali Maschan Moesa Achmady-Suhartono Soekarwo-Saifullah Yusuf 20,32 % 18,17 % 6,20 % 29,76 %

Sumber : Detik.com, 27 Juni 2008.

Menurut Chairul Ansari, kepala Divisi Komunikasi dan Informasi LSN hasil Pilgub Jatim 2008 menunjukkan mesin partai kalah dari popularitas figur kandidat. Achsan yang diusung PKB sebagai partai terbesar di Jatim justru terbenam di posisi juru kunci kata Kepala Divisi Komunikasi dan Informasi LSN, Chairul Ansari, Quick count LSN didasarkan pengamatan dan pencatatan ratusan relawan di seluruh Jawa Timur. Cara yang digunakan adalah mengambil sample pada 0 TPS yang tersebar di 38 kabupaten/kota di Jawa Timur. LSN menyebut margin of error kurang lebih 1 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Selain LSN dua lembaga survey lainnya yaitu Lembaga Survei Indonesia (LSI), dan Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis).

50

Kedua lembaga lembaga survey tersebut menyimpulkan hal yang sama dengan LSN dalam hal urutan perolehan suara kelima calon gubernur/wakil gubernur.. Berikut ini hasil quick count versi Lembaga Survey Indonesia (LSI) dalam tabel di bawah ini. Tabel 4.4 Prosentase Perolehan Suara Pilkada Putaran I Versi Lembaga Survey Indonesia (LSI) No. Peserta Pilkada 1. 2. 3. 4. 5. Suara

Khofifah Indar Parawansa Moedjiono 25,38 % Sutjipto-Ridwan Hisjam Soenarjo-Ali Maschan Moesa Achmady-Suhartono Soekarwo-Saifullah Yusuf 20,90 % 18,89 % 7,89 % 26,95 %

Sumber : Detik.com, 27 Juni 2008

Quick count LSI lebih mendekati hasil yang sesungguhnya di mana selisih antara perolehan suara pasangan Kaji dan Karsa sangat tipis yaitu Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono 25,38% dan Soekarwo-Saifullah Yusuf 26,95% atau selisih 1,57% dengan keunggulan Karsa. Berikut ini, hasil quick count Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis):

51

Tabel 4.5 Prosentase Perolehan Suara Pilkada Putaran I Versi Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) No. Peserta Pilkada 1. 2. 3. 4. 5. Suara

Khofifah Indar Parawansa Moedjiono 26,16 % Sutjipto-Ridwan Hisjam Soenarjo-Ali Maschan Moesa Achmady-Suhartono Soekarwo-Saifullah Yusuf 17,95 % 17,80 % 6,75 % 31,34 %

Sumber : Detik.com, 27 Juni 2008 Walaupun quick count yang dilakukan oleh Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) terdapat selisih cukup jauh dengan hasil

perolehan suara yang diumumkan oleh KPU Jawa Timur, akan tetapi dalam hal ranking perolehan suara masih sama dan prosentasenya masih berada dalam kisaran tingkat Hasil perolehan suara yang resmi dan diakui adalah hasil perolehan suara yang disahkan oleh KPU Jawa Timur yang perhitungannya dilakukan secara manual. Walaupun demikian, banyak pihak sepakat untuk percaya bahwa Pilkada Jawa Timur putaran pertama tidak akan dapat menghasilkan pasangan calon terpilih karena tidak akan ada satupun pasangan calon yang memperoleh suara 30%. Hal itu menjadi kenyataan setelah hasil perolehan suara Dua pasangan calon yang paling banyak menunjukkan, dua pasangan yang memperoleh suara paling tinggi yaitu pasangan Karsa dan Kaji hanya memperoleh suara masing-

52

masing 26,43% dan 24, 82 % . Berikut ini jumlah peroleh suara masing-masing pasangan calon. Tabel 4.6 Jumlah Perolehan Suara Pasangan Calon Gubernur-Wakil Gubernur Dalam Putaran Pertama Pilkada Jawa Timur 2008 No. Nama Pasangan Calon Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2008 HJ. KHOFIFAH INDAR PARAWANSA dan MUDJIONO IR.H. SUTJIPTO dan IR.H.M. RIDWAN HISJAM DR.H. SOENARJO, M.SI dan DR.KH. ALI MASCHAN MOESA, M.SI DR.H. ACHMADY, M.SI, MM dan H. SUHARTONO, SH DR.H. SOEKARWO, M.HUM dan DRS.H.SAIFULLAH YUSUF Total Suara Sah Sumber: Rekapitulasi KPUD Jawa Timur Jumlah Perolehan Suara 4,223,089 Prosentase

24.82%

3,605,106

21.19%

3,290,448

19.34%

1,397,291

8.21%

4,498,332

26.44%

17,014,266

100.00%

Untuk memberikan gambaran tentang perbandingan jumlah suara yang diperoleh masing-masing peserta Pilkada Jawa Timur putaran pertama, KPU Jawa Timur menyajikan grafik seperti di bawah ini:

53

Grafik 1 Jumlah Perolehan Suara Pasangan Calon Gubernur-Wakil Gubernur Dalam Putaran Pertama Pilkada Jawa Timur 2008
26.44% 24.82% 21.19% 19.34%

4,223,089 3,605,106 3,290,448

4,498,332

8.21%

1,397,291

Hj. KHOFIFAH INDAR PARAWANSA DAN MUDJIONO 1

Ir.H. SUTJIPTO DAN Ir.H.M. RIDWAN HISJAM 2

DR.H. SOENARJO, M.Si DAN DR.KH. ALI MASCHAN MOESA, M.Si 3

DR.H. ACHMADY, M.Si, MM DAN H. SUHARTONO, SH 4

DR.H. SOEKARWO, M.Hum DAN Drs.H.SAIFULLAH YUSUF 5

Sumber : KPU Jawa Timur, 2009. Kemenangan pasangan Sukarwo dan Syaifullah Yusuf (Karsa) telah

dimulai sejak putaran pertama. Perolehan suara terbanyak yang diperoleh pasangan Karsa, sekurang-kurangnya disebabkan oleh dua hal. Pertama, dukungan kalangan NU terhadap Syaifullah Yusuf tidak kalah oleh dukungan kalangan organisasi keagamaan di Jawa Timur ini terhadap Khofifah, dan kedua, jaringan kuat yang dimiliki oleh Soekarwo sebagai pejabat tinggi sangat berpengaruh di Jawa Timur. Bagi pendukung Khofifah dan Mudjiono (Kaji) hal ini merupakan pertanda adanya tindakan-tindakan menyimpang oleh KPU Jawa Timur dalam hal Daftar Pemilih Tetap. Walaupun dukungan NU terhadap Kaji merupakan

dukungan terkuat dibanding pada pasangan lainnya antara lain memperoleh dukungan dari Ketua Umum NU Hasyim Mujadi, tetapi ternyata tidak cukup untuk dapat mengungguli perolehan suara pasangan Karsa.

54

Di sisi lain, bagi tiga pasangan lain selain Karsa dan Kaji, perolehan suara tersebut merupakan hal yang cukup mengejutkan atau sekurang-kurang di luar perkiraan mereka masing-masing. Pasangan Achmadi dan Suhartono (Achsan) yang perolehannya suaranya paling sedikit (8,21%) misalnya, adalah wajar jika sebelumnya mereka cukup optimis memenangkan Pilkada karena mereka diusung oleh PKB, partai bentukan NU dan mendapatkan dukungan rakyat cukup kuat dalam Pilkada 2003. Keterpurukan pasangan Achsan sekaligus sebagai pertanda yang sangat jelas bagi keterpurukan PKB di Jawa Timur. Hal ini tidak dapat dipungkiri merupakan akibat dari terjadinya perseteruan dalam tubuh PKB antara Muhaimin Iskandar dengan Gus Dur. Demikian pula halnya dengan pasangan Soetjipto dan Ridwan Hisjam yang menempati urutan ketiga dalam perolehan suara Pilkada putaran pertama ini. PDIP, partai yang mengusungnya adalah partai yang memiliki basis yang kuat di Jawa Timur. Di tambah lagi dengan adanya dukungan sepenuh hati dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri. Kekeliruan cukup fatal yang dilakukan oleh PDIP adalah tidak mengikut sertakan kader NU sebagai salah satu pasangan yang didukungnya, dan kedua mengabaikan popularitas dan jaringan kuat yang dimiliki Soekarwo di Jawa Timur yang semula mengharapkan akan diusung oleh PDIP. Walaupun Gokar bukan partai yang dominan di Jawa Timur akan tetapi sebelumnya berharap pasangan Soenaryo Ali Machsan Moesa (Salam) akan dapat memenangkan Pilkada. Ali Machsan yang ketua PWNU Jawa Timur dan

55

Soenaryo sebagai wakil gubernur akan mampu menggerakkan mesin politik untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya dan mampu memenangkan persaingan pasangan lain terutama Sukarwo dan Khofifah yang sebelum Pilkada di mulai telah disebut-sebut banyak kalangan sebagai peserta Pilkada yang diperkirakan akan memenangkan Pilkada Sesuai dengan ketentuan undang-undang maka pilkada putaran kedua diikuti oleh pasangan Karsa dan Kaji. Penyelenggaraannya dilakukan pada hari Selasa, 11 Nopember 2008. Rapat pleno terbuka rekapitulasi perhitungan suara yang dilakukan KPU Jawa Timur pada hari Selasa 11 Nopember 2008 menyatakan pasangan Kaji memperoleh 7.669.721 suara (49,8%) dan Karsa 7.729.944 suara atau 50,2%. Selengkapnya seperti pada tabel berikut: Tabel 4.7 Rekapitulasi Perolehan Suara Pasangan Calon Gubernur-Wakil Gubernur Dalam Putaran Kedua Pilkada Jawa Timur 2008 Perolehan Suara Pasangan Jumlah Karsa 7,729,944 % 50,2 Wilayah Kabupaten Ponorogo, Sumenep, Bangkalan, Bondowoso, Jombang, Lumajang. Madiun, Magetan, Nganjuk, Ngawi, Pacitan, Pamekasan, Probolinggo, Sampang, Situbondo dan Trenggalek serta Wilayah Kota Blitar, Kediri, Madiun, Mojokerto, Pasuruan, dan Probolinggo. Wilayan Kabupaten Blitar, Bojonegoro, Gresik, Jember, Kediri, Malang, Mojokerto, Tuban dan Lamongan. serta Kota Batu, Kota Malang dan 4 Daerah Kemenangan

Kaji

7,669,721

49,8

56

wilayah Kota Surabaya, Jumlah 15,399,665 100 Seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Timur

Sumber: Rekapitulasi KPUD Jawa Timur ,2009 Untuk memberikan gambaran tentang perbandingan jumlah suara yang diperoleh masing-masing peserta Pilkada Jawa Timur putaran kedua, KPU Jawa Timur menyajikan grafik seperti di bawah ini:

Grafik 2 Perolehan Suara Pasangan Calon Gubernur-Wakil Gubernur Dalam Putaran Kedua Pilkada Jawa Timur 2008
9000000

8000000

7,669,721

7,729,944

7000000

6000000

5000000

4000000

3000000

2000000

1000000
49.80%
Hj. KHOFIFAH INDAR PARAWANSA DAN MUDJIONO 1 DR.H. SOEKARWO, M.Hum DAN Drs.H.SAIFULLAH YUSUF 5

50.20%

Sumber: Rekapitulasi KPUD Jawa Timur ,2009 Perbedaan jumlah perolehan suara antara pasangan antara pasangan Kaji dan Karsa dibandingkan dengan selisih perolehan suara diatara kedua pasangan tersebut dapat disimpulkan bahwa para pemilih yang bukan pemilih mereka pada putaran pertama lebih banyak yang beralih pada pasangan Kaji dibandingkan

57

kelompok pemilih serupa yang beralih pada pasangan Karsa walupun pasangan ini masih tetap unggul. Peroleh suara yang tipis seperti digambarkan dalam tabel dan grafik di atas dapat dikatakan sebagai awal dari konflik politik yang sesungguhnya atara pasangan Karsa dan Kaji. Walaupun kekalahan Pasangan Kaji pada putaran pertama telah menimbulkan isu-isu negatif mengenai adanya kecurangan yang dilakukan oleh KPU Jawa Timur yang dikaitkan dengan dominasi pasangan Karsa di KPU Jawa Timur tetapi saat itu isu yang mengemuka tidak setajam setelah diketahui perolehan suara Putaran Kedua Pilkada khususnya isu-isu mengenai adanya rekayasa dalam hal DPT. Pasangan Kaji masih melihat peluang untuk menang jika dilakukan pilkada ulang mengingat jumlah prosentase jumlah pemilihnya semakin bertambah dari sebelumnya. Jika selisih jumlah pemilih diantara keduanya pada putaran pertama pasangan Kaji kalah 1,62%, dalam putran pertama hanya kalah 0,4%. Hal ini berarti secara teori dapat disimpulkan bahwa jumlah pemilih yang sebelumnya bukan pemilih mereka, memberikan suaranya 1, 22% lebih banyak kepada pasanan Kaji. Dengan demikian, pasangan Kaji memiliki kemungkinan lebih besar untuk menang jika pilkada diulang. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Karl W.Deutsch, yang menyatakan bahwa politik adalah seni kemungkinan (the art of possible). Selama kemungkinan untuk mencapai tujuan itu masih ada, maka upaya untuk memperoleh kemenangan terus dilakukan. (Surbakti, 2006 : 10).

58

Pasangan Kaji menolak untuk menandatangani berita acara rekapitulasi hasil pemungutan suara dengan alasan bahwa pihak mereka merasa dicurangi dan memiliki bukti-bukti untuk itu. Undang-undang mengatur bahwa keberatan yang boleh diajukan hanya permasalahan yang berkaitan dengan hasil perhitungan suara yang dapat mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Keberatan harus diajukan selambat- lambatnya 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pilkada. Atas dasar itu, pihak Kaji mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan dikirimkan hari Rabu tanggal 12 Nopember 2009 atau satu hari setelah penetapan hasil pilkada. Permohonan mereka adalah meminta agar dilakukan pilkada ulang, khususnya untuk wilayah Madura. Jika dilihat dari selisih perolehan yang mencapai 13,8% tampaknya sulit bagi pasangan Kaji untuk memperoleh kemenangan di wilayah ini. Akan tetapi karena selisih suara perolehan suara se Jawa Timur hanya berjumlah 60.223 suara sedangkan pilkada ulang dilakukan juga di Kabupaten Bangkalan dan

perhitungan suara ulang di Kabupaten Pamekasan maka penambahan perolehan suara berapapun di Kabupaten Sampang sangat berarti bagi pasangan Kaji. Pada hari Selasa tanggal 12 Desember 2008 Mahkamah Konstitusi memutus hasil sidang atas gugatan sengketa Pilkada Jawa Timur dengan

memerintahkan kepada KPUD Jawa Timur untuk melakukan pemungutan ulang di Kabupaten Bangkalan dan Sampang serta perhitungan suara ulang di Kabupaten Pamekasan. Pelaksanaan pilkada ulang di kedua kabupaten tersebut baru dilaksanakan pada hari Rabu, 21 Januari 2009.

59

Perolehan suara masing-masing pasangan calon pada Pilkada Ulang, seperti pada tabel 4.8. berikut ini: Tabel 4.8 Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Ulang Di Kabupaten Pamekasan dan Pemungutan Suara Ulang Di Kabupaten Bangkalan Dan Sampang Pilkada Jawa Timur Tahun 2009 (Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/Phpu.D-Vi/2008) Perolehan Suara Sah Untuk Pasangan Calon Gubernur Dan Wakil Gubernur Jawa Timur Tahun 2008 Kab. Kab. Kab. Bangkal Pamekas Jumlah Sampang an an 144,238 146,360 195,117 485,715

No.

Nama Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur Tahun 2008 Hj. Khofifah Indar Parawansa dan Mudjiono Dr.h. Soekarwo, M.Hum dan Drs.H.Saifullah Yusuf Jumlah

253,981

210,052

216,293

680,326

398,219

356,412

411,410

1,166,04 1

Sumber: Rekapitulasi KPUD Jawa Timur, ,2009 Hasil Pilkada Ulang tidak merubah posisi pasangan Kaji dan Karsa. Pasangan Karsa tetap unggul dan dinyatakan sebagai pemenang Pilkada Jawa Timur 2008-2009. Hasil perhitungan suara ulang di Kabupaten Bangkalan

memang menambah perolehan suara pasangan Kaji dari hasil putaran kedua yaitu 144.238 suara menjadi 151,666 suara. Akan tetapi pilkada ulang di kabupaten Sampang justru pasangan Karsa menambah sekitar 30.000 suara sedangkan di Kabupaten Pamekasan tidak terjadi perubahan jumlah yang cukup berarti . Dengan tujuan untuk menganalisis dan memperoleh kesimpulan mengenai pokok permasalahan, maka pembahasan dalam skripsi ini meliputi

60

indikator konflik pada Pilkada Jawa Timur 2008-2009, Konflilk dalam Tubuh NU dan Kekisruhan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada Jawa Timur 2008 2009.

4.3. Pembahasan Dalam menguraikan pembahasan untuk hasil penilitian ini, penulis melakukan analisis terhadap persaingan pengaruh di kalangan Elit NU dan

permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada Jawa Timur 2008 2009 sesuai dengan variabel yang dipilih. 4.3.1 Persaingan Pengaruh di kalangan Elit NU Sebagaimana diketahui, Jawa Timur adalah lumbung Nahdatul Ulama (NU). Tidak diragunkan lagi, NU merupakan organisasi yang paling dihormati di Jawa Timur. Sekitar 45% warga Jawa Timur mengaku orang NU. PKB yang mempresentasikan suara warga NU dalam Pemilu 1999 meraih 35 kursi di DPRD Jawa Timur dan 34 kursi pada Pemilu 2004. NU juga meyumbang 8 kursi pada PPP pada pemilu 2004 di DPRD Jatim. Bahkan sementera elit NU di Jawa Timur mengklaim bahwa 60% lebih penduduk Jawa Timur adalah warga NU. Sejak akhir 1997 partai politik di Jawa Timur telah mulai menjaring bakal calon gubernur dan wakilnya yang akan diusung partainya. Tokoh kalangan Nahdlatul Ulama (NU) jadi primadona pasangan calon gubernur (cagub) pada Pilkada Jatim 2008 tidak terkecuali PDIP sebagai partai Nasionalis. Menyadari akan tingginya pengaruh NU bagi masyarakat Jawa Timur, maka para tokoh politik yang memiliki keterkaitan yang erat dan populer dengan NU menjadi pusat perhatian elit partai politik untuk dipertimbangkan sebagai calon gubernur atau wakil gubernur yang akan diusungnya.

61

Pada sisi lain, perubahan karakteristik pemilih pun bisa saja memiliki pengaruh kuat dalam menentukan pilihan. Dipastikan, persentase pemilih muda sangat besar di Jawa Timur. Masa-masa tradisional NU, terutama di kalangan santri tetap akan mengikuti patron para kyai. Namun, untuk kalangan muda perkotaan tentu karakteristiknya berbeda. Soekarwo-Saefullah Yusuf agaknya memiliki peluang untuk merangkul kaum muda. Sosok Saefullah agaknya diharapkan mampu menggaet pemilih muda. Khofifah, selain sebagai kader NU juga merupakan calon satu-satunya perempuan walaupun dalam tradisi pesantren, agaknya kehadiran pemimpin perempuan masih sulit menembus tradisi dominasi kepemimpinan lelaki. Akhir dari pengrekrutan kader-kader NU berujung pada saat penetapan para calon oleh KPU hanya ada 4 orang calon kader NU yang masuk sebagai calon dalam pilkada seperti dapat dilihat dalam tabel 4.9 berikut ini: Tabel 4.9 Calon Gubernur/Wakil Gubernur dari Kader NU pada Pilkada Jawa Timur 2008-2009 No. 1. 2. 3. 4. Nama Calon Ali Maschan Moesa Achmadi Khofifah Indar Parawansa Syaifulah Yusuf Keterkaitan dengan NU Ketua PWNU Jawa Timur Posisi Pencalonan Wakil Gubernur

Diusung oleh PKB (Partai Gubernur bentukan NU) Ketua NU Umum Muslimat Gubernur

Ketua Umum GP Ansor Wakil Gubernur (Pemuda NU)

Sumber : Diolah dari data sekunder . (http://www.cahayasura.com, 1 Juni 2009). Pilkada Jawa Timur dapat dikatakan sebagai pertarungan warga NU. Pasalnya, Khofifah yang mantan Menteri Perberdayaan Perempuan di era

62

Presiden Gus Dur, adalah Ketua Muslimat (nonaktif), dan Gus Ipul yang mantan Menteri Pembangunan daerah tertinggal, juga di era Gus Dur adalah Ketua Anshor (aktif), yang keduanya adalah organisasi massa NU. Karena itu "kadar" ke-NU-an Khofifah, dinilai masih lebih kental Khofifah yang juga anggota DPR RI dari PKB serta pemimpin kalangan perempuan NU (Fatayat) dibandingkan dengan . Sementara Saifullah Yusuf yang kerap disapa Gus Ipul, walau ia

keponakan Gus Dur, dan kini justru "cerai" dengan Gus Dur. Selain itu Saifullah dikenal sebagai "kutu loncat" Saiffulah, dalam kiprah politiknya di Jawa Timur menggunakan PDIP untuk memperoleh jabatan, dari PDIP kemudian pindah ke PKB dan terakhir di terakhir PPP sementara PPP justru mencalonkan Khofifah dalam Pilkada Jatim 2008, sementara Gus Ipul yang berpasangan dengan

Soekarwo dicalonkan oleh PAN dan Partai Demokrat. Situasi seperti itu, dimafaatkan oleh khofifah dengan mengklim bahwa ia lebih NU dan karenya warga NU akan memilih dirinya karena ia adalah calon gubernur sedangkan Gus Ipul hanya sebagai calon wakil gubernur. Menurutnya, warga warga NU tentunya lebih `senang` bila kader NU menjadi Jatim I (Gubernur), dan bukan jadi `ban serep` alias Wagub karena sudah saatnya kader NU memimpin Jawa Timur yang berpenduduk mayoritas warga NU. (Chandra HN Ichwani, antara News). Mendekati pelaksanaan Pilkada putaran pertama, tubuh NU diwarnai

dengan konflik persaingan pengaruh dalam antar elit NU itu sendiri. Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang pada waktu lalu dianggap sebagai tokoh yang paling kharismatik di NU memberikan dukungan pada Achmady, sedangkan saudaranya

63

Salahudin Wahid mendukung Ali Maschan, Lili Wahid cenderung untuk menyokong Khofifah, KH Abdullah Schaal mendukung pasangan Karsa

khususnya Syaifulah Yusuf sedangkan KH Fuad Amin Imron medukung Achmady. Pesantren terbesar di Kabupaten Pasuruan, Pondok Pensantren

Sidogiri yang terkenal sangat kental ke-NU-annya terbelah dua. Sebagian mendukung Karsa dan sebagian lagi mendukung pasangan Salam. (Chandra HN Ichwani, antara News). Konflik anta elilt NU lebih diperjelas dengan munculnya Hasim Muzadi, Ketua PBNU yang menyatakan bahwa secara pribadi mendukung dan berharap warga Nahdliyin mendukung Khofifah. Partai pecahan PKB yaitu PKNU terangterangan menentukan pasangan Kaji sebagai pilihannya. Di kalangan kiai dan Badan-Badan Otonom (Banom) NU yang menyatakan terang-terangan

memberkan dukungan yang berbeda pada Pilkada putaran kedua baik yang terangterangan mendukung pasangan Karsa maupun pasangan Kaji. Dukungan terhadap para kiai berpengaruh terhadap pasangan Karsa lebih merupakan hasil dari kedua pasangan dalam menggalang para kiai berpengaruh di Jatim yang selama ini masih enggan dipimpin perempuan. Dukungan para kiai ini bahkan diumumkan melalui iklan di berbagai media cetak dan elektronik di Jawa Timur. Kdua pasangan yang bersaing dalam Putaran Kedua Pilkada 2008-2009 ini memahami betul dan mengoptimalkan pengaruh elit politik sebagaimana dikemukan oleh Subangun (1999:46) bahwa Wacana para elite merupakan suatu pesan politik yang dikemas dengan teknik pemasaran yang sebaiknya dibaca

64

sebagai perembesan nilai komersial kedalam politik dan perembesan itu, tanpa disadari oleh semua pelaku politik, tiba-tiba sebuah budaya baru muncul, atau lebih tepatnya kerangka besar kolonialisme budaya itu menjadi nyata, dan amat bersifat politis. Kelompok-kelompok politik dan para elit itu menciptakan kerangka besar kolonialisme budaya yang pada dasarnya berusaha mengontrol kehidupan sosial politik masyarakat dan dengan begitu masyarakat kapanpun bisa menjadi prajurit yang mendukung kepentingan mereka tanpa harus membayar dengan apapun terhadap masyarakat. (Susan, 2009 : 81). Dengan selesainya Pilkada Jawa Timur 2008-2009, konflik antar elit NU tidak langsung berhenti. Berbagai komentar muncul dari elit NU pendukung Khofifah terutama dikaitkan dengan pengunduran diri Irjen Pol. Herman Suryadi Sumawireja mantan Kapolda Jawa Timur dari keanggotaan Polri pada hari Senin tanggal 16 Maret 2009. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi. Herman dinilainya sebagai polisi yang menjunjung tinggi moral amanah jabatan. Keberanian mantan Kapolda Jatim Irjen Pol Herman Surjadi Sumawiredja dalam menegakkan kebenaran direspon dari Saya menyampaikan penghargaan dan penghormatan tinggi atas keberanian dan kejujuran Pak Herman dalam masalah moral amanah jabatan, ungkapnya kepada wartawan di Gedung PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat, Selasa (17/3). Pengasuh pondok pesantren Al Hikam, Malang ini mengatakan, Indonesia mandambakan pejabat negara yang jujur.Seharusnya semua polisi di indonesia seperti beliau, kata mantan Ketua

65

PWNU Jatim ini. Masyarakat Indonesia, lanjutnya, saat ini kurang percaya terhadap hukum di Indonesia. Karena itu, katanya, keberanian Herman mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi pada kasus Pilgub Jatim, adalah hal yang luar biasa. (http://www.surya.co.id, 17 Maret 2009). Di tengah-tengah merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap moral hukum ternyata masih tersisa orang yg teguh dan jujur, katanya. Le bih lanjut, mantan Cawapres pada Pilpres 2004 ini berharap kebenaran dan keadilan akan terungkap dan tetap mendapatkan tempat di Indonesia.Semoga Allah melindungi kejujuran ditengah himpitan kepalsuan, katanya. Menurut pendapat penulis, konflik antar elit NU itu tidak perlu terlalu tajam seperti apa yang telah terjadi apabila dalam pilkada putaran kedua dan pilkada ulang hanya ada satu pasangan yang merupakan kader NU dari kedua pasangan yang berkompetisi. Elit NU di Jawa Timur akan secara menjadi lebih kompak untuk mendukung satu pasangan saja. Walaupun kemudian ada sejumlah elit yang mendukung pasangan yang bukan kader NU tidak akan mendapat dukungan yang optimal dari masyarakat Jawa Timur warga NU.

4.3.2. Permasalahan DPT Pilkada Jawa Timur 2008-2009 Jumlah penduduk Jawa Timur hasil sensus penduduk tahun 2005 adalah 37.070.731 jiwa, dengan kepadatan 774 jiwa/km2. Kabupaten dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Kabupaten Malang, sedang kota dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Kota Surabaya. Laju pertumbuhan penduduk adalah 0,59% per tahun (2004).(http://www. wikipelda.com , 1 Juni 2009).

66

Berdasarkan hasil sensus penduduk

tahun 2005 dengan rata-rata

pertumbuan 0,59% maka jumlah penduduk Propinsi Jawa Timur pada saat menjelang Pilkada (2008) diperkirakan berjumlah 37,8 juta. Dari jumlah

penduduk tersebut, penduduk yang berhak memilih seharusnya berjumlah sekitar 28,1 juta orang. Akan tetapi ternyata jumlah penduduk yang terdaftar lebih

banyak dari itu yaitu sebanyak 29. 063,069 jiwa. Penduduk terdaftar berasal dari 8.481 desa/kelurahan yang tersebar di seluruh provinsi Jawa Timur. Untuk pelaksanaan pilkada disediakan sebanyak 62.539 Tempat (TPS). Dari jumlah penduduk yang terdaftar sebagai pemilih 29.063.069, jumlah penduduk yang ikut serta memberikan suaranya pada masing-masing tahapan pelaksanaan pilkada adalah sebagai berikut: (Sumber: Data KPU Jawa Timur : Pilkada 2008 Putaran Pertama). 1. Pilkada putaran pertama sebanyak 17.909.312 atau 61,6%. Dari jumlah tersebut terdapat sebanyak 895, 046 tidak sah sehingga suara yang terbagi pada masing-masing pasangan calon gubernur/wakil gubernur adalah 17.014 266. 2. Pilkada putaran kedua hanya diikuti oleh 54,7 %. sebanyak 15.906.008 atau Pemungutan Suara

Dari jumlah tersebut terdapat sebanyak 506.343

tidak sah

sehingga suara yang terbagi pada dua pasangan calon gubernur/wakil gubernur adalah 15.399. 665 suara.

67

Berdasarkan jumlah peserta yang ikut memilih terebut di atas, berarti terdapat 38,4% dari jumlah DPT yang tidak memanfaatkan hak pilihnya (golput) pada Pilkada Putaran Pertama dan jumlahnya meningkat tajam menjadi 45,3% atau hampir separuh dari jumlah DPT pada Pilkada Putaran Kedua. Fakta tersebut menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam Pilkada Jawa Timur 2008-2009 tidak berjalan sebagaimana mestinya mengingat pemilihan ini diselenggarakan di daerah. Secara teori Demokrasi tingkat lokal harus lebih mampu membawa partisipasi yang lebih baik karena komunitas di daerah relatif terbatas dan anggota masyarakatnya lebih tahu di antara satu dengan lainnya dianggap sebagai dasar argumen bahwa partisipasi masyarakat di daerah itu lebih bermakna apabila dibandingkan dengan partisipasi di tingkat nasional. Partisipasi politik di daerah lebih memungkinkan adanya deliberative democracy, yakni adanya komunikasi yang lebih langsung di antara anggota komunitas didaerah berdemokrasi. (Marijan, 2006 : 10-11). Penduduk terdaftar berasal dari 8.481 desa/kelurahan yang tersebar di seluruh provinsi Jawa Timur. Untuk pelaksanaan pilkada disediakan sebanyak 62.539 Tempat Pemungutan Suara (TPS). Dari jumlah penduduk yang terdaftar sebagai pemilih 29.063.069, jumlah penduduk yang ikut serta memberikan suaranya pada masing-masing tahapan pelaksanaan pilkada adalah sebagai berikut: (Data KPU Jawa Timur : Pilkada 2008 Putaran Pertama). 1. Pilkada putaran pertama sebanyak 17.909.312 atau 61,6% dari jumlah peserta Pilkada yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Dari jumlah tersebut terdapat sebanyak 895, 046 tidak sah sehingga suara yang

68

terbagi pada masing-masing pasangan calon gubernur/wakil gubernur adalah 17.014 266. 52,6% dari jumlah

2. Pilkada putaran kedua sebanyak 15.796.407 atau

peserta Pilkada yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Dari jumlah tersebut terdapat sebanyak 508.789 tidak sah sehingga suara yang terbagi pada masing-masing pasangan calon gubernur/wakil gubernur adalah 15.287.618. Salah satu faktor penyebab rendahnya jumlah partisipasi pemilih dalam Pilkada Jawa Timur 2008-2009 ini adalah tidak akuratnya DPT. Faktor ini juga yang kemudian menjadi salah faktor utama penyebab terjadinya konflik dalam Pilkada ini. Salah satu anggota tim advokasi pasangan Kaji Chaerul Anam dalam konfrensi pers, menyatakan bahwa kacaunya Pilkada ini adalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang terdapat di KPU Jatim. Di sinyalir hal ini terjadi karena adanya kecurangan sitemik. Tuduhan seperti itu didukung oleh bukti-bukti dengan beberapa contoh seperti adanya manipulasi Nomor Induk

Kependudukan (NIK). Misalnya, di kecamatan Karang Penang terdapat 428 NIK 3527105507600001 atas nama Rohli. Walaupun tempat, tanggal lahir dan jenis kelaminnya sama tetapi namanya berbeda-beda. Selain itu cukup banyak ditemukan nama-nama pemilih di bawah umur misalnya, Syaiful Anam,

Susilawati, Ikbal, Holis yang kesemuanya berumur 8 tahun. Data kecurangan ini menurt Choirul, hanya merupakan sebagai kecil dari banyak kecurangan yang terjadi. (http://www.surya.co.id, 9 Februari 2009)

69

Direktur eksekutif Cetro, Hadar Gumay menyatakan bahwa setidaknya hal ini menandakan ada yang tidak beres dengan DPT yang digunakan pilkada Jawa Timur, namun DPT tersebut tidak dapat diperbaiki karena KPU terbentur dengan undang-undang yang menyatakan bahwa penetapan DPT hanya sekali saja. (http://www.surya.co.id, 9 Februari 2009) Panitia Pengawas Pilgub Jatim melaporkan indikasi tindak pidana dalam pemilihan ulang di Bangkalan dan Sampang ke Polda Jatim, pada hari Senin 9 Februari 2009. Menurut Ketua Panitia Pengawas (Panwas) Jatim, Sri Sugeng, pihaknya sudah meneliti dan mengklarifikasi laporan tim sukses pasangan KaJi (Khofifah Indar Parawansa dan Mudjiono) dan melakukan komparasi

dengan KPU Sampang Hal ini dinyatakan di ruang rapat Ditreskrim Polda Jatim. Hasil pemeriksaan Panwas Jatim memutuskan adanya indikasi pelanggaran Pasal 115 Ayat (1) UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah terkait kesengajaan memberi keterangan tidak benar tentang diri seseorang atau orang lain yang dimasukkan dalam daftar pemilih. Menurutnya, jumlahnya memang tidak banyak, tapi ratusan orang yang ada di TPS (tempat pemungutan suara) 1, 2, 4, 5, 6, dan 7 Aeng Sareh, karena itu harus dibuktikan dan hasilnya diputuskan adanya indikasi pidana itu. (Panwas Pilgub Jatim Laporkan Kecurangan Ke Polisi, 10 Februari 2009). Sementara itu, di Bangkalan ada data pemilih yang masuk ke DPT (daftar pemilih tetap), namun pemilih yang bersangkutan masih di bawah umur sehingga Panwas Jatim menemukan adanya penambahan DPT antara Pilgub Jatim putaran kedua dengan Pilgub Ulang. Menanggapi hal itu, Kepala Bidang

70

Humas Polda Jatim Kombes Pol Pudji Astuti menyatakan bahwa terhadap laporan Panwas kalau ada indikasi pidana akan kami tindaklanjuti sesuai UU Pemilu, tapi kalau pelanggaran administrasi tidak akan kami proses karena hal itu merupakan kewenangan KPU Jatim. (Panwas Pilgub Jatim Laporkan Kecurangan Ke Polisi, 10 Februari 2009). Indikator lain atas terjadinya konflik politik yang disebabkan oleh kekacauan DPT Pilkada Jawa Timur 2008-2009 adalah peristiwa pengunduran diri Irjen Pol. Herman Suryadi Sumawireja mantan Kapolda Jawa Timur dari keanggotaan Polri pada hari Senin tanggal 16 Maret 2009. Herman sebetulnya masih punya waktu masa tugas akhir empat bulan, sebelum masuk masa pensiun tanggal 1 Juli 2009. Herman menyerahkan jabatannya kepada Brigjen Anton Bachrul Alam 20 Februari 2009. Dua hari sebelumnya, Herman menetapkan Ketua KPU Jatim Wahyudi Purnomo sebagai tersangka atas laporan Panwas Pilgub Jatim. Dia mengaku kecewa terhadap Kapolda Baru Jatim yang menurunkan status hukum Ketua KPU Jatim, Wahyudi Purnomo sebagai tersangka menjadi saksi dalam kasus kecurangan daftar pemilih tetap (DPT) di Madura. (http://www.surya.co.id, 17 Maret 2009). Pernyataan mantan Kapolda Jawa Timur Irjen Herman S Sumawiredja tersebut di atas makin menguatkan kubu pendukung Khofiffah

Indarparawansa-Mujiono (Kaji) tentang rekayasa kemenangan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf dalam Pilkada Ulang untuk melaksanakan Putusan MK. Kecurigaan ini disampaikan Sekjen DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Irgan Chairul Mahfiz kepada Persda Network (Grup SURYA), Selasa

71

(17/3). PPP adalah partai utama pendukung Kaji ketika itu. Menurut Irgan, Herman itu orang jujur. Dia itu orangnya dikenal bersih, dan prinsipnya sangat teguh sekali. Sikap mundurnya, telah meningkatkan keyakinannya bahwa hasil penghitungan suara di Pilgub Jatim, adalah sebuah rekayasa dan kemungkinan adanya intervensi pusat. Sebelumnya, Herman Sumawiredja mengatakan penetapan tersangka setelah tim penyidik memeriksa dan menyelidiki berkasberkas dan bukti-bukti yang diberikan Panwas pilgub Jatim dan adanya bukti kecurangan DPT yang dimiliki Polda. Irgan kemudian meminta kepada Kapolri Jendral Polisi Bambang Hendarso Danuri untuk menindaklanjuti penyelidikan yang sudah dilakukan oleh mantan Herman Sumawiredja. Bila tidak, intervensi dari pusat bisa saja dapat dibenarkan. (http://www.surya.co.id, 17 Maret 2009). Pengamat politik dari Universitas Paramadina Yudi Latif pada acara Launching Buku Ekspresi Islam Nusantara di Gedung Perpustakaan Nasional mengungkapkan, bila benar adanya indikasi kecurangan dalam proses pelaksanaan Pilgub Jatim, tentu saja bisa mencederai demokrasi. Hal itu menunjukan insitusi-institusi yang seharusnya menegakkan demokrasi, tidak mampu menegakkan suatu prinsip-prinsip demokrasi yang benar. Ada prosesproses yang membuat kredibilitasi proses demokrasi itu dipertanyakan. Menurutnya, kalau ini dibiarkan, di satu sisi proses demokrasi berjalan, tapi di satu sisi terkesan proses demokrasi itu hanya untuk kepentingan elit. Hal itu sejalan dengn harapan Irgan bahwa kasus ini jangan sampai merusak demokrasi yang sudah berjalan dengan baik ini dinodai atas pelaksanaan Pilgub Jatim ini. Hal itu akan membuat malu sendiri di dunia internasional karena

72

Indonesia adalah salah satu negara yang berhasil menjalankan demokrasi. (http://www.surya.co.id, 17 Maret 2009). Berbagai pernyataan-pernyaan di atas merupakan indikator kuat terjadinya konflik politik di antara kubu pasangan calon gubernur Kaji dengan kubu Karsa dalam Pilkada Jawa Timur 2008-2009. Perrnyataan-pernyataan di atas datang dari pihak Kaji dan ditujukan pada pihak Karsa sebagai calon dari Partai Demokrat dan PAN dengan dukungan Partai Keadilan. Mundurnya Irjen Pol Herman S Sumawiredja telah dijadikan komoditi politik oleh kubu Kaji untuk menyerang kubu Karsa. Terhadap eksploitasi kasus tersebut, Ketua DPP Partai Demokrat Bidang Politik Anas Urbaningrum membantah adanya tudingan intervensi seperti diungkapkan oleh mantan Kapolda Jawa Timur, Irjen Pol Herman S Sumawiredja. Anas tegas menyatakan dalam pelaksaanaan Pilgub Jatim, Polri sudah menunjukkan sikap netralitasnya. Kami tidak dalam posisi mengomentari mundurnya pak Herman. Yang kami sepenuhnya setuju adalah, Polri telah dan harus menjalankan prinsip netralitas dengan sungguh-sungguh. Kami lihat, sepanjang penyelenggaraan Pilgub Jatim, Polri telah menunjukkan netralitasnya, kata Anas Urbaningrum kepada Persda Network (Gup SURYA), Selasa (17/3). Mengomentari Soal DPT yang dipermasalahkan itu, Anas berharap Polri bisa menanganinya secara profesional. Kami yakin, Polri mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Terusterang, kami menilai penetapan status penyidikan terhadap masalah DPT terburu-buru, meminta penjelasan proses dan tahapan penetapan DPT dari KPU Jatim, adalah langkah awal yang lebih proposional.

73

Ia menolak, terkait tudingan pelaksanaan Pilgub Jatim penuh dengan kecurangan. Menurutnya hasil Pilgub Jatim, sama sekali tak ada hubungannya dengan masalah DPT walaupun sebenarnya pihak Karsa tidak mempengaruhi terhadap hasil Pilgub Jatim. (http://www.surya.co.id, 17 Maret 2009). Sementara itu pakar hukum yang juga anggota Komisi III dari Fraksi PDI Perjuangan, Gayus Lumbuun meminta kepada Polri untuk terbuka dan transparan dalam merespon mundurnya Irjen Herman S Sumawiredja. Apalagi, ini terkait dengan permasalahan daftar pemilih tetap (DPT) yang sebelumnya Ketua KPUD Jatim ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian dianulir statusnya menjadi saksi. Kasus DPT itu sebelumnya sudah masuk pada proses penyelidikan dan penyidikan dan sudah ditetapkan sebagai tersangka. Dan menjadi hal yang sangat langka seorang perwira tinggi mundur dengan semua resiko dan hak-haknya. Selama pengabdiannya sebagai anggota Polri, terkesan tidak direspon degnfan segera dan objektif, papar Gayus Lumbun. Ini bisa menjadi keraguan bagi masyarakat terhadap Mabes Polri. Semestinya, kasus yang pernah ditangani mantan Kapolda itu, tidak dihentikan. Justru, harus diteruskan sehingga ada kepastian hukum terkait adanya pihak yang merasa dirugikan dalam kasus ini. Kalau kasus ini didiamkan saja, bisa saja ini akan terjadi pada pemilu yang akan dilaksanakan, baik Pemilu legislatif maupun dalam putaran Pemilu presiden, lanjutnya lagi. Sebagian akibat dari konflik antara kubu Karsa dan Kaji dalam Pilkada Jawa Timur 2008-2009 itu meluas pada permasalahan politik yang lebih mendasar. Salah satunya adalah pernyataan mantan calon wakil gubernur Jawa

74

Timur, Mujiono, menyerukan kepada warga Jatim untuk terus berjuang pasca pemilihan kepala daerah. Ini terkait upaya hukum pihaknya setelah Ketua KPU Jatim, Wahyudi Purnomo, ditetapkan sebagai tersangka kasus pemalsuan daftar pemilih tetap. Menurut dia, perjuangan moral lebih efektif mengingat upaya hukum sudah ditempuh, seperti mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mujiono bertekad akan terus kami lakukan bersama masyarakat Jatim. Tapi bukan lagi ke jalur hukum, cukup perjuangan moral. Menurut Purnawirawan jenderal bintang satu ini, masyarakat Jawa Timur akan faham sendiri. Panitia Pilkadanya saja jadi tersangka karena kasus DPT, jadi dengan sendirinya masyarakat Jawa Timur meragukan hasil pelaksanaan Pilkada

Pilkada Jawa Timur 2008-2009. (http://www.surya.co.id, 17 Maret 2009). Padahal demokrasi di tingkat lokal semestinya dapat menjadi ajang

pendidikan politik yang baik karena proximity (jarak) dari pemerintah daerah dengan masyarakat lebih dekat dibandingkan dengan masyarakat dan pemerintah nsional. Pemerintah daerah lebih memungkinkan untuk dapat langsung berinteraksi dengan masyarakat ketika proses demokratisasi berlangsung (Marijan, 2006 : 10 -11). Dari analisis di atas, penulis memperoleh kesimpulan bahwa faktor utama penyebab terjadinya konflik dalam Pilkada Jawa Timur 2008-2009 adalah dua hal. Pertama, disebabkan oleh terjadinya konflik elit politik NU yang kemudian berkembang menjadi konflik diantara elit partai tidak hanya di Jawa Timur tetapi meningkat sampai tingkat pusat di Jakarta. Kedua, disebabkan adanya kekisruhan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang menimbulkan dugaan adanya

75

kecurangan yang sitemik yang kemudian menimbulkan konflik baik diantara para peserta Pilkada Jawa Timur 2008-2009 tetapi meluas ke berbagai

kalangan baik di Jawa Timur maupun tingkat pusat di Jakarta.

76

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan Pilkada Jawa Timur dimulai dengan pelaksanaan pilkada putaran pertama pada hari Rabu tanggal 23 Juli 2008. Tiga partai yang pada pemilu 2004 yang merupakan partai besar di Jawa Timur karena memperoleh suara dan memperoleh kursi DPRD lebih banyak dibandingkan dengan partai-partai lainnya pada Pemilu 2004, secara sendiri-sendiri mengusung calon gubernur dan wakil gubernur.

Dengan kata lain tidak terjadi koalisi antara partai besar dalam pilkada di Jawa Timur. Penetapan calon gubernur dan wakil gubernur tersebut telah sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 32 ahun 2004 dan UU No. 18 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Elit politik merupakan seseorang yang menduduki jabatan-jabatan politik (kekuasaan) di ekskutif dan legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum dan dipilih dalam proses politik yang demokratis. Elit poliltik lokal menduduki jabatan politik tinggi di tingkat lokal yang membuat dan menjalankan kebijakan politik. Gubernur, bupati, walikota, Ketua DPRD, anggota DPRD, dan pemimpinpemimpin partai politik merupakan bagian dari elit politik lokal. Elit non-politik adalah seseorang yang menduduki jabatan-jabatan strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam lingkup masyarakat. Elit non-politik

76

77

ini seperti: elit keagamaan, elit organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, profesi dan komunitas lain yang memperoleh penghargaan dari masyarakat. Konflik dapat dipahami dari berbagai dimensi untuk melihat faktor penyebab, motif dan kepentingan politiknya yaitu pertama, dari segi

pengertiannya konflik diartikan sebagai pertentangan yang terbuka antara kekuatan-kekuatan politik yang memperebutkan kekuasaan sehingga dapat dilihat oleh orang luar. Pengertian konflik merujuk pada hubungan antar kekuatan politik (kelompok dan individu) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran yang tidak sejalan dan yang kedua, sasaran-sasaran yang tidak sejalan sesungguhnya menunjukan adanya perbedaan kepentingan, karena itu kepentingan dapat di gunakan sebagai cara untuk melihat perbedaan motif diantara kelompok yang saling bertentangan, baik dalam kelompok yang kecil maupun kelompok yang besar. Perbedaan kepentingan setidaknya akan menunjukan motif mereka yang berkonflik. Wacana para elite merupakan suatu pesan politik yang dikemas dengan teknik pemasaran yang sebaiknya dibaca sebagai perembesan nilai komersial kedalam politik dan perembesan itu, tanpa disadari oleh semua pelaku politik, tiba-tiba sebuah budaya baru muncul, atau lebih tepatnya kerangka besar kolonialisme budaya itu menjadi nyata, dan amat bersifat politis. Demokrasi di daerah merupakan prasyarat bagi munculnya demokrasi di tingkat nasional. Pandangan yang bercorak fungsional ini berangkat dari asumsi bahwa ketika terdapat perbaikan kualitas demokrasi di daerah, secara otomatis bisa diartikan sebagai adanya perbaikan kualitas demokrasi di tingkat nasional.

78

Pilkada Jawa Timur 2008 2009 diikuti oleh 5 (lima) pasangan yaitu Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji), Soenarjo-Ali Maschan Moesa (Salam), Soekarwo-Syaifullah Yusuf (Karsa), Soejtipto-Ridwan Hisjam (SR), Achmady-Soehartono (Achsan). Tidak satupun pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur yang berhasil memenangkan Pilkada putaran pertama sehingga Pilkada dilanjutkan ke putaran kedua yang diikuti oleh Pasangan Karsa dan Kaji. Selisih perolehan yang sangat tipis dan adanya isu-isu kecurangan yang muncul ke permukaan mendorong pasangan Kaji untuk mengajukan Pilkada Ulang ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang kemudian memutuskan dilakukan pilkada ulang di Kabupaten Sampang dan Bangkalan serta perhitungan ulang di Bangkalan. Pilkada ulang tersebut tidak merubah pemenang Pilkada sehingga pasangan Karsa tetap sebagai pemenang Pilkada Jawa Timur 2008-2009. Faktor penyebab terjadinya konflik politik pada Pilkada Jawa Timur

2008-2009 disebabkan oleh dua hal yaitu pecahnya dukungan elit NU pada para calon yang masing-masing diikuti oleh kader NU baik sebagai calon gubernur seperi Khofifah Indar Parawansa maupun sebagai wakil gubernur seperti Syaefullah Yusuf. Mendekati pelaksanaan Pilkada putaran pertama, tubuh NU diwarnai dengan konflik persaingan pengaruh dalam antar elit NU itu sendiri. Konflik anta elilt NU lebih diperjelas dengan munculnya Hasim Muzadi, Ketua PBNU yang menyatakan bahwa secara pribadi mendukung dan berharap warga Nahdliyin mendukung Khofifah. Partai pecahan PKB yaitu PKNU terangterangan menentukan pasangan Kaji sebagai pilihannya. Di kalangan kiai dan

79

Badan-Badan

Otonom

(Banom)

NU

yang

menyatakan

terang-terangan

memberkan dukungan yang berbeda pada Pilkada putaran kedua baik yang terangterangan mendukung psangan Karsa maupun pasangan Kaji. Dukungan terhadap para kiai berpengaruh terhadap pasangan Karsa lelbih merupakan hasil dari kedua pasangan dalam menggalang para kiai berpengaruh di Jatim yang selama ini masih enggan dipimpin perempuan. Dukungan para kiai ini bahkan diumumkan melalui iklan di berbagai media cetak dan elektronik di Jawa Timur. Dengan selesainya Pilkada Jawa Timur 2008-2009, konflik antar elit NU tidak langsung berhenti. Berbagai komentar muncul dari elit NU pendukung Khofifah terutama dikaitkan dengan pengunduran diri Irjen Pol. Herman Suryadi Sumawireja mantan Kapolda Jawa Timur dari keanggotaan Polri pada hari Senin tanggal 16 Maret 2009. Faktor penyebab lain dalam Pilkada Jawa Timur 2008-2009 ini adalah tidak akuratnya DPT. Faktor ini juga yang kemudian menjadi salah faktor utama penyebab terjadinya konflik dalam Pilkada ini. Salah satu anggota tim advokasi pasangan Kaji Chaerul Anam dalam konfrensi pers, menyatakan bahwa kacaunya Pilkada ini adalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang terdapat di KPU Jatim. Di sinyalir hal ini terjadi karena adanya kecurangan sitemik. Tuduhan seperti itu didukung oleh bukti-bukti dengan beberapa contoh seperti adanya manipulasi Nomor Induk Kependudukan (NIK). Diduga ada yang tidak beres dengan DPT yang digunakan pilkada Jawa Timur, namun DPT tersebut tidak dapat diperbaiki karena KPU terbentur dengan undang-undang yang menyatakan bahwa penetapan DPT hanya sekali saja.

80

Hasil

pemeriksaan

Panwas

Jatim

memutuskan

adanya

indikasi

pelanggaran Pasal 115 Ayat (1) UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah terkait kesengajaan memberi keterangan tidak benar tentang diri seseorang atau orang lain yang dimasukkan dalam daftar pemilih. 5.2.Saran 1. Sebaiknya elit NU termasuk di Jawa Timur, menyadari bahwa NU sebagai organisasi keagamaan yang memiliki basis terkuat di Indonesia, semakin lama kharismanya semakin menurun. Oleh karena elit NU semestinya secara sadar bersatu padu untuk mempetahankan wibawanya dalam percaturan politik di Indonesia. Konflik yang terjadi diantara warga NU hanya akan

mengakibatkan tergusurnya posisi politik kader NU di Indonesia. Jika demikian, kelompok politik yang berbasiskan nasionalisme atau kebangsaan pada gilirannya akan mengendalikan semua sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. 2. Perlu diwaspadai bahwa saat ini ada indikasi menggunakan Daftar Pemilih Tetap dalam pemilihan umum baik tingkat daerah maupun tingkat nasional sebagai modus baru kecurangan pemilihan umum. Perlu dipikirkan secara bersama-sama untuk memanfaatkan teknologi seoptimal mungkin dalam pelaksanan pendaftaran pemilih yang dapat meminimalkan terjadinya kecurangan yang seringkali sulit dibuktikan.

81

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku : Alfian, Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1985. Apter , E. David, Pengantar Analisa Politik, LP3ES, Jakarta Anggota IKAPI, April 1985 Arbi Sanit, Ormas dan Politik, LSIP, Jakarta, 1995. Budiardjo, Mariam, Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992. Budiyanto,. Dasar-Dasar Ilmu Tata Negara. Jakarta, Erlanggam 2000. Ebers, Hans-Dieter, and, Schiel,Tilman, Kelompok-kelmpok Strategis; studi perbandingan tentang Negara, Birokrasi, dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga, Yayasan Obor Indonesia, 1988. Faisal, Sanapiah Format-Format Penelitian Sosial : Dasar-Dasar dan Aplikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999) Firmanzah, Marketing Politik, Antara Pemahaman dan Realitas, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007. Kartikasari, NS. Mengelola Konflik Ketrampilan & Strategi Untuk Bertindak, Jakarta 2000. Keller, Susan Penguasa dan Kelompok Elit Peranan Elit-Penentu dalam Masyarakat Modern, Rajawali Pers, Jakarta Marijan, Kacung, Demokratisasi Di Daerah (Pelajaran Dari PILKADA Secara Langsung), Pustaka Eureka dan PusDeHAM, Surabaya, 2006. Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, 2000. PT. Remaja Rosdakarya,

Nazir , Moh, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988. Prihatmoko, Joko J., Mendemokratiskan Pemilu dari Sistem sampai Elemen Teknis,Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008. Rauf La Ode, Peranan Elit Dalam Modernisasi, Balai Pustaka : Jakarta , 1999

81

82

Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1990 Subangun, Emmanuel Politik Kekuasaan Pasca Pemilu, Yogyakarta, Yayasan Alocita, 1999. Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1992 Suryadi, Syamsu, Indonesia dan Komunikasi Politik dalam Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1993. Susan, Novri, Sosiologi Konflik & Isu-isu Kontemporer,Kencana Prenada Media Group, 2009. Undang Undang Otonomi Daerah 2004 Terdiri : Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat Dan Pemerintahan Daerah, Penerbit CV. Kharisma Solo Usman, Husaini & Purnomo S. Akbar, Metode Penelitian Sosial, Bumi Aksara, Jakarta, 1998. Varma, SP, Teori Politik Modern, Rajawali Pers, Jakarta, 1999.

B. Sumber Lain : http://www.cahayasura.com Inilah Sepuluh Calon Pemimpin Jawa Timur 2008 Diakses tanggal 2 Maret 2009. http://www.cahayasura.com Kepada Siapa NU berihak? Diakses tanggal 25 Juli 2008. http://Kompas.co.id KPU tetapkan Karsa dan Kaji ke Putaran Dua. Sabtu. 2 Agustus 2008. http://kabarnadura.com 2008. Lain Bangkalan Lain Pula Sampang 12 Desember

http;//www.sejarahbangsaindonesia.com., 5 Juni 2009 http://www.surabayapagi.com Madura Mulai Bergolak: Turun Ke Jalan, Tolak Pilkada Ulang, Tuntut MK dibubarkan. 12 Desember 2008. http://www.tebuireng.net. 2.350 Polisi Ditarik dari Sampang, diakses tanggal 22 Januari 2009.

Anda mungkin juga menyukai