Anda di halaman 1dari 16

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Pengaruh diabetes pada jaringan periodonsium telah diamati secara keseluruhan.

Meskipun sukar untuk membuat kesimpulan yang definitive tentang efek spesifik diabetes pada jaringan periodonsium, variasi perubahan telah dijelaskan termasuk tendensi pembesaran gingival, terbentuknya gingival polip, proliferasi gingival polipoid, terbentuknya abses, periodontitis dan kehilangan gigi. Perubahan yang paling parah pada diabetes yang tidak terkontrol adalah berkurangnya perlawanan terhadap dan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi yang menyebabkan kerusakan pada jaringan periodontal. Sejumlah perubahan oral yang dijelaskan pada diabetes, termasuk cheilosis, mukosa kering dan pecah- pecah, rasa terbakar pada mulut dan lidah, berkurangnya aliran saliva, dengan spesies yang dominant yaitu Candida albicans, streptococcus hemolitikus, dan stafilokokus. Rasio meningkatnya karies gigi juga diamati pada diabetes yang tidak terkontrol. Harus diingat bahwa perubahan tidak selalu terlihat, tidak spesifik, dan tidak patognomonik untuk diabetes. Selain itu, perubahan yang diamati juga pada diabetes yang terkontrol. Individu dengan diabetes yang terkontrol memiliki respon terhadap jaringan yang normal, perkembangan gigi-geligi yang normal, dan perlawanan terhadap infeksi yang normal pula, dan tidak ada peningkatan insiden karies gigi. Literature untuk pernyataan ini dan pengaruh secara keseluruhan terhadap fakta tentang adanya penyakit periodontal pada diabetes mellitus tidak konsisten atau merupakan pola yang nyata. Inflamasi gingival tingkat lanjut, poket periodontal yang sangat dalam, kehilangan tulang yang cepat, dan abses periodontal sering terdapat pada pasien diabetes mellitus yang memiliki oral hygiene yang buruk (lihat gambar 12-1). Anak-anak dengan diabetes mellitus tipe I cenderung memiliki destruksi yang lebih parah di sekitar M1 dan insisivus daripada di sekitar gigi yang lain, tetapi destruksi ini menjadi lebih luas seiring dengan meningkatnya umur. Pada juvenile diabetic, destruksi periodontal yang luas sering terjadi sehubungan dengan umur pasien. Peneliti yang lain telah melaporkan adanya rasio destruksi periodontal yang terlihat sama pada pasien diabetes atau tanpa diabetes, sampai usia 30 tahun. Setelah usia 30 tahun, terdapat derajat destruksi yang lebih parah pada pasien diabetes. Hal ini dapat dihubungkan dengan adanya penyakit destruktif pada saat itu. Pasien diabetes yang berumur lebih dari10

tahun menunjukkan destruksi yang lebih parah pada struktur periodontal daripada pasien dengan riwayat diabetes kurang dari10 tahun. Hal ini juga berhubungan dengan berkurangnya integritas jaringan yang memburuk seiring dengan waktu. Lihat penjelasan berikut ini tentang perubahan metebolisme kolagen pada diabetes. Meskipun beberapa penelitian belun menemukan hubungan antara stadium diabetic dengan kondisi periodontal, studi yang terkontrol menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dan keparahan penyakit periodontal pada penderita diabetes daripada yang tidak menderita diabetes, dengan factor local yang sama. Penemuan termasuk loss of attachment yang lebih parah, meningkatnya bleeding on probing, dan meningkatnya mobilitas gigi ( gambar 12-1). Perbedaan derajat diabetes pada penderita dan control pada penderita dan keparahan penyakit mengindikasikan sample pasien bertanggung jawab terhadap kurangnya konsistensi ini. Penelitian terbaru menyatakan bahwa diabetes yang tidak terkontrol atau kurang berhubungan dengan meningkatnya kerentanan dan keparahan terhadap infeksi termasuk periodontitis. Diabetes tidak menyebabkan gingivitis atau poket periodontal, tetapi terdapat indikasi bahwa dia dapat merubah respon jaringan periodontal terhadap factor local (lihat gambar 12-1, A dan B), mempercepat bone loss dan memperlambat penyembuhan setelah pembedahan pada jaringan periodontal. Abses periodontal yang sering terjadi merupakan gejala penyakit periodontal yang terlihat pada penderita diabetes. Sekitar 40% orang dewasa Pima India pada daerah Arizona menderita diabetes tipe 2. Perbandingan antara individu dengan atau tanpa diabetes pada suku bangsa Native Amerika menunjukkan peningkatan yang nyata pada prevalensi destruktif periodontitis, sebanyak 15% peningkatan pada edentulous, pada individu dengan diabetes. Resiko berkembangnya periodontitis destruktif meningkat sebanyak 3 kali lipat pada individu ini. 1.2. Rumusan Masalah 1. Apa definisi diabetes? 2. Apa etiologi diabetes? 3. Bagaimana klasifikasi diabetes? 4. Bagaimana patogenesis diabetes? 5. Bagaimana tanda diabetes? 6. Apa komplikasi dari diabetes? 7. Bagaimana penatalaksanaan dari diabetes? 1.3. Tujuan

1. Dapat mengetahui definisi dari diabetes. 2. Dapat mengetahui penyebab atau etiologi dari diabetes. 3. Dapat mengetahui klasifikasi dari diabetes. 4. Dapat mengetahui patogenesis dari diabetes. 5. Dapat mengetahui tanda dari diabetes. 6. Dapat mengetahui komplikasi dari diabetes. 7. Dapat mengetahui penatalaksanaan dari diabetes. 1.4. Manfaat 1. Menambah wawasan mengenai ilmu kedokteran pada umumnya, dan ilmu gigi dan mulut pada khususnya 2. Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu gigi dan mulut

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI DAN KLASIFIKASI Diabetes mellitus ditandai dengan adanya peningkatan kadar glukosa dalam darah dan abnormalitas metabolisme lipid protein yang terinduksi oleh kadar insulin yang berkurang ataupun tidak ada sama sekali. Sebagai tambahan, aspek vaskuler diabetes mellitus yang berkaitan dengan atherosklerosis dan mikroangiopati, terutama ginjal dan mata. Dari semua penyakit sistemik yang telah diketahui, diabetes adalah penyakit yang paling dipersalahkan sebagai agen risiko penyakit periodontal dan kelainan patologis di rongga mulut lainnya. Oleh karena itu, semua dokter gigi sebaiknya mempunyai pemahaman dasar mengenai insidensi, etiologi, implikasi sistemik dan temuan di rongga mulut terkait diabetes lainnya. The National Diabetes Data Group pada tahun 1979 mengklasifikasikan diabetes sebagai berikut : 1. Diabetes Mellitus Tipe I - insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM) Tipe II - non-insulin-dependent diabetes mellitus (NIDDM) Tipe III (diabetes tipe lain) P enyakit pancreas P enyakit hormonal Obat-obatan diuretik golongan tiazida, garam litium Lain-lain

2. Impaired glucose tolerance (IGT) Non Obese IGT Obese IGT IGT terkait kondisi lainnya (penyakit pankreas, penyakit hormonal, obatobatan) 3. Gestational diabetes mellitus (GDM) 4. Impaired glucose tolerance (IGT) 5. Potential abnormalities of glucose tolerance (pot-AGT) Klasifikasi ini diadopsi World Health Organization (WHO) pada tahun 1980 dan sedikit dimodifikasi pada tahun 1985. The American Diabetes Association Expert Committee pada tahun 1997 dan 1998 telah merevisi kriteria diagnostik

diabetes dan mengimplementasikan perubahan klasifikasi pada tahun 1979 sebagai berikut: a. Menggunakan istilah tipe 1 dan tipe 2 daripada insulin-dependentcation (IDDM) dan non-insulin-dependent (NIDDM) untuk merujuk pada dua tipe utama diabetes mellitus. b. Menggunakan penentuan dua glukosa plasma puasa (fasting plasma glucose/ F PG) c. Kadar FPG yang lebih rendah (126 mg/dL) untuk mendiagnosis diabetes (kadar FPG ini ekivalen dengan 200 mg/dL tes toleransi glukosa oral (Oral Glucose Tolerance Test/ OGTT). Tipe 1 termasuk autoimun dan non-autoimun, dengan kerusakan sel-beta. Tipe 2 diperluas dengan melibatkan derajat variasi resistensi insulin dan hiposekresi insulin, GDM dan tipe lain yang penyebabnya tidak diketahui, seperti endokrinopati. Kategori baru Impaired Fasting Glycemia (IFG) diusulkan jika nilainya di atas normal tetapi di bawah kadar penggal diagnostik untuk diabetes. Semua perubahan ini dipertimbangkan untuk adopsi oleh WHO. B. INSIDENSI DAN P R E V A L E N S I : Lebih dari 16 juta penduduk USA menderita diabetes mellitus, jumlah ini sekitar 6% populasi. Prevalensi tipe 1 di USA sekitar dua orang lebih banyak per 1.000 orang, sedangkan prevalensi tipe 2 bervariasi menurut usia dan etnis. Prevalensi tipe 2 di USA secara tetap meningkat sejak awal abad ke 20 dan terus berlanjut meningkat. Alasan peningkatan ini dapat dikaitkan dengan peningkatan insidensi diabetes, penurunan mortalitas dan kombinasi kedua faktor tersebut. Diperkirakan sekitar 18% individu usia 65 75 tahun dan 40% individu berusia 80 tahun ke atas dipengaruhi oleh diabetes tipe 2. Surat kabar yang memuat San Antonio Heart Study (Burke J P et al) pada tahun 1988 melaporkan bahwa insidensi diabetes tipe 2 sekitar 15,7% untuk AmerikaMeksiko didandingkan dengan insidensi 5,7% pada etnis yang sama oada tahun 1979.Pada etnis kulit putih non-Hispanik, insidensi meningkat dari 2,6% pada tahun 1980 menjadi 9,4% pada tahun 1988. Ini menunjukkan adanya tiga kali peningkatan pada kedua kelompok etnis tersebut. Tipe diabetes berikut ini dapat diamati pada anak-anak dan remaja USA: a. Tipe 1 untuk semua kelompok etnis b. Tipe 2 ditemukan hampir semua pada kelompok minoritas

c. Diabetes atipikal diturunkan secara autosom dominan pada Amerika-Afrika dan d. Diabetes onset-dewasa jarang yang ditemukan pada usia muda yang secara eksklusif ditemukan pada kulit putih. Dari semua tipe diabetes, hanya diabetes tipe 2 yang insidensinya cenderung meningkat pada kelompok usia ini. Contoh peningkatan insidensi diabetes pada Amerika asli terlihat pada kelompok Indian Pima, dimana tipe 2 tampak pada 30% kasus baru diantara usia 10 dan 20 tahun dan biasanya dikaitkan dengan obesitas. Diabetes tipe 1 biasanya terlihat pada pasien di bawah usia 40 tahun sedangkan tipe 2 terjadi setelah usia 40 tahun. Kesimpulannya, penelitian epidemiologis telah menunjukkan bahwa diabetes di USA: a. Paling prevalen pada kelompok etnis minoritas. b. Prevalensi diabetes meningkat sekitar tiga kali dalam 40 tahun terakhir. c. Proporsi populasi tertentu mempunyai diabetes tak terdiagnosis. d. Peningkatan prevalensi telah mengakibatkan peningkatan komplikasi seperti penyakit ginjal, kebutaan dan amputasi. C. ETIOLOGI Etiologi diabetes merupakan kombinasi faktor intrinsik (genetik) dan lingkungan hingga pada tingkat beberapa penulis berpikir bahwa diabetes adalah rentetan penyakit yang melibatkan intoleransi glukosa secara umum. Genetika memainkan peranan tetapi tidak terlalu dimenerti pada tipe 1, sedangkan pada tipe 1, peran genetika lebih besar. Autoimun dan infeksi virus seperti rubella congenital, hepatitis, mumps dan cytomegalovirus dilaporkan dapat mencetus perkembangan diabetes tipe 1. Bukti akurat tentang peranan kausatif infeksi virus adalah inkonklusif. Hipertiroidism, hiperpituitari, medikasi steroid dan perusakan sel-sel beta pankreas melalui pembedahan, kanker ataupun inflamasi dapat menginduksi perkembangan diabetes pada individu yang rentan. Kerentanan terhadap diabetes tipe 1 ditentukan oleh human leucyte antigens (HLA) yang terletak pada permukaan limfosit T. HLA terkontrol secara genetik. Diabetes tipe 2 tidak dikaitkan dengan perusakan sel-sel beta pankreas tetapi dengan resistensi insulin, perubahan sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa hepar. Penelitian yang dilakkan pada kembar identik telah menunjukkan bahwa terdapat 90%

kesamaan pada kedua kembar untuk mempunyai diabetes tipe 2. Gen yang bertanggung jawab untuk diabetes tipe 2 belum di-mapping. Obesitas memainkan peranan penting dalam perkembangan diabetes tipe 2 dan ditunjukkan oleh fakta bahwa sebagian besar pasien muda yang mempunyai diabetes tipe 2 adalah obese. Faktor penyebab yang berkontribusi untuk tipe 2 selain obesitas adalah kehidupan sedenter dan usia tua. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maturitas onset diabetes tipe 1 diturunkan pada gen dominan autosom. Diabetes mellitus kehamilan (gestational diabetes mellitus/ GDM), seperti namanya, terjadi selama kehamilan. Keguguran menjadi kemungkinan yang tinggi bagi perempuan yang mempunyai GDM. GDM menghilang setelah kelahiran bati tetapi ibu yang terkena mempunyai risiko yang lebih tinggi daripada populasi lainnya untuk mempunyai diabetes tipe 2 5 10 tahun setelah melahirkan. D. PATOFISIOLOGI Diabetes mellitus mengakibatkan metabolisme glukosa abnormal. Glukosa diperlukan oleh sel untuk tumbuh, pemeliharaan dan energi. Sebagian besar glukosa didapatkan melalui pencernaan makanan dan kemudian bergabung dalam darah. Supaya glukosa dapat melewati membran sel, glukosa memerlukan insulin untuk terikat pada reseptor sel khusus. Sistem saraf pusat dan sel-sel otak tidak memerlukan insulin untuk menggunakan glukosa. Sekresi insulin melalui sel-sel beta pankreas distimulasi oleh pencernaan makanan dan terjadi pada dua fase. Fase pertama sangat pendek dengan produksi insulin total sekitar 3 -5%. Selama fase kedua, yang berlangsung selama satu jam, sebagian ebsar insulin dihasilkan. Insulin tetap berada pada darah untuk beberapa menit (4 10) dan kemudian segera terikat pada reseptor permukaan sel insulin. Jaringan tergantung-insulin termasuk otot, lemak dan hepar yang memerlukan glukosa dari sirkulasi darah. Fungsi dasar insulin adalah untuk mentransfer glukosa dari darah menuju sel tergantung-insulin, untuk memfasilitasi perpindahan asam amino yang bersirkulasi menuju sel-sel, untuk memfasilitasi sintesis trigliserida dan untuk mencegah perusakan trigliserida. Ketika produksi insulin terganggu ataupun tidak ada, atau ketika terjadi interferensi dengan fungsi insulin, glukosa tidak dapat didistribusikan ke jaringan tergantung-insulin mengakibatkan peningkatan glukosa yang bersirkulasi (hiperglikemia). Kebalikan dari hal tersebut juga dapat terlihat, misalnya jika akumulasi insulin berlebihan, glukosa yang bersirkulasi juga kadarnya akan rendah (hipoglikemia). Glukosa yang tidak digunakan oleh sistem saraf pusat, otak ataupun jaringan tergantung-insuln disimpan dalam hepasr sebagai glikogen. Jika terdapat peningkatan kebutuhan penggunaan glukosa atau ketika kadar glukosa

dalam pencernaan tidak mencukupi, hepar akan memetabolisme glikogen yang tersimpan kembali menjadi glukosa. Beberapa hormon seperti catecholamina, glukagon, glukokortikoid, hormon pertumbuhan dan tiroksin berantagonis dengan kerja insulin melalui peningkatan kadar glukosa yang bersirkulasi. Dengan demikian, di bawah tekanan emosi dan fisik yang ekstrim, diabetes tipe 1 mungkin melepaskan sejumlah signifikan cathecolamin dan glukokortikoid (terutama kortisol) yang melalui peningkatan kadar glukosa darah akan menginduksi hiperglikemia yang parah. Peningkatan kadar kortisol akan menginduksi disintegrasi protein dan mengganggu penggabungan asam amino menjadi protein, hasil akhirnya adalah perubahan asam amino menjadi glukosa dengan hiperglikemia sebagai resultannya. Tahap hiperglikemia ditandai dengan eliminasi sejumlah sbesar glukosa melalui urin dengan peningkatan volume urin. Elektrolit dan nitrogen juga hilang melalui urin. Komplikasi lain adalah konversi menjadi glukosa bagian gliserol badan lemak, yang mengakibatkan pembentukan aseton dan asam hidroksibutirat beta yang berlebihan yang juga dieliminasi melalui urin. Jika rantai kejadian ini terjadi terus menerus pada pasien dengan diabetes tipe 1, maka pasien akan mengalami ketoasidosis metabolik yang jika tidak ditindaklanjuti dapat mengarah pada koma atau bahkan kematian. Pertimbangan lain yang tak kalah pentingnya pada patofisiolofi diabetes adalah adanya peristiwa non-enzimatik normal yang disebut dengan glikosilasi yang meningkat seiring dengan kondisi hiperglikemia. Glikosilasi adalah proses penambahan radkal univalen yang berasal dari bentuk siklik glukosa menjadi protein yang membentuk basa Schiff yang tidak stabil. Secara progresif, transformasi terjadi menjadi produk glikoprotein yang lebih stabil yang disebut produk Amadori. Jika hiperglikemia dikoreksi pada tahap ini maka produk Amadori yang terbentuk dapat dibalikkan tetapi jika berlanjut, produk Amadori menjadi stabil dan bentuk non-reversibel yang dikenal dengan produk akhir glikosilasi lanjutan (advanced glycosilated end products; AGE). AGE dan lipida berakumulasi di jaringan penderita diabetes, terutama di dinding pembuluh darah dan kolagen, dan dipandang sebagai agen yang peling bertanggung jawab dalam perubahan patologis makro dan mikro yang diamati pada pembuluh darah pasien. Lipoprotein kepadatan rendah (low-density lipoproteins; LDL) melakukan ikatan silang dengan kolagen karena glikosilasi AGE dan berkontribusi terhadap penebalan dinding pembuluh darah. Akibat yang ditimbulkan adalah peningkatan risiko atherosklerosis pada pasien diabetes. E. TANDA DAN GEJALA HIPOGLIKEMIA AKUT

Lapar Lemah Kebingungan (inkoherensi) Muka pucat Gelisah (agitasi, marah-marah) Berkeringat Pusing Takikardi

Pada kasus yang yang lebih parah, tanda-tanda berikut dapat nampak: Hipotensi Hipotermia Kejang (gerakan tonus ataupun klonik) Tidak sadar

F. KOMPLIKASI SISTEMIK Komplikasi sistemik diabetes berhubungan dengan deposisi AGE pada berbagai jaringan tubuh terutama pada sistem vaskularisasi dan sistem saraf perifer. Perubahan sistem vaskularisasi meliputi angiopati dan pembentukan atheroma. Perubahan mikroskopis antara lain deposisi lipida, proliferasi endotelial dan pembesaran tunica intima kapiler di seluruh tubuh. Retina dan mikrosirkulasi glomerulus ginjal adalah organ yang paling terpengaruh. Retinopati diabetik merupakan penemuan umum pada pasien diabetes tipe 1 dan kurang terlihat pada pasien diabetes tipe 2. Retinopati diabetik merupakan penyebab utama kebutaan di Amerika Serikat. Kebutaan akibat diabetes mempunyai prevalensi tiga kali lipat dibandingkan pada pasien non-diabetes. Nefropati diabetes adalah penyebab utama pasien diabetes tipe 1 akibat gagal ginjal.P asien diabetes tipe 2 juga dapat mengalami penyakit ginjal tetapi prevalensinya lebih rendah. Adanya fakta bahwa diabetes tipe 2 lebih sering terjadi, jumlah pasien diabetes tipe 1 dan tipe 2 identik. Seperti yang telah dijabarkan di atas, perubahan makropatologis yang dapat diamati pada sistem sirkulasi secara esensial berkaitan dengan pembentukan ateroma (atherosklerosis). Atheroma dihasilkan dari deposisi AGE dan LDL yang berkonsekuensi menimbulkan kalsifikasi berbagai arteri di dalam tubuh. Atheroma mengakibatkan sirkulasi yang buruk pada ekstremitas dan bertanggungjawab atas ulserasi dan gangrene pada kaki.

10

Komplikasi paling parah atheroma adalah adanya infark miokard, hipertensi, stroke, insufisiensi koroner dan gagal ginjal. Sebagian besar pasien diabetes tipe 2 meninggal karena adanya infark miokard. Neuropati diabetik berkaitan dengan hiperglikemia dan hal tersebut terjadi karena adanya konsekuensi terhadap kenaikan absorpsi glukosa oleh sel-sel Schwann. Beberapa manifestasi klinis yang berhubungan dengan neuropati antara lain nyeri terbakar, kesemutan dan rasa baal, terutama pada ekstremitas, kelemahan otot dan kram, parestesia pada rongga mulut, burning tongue syndrome adalah beberapa yang paling sering dilaporkan. G. KOMPLIKASI RONGGA MULUT Komplikasi oral yang paling telihat pada diabetes baik tipe 1 maupun 2 dapat diamati pada pasien diabetes tak terkontrol. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ketika hiperglikemia terkontrol baik, manifestasi oral minimal dan manifestasi tersebut bahkan tidak terlihat pada beberapa pasien. Penemuan intraoral antara lain penyakit periodontal yang prevalensinya lebih parah dan lebih tinggi terlihat dibandingkan dengan pada pasien nondiabetes, xerostomia, burning mouth syndrome (BMS), candidiasis, penyembuhan luka yang tertunda dan abnormal, peningkatan kecenderungan infeksi, penurunan aliran saliva dan pembesaran glandula saliva. Beberapa komplikasi ini dapat seara langsung berhubungan dengan peningkatan cairan yang berkaitan dengan urinasi berlebihan pada pasien diabetes tak terkontrol sedangkan lainnya, terutama zerostomia, dapat dipengaruhi atau secara langsung tergantung pada tipe medikasi yang diperoleh pasien. Xerostomia, yang merupakan konsekuensi menurunnya aliran saliva, dapat memacu burning mouth syndrome (BMS) dan karies, yang juga memfasilitasi perkembangan candidiasis. Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan prevalensi karies pada pasien diabetes sedangkan penelitian lain menunjukkan kebalikannya.P erkembangan karies dapat dipengaruhi oleh kenaikan tingkat glukosa pada sekresi saliva, terutama pada pasien diabetes tak terkontrol, sedangkan pada pasien yang terkontrol hal tersebut dapat minimal karena asupan karbohidrat yang rendah. Secara statistik telah dibuktikan bahwa diabetes merupakan salah satu faktor predisposisi perkembangan penyakit periodontal. Inflamasi gingiva, meskipun dengan kadar plak yang rendah, lebih prevalen pada pasien diabetes tak terkontrol daripada pasien nondiabetes.

11

Penderita diabetes terkontrol mempunyai prevalensi gingivitis yang sama dengan pasien non- diabetes. Penderita diabetes dewasa muda dan remaja mempunyai prevalensi inflamasi gingiva hipertrofi yang lebih tinggi dan penyakit periodontal daripada pasien nondiabetes. Abses periodontal rekuren juga termasuk penemuan tipikal pasien diabetes. Manifestasi klinis panyakit periodontal pada pasien dewasa dan dewasa muda lebih parah daripada yang diamati pada populasi non-diabetes. Penemuan ini telah didokumentasikan dengan baik pada populasi India Pima yang mempunyai prevalensi diabetes mellitus tipe 2 paling tinggi diantara kelompok etnis lainnya. Pasien dengan diabetes mempunyai prevalensu attachment loss dan bone loss paling tinggi dibandingkan dengan kontrol usia yang sama. Pasien diabetes juga mempunyai kemungkinan peningkatan kerusakan periodontal dengan subjek berusia 15 34 tahun berisiko dua kali lebih besar mengalami kerusakan periodontal dibandingkan dengan subjek normal. Peningkatan prevalensi penyakit gingiva dan periodontal pada pasien diabetes diasumsikan mempunyai etiologi multifaktorial. Deposisi AGE pada dinding kapiler gingiva, kolagen ligamen periodontal dan matriks tulang alveolar, peningkatan kadar LDL dengan pembentukan atheroma, hiperglikemia mempengaruhi penyembuhan luka periodontal normal, perubahan respon imun, peningkatan oksidasi, perubahan fungsi leukosit polimorfonuklear (PMN) dan faktor genetik adalah faktor-faktor yag berkontribusi terhadap perkembangan penyakit periodontal pada paien diabetes mellitus. Beberapa faktor tersebut dapat dimengerti dengan baik sedangkan lainnya perlu dievaluasi lebih jauh. Salah satu faktor yang paling penting adalah hiperglikemia. Seperti yang telah dijabarkan di atas, makin buruk kontrol glukosa, makin parah penyakit periodontal yang terjadi. Pemeriksaan laboratorium yang paling dapat diandalkan untuk evaluasi kontrol diabetes adalah uji hemoglobin terglikosilasi. Glukosa secara permanen terikat pada hemoglobin menjadi AGE (hemoglobin terglikosolaso), senyawa stabil ini terus bertahan di dalam darah selama kurang lebih 90 hari. Terdapat dua macam tes hemoglobin terglikosolasi tetapi yang paling sering digunakan adalah hemoglobin A1c (HbA1c). Hasil tes ini menunjukkan persentase hemoglobin terglikosilasi yang berada dalam sirkulasi. Nilai yang direkomendasikan adalah sebagai berikut: Normal 4 6 % Baik terkontrol < 7% Sedang terkontrol 7 8% Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kesehatan periodontal pada pasien diabetes dapat meningkatkan status sistemik pasien tersebut. Hubungan ini berdasarkan

12

pada pengurangan AGE yang dapat diamati pada sirkulasi darah setelah terapi periodontal yang memadai dilakukan. H. PENATALAKSANAAN DENTAL PASIEN DENGAN DIABETES Kuesioner yag disusun secara teliti dapat memberikan beberapa indikasi bahwa pasien dapat mempunyai risiko diabetes ataupun diabetes yang tidak terdiagnosis, terutama tipe 2. Dengan demikian, jika jawaban positif terhadap pertanyaan seperti: apakah anda seing buang air kecil terutama pada malam hari? Atau apakah anda seing merasa haus? Pasien sebaiknya ditanya lebih lanjut mengenai riwayat pribadi dan keluarga mengenai diabetes. Temuan berikut juga merupakan indikasi kemungkinan diabetes: hilang berat badan, iritabilitas, mulut kering, sering infeksi, riwayat penyembuhan luka yang lama, pada perempuan yang melahirkan biasanya bayinya beratnya lebih dari 10 pon atau memiliki riwayat aborsi spontan. Pasien obesitas lebih dari 40 tahun juga sebaiknya ditanyai akan adanya risiko diabetes. Jika satu atau lebih penemuan sistemik berkaitan dengan satu atau lebih penemuan intraoral berikut ini maka pasien harus dites mengenai ada tidaknya diabetes: penyakit periodontal nyata, riwayat adanya penyakit periodontal rekuren, abses multipel, riwayat adanya penundaan penyembuhan luka intraoral setelah ekstraksi gigi, sindroma mulut kering (dry mouth), candidiasis intraoral dan hilang berat badan juga menjadi penemuan utama pasien AIDS. Dengan demikian, diagnosis diferensial yang teliti harus dilakukan. Dokter gigi dapat menggunakan glukometer yang tersedia secara komersial untuk mengkonfirmasi kecurigaan pasien mempunyai diabetes. Direkomendasikan bahwa jika pasien dicurigai diabetes, ia sebaiknya dirujuk ke dokter untuk evaluasi dan diagnosis secara tepat. Baru-baru ini, parameter untuk menentukan konsentrasi diagnostik FPG telah diturunkan dari 140 menjadi 126 mg/dL, tetapi modifikasi ini masih dalam penelitian dan beberapa jurnal yang dipublikasikan berpendapat kontra terhadap validitasnya. 1. Pasien diabetes tipe 1 dan 2 terkontrol biasanya dapat menerima semua tindakan perawatan dental tanpa pencegahan tertentu. 2. Dokter gigi harus mengetahui tipe dan dosis insulin, termasuk medikasi lainnya yang diminum pasien. 3. Dokter gigi sebaiknya mengetahui apakah pasien mempunyai riwayat serangan hipoglikemik dan tanda dan gejala yang menyertai. Kemungkinan serangan hipoglikemik meningkat jika telah terjadi serangan sebelumnya (lihat tanda dan gelana hipoglikemia di bawah).

13

4. Dalam rangka menghindari episode hipoglikemia ketika mendapatkan perawatan dental, dianjurkan untuk menjadwalkan pasien berdasarkan waktu aktivitas insulin tertinggi yang bervariasi dari 30 menit hingga 8 jam setelah injeksi tergantung tipe insulinnya. Dengan demikian, kunjungan tidak haruse selalu di pagi hari. 5. Pasien harus disarankan untuk tidak mengganti dosis dan waktu administrasi insulin, serta tidak mengganti dietnya. 6. Disarankan untuk menyediakan jus jeruk di tempat praktik atau bentuk lain glukosa, yang diberikan pada pasien yang menunjukkan tanda-tanda awal hipoglikemia. Biasanya, dosis 6 oz semua jus buah atau minuman lain mengandung karbohidrat dapat membalik gejala hipoglikemi. 7. Jika pasien menerapkan monitoring glukosa darah mandiri, ia dianjurkan untuk membawa glukometernya sendiri. 8. Tekanan emosi dan fisik meningkatkan jumlah kortisol dan epinefrin yang disekresikan sehingga menginduksi hiperglikei. Dengan demikian, jika pasien terlihat gelisah, sedasi pratindakan dapat dipertimbangkan. 9. Jika prosedur jangka panjang, terutama bedah, hendak dilakukan, sebaiknya berkonsultasi dengan dokter pasien. 10. Konsultasi dengan dokter pasien diwajibkan jika: a. Pasien mempunyai komplikasi sistemik diabetes seperti penyakit jantung atau ginjal b. Pasien kesulitan untuk mengontrol diabetes atau sedang mengonsumsi dosis besar insulin c. Pasien mempunyai infeksi oral akut seperti abses periapikal atau abses periodontal. 11. Hospitalisasi mungkin diperlukan pada pasien poin 10a atau 10b di atas. 12. Antibiotika sebaiknya diresepkan bagi pasien poin 10 di atas untuk mencegah infeksi sekunder atau komplikasi infeksi pra-eksis dan untuk mempercepat penyembuhan luka. 13. Perawatan kasus-kasus parah penyakit periodontal pada pasien diabetes, bersamaan dengan prosedur bedah, mungkin memerlukan penggunaan tetrasiklin sistemik. Tetrasiklin dapat membantu tidak hanya kondisi periodontal, tetapi juga dapat mengontrol hiperglikemia. Penting untuk ditekankan bahwa dokter gigi sebaiknya mengambil semua tindakan pencegahan untuk menghindari terjadinya serangan hipoglikemia ketika pasien menjalani perawatan gigi. Serangan hipoglikemis terjadi ketika konsentrasi glukosa darah turun di bawah 60 mg/dL tetapi pada bebeapa pasien dapat terjadi di bawah konsentrasi ataupun di atas konsentrasi tersebut. Ketersediaan sebaiknya termasuk adanya bentuk lain karbohidrat absorbsi cepat yang diberikan peroral, seperti jus buah, soda, gula, es krim, permen dan lain-

14

lain. Pasien yang mengalami hipoglikemi akan kembali normal selama 10 20 menit setelah administrasi karbohidrat 15 gram, yang ekuivalen dengan 4 6 ons jus buah atau soda; atau 4 sendok teh gula. I. TANDA DAN GEJALA DIABETIK KETOASIDOSIS Pernafasan cepat dan dalam (respirasi Kussmaul) Mual (dengan atau tanpa muntah) Nyeri abdomen Disorientasi (koma pada beberapa kasus) Dehidrasi (kering pada mukosa oral dan nasal)

Pada kasus yang lebih parah, tanda-tanda berikut dapat nampak: Takikardi Hipotensi Pembengkakan menyeluruh pada kulit Membandingkan tanda dan gejala hipoglikemis dengan diabetik ketoasidosis, maka dapat disimpulkan bahwa disorientasi (bingung), takikardi dan hipotensi merupakan hal yang umum untuk keduanya. Dengan demikian, penting untuk ditekankan sekali lagi bagi dokter gigi untuk mengetahui apakah pasien memiliki riwayat serangan hipoglikemia ataupun hiperglikemia, mempunyai glucometer di klinik, atau meminta pasien membawa glucometer miliknya untuk memonitor kadar glukosa darah. Kesimpulannya, perawatan dental yang sukses bagi diabetes tipe 1 atau tipe 2 dapat tercapai jika hal-hal berikut diperhatikan dengan seksama: a. Riwayat klinis dan keluarga yang mendetail b. Konsultasi dengan dokter pasien c. Kolaborasi dengan pasien untuk memperoleh kontrol glikemik yang sempurna

BAB III KESIMPULAN

15

Diabetes Melitus tidak hanya memiliki manifestasi sistemik, namun dapat juga memberikan gambaran manifestasi pada rongga mulut. Komplikasi oral yang paling telihat pada diabetes baik tipe 1 maupun 2 dapat diamati pada pasien diabetes tak terkontrol. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ketika hiperglikemia terkontrol baik, manifestasi oral minimal dan manifestasi tersebut bahkan tidak terlihat pada beberapa pasien. Penemuan intraoral antara lain penyakit periodontal yang prevalensinya lebih parah dan lebih tinggi terlihat dibandingkan dengan pada pasien non-diabetes, xerostomia, burning mouth syndrome (BMS), candidiasis, penyembuhan luka yang tertunda dan abnormal, peningkatan kecenderungan infeksi, penurunan aliran saliva dan pembesaran glandula saliva. Beberapa komplikasi ini dapat seara langsung berhubungan dengan peningkatan cairan yang berkaitan dengan urinasi berlebihan pada pasien diabetes tak terkontrol sedangkan lainnya, terutama zerostomia, dapat dipengaruhi atau secara langsung tergantung pada tipe medikasi yang diperoleh pasien. Kesimpulannya, perawatan dental yang sukses bagi diabetes tipe 1 atau tipe 2 dapat tercapai jika hal-hal berikut diperhatikan dengan seksama, yaitu riwayat klinis dan keluarga yang mendetail, konsultasi dengan dokter pasien, kolaborasi dengan pasien untuk memperoleh kontrol glikemik yang sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

16

1. Alberti KG; ZimmetP Z. Definition, diagnosis and classification of diabetes mellitus and its complications. Part 1: diagnosis and classification of diabetes mellitus provisional report of a WHO consultation. Diabetic Medicine, 1998;15:539 -53. 2. Burke JP ; et al. Rapid rise in the incidence of type 2 diabetes from 1987 to 1996: results from the San Antonio Heart Study. Arch Intern Med 1999; 159:1450 -6. 3. Chavez EM et al. Salivary function and glycemic control in older persons with diabetes. Oral Surg, Oral Med, Oral Pathol, Oral Radiol Endodont 2000;89:305 -11. 4. Collin HL et al. Periodontal findings in elderly patients with non-insulin dependent diabetes mellitus. J Periodont 1998;69:962-6. 5. Cutler CW et al. Heightened gingival inflammation and attachment loss in type 2 diabetics with hyperlipidemia. J Periodont 1999;70:1313 -21. 6. Davidson MB et al. Relationship between fasting plasma glucose and glycosylated hemoglobin: potential for false-positive diagnoses of type 2 diabetes using new diagnostic criteria. Jama, 1999; 281:1203 -10. 7. Gavin JR 3rd. New classification and diagnostic criteria for diabetes mellitus. Clin Cornerstone 1998;1:1-12. 8. Grossi SG et al. Treatment of periodontal disease in diabetics reduces glycated hemoglobin. JP eriodont 1997;68:713 -9. 9. Klokkevold P R . Periodontal medicine: assessment of risk factors for disease. J California Dent Assoc 1999;27:135-42. 10. Soskolne WA. Epidemiological and clinical aspects of periodontal diseases in diabetics. Annals Periodont 1998;3:3-12. 11. Taylor GW.P eriodontal treatment and its effects on glycemic control: a review of the evidence. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endodont 1999;87:311 -6.

Anda mungkin juga menyukai