Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN KELOMPOK BLOK XII THT SKENARIO 2

OMA (TAMBAHIN LAGI YA, UDAH BINGUNG DULUAN)

Oleh: Kelompok XII (nama temen2 tolong diisi, lupa) I Gusti Putu Sista W (G0008106) TUTOR : Lupa heheh...

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2010

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Otitis media merupakan peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media terbagi atas otitis media supuratif dan non-supuratif, dimana masing-masing memiliki bentuk akut dan kronis. Otitis media akut termasuk ke dalam jenis otitis media supuratif. Selain itu, terdapat juga jenis otitis media spesifik, yaitu otitis media tuberkulsa, otitis media sifilitik dan otitis media adhesive. Otitis media pada anak-anak banyak dijumpai bersamaan atau setelah terjadi infeksi saluran pernapasan atas pada anak tersebut. Adanya beberapa factor predisposisi yang menyebabkan terjadinya otitis media ini turut mengambil andil. Maka, perlu diketahuia apa saja yang mempengaruhi dan menyebabkan terjadinya otitis media baik bersamaan maupun karena diakibatkan oleh infeksi saluran pernapasan atas. Penanganan yang baik dapat mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut. Ilmu-ilmu dasar perlu dikuasai dan perlu memahami mengenai otitis media dan kaitannya dengan beberapa penyakit lain sebagai suatu pegangan dalam emnentukan diagnosis dan melakukan manajemen penyakit ini dengan baik dan tepat. Oleh karena itu, sebagai upaya pembelajaran maka pada pembahasa akan dibahas beberapa masalah mengenai otitis media dan kaitannya dengan infeksi pernapasan atas. B. RUMUSAN MASALAH 1. 2. 3. 4. 5. Bagaimanakah anatomi, histologi dan fisiologi sistema auditiva? Apakah ada hubungan antara sistema auditiva dengan hidung dan faring secara anatomis? Bagaimanakah perjalanan penyakit dari hidung dan faring sampai ke telinga? Bagaimanakah faktor perdisposisi umur berperan dalam patogenesis penyakit yang diderita oleh pasien? Bagaimanakah patofisiologi dari masing-masing manifestasi klinis? Bagaimanakah interpretasi dari setiap hasil pemeriksaan fisik dan penunjang? Mengapa bisa terjadi demikian?

6. 7. 8.

Bagaimanakah patogenesisnya? Apakah diagnosis kerja berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan penunjang? Bagaimanakah penatalaksanaan yang tepat, komplikasi dan prognosisnya?

C. TUJUAN PEMBELAJARAN dan MANFAAT 1.Mampu menjelaskan anatomi, histologi dan fisiologi organon auditiva. 2.Mampu menjelaskan klasifikasi, etiologi, patogenesis, patofisiologi, manifestasi klinis dan faktor-faktor pencetus otitis media. 3.Mampu menyusun data dari gejala, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan diagnosis banding dan menegakkan diagnosis kerja. 4.Mengetahui penatalaksanaan yang sesuai dengan keadaan pasien serta komplikasinya dan prognosis secara umum. D. HIPOTESIS Tonsilofaringitis atau Infeksi Saluran Pernapasan Atas dapat berlanjut menjadi otitis media dan berkembang menjadi otitis media supuratif kronis apabila tidak mendapatkan penatalaksanaan secara adekuat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. ANATOMI TELINGAN DAN TENGGOROK Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks (pendengaran dan keseimbangan). Telinga dibagi atas: A. Telinga Luar Telinga luar, yang terdiri dari auricula (atau pinna) dan canalis auditorius eksternus, dipisahkan dari telinga tengan oleh struktur seperti cakram yang dinamakan membrana tympani (gendang telinga). Auricula melekat ke sisi kepala oleh kulit dan tersusun terutama oleh kartilago, kecuali lemak dan jaringan bawah kulit pada lobus telinga. Aurikulus membantu pengumpulan gelombang suara dan perjalanannya sepanjang canalis auditorius eksternus. Tepat di depan meatus auditorius eksternus adalah sendi temporal mandibular. Kaput mandibula dapat dirasakan dengan meletakkan ujung jari di meatus auditorius eksternus ketika membuka dan menutup mulut. Canalis auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5 sentimeter. Sepertiga lateral mempunyai kerangka cartilago dan fibrosa padat di mana kulit terlekat. Dua pertiga medial tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis. Canalis auditorius eksternus berakhir pada membrana tympani. Kulit dalam kanal mengandung kelenjar khusus, glandula seruminosa, yang mensekresi substansi seperti lilin yang disebut serumen. (Soetirto dkk, 2008) B. Telinga Tengah Telinga tengah tersusun atas membrana tympani (gendang telinga) di sebelah lateral dan kapsul otik di sebelah medial celah telinga tengah terletak di antara kedua Membrana tympani terletak pada akhiran canalis aurius eksternus dan menandai batas lateral telinga, Membran ini sekitar 1 cm dan selaput tipis normalnya berwarna kelabu mutiara dan translulen.Telinga tengah merupakan rongga berisi udara merupakan rumah bagi osikuli (tulang telinga tengah) dihubungkan dengan tuba eustachii ke nasofaring berhubungan dengan beberapa sel berisi udara di bagian mastoid tulang temporal.

Telinga tengah mengandung tulang terkecil (osikuli) yaitu malleus, incus, dan stapes. Ossiculi dipertahankan pada tempatnya oleh sendian, otot, dan ligamen, yang membantu hantaran suara. Ada dua jendela kecil dan dinding medial telinga tengah, yang memisahkan telinga tengah dengan telinga dalam. Bagian dataran kaki menjejak pada jendela oval, di mana suara dihantar telinga tengah. Jendela bulat memberikan jalan ke getaran suara. Jendela bulat ditutupi oleh membrana sangat tipis, dan dataran kaki stapes ditahan oleh yang agak tipis, atau struktur berbentuk cincin. anulus jendela bulat maupun jendela oval mudah mengalami robekan. Bila ini terjadi, cairan dari dalam dapat mengalami kebocoran ke telinga tengah kondisi ini dinamakan fistula perilimfe. Tuba eustachii yang lebarnya sekitar 1mm panjangnya sekitar 35 mm, menghubungkan teling tengah ke nasofaring. Normalnya, tuba eustachii tertutup, namun dapat terbuka akibat kontraksi otot palatum ketika melakukan manuver Valsalva atau menguap atau menelan. Tuba berfungsi sebagai drainase untuk sekresi dan menyeimbangkan tekanan dalam telinga tengah dengan tekanan atmosfer.(Nurseidea, 2009) C. Telinga Dalam Telinga dalam tertanam jauh di dalam bagian tulang temporal. Organ untuk pendengaran (cochlea) dan keseimbangan (canalis semisirkularis), begitu juga cranial VII (nervus fasialis) dan VIII (nervus cochlea vestibularis) semuanya merupakan bagian dari komplek anatomi. Cochlea dan canalis semisirkularis bersama menyusun tulang labirint. Ketiga canalis semisi posterior, superior dan lateral erletak membentuk sudut 90 derajat satu sama lain dan mengandung organ yang berhubungan dengan keseimbangan. Organ ahir reseptor ini distimulasi oleh perubahan kecepatan dan arah gerakan seseorang. Cochlea berbentuk seperti rumah siput dengan panjang sekitar 3,5 cm dengan dua setengah lingkaran spiral dan mengandung organ akhir untuk pendengaran, dinamakan organ Corti. Di dalam lulang labirin, namun tidak sempurna mengisinya. Labirin membranosa terendam dalam cairan yang dinamakan perilimfe, yang berhubungan langsung dengan cairan serebrospinal dalam otak melalui aquaduktus cochlearis. Labirin membranosa tersusun atas

utrikulus, akulus, dan canalis semisirkularis, duktus cochlearis, dan organon Corti. Labirin membranosa memegang cairan yang dinamakan endolimfe. Terdapat keseimbangan yang sangat tepat antara perilimfe dan endolimfe dalam telinga dalam; banyak kelainan telinga dalam terjadi bila keseimbangan ini terganggu. Percepatan angular menyebabkan gerakan dalam cairan telinga dalam di dalam canalis dan merang-sang sel-sel rambut labirin membranosa. Akibatnya terjadi aktivitas elektris yang berjalan sepanjang cabang vestibular nervus cranialis VIII ke otak. Perubahan posisi kepala dan percepatan linear merangsang sel-sel rambut utrikulus. Ini juga mengakibatkan aktivitas elektris yang akan dihantarkan ke otak oleh nervus cranialis VIII. Di dalam canalis auditorius internus, nervus cochlearis (akus-dk), yang muncul dari cochlea, bergabung dengan nervus vestibularis, yang muncul dari canalis semisirkularis, utrikulus, dan sakulus, menjadi nervus cochlearis (nervus cranialis VIII). Yang bergabung dengan nervus ini di dalam canalis auditorius internus adalah nervus fasialis (nervus cranialis VII). Canalis auditorius internus membawa nervus tersebut dan asupan darah ke batang otak.(Soetirto dkk, 2009) Pharynx adalah bagian dari tractus digestivus dan tractus respiratorius yang terletak dibelakang cavum nasi, cavum oris dan di belakang larynx. Merupakan saluran musculomembranosus yang berbentuk kerucut dengan basis diatas dan apex dibawah. Pharynx membentang dari basis cranii (tuberculum pharyngeum) sampai setinggi cart. Cricoid di bagian depan dan setinggi VC 6 di bagian belakang. Pharynx terdiri dari: A. Nasopharynx Bagian pharynx yang berada dibelakang cavum nasi dan diatas palatum molle berfungsi sebagai tract. Respiratorius sehingga dindingnya tidak kolaps. Sceletopis pharynx yaitu pada Vertebrae Cervical I. dengan oropharynx lewat Isthmus pharyngeus. Nasopharynx dihubungkan dengan cavum nasi oleh choanae.Nasopharynx berhubungan

B. Oropharynx Bagian pharynx yang terletak di belakang cavum oris, setinggi palatum molle sampai ke tepi atas epiglottis. Sceletopis VC 2-3.Berhubungan dengan cavum oris melalui Isthmus faucium. Di daerah isthmus faucium terdapat suatu lingkaran jarinagn limfoid (annulus waldeyer`s) yang tersusun dari rangkaian : Cranial : tonsilla pharyngea; lateral : tonsilla palatina; caudal : tonsilla lingualis. Annulus waldeyer`s berfungsi sebagai barrier terhadap rembetan infeksi. C. Laryngopharynx Bagian pharynx ini terletak setinggi tepi atas cart. Epiglottis sampai tepi bawah cartilago cricoidea untuk kemudian melanjutkan ke oesophagus. (Budianto, 2005) B. FISIOLOGI PENDENGARAN Proses pendengaran adalah suatu proses perubahan gelombang suara, menjadi gelombang mekanik, dan menjadi gelombang listrik, hingga dapat dipersepsikan pada susunan saraf pusat kita. Mekanisme fisiologis terjadinya pendengaran, diawali dengan gelombang suara yang sampai pada membrane tympani, dan getaran dari membrane tympani menyebabkan pergerakan tulang pendengaran. Pergerakan dari os. Stapedius pada fenestra vestibule akan menghasilkan gelombang tekanan pada perilymphe di ductus vestibularis. Gelombang tekanan akan mengubah membrane basilaris dalam perjalanannya menuju fenestrae cochleae scala tympani. Getaran pada membrane basilaris akan menyebabkan getaran sel rambut terhadap membrane tectorial. Informasi mengenai daerah dan intensitas rangsang akan direlay ke susunan saraf pusat melalui nervus cochlearis, cabang N.VIII. Suara yang ditangkap oleh telinga kita, mengalami peningkatan 5-6 dB, karena adanya membrane tympani, sedangkan pada ossiculae auditiva akan memiliki lever effect, yang berfungsi untuk meningkatkan gaya tekanan yang diterima oleh membrane tympani sebesar 1,3x, untuk diteruskan kepada fenestra vestibuli. Namun dilain pihak bila gelombang suara yang ditangkap terlalu keras,

maka peran dari otot m. Tensor tympani, dan m. stapedius, akan menarik os. Malleus ke arah medial, dan os. Stapedius ke arah lateral, sehingga frekuensi yang terlalu tinggi dapat diredam, dan alat pendengaran kita tidak mengalami kerusakan. Proses pendegaran, sangat bergantung dari pergerakan sel rambut pada skala media, yang mengerakan membrana tektorial. Sel rambut sendiri dapat dibedakan menjadi sel rambut luar, dan sel rambut dalam, dimana sel rambut dalam merupakan tempat penerima rangsangan, namun sel rambut luar lah yang justru berperan dalam proses pendengaran, sehingga bila terjadi kerusakan pada sel rambut luar, dapat terjadi ketulian. Pembagian sel rambut pada bagian basis cochlea lebih panjang, dan tinggi, serta lebih banyak, karena ditempat tersebut berfungsi untuk menangkap suara dalam keadaan normal, sedangkan pada bagian apex cochlea, sel rambut lebih pendek, dan jarang, karena pada bagian tersebut berfungsi untuk menangkap suara yang lebih lembut atau kecil. C. OTITIS MEDIA AKUT Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media mempunyai bentuk yang akut maupun kronis, yaitu otitis media supuratif akut (OMA) dan otitis media supuratif kronik (OMSK). Otitis media akut terjadi karena factor pertahanan tubuh terganggu. Sumbatan pada tuba eustachius merupakan factor penyebab utama dari otitis media. Karena fungsi tuba eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman ke dalam telinga juga terganggu, sehingga kuman dengan mudahnya masuk ke dalam telinga. Pada anak, makin sering anak terserang infeksi saluran napas, makin besar kemungkinan terjadinya OMA. Kuman penyebab utama OMA adlah bakteri piogenik, selain itu kadang juga ditemukan Hemofilus influenza yang sering ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun, Escheria coli, Streptococus anhemoliticus, Proteus vulgaris dan Pseudomonas aurugenosa. Stadium OMA dibagi atas 5 stadium : 1) stadium oklusi tuba eustachius, 2) stadium hiperemis, 3) stadium supurasi, 4) stadium perforasi, dan 5) stadium resolusi.

Stadium Oklusi Tuba Eustachius Retrak si membrane thympani karena tekanan negative dalam telinga tengah g membrane nampak normal, berwarna pucat Kadan

Stadium Hiperemis Pembuluh darah melebar di sebagian/ seluruh membrane thympani Sekretnya bersifat eksudat serosa

Stadium Supurasi Edema hebat mukosa telinga Hancurnya sel epitel superficiale Eksudat purulen Membrane thympani bulging kea rah luar

Stadium Perforasi Terjadi akibat pemberian antibiotika Tingkat virulensi tinggi Rupture membrane thympani Nanah (pus) mengalir keluar

Stadium Resolusi Membrane thympani perlahan normal Secret berkurang dan kering Bila tahan tubuh bagus, virulensi rendah, dapat terjadi penyembu han tanpa pengobatan daya

BAB III PEMBAHASAN Dari kasus skenario di atas, dapat ditarik hal-hal berikut. Keluhan sakit menelan dan nyeri tenggorok yang disampaikan oleh pasien anak (8 tahun) ini merupakan indikasi adanya peradangan di nasofaring, orofaring, atau di hipofaring. Peradangan pada pharynx lebih dikenal dengan sebutan pharingitis. Pharingitis biasanya tidak berdiri sendiri, melainkan berbarengan dengan peradangan pada tonsil sehingga dinamakan tonsillopharingitis. Tonsillopharingitis merupakan salah satu dari infeksi saluran pernapasan bagian atas (ISPA). Tonsilofaringitis disebabkan oleh kuman Streptococcus beta hemolyticus, Streptococcus viridans, dan Streptococcus pyogenes yang adalah penyebab terbanyak. Dapat juga disebabkan oleh virus. Kuman akan menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Manifestasi klinis penderita tonsilopharingitis yaitu suhu tubuh naik, sore throat, malaise, nyeri sendi, odinofagia, anoreksia, dan otalgia. Tonsilopharingitis sebagai akibat infeksi sekunder juga dapat terjadi, yang berasal dari infeksi sinus paranasalis atau infeksi sekunder akibat rhinitis akut sehingga ditemukan keluhan batuk pilek. Terkumpulnya cairan sekret dalam hidung (rinorea) yang banyak dalam hidung dapat menimbulkan keadaan hidung buntu. Badan terasa panas disertai menggigil merupakan akibat dari mediatormediator peradangan pharynx. Pada pemeriksaan tenggorok didapat mukosa pharynx hiperemis, tonsil T3-T3. Tampaknya, tonsil yang membengkak dan perlukaan yang mungkin saja terjadi di rongga tenggorok merupakan penyebab timbulnya rasa sakit saat menelan atau sulit menelan. Derajat tonsilitis terdiri dari 4 derajat yaitu: (1) T 1, bila tidak melebihi arcus anterior; (2) T2, bila melebihi arcus anterior dan melewati linea paramediana; (3) T3 bila mendekati linea mediana; dan (4) disebut T4 bila sudah melewati linea mediana. Bila telah dilakukan tonsilektomi, maka dinamakan T 0.

Pada pasien ini didapatkan tonsil T3-T3 yang memiliki pengertian kedua sisi tonsil sudah mendekati linea mediana. Pada proses radang yang berulang, epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus. Peradangan pada nasopharynx meningkatkan vaskularisasi pada konka dan permeabilitasnya, sehingga pada pemeriksaan hidung didapat rinorea (beringus), konka hiperemis. Pembesaran kelenjar limfe leher dan nyeri tekan merupakan respon peradangan yang terjadi di pharing. Peningkatan lekosit polimorfonuklear di fokus infeksi menyebabkan peningkatan laju endap darah (LED). Dalam keadaan normal, telinga tengah steril dengan adanya mekanisme pencegahan masuknya mikroba ke dalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba Eustachius. Bila pertahanan ini terganggu, otitis media akut (OMA) dapat terjadi. Sumbatan tuba Eustachius merupakan faktor penyebab utama dari otitis media. Otitis media adalah proses inflamasi pada telinga tengah (cavum tympani). Pada perjalanan penyakitnya, dikenal 5 stadium otitis media akut (OMA), yaitu stadium oklusi tuba eustachius, stadium hiperemis, stadium supurasi, stadium perforasi, dan stadium resolusi. Tanda oklusi tuba eustachii adalah gambaran retraksi membran tympani akibat tekanan negatif di dalam telinga tengah. Retraksi membran tympani ini menyebabkan fungsi redam suara terganggu sehingga timbul tinnitus (telinga berdenging). Selain itu, aerasi juga terganggu sehingga permeabilitas vaskular di cavum timpani meningkat, terjadi kebocoran, akhirnya menimbulkan terkumpulnya cairan di rongga telinga tengah. Dalam kondisi seperti ini, invasi kuman menyebabkan peradangan dan mengundang mediator-mediator inflamasi. Mediator-mediator ini bertanggung jawab atas timbulnya rasa sakit pada telinga. Pada stadium hiperemis, tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemis serta edem. Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superficial, serta terbentuknya eksudat yang purulen di cavum tympani, menyebabkan membran tympani menonjol (bulging) ke arah liang telinga luar.

Apabila tekanan nanah di cavum tympani tidak berkurang, terjadi iskemia, timbul tromboflebitis vena kecil dan nekrosis mukosa-submukosa. Nekrosis terlihat sebagai daerah kuning yang lembek. Di tempat ini akan terjadi ruptur. Rupturnya membran tympani dikenal sebagai stadium perforasi. Perforasi dengan pulsating point, yang merupakan tanda khas otitis media akut, disebabkan oleh tekanan pus dari rongga telinga tengah ke membran tympani. Stadium terakhir adalah stadium resolusi, yaitu stadium penyembuhan. Cairan seromuko purulen yang ada di rongga telinga tengah akan mencari jalan untuk keluar. Satu-satunya jalan adalah dengan rupturnya membran tympani. Ketika cairan sudah dikeluarkan, kuman keluar dan mediator inflamasi juga berkurang, sehingga panas badan berkurang. Setelah diberi pengobatan antibiotik, paracetamol, dekongestan, dan mukolitik, oasien merasa membaik. Paracetamol, dekongestan dan mukolitik merupakan terapi simptomatik yang dapat mengurangi gejala dan keluhan pasien. Tentu saja pasien merasa membaik. Namun bila antibiotik sebagai terapi kausa diberikan tanpa melihat sensitivitas kuman, atau pemberian obat inadekuat, penyakit tidak sembuh dan berlanjut menjadi kronis. Keadaan ini dibuktikan melalui keluhan pasien yang timbul lagi 1 bulan kemudian. Pasien mengeluh telinga keluar cairan dan berbau amis. Pemeriksaan telinga didapat membran tympani perforasi central dengan tepi licin. Tanda dan keluhan ini mengindikasikan otitis media supurativa kronis (OMSK) benigna. Penatalaksanaan tonsilopharingitis yang disarankan penulis adalah tonsilektomi. Sebab pada pasien ini ditemukan indikasi operasi tonsilektomi seperti tonsilitis kronis, pembesaran kelenjar leher, adanya OMSK, dan adanya gangguan menelan. Penatalaksanaan OMSK benigna adalah dengan cuci telinga, antibiotik topikal, dan antibiotik sistemik. Bila otore menetap lebih dari 1 minggu, antibiotik diberikan berdasarkan pemeriksaan mikroorganisme. Otore yang menetap lebih dari 3 bulan, idealnya dilakukan timpanoplasti dan mastoidektomi bila ditemukan adanya mastoiditis. OMSK yang tidak ditatalaksana secara adekuat dapat berkembang menjadi OMSK maligna/ kolesteatoma, bahkan dapat menimbulkan komplikasi ke

intrakranial atau intra temporal. Komplikasi OMSK intra kranial yaitu abses ekstra dura, abses subdura, tromboflebitis sinus lateral, meningitis, abses otak, meningitis otikus. Komplikasi OMSK intra temporal yaitu abses subperiostal, paresis facial, labirinitis, dan petrositis.

BAB IV SIMPULAN Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, maka simpulan yang dapat diambil dan saran yang dapat diberikan antara lain: Pasien anak ini menderita tonsilopharingitis pada mulanya. Infeksi menjalar perkontinutatum ke rongga telinga tengah melalui tuba auditiva, menimbulkan peradangan pada telinga tengah. Otitis media akut yang diderita pasien sudah sampai pada stadium perforasi. Diduga karena pengobatan yang inadekuat dan belum tercapainya stadium resolusi, infeksi berkembang menjadi otitis media supurativa kronis benigna.

BAB V DAFTAR PUSTAKA Budianto, Anang, 2005. Guidance to Anatomy 3. Surakarta: Keluarga Besar Asisten Anatomi FK UNS, pp: 53-60. Guyton and Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Penerbit buku kedokteran EGC. Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W. I., Setiowulan, W. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Penerbit Media Aesculapius FK UI Nurseidea, 2009. Anatomi Fisiologi Telinga.

http://nursecerdas.wordpress.com/2009/05/217/. (10 September 2009) Soetirto Indro dkk, 2008. Gangguan Pendengaran (Tuli). Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Editor: Efiaty Arsyad Soepardi dkk. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, pp:1.0-3

Anda mungkin juga menyukai