Anda di halaman 1dari 32

BAB

KONSEP UMUM
PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI

Pengantar Bab ini berisi tentang konsep umum pengelolaan limbah industri, yang terdiri dari; latar belakang pentingnya pengelolaan limbah industri, peraturan-peraturan yang terkait dengan pengelolaan limbah industri, permasalahan yang ada, dan perkembangan pengelolaan limbah industri. Solusi untuk pengelolaan limbah industri yang menitikberatkan pada pengelolaan proses dalam industri, ada dalam akhir bab ini. Kemampuan akhir yang diharapkan adalah memahami perkembangan historis konsep pendekatan pengelolaan limbah industri.

1.1 LATAR BELAKANG Limbah industri telah menjadi bagian yang terpisahkan dari aktivitas pembangunan. Pada mulanya, limbah industri hanya dianggap sebagai produk sampingan dari proses penggunaan sumberdaya alam, yang kemudian dibuang kembali ke alam. Namun karena daya dukung alam semakin berkurang, pembuangan limbah kemudian menjadi masalah. Tidak saja kualitas lingkungan yang menurun drastis tetapi juga dampak terhadap manusia dan makhluk hidup lainnya menjadi semakin nyata. Sebagai contoh, ancaman limbah industri terhadap kesehatan manusia telah menyebabkan masyarakat enggan berdekatan dengan lokasi pengolahan limbah. Kasus penolakan masyarakat di Cerme Kabupaten Gresik terhadap rencana pendirian instalasi pengolahan limbah B3, misalnya, telah menjadi suatu contoh yang baik betapa - di satu pihak - masyarakat menghendaki kualitas lingkungan yang sehat, namun di lain pihak tidak mau berkompromi apabila lokasi tempat tinggalnya berdekatan dengan lahan pengolahan limbah. Hal ini dalam bidang pengelolaan limbah sering dikenal sebagai NIMBY (Not In My Backyard) Syndrome. Dengan adanya kecenderungan sikap kontradiktif dari masyarakat ini, perlu direnungkan kembali bagaimanakah pola pengelolaan limbah industri yang tepat agar dapat menjadi solusi terbaik bagi semua pihak yang terlibat. Karena itu materi yang akan dibahas dalam buku ini berkaitan dengan penawaran konsep-konsep yang dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam mengatasi masalah limbah industri, khususnya di tanah air. 1.2 PERATURAN Di Indonesia sendiri, peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan limbah industri telah dituangkan dalam UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diundangkan sebagai pengganti UU No. 4/1992. Secara spesifik hal ini ditindaklanjuti dalam Peraturan Pemerintah, PP 19/1994 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun dan PP 12/1995 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dan diperbarui dengan dikeluarkannya PP 18/1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan

Berbahaya Dan Beracun dan PP 85/1999 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun, dan Peraturan terbaru yaitu PP 74/2001Tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya Dan Beracun, dan untuk pelaksanaan khusus diatur pula dalam SK Kepala Bapedal, terutama yang menyangkut program kendali dan pengawasan di Daerah. Berdasarkan pasal 17, UU No. 23 /1997, pengelolaan berarti berhubungan dengan proses: menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, mengolah, menggunakan dan menimbun/membuang. Selanjutnya disebutkan dalam pasal 20 bahwa setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup tanpa keputusan/ijin, hal ini perlu dilakukan pada lokasi pembuangan yang ditetapkan menteri.

Hal-hal yang diatur dalam PP 19/1994 yang kemudian disempurnakan dalam PP 12/1995 diantaranya adalah: 1. Kewajiban bagi setiap penghasil limbah B3 (atau badan usaha yang mendapat ijin Bapedal) untuk mengolah limbahnya. 2. Kewajiban bagi badan usaha pengelola limbah B3 yang melakukan pengumpulan, pengolahan, penimbunan, pemanfaatan dan usaha pengangkutan limbah B3

3. Ketentuan mengenai pengawas dan pelaksanaan pengawasan pengelolaan limbah B3. 4. Ketentuan teknis administratif dalam kegiatan pengelolaan limbah B3, termasuk sanksi-sanksi pelanggarannya. Semua ketentuan yang berhubungan dengan para pelaku pengelolaan limbah B3, baik itu penghasil, pengumpul, pengangkut, maupun pengolah/penimbun telah diperinci secara jelas, dan hal-hal teknisnya diterjemahkan dalam Keputusan Kepala Bapedal yang mencakup seluruh aspek yang berhubungan dengan pengelolaan limbah dari mulai sumber sampai pembuangan akhir (from cradle to grave). Latihan 1. Berikan contoh Keputusan Kepala Bapedal yang mencakup seluruh aspek yang berhubungan dengan pengelolaan limbah B3 dari mulai sumber sampai pembuangan akhir.

Pengelolaan limbah industri tidak hanya pada pengelolaan limbah B3 saja tetapi juga pada pengelolaan limbah cair industri. Hal ini diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 3 Tahun 1998 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri. Peraturan ini berlaku untuk kawasan industri dimana yang dimaksud kawasan industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri. Setiap penanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri wajib untuk : a. Melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang dibuang ke lingkungan hidup tidak melampaui Baku Mutu Limbah Cair yang telah ditetapkan; b. Membuat saluran pembuangan limbah cair yang kedap air sehingga tidak terjadi perembesan limbah cair ke lingkungan; c. Memasang alat ukur debit atau laju alir limbah cair dan melakukan pencatatan debit harian limbah cair tersebut; d. Memeriksakan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran I KepMenLH No. 3/1998 secara periodik sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam sebulan; e. Memisahkan saluran pembuangan limbah air dengan limpahan air hujan; f. Menyampaikan laporan tentang luas lahan yang terpakai, catatan debit harian dan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf d sekurangkurangnya 6 (enam) bulan sekali kepada Kepala Bapedal, Bapedalda Tingkat I, Bapedalda Tingkat II, Instansi Teknis yang membidangi kawasan industri, dan instansi lain yang dianggap perlu sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Latihan 2. Berikan contoh Peraturan-peraturan yang berlaku di Jawa Timur yang mengatur tentang pengelolaan limbah pada: i. ii. Industri yang berada dalam lingkungan badan air Industri yang berada dalam suatu kawasan industri.

1.3 PERMASALAHAN DALAM PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI

Berikut ini beberapa permasalahan yang timbul dalam pengelolaan limbah industri: Pertama, seperti telah disinggung diatas, adanya sikap masyarakat yang kontradiktif dalam menyikapi permasalahan pembuangan limbah B3. Dari kenyataan yang ada, sikap yang sama juga diperlihatkan masyarakat terhadap pembuangan limbah domestik yang relatif tidak berbahaya, seperti kasus TPA Keputih di Surabaya misalnya. Ditambahkan lagi, sampai saat ini tidak ada satupun database yang dipunyai untuk mengetahui aliran dan deposit limbah industri dalam suatu kawasan, apakah itu perkotaan ataupun permukiman. Dari aktivitas perdagangan dan industri yang dilakukan di kota, kota Surabaya misalnya, belum ada studi yang dilakukan untuk mengetahui berapa tonase kadar logam berat yang terdeposit di tanah per tahunnya, berapa banyak logam berat yang ikut terbawa aliran sungai ataupun berapa yang terdeposit sebagai sedimen dalam badan air lainnya. Bahkan untuk aspek yang sederhana sekalipun, seperti berapa prosentase beban limbah yang termasuk dalam kategori B3 dan non B3 yang dihasilkan oleh kota Surabaya, tidak ada yang tahu. Kedua, seharusnya adanya ketentuan teknis dalam pengelolaan limbah industri di atas akan menciptakan peluang bagi para pengusaha untuk menciptakan bidang usaha yang baru dan bagi praktisi/ilmuwan untuk menciptakan teknologi baru, namun mengapa hal ini tidak menjadi kenyataan? Ketiga, berhubungan dengan sikap pengusaha yang sampai saat ini berpendapat bahwa mengelola limbah hanya merupakan beban semata, extra-costs yang dapat menyebabkan hilangnya daya saing. Perusahaan yang akan menerapkan program pengelolaan limbah sering menghadapi banyak kendala yang umumnya berhubungan dengan sikap atau pandangan negatif para personel misalnya, bahwa tindakan ini hanya akan meninggikan biaya, hal ini bisa menurunkan kualitas produk, dampaknya tidak akan dialami orang-perorang secara pribadi, dan sebagainya. Sebagai contoh, beberapa keberatan yang disampaikan beberapa bagian perusahaan telah disampaikan oleh Nemerow (1995) dalam Tabel 1.1. Tabel 1.1. Beberapa alasan yang disampaikan setiap bagian dalam suatu perusahaan terhadap program pengelolaan limbah Bagian Keuangan Pembelanjaan Marketing Pengendalian Mutu Teknik Umum Lingkungan Produksi Alasan Keberatan Ketidakmampuan dalam menanggung biaya. Pengaruh perubahan bahan baku terhadap aliran produksi. Perubahan produk akan mempersulit pemasaran. Memerlukan panduan dan tambahan pekerjaan baru. Ruang, pelayanan dan tenaga kerja mungkin tidak mencukupi. Unit pengolah limbah yang ada menjadi tidak mencukupi dan mungkin perubahan ini memerlukan peraturan yang baru. Perubahan akan menurunkan output walaupun hanya bersifat sementara.

Catatan: Hal ini sebenarnya tidak sepenuhnya benar, terutama untuk masa yang akan datang. Justru perusahaan yang memenuhi kebijakan lingkunganlah yang akan mempunyai daya saing.

Keempat, walaupun dalam UU maupun peraturan yang ada, semua aspek yang berhubungan dengan pengelolaan limbah industri/B3 telah dibahas secara rinci, namun dalam pelaksanaannya masih terasa kurang efektif. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sikap pemerintah pusat yang overprotective. Artinya Menteri/Kepala Bapedal masih berperan besar dalam menentukan boleh tidaknya atau layak/tidaknya suatu perusahaan mengolah/membuang limbah B3 sendiri. Adanya ketentuan seperti ini menyebabkan pejabat pengawas di daerah menjadi kurang berperan dan sama sekali tidak efektif dalam mengawasi/mengendalikan masalah pencemaran limbah B3 yang terus berlangsung sejalan dengan adanya aktivitas industrinya. Apalagi, unit pengolahan limbah B3 yang diakui pemerintah setidaknya baru satu, yaitu WMI di Cileungsi, Bogor. Hal ini, selain menyulitkan para pengusaha penghasil limbah B3, juga akan meningkatkan biaya pembuangan, terutama bagi mereka yang berada pada lokasi yang berjauhan. Kondisi seperti ini akan menciptakan peluang bagi pengusaha tersebut untuk secara sembunyi-sembunyi melakukan pembuangan secara illegal sebagian dari limbah B3 ke lingkungan terdekat, yang pada akhirnya mengakibatkan kerugian bagi masyarakat secara umum. 1.4 KAJIAN TEKNIS PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI Berdasarkan pada permasalahan yang ada, perlu dilakukan kembali kajian teknis terhadap pengelolaan limbah industri untuk mengetahui hal-hal apa saja yang dapat dilakukan untuk penyempurnaan pelaksanaan di Indonesia. Menurut Wentz (1995), pengelolaan limbah industri meliputi aspek-aspek yang berhubungan dengan: 1. Eliminasi atau reduksi limbah 2. Recycling/reuse limbah 3. Pengolahan/destruksi limbah 4. Pembuangan limbah. Aspek pertama adalah eliminasi atau reduksi (atau dikenal juga sebagai minimisasi) limbah sebenarnya merupakan konsep yang relatif baru, karena dikembangkan setelah pengelolaan limbah industri mengalami penyempurnaan beberapa kali. Pada awal tahun 1970-an, pengelolaan limbah industri ditekankan pada aspek pengolahan sehingga teknologi unggulan untuk mengolah limbah industri berkembang pesat saat itu. Konsep ini menekankan pada penanganan limbah pada bagian hilir proses produksi sehingga dikenal sebagai the end-pipe technology. Namun pada tahun 1980-an, sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat luas dan kalangan industri bahwa mengolah limbah apapun jenis teknologi pengolahan yang digunakan memerlukan biaya yang besar, maka dilakukan revolusi terhadap konsep pengelolaan limbah industri yang kemudian lebih menekankan pada prinsip minimisasi limbah (yang awalnya secara ambisius) dideklarasikan sebagai zero pollution growth. Zero pollution menggunakan pendekatan yang mengupayakan pengurangan polutan dari limbah agar limbah yang dibuang tidak menimbulkan dampak pencemaran. Metoda yang digunakan ada 3 : - Recovery, Recycle, Reuse dan Reduce didalam perusahaan sendiri sehingga dapat meminimisasi limbah, biasanya mencapai (15 75) % - Melakukan recovery yang kemudian dibawa atau dijual ke perusahaan lain diluar lokasi pabrik, misalnya pemanfaatan limbah lemak industri penyamakan kulit oleh perusahaan pembuatan sabun.

- Menciptakan zonasi industri penghasil dan pemakai limbah dalam satu kompleks. Hal ini paling layak dilakukan karena biasanya lebih ekonomis terutama dalam penghematan aspek transportasinya. Berbeda dengan konsep sebelumnya, prinsip eliminasi/reduksi limbah ini mengutamakan pengelolaan pada bagian hulu proses industri, sehingga penggunaan teknologi pengolahan hanya menjadi alternatif yang paling akhir. Lalu pada awal tahun 1990-an, para ahli menyadari bahwa tidak mungkin menghilangkan limbah sama sekali, sehingga kemudian diperkenalkan konsep minimisasi limbah melalui penggunaan azas 4R seperti yang sebagian dinyatakan di atas yaitu (recycle dan reuse) ditambah dengan istilah recovery, dan reduce. Recycle adalah proses mendaur ulang air bekas proses atau bahan baku yang tidak ikut terolah ke dalam aktivitas proses produksi. Contoh : Pemanfaatan kembali efluen pada pengolahan limbah dengan proses Trickling Filter sebagai pengencer, atau pemanfaatan kembali pulp serat pendek yang untuk proses pembuatan kertas dengan kualitas kelas dua, pada sebuah proses produksi pembuatan kertas berkualitas tinggi.. Reused adalah proses mendaur ulang bahan baku yang sudah dipakai untuk keperluan lain yang bermanfaat tanpa merubah keadaan fisik bahan tersebut. Contoh : pemanfaatan kaleng bekas untuk keperluan pot tanaman, atau botol bekas untuk tempat bumbu dapur, dsb. Recovery adalah proses daur ulang untuk memperoleh kembali unsur tertentu dari limbah suatu proses produksi. Biasanya unsur tersebut diperoleh dalam bentuk senyawa yang berlainan dengan sebelumnya. Contoh : Perolehan kembali unsur logam (Cr) dari limbah penyamakan kulit. Reduce adalah proses pengurangan timbulan limbah sehingga menimbulkan dampak sesedikit mungkin pada lingkungan dengan cara mengganti atau mensubstitusi bahan baku oleh bahan yang ramah lingkungan, misalnya.

Aspek ketiga dalam pengelolaan limbah industri adalah pengolahan atau destruksi limbah. Seperti telah disinggung diatas, pengolahan merupakan konsep awal dari pengelolaan limbah, yang kemudian menjadi alternatif terakhir dalam penanganan limbah industri. Hal ini, selain karena pertimbangan ekonomis, juga secara filosofis proses pengolahan limbah lebih merupakan proses konversi pencemar dari bentuk satu ke bentuk lainnya daripada proses penghilangan (removal) yang sesungguhnya. Sehingga pada akhirnya akan menimbulkan masalah baru. Sebagai contoh, pada proses pengolahan limbah secara biologis, pencemar organik dari air limbah akan terkonversi menjadi mikroorganisme yang terakumulasi sebagai lumpur yang kemudian harus diolah lanjutan agar tidak menimbulkan permasalah lingkungan. Dalam perkembangannya, teknologi pengolahan limbah industri, maupun secara spesifik B3, telah berkembang sedemikian pesatnya sehingga hampir semua aspek pencemar yang ada secara teknis akan mampu diolah secara baik. Tentunya hal ini terlepas dari aspek finansial yang akan mengikuti seberapa tinggi tingkat efisiensi pengolahan yang akan dilakukan.

TEKNIK MINIMISASI LIMBAH INDUSTRI

REDUKSI SUMBER

DAUR ULANG (ONSITE - OFFSITE)

PERUBAHAN PRODUK
- Substitusi Produk - Konservasi Produk - Merubah Komposisi Produk

KONTROL SUMBER

USE DAN REUSE


- Dikembalikan ke proses awal - Pengganti bahan baku untuk proses lainnya

RECOVERY
- Diproses untuk recovery sumber - Diproses sebagai by-product

PERUBAHAN INPUT BAHAN BAKU - Purifikasi bahan baku - Substitusi bahan baku

PERUBAHAN TEKNOLOGI
- Perubahan Proses - Perubahan peralatan, perpipaan atau layout - Automatisasi tambahan - Perubahan setting operasional -

GOOD OPERATING PRACTICES (GOP)


Langkah prosedural Pencegahan kehilangan Latihan management Pemisahan aliran limbah Perbaikan penanganan bahan baku - Penjadwalam produksi

Gambar 1.1. Teknik Minimisasi Limbah dalam Industri Aspek ke empat adalah penimbunan/pembuangan, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 1.2, terdiri dari beberapa alternatif teknologi. Dari seluruh alternatif yang ada, sistem landfill adalah yang paling sering digunakan. Biasanya alternatif pemilihan lokasi didasarkan beberapa pertimbangan, dengan pola aliran seperti terlihat pada Gambar 1.2. Selama ini masalah yang ada di Surabaya, khususnya dalam penetapan lokasi pembuangan limbah, kajian tentang potensi lahan baru dilakukan setelah lokasi pembuangan tersebut ditetapkan. Jadi pola pikirnya terbalik. Disamping itu, walaupun teknologi pembuangan limbah ini secara teknis relatif mudah untuk dilakukan, namun pada kenyataannya sulit dilakukan akibat terbatasnya anggaran yang disediakan. Tabel 1.2. Teknologi Pengolahan untuk Limbah Industri Jenis Pengolahan Pengolahan Awal Pengolahan Primer Jenis Teknologi Penyaringan, Penghilang Pasir, Ekualisasi Aliran, Netralisasi Pemisah minyak dan lemak secara gravitasi, Pengendap, Pengendapan dengan Bahan Kimia, Flotasi Gas, Flotasi dengan bahan Kimia, Filtrasi, Ultrafiltrasi.

Jenis Pengolahan Pengolahan Sekunder

Jenis Teknologi Sistem Lumpur Aktif, Trickling Filter, Lagoons, Rotating Biological Contactors, Enzyme Treatment, Ekstraksi. Adsorpsi Karbon Aktif, Oksidasi Kimia, Air Stripping, Nitrifikasi, Denitrifikasi, Penukar Ion, Adsorpsi Polimer, Reverse Osmosis, Electrodialysis, Distillation, Disinfection, Dechlorinasi, Ozonasi, Reduksi Kimia, Calcination and Sintering, Catalysis, Microwave Discharge, Netralisasi, Ozonolyisis, Photolysis. Thickening (gravitasi, flotasi dan centrifugasi), Pengolahan Anaerobik dan Aerobik, Conditioning (kimia dan panas), Vacuum Filtration, Dewatering (Filter Press, Belt Filter dan Centrifugal), Thermal drying, Drying Beds, Lagoons, Byproduct Recovery. Lagoons, Incineration, Combustion, Landfill, Composting, Surface Impoundment, Deep well Injection.

Pengolahan Tersier

Pengolahan Lumpur

Pembuangan

Dalam peraturan Bepedal, penimbunan limbah industri hanya diperbolehkan pada Landfill kategori III (Landfill teramankan) yang dilengkapi dengan sistem drainase untuk penampungan lindi, fasilitas pemantauan air tanah, dan membran kedap air. Aturan mengenai rancang bangun, jenis limbah industri dan kadar total bahan pencemar yang akan ditimbun, semuanya dinyatakan dalam Keputusan Kepala Bapedal No. 04/1995. Misalnya persyaratan limbah B3 yang ditimbun adalah adanya kelengkapan data yang berhubungan dengan: Finger printing test Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) Solidifikasi/stabilisasi Tidak bersifat mudah meledak, mudah terbakar, reaktif, menyebabkan infeksi, mengandung zat organic > 10%, mengandung PCBs, mengandung dioxin, mengandung radioaktif, berbentuk cair/lumpur.

Termasuk juga kewajiban untuk melakukan penimbunan tanah penutup (post closure).

KARAKTERISTIK LIMBAH

LOKASI YANG MEMUNGKINKAN

LUAS LAHAN YANG DIPERLUKAN


Karakteristik tanah lokasi Detoksifikasi dan migrasi konstituen limbah Cuaca dan hidrologi Analisis konstituen pembatas Hubungan Sistem Perancangan secara Umum

KEMUNGKINAN PERUBAHAN KARAKTERISTIK LIMBAH

PEMILIHAN LOKASI AWAL YANG LAYAK

PERKIRAAN BIAYA

DIBANDINGKAN TERHADAP ALTERNATIF LAINNYA

LOKASI TIDAK LAYAK

LOKASI LAYAK

ANALISIS DETAIL LEBIH LANJUT

Gambar 1.2. Pola alir alternatif pemilihan lokasi didasarkan beberapa pertimbangan

1.5 PERKEMBANGAN PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI Perkembangan pengelolaan limbah industri di Indonesia praktis baru dilakukan setelah menginjak tahun 90-an. Padahal di dunia, perkembangan tersebut telah terjadi jauh sebelumnya, yaitu sejak awal tahun 70-an. Sebelum tahun 1980, penanganan masalah limbah industri, khususnya limbah B3, sesuai dengan perkembangannya diatasi dengan cara: 1. Pembuangan ke lahan dan penyimpanan (land disposal and storage) 2. Pengolahan (treatment) 3. Pengurangan timbulan limbah (waste reduction) 4. Daur ulang dan perolehan kembali (recycling dan recovery) 5. Pembakaran (incineration) Sedangkan pada tahun 1980-an, perkembangan pengelolaan limbah oleh industri menjadi berubah dengan kecenderungan penanganan sebagai berikut: 1. Pengolahan air limbah 2. Compoundment 3. Storage 4. Injection well 5. Waste reduction 6. Landfill 7. Incineration 8. Solidification Kebijakan pemerintah negara-negara maju, terutama di Amerika, menekankan pada pengelolaan dengan urutan prioritas sebagai berikut: 1. Pencegahan polusi 2. Daur ulang dan perolehan kembali (recycling dan recovery) 3. Pengolahan dan pembakaran 4. Pembuangan lahan Selain itu biaya yang juga harus diperhitungkan dalam kaitan dengan konsep di atas adalah: 1. Penanganan sumber dan penyimpanan sebelum dilakukan pengolahan 2. Pengangkutan ke unit pengolahan 3. Pengoperasian unit pengolah 4. Penanganan dan penyimpanan residu hasil pengolahan 5. Pengangkutan residu ke tempat pembuangan akhir 6. Pembuangan akhir dan pentaatan terhadap peraturan/perundangan Dari kajian teknis di atas maupun metoda pengelolaan limbah industri yang diterapkan di negara kita, tampaknya pengelolaan limbah B3 khususnya, sangat mungkin untuk berjalan baik. Sehingga kelambanan dalam proses pelaksanaannya harus dikaji lebih lanjut secara hati-hati. Adanya permasalahan yang dikemukakan di atas, dapat di atasi dengan langkah-langkah perlunya peningkatan tingkat kesadaran

10

lingkungan masyarakat dan industri dalam menyikapi masalah pencemaran. Hal ini bisa dilakukan melalui jalur pendidikan formal maupun yang informal. Bagaimanapun hal ini adalah masalah bersama yang memerlukan pemikiran bersama agar diperoleh hasil yang optimum bagi seluruh pihak yang terlibat. Diperlukan keterlibatan para ahli lingkungan dalam proses diseminasi (baik aspek teknis maupun aspek non-teknis, seperti peraturan/regulasi) ini agar tidak terjadi ketimpangan interpretasi, terutama juga bagi para pelaku yang langsung terlibat dalam pengelolaan limbah industri, baik masyarakat, pemerintah maupun pengusaha. 1.6 KONSEP- KONSEP PENDEKATAN UNTUK SOLUSI Proses pembangunan pada prinsipnya melibatkan setidaknya dua pihak utama, yaitu produsen dan konsumen. Proses ini secara terus menerus berlangsung dan menjadi dasar bagi pemahaman ilmu ekonomi. Interaksi kedua pihak ini secara skematis digambarkan pada Gambar 1.3.
Produk/Jasa

PRODUSEN

KONSUMEN

Uang/Imbalan

Gambar 1.3 Interaksi produsen dan konsumen dalam proses pembangunan (paradigma lama)

Dalam perkembangannya saat ini, paradigma tersebut telah mengalami perubahan. Penyebabnya adalah karena jumlah penduduk yang sangat cepat saat ini tidak diimbangi oleh adanya ketersediaan sumber daya alam dan energi yang mencukupi dan merata. Produsen yang selalu mengandalkan sumberdaya alam dan energi untuk menghasilkan produk-produknya mulai berpikir untuk menggunakan sumberdaya tersebut secara lebih sustainable (berkelanjutan). Sementara, pihak konsumen selain mulai berpikir tentang bagaimana menghemat menggunakan produk agar lebih efektif, juga mulai berpikir agar jangan sampai terjadi pencemaran terhadap lingkungan sehingga dapat menurunkan kualitas hidup mereka disamping juga menjaga agar sumberdaya alam tidak mengalami kerusakan akibat pencemaran yang ditimbulkan terhadapnya. Hal ini kemudian menjadi dasar bagi berkembangnya paradigma baru saat ini, yaitu memasukkan unsur lingkungan sebagai bagian dari proses pembangunan. Lingkungan yang tadinya dianggap sebagai unsur eksternal, sekarang dimasukkan sebagai unsur yang harus diperhatikan dalam pembangunan. Hal ini dikenal dengan istilah eksternalitas menjadi bagian dari internalitas (Gambar 1.4)

11

Produk/Jasa

PRODUSEN
Uang/Imbalan
Sumberdaya Alam penghasil Energi: -Renewable; energi air, matahari, hutan, biomassa, angin, laut dan gelombang -Non-renewable; batu bara, minyak dan gas bumi, bahan bakar sintetis, energi nuklir maupun energi geothermal. SDA penghasil Bahan Baku: -Mineral, Gas Bumi, Perairan, Tanah, Hutan

KONSUMEN

Pencemaran Lingkungan : Pencemaran Udara Pencemaran Air Pencemaran Tanah Masalah Kependudukan

Gambar 1.4. Interaksi produsen dan konsumen dalam proses pembangunan (paradigma baru) Karena itu pengkajian mengenai masalah ekologis menjadi bagian yang populer dalam proses pembangunan saat ini. Pembahasan dampak lingkungan yang timbul sebagai akibat dari proses produksi dan konsumsi energi kembali mengemuka. Issue-issue ini mencakup kembali topik-topik sumberdaya alam dan energi. Sumberdaya alam mempunyai fungsi, sebagaimana dinyatakan pada Tabel 1.3 Sedangkan untuk pengelolaannya, kebijakan pembangunan yang digunakan dicantumkan pada Tabel 1.4. Tabel 1.3 Fungsi Sumberdaya alam bagi manusia Fungsi sumberdaya alam: Sebagai fasilitas hidup, Penyedia energi, Rekreasi, dan Sebagai olah kebudayaan (cultural actualization).

Tabel 1.4. Tujuan kebijakan pembangunan dalam pengelolaan sumberdaya alam Kebijakan pembangunan ditujukan untuk : Meningkatkan nilai konsumtif Memperpanjang kemampuan bumi untuk menunjang kehidupan Mengallokasi efisiensi, dan Memuaskan emosi melalui preservasi

12

Untuk mengkaji dampak lingkungan yang terjadi akibat dari proses pengelolaan sumberdaya alam, khususnya sebagai akibat dari aktivitas produksi maupun konsumsi energi, terdapat 5 (lima) kategori yang berbeda, yaitu: Pengurangan SDA dan Energi Pencemaran Lingkungan Perubahan Iklim Perubahan Tata Guna Lahan Kehilangan Keanekaragaman Hayati

Pemahaman dampak dan perubahan ekologis ini sangat penting mengingat: 1. Manusia tidak akan pernah dapat menduga secara tepat konsekuensi negatif apa yang terjadi terhadap lingkungan sebagai dampak dari aktivitasnya. 2. Dampak lingkungan yang terjadi pada suatu komponen lingkungan secara pasti akan mempengaruhi komponen lingkungan yang lainnya, atau adanya interrelated effects. 3. Respons komponen lingkungan terhadap suatu pressure/aktivitas akan menghasilkan dampak yang berbeda-beda. Tidak semua komponen lingkungan akan mampu beradaptasi. Bagi yang memerlukan, agar dapat memahami hubungan timbal balik antara pencemaran dan lingkungan dalam suatu ekosistem, dapat dibaca BOX yaitu SUPLEMEN tentang Pemahaman Masalah Ekosistem dibawah ini. SUPLEMEN 1:
Pemahaman masalah lingkungan tidak lepas dari memahami permasalahan ekologi. Menurut Prof. Otto Soemarwoto, ekologi yang secara harfiah adalah ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup mempunyai persamaan dengan ilmu ekonomi. Hanya saja dalam ekologi, mata uang yang digunakan dalam transaksi dalam suatu komunitas ataupun antara beberapa komunitas bukanlah rupiah atau dollar, tetapi adalah: Materi (Dalam beberapa buku disebutkan sebagai siklus nutrien, karena melibatkan transaksi bahan organik dan organik dengan lingkungan sekelilingnya), Energi (Suatu ekosistem tidak akan bekerja tanpa adanya supply energi eksternal, yang sebagian besar didasarkan pada energi matahari), dan Informasi (Interrelasi antara komponen yang terlibat, akan memerlukan informasi yang tepat untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan dalam bertransaksi). Catatan: Dalam etika lingkungan, dikatakan bahwa yang menjadi fokus adalah adanya dua komponen dasar universe menurut Deism, yaitu: matter dan entities, serta energi menurut Atheism. Hal ini apabila dibandingkan dengan konsep di atas, terdapat kemiripan pemahaman walaupun konsep di atas tersebut dalam dimensi yang lebih holistik. Konsep sentral dari ekologi adalah ekosistem, yaitu suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Berdasarkan pengertian ini, suatu sistem terdiri atas komponen-komponen yang bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan. Ekosistem terbentuk oleh komponen hidup (biotic) dan tak hidup (abiotic) di suatu tempat yang berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur. Keteraturan ini terjadi akibat adanya arus materi dan arus energi yang terkendali oleh adanya arus informasi antara komponen dalam sistem tersebut. Masingmasing komponen itu mempunyai fungsi atau relung, yang selama masing-masing komponen berfungsi dan bekerjasama dengan baik, maka keteraturan ekosistem pun terjaga. Keteraturan ekosistem berarti pula bahwa ekosistem tersebut ada dalam keadaan keseimbangan tertentu. Keseimbangan ini bersifat dinamis, karena selalu berubah-ubah, baik besar maupun kecil. Perubahan itu dapat terjadi secara alamiah maupun sebagai akibat dari perbuatan manusia. Salah satu konsekuensi dari ketiga prinsip pemahaman diatas adalah bahwa setiap ekosistem mempunyai carrying capacity. Carrying capacity adalah level tertinggi aktivitas biologis yang masih bisa diatasi oleh ekosistem. Apabila kapasitas ini terlampaui, maka ekosistem akan mengalami ketimpangan. Misalnya perubahan iklim dewasa ini cenderung lebih banyak akibat adanya perbuatan manusia (anthropogenic), antara lain kebakaran hutan, peningkatan kegiatan industri dan transportasi. Atau masalah lainnya yang sudah kita kenal seperti efek rumah kaca, hujan asam dan kerusakan lapisan ozon.

13

Materi, energi dan informasi Yang dimaksud dengan materi adalah unsur kimia yang membentuk organisma hidup dan tak hidup, seperti karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), nitrogen (N), fosfor (P), serta calsium (Ca). Unsur-unsur kimia berkombinasi membentuk molekul, misalnya molekul air (H2O) yang terdiri dari dua atom H dan satu atom O. Dalam proses fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan hijau, enam molekul CO2 dan enam molekul H2O diolah menjadi satu molekul gula glukosa dan enam molekul O2 seperti yang terlihat dalam reaksi : 6 CO2 + 6 H2O Chlorofil h 6 C6H12O6 + 6 H2O

Gula glukosa karbohidrat umumnya disusun menjadi pati yang dapat disimpan dalam jumlah besar, misalnya dalam batang (sagu), buah (padi) atau umbi (ketela pohon). Karena tumbuhan hijau dapat memproduksi bahan organik dan bahan anorganik, yaitu C6H12O6 dan H2O, dengan menggunakan cahaya matahari, maka tumbuhan hijau disebut sebagai produsen. Sedangkan manusia dan hewan disebut sebagai konsumen, karena tidak dapat melakukan kegiatan seperti pada tumbuhan, sehingga perlu mengkonsumsi produsen. Hal ini dikenal dengan nama rantai makanan (food chain), sebab pada saat ini terjadi proses pemindahan materi, energi dan informasi dari produsen (tumbuhan) ke konsumen (manusia dan hewan). Karbohidrat dapat diolah lebih lanjut menjadi lemak, bersama-sama dengan unsur lainnya yang diserap oleh tumbuhan dari tanah seperti N, P dan S sehingga membentuk protein, vitamin dan lain-lainnya. Bahan-bahan inilah yang menjadi materi pembentuk tubuh manusia. Dalam proses rantai makanan, terjadi proses makan-memakan di alam. Bila kita perhatikan ekosistem air, maka tumbuhan hijau akan dimakan siput. Siput lalu dimakan oleh ikan dan pada gilirannya ikan akan dimakan oleh burung. Jadi terlihat adanya rantai makanan yang bercabang-cabang dan merupakan jaring-jaring makanan. Di alam, apabila makhluk mati, tidak berarti aliran materi akan berhenti. Makhluk yang mati ini akan menjadi makanan makhluk lainnya seperti jasad renik, bakteri dan jamur dalam proses pembusukan. Dalam proses ini sebagian bangkai dipakai untuk pertumbuhan jasad renik sebagian lagi terurai menjadi gas, cairan dan mineral. Gas CO2 yang terbentuk digunakan oleh tumbuhan dalam proses fotosintesis, sedangkan cairan dan mineral sebagian masuk lagi ke dalam tanah dan sebagian lagi diserap oleh tanaman melalui akar. Jadi jelaslah bahwa aliran materi merupakan daur (siklus) yang mengalir yang tidak ada habis-habisnya melalui proses biogeokimia. Energi kita perlukan untuk melakukan kerja. Energi sifatnya tidak dapat kita lihat. Yang terlihat adalah efeknya. Misalnya bensin mengandung energi yang dapat menggerakkan mesin mobil, sehingga mobil tersebut dapat bergerak. Energi bensin tidak dapat terlihat, namun hasilnya dapat kita lihat. Dalam kehidupan sehari-hari, berbagai macam bentuk energi dapat kita temui seperti yang berasal dari matahari, panas bumi, BBM, energi nuklir, angin, air, uap, dan sebagainya. Energi yang terbesar berasal dari sinar matahari, khususnya sinar matahari yang bergelombang panjang seperti infra merah (IR) karena bermanfaat bagi proses fotosintesis, sedangkan energi bergelombang pendek seperti ultra violet (UV) membahayakan bagi kehidupan di atas muka bumi. Hal ini disebabkan karena UV mempunyai energi yang tinggi sehingga bila sampai terekspos ke permukaan kulit dapat menyebabkan kanker (carcinogenic). Berbeda dengan materi yang mengalir dalam daur, energi hanya mengalir dalam satu arah. Untuk memahami hal ini, dapat dilihat pada pembahasan selanjutnya mengenai Hukum Thermodinamika. Informasi adalah suatu hal yang memberikan pengetahuan. Informasi dapat berbentuk benda fisik, warna, kelakuan dan lainnya. Misalnya warna hijau dan bentuk tertentu memberikan informasi kepada kita tentang adanya tumbuhan. Dalam dunia modern, informasi itu berbentuk ilmu pengetahuan. Informasi akan bekerja sebagai umpan balik untuk memperbesar arus energi ke dalam suatu sistem. Makin besar kemampuan suatu sistem menguasai informasi, makin besar umpan baliknya, dan semakin besar pula arus energi kedalam sistemnya. Hal ini karena setiap sistem selalu berusaha untuk memaksimumkan arus energi ke dalam sistemnya sendiri dalam melangsungkan aktivitas hidupnya yang memerlukan energi. Sebagian energi yang diperoleh akan digunakan untuk mengembangkan kemampuan agar menguasai informasi. Sebab barang siapa menguasai informasi, yaitu memiliki, menggunakannya, serta mengatur arusnya, maka dialah yang akan unggul. Hukum Thermodinamika Untuk memahami konsep ekologi secara sistematis, kita perlu memahami Hukum Thermodinamika I dan II tentang energi. Hukum Thermodinamika I menyatakan bahwa jumlah energi dalam alam semesta adalah konstan. Jumlah energi tidak dapat bertambah atau tidak dapat berkurang. Jadi kita tidak dapat menciptakan maupun memusnahkan energi. Bila ada energi di suatu tempat, sudah dapat dipastikan dia berasal dari tempat yang lain. Artinya, jumlah energi sebelum dan sesudah proses transformasi selalu sama.

14

Hukum Thermodinamika II menyatakan bahwa energi yang ada itu tidak dapat seluruhnya dapat dipakai melakukan kerja. Karena itu pada waktu kita menggunakan energi untuk melakukan kerja tidak mungkin mencapai efisiensi 100%. Misalnya kita menggunakan bensin 40 liter untuk memutar mesin kendaraan, hasil kerja yang diperoleh akan kurang dari 40 liter. Bagian energi yang tidak terpakai untuk melakukan kerja akan dikeluarkan misalnya dalam bentuk gas buang dan panas, yang disebut sebagai entropi. Dalam rantai makanan, materi dan energi mengalir melalui produsen ke konsumen. Seperti telah disinggung di atas, materi mengalir dalam daur sementara energi mengalir satu arah. Energi berasal dari matahari masuk kedalam dunia hidup melalui proses fotosintesis oleh tumbuhan dan keluar lagi ke dunia tak hidup sebagai CO2 dan panas. Antara tingkat entropi dan keteraturan mempunyai hubungan yang erat. Dalam keadaan teratur, tingkat entropi rendah dan dalam keadaan yang tidak teratur tingkat entropi tinggi. Dengan demikian upaya pengelolaan lingkungan sebetulnya adalah upaya untuk menaikkan tingkat keteraturan, yang pada hakekatnya adalah menurunkan entropi. Hukum Thermodinamika sangatlah penting dalam kehidupan manusia. Karena jumlah energi tetap, kita hanya dapat menambah energi di suatu tempat dengan mengurangi sejumlah energi di tempat yang lain. Hal ini mengisyaratkan bahwa kita harus hemat energi, walaupun Indonesia merupakan negara yang kaya akan diversifikasi energi (air, minyak, gas, panas bumi, batu bara, cahaya matahari). Khususnya bagi sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources), lambat laun akan habis sejalan dengan meningkatnya kebutuhan domestik dan ekspor. Pemanfaatan energi matahari sebagian juga memerlukan teknologi tinggi yang membuat kita tergantung pada luar negeri, walaupun sebagian lagi dapat menggunakan tumbuhan. Namun masalahnya memerlukan lahan yang luas untuk menghasilkan bahan bakar yang berasal dari fotosintesis. Hukum Thermodinamika II mengemukakan secara universal bahwa entropi akan selalu berubah. Kita dapat menurunkan entropi di suatu tempat secara lokal, tetapi bersamaan dengan itu akan menaikkan entropi di tempat lain. Misalnya pembuangan limbah pabrik ke suatu perairan, akan menurunkan entropi di dalam pabrik tetapi meningkatkan entropi di perairan. Dalam skala besar, entropi di bumi dapat dijaga pada tingkat rendah dan keteraturan pada tingkat tinggi dengan menggunakan energi matahari melalui proses fotosintesis oleh tumbuhan hijau. Karena itu fotosintesis mempunyai efek negentropi, yaitu entropi negatif atau mengurangi entropi

Dari aspek teknis, perlu untuk dikembangkan metoda pengelolaan industri yang diawali dengan melakukan analisis multimedia. Pendekatannya dapat dengan menggunakan berbagai aspek kajian, seperti misalnya suatu sistem, produk, servis maupun proses. Apabila yang dijadikan subyek kajian pabrik, misalnya, maka analisis multimedia ini dimulai dengan analisis detail terhadap seluruh aliran dan emisi dari pabrik tersebut. Semua aliran yang berhubungan dengan jenis pengendalian yang diperlukan, dampak dari perubahan masukan dan kondisi operasional yang dipunyai, dan sebagainya. Prosedurnya menggunakan urutan berikut: 1. Pengelolaan inventory pabrik, hanya membeli material berdasarkan kebutuhan dan mengurutkan penggunaannya berdasarkan prinsip first-in, first-out (FIFO). 2. Substitusi bahan baku, konsentrasi diutamakan pada bahan baku utama untuk menekan biaya ekstra. 3. Proses desain dan operasi, ditekankan pada pemilihan peralatan yang memproduksi limbah paling minim. 4. Reduksi volume, dengan cara memisahkan limbah berdasarkan jenisnya untuk direcovery, terutama pelarut kimia. 5. Daur ulang, misalnya pelarut kimia yang dapat didaur ulang dengan cara distilasi. 6. Alternatif solusi untuk bahan-bahan kimia, dengan cara misalnya melakukan menambahkan kapur pada limbah catalyst yang mengandung tanah liat dan H3PO3 sehingga dapat dijadikan bahan baku beton. Dengan cara yang sama analisis multimedia ini bisa dilakukan pada produk dan jasa, maupun pada lokasi dan proses pembuangan. Sistem pendekatan menyeluruh ini akan lebih baik daripada pendekatan secara partial. Contoh yang menarik adalah

15

kasus pencemaran Great Lakes, yang melibatkan Amerika dan Kanada (melalui International Joint Commission) untuk secara bersama-sama mengatasi masalah penurunan kualitas Great Lakes akibat pencemaran, pada tahun 1972. Walaupun berbagai upaya dan dana (lebih dari US $ 7,6 milyar) telah dilakukan dalam mengatasi pencemaran yang masuk, namun beberapa pencemar toksik masih tetap tinggi, seperti PCB, Pb dan Hg. Baru kemudian dijumpai fakta bahwa masuknya pencemar B3 tersebut bukan melalui aliran air yang masuk ke Great Lakes, tetapi melalui udara (atmospheric deposition)! Karena itu dalam mengatasi pencemaran, perlu dilakukan konsep pendekatan yang holistik sebagai suatu paradigma yang baru. Esensi utama dari pengelolaan limbah industri ini adalah dengan prioritas pada modifikasi proses produksinya sehingga memberi dampak yang sekecilkecilnya pada lingkungan, bukan pada proses pengolahan limbahnya. Selain pendekatan teknis diatas, diperlukan juga adanya langkah-langkah untuk lebih meningkatkan peran industri dalam mengatasi limbahnya. Terutama dalam mengatasi limbah B3, pemerintah perlu melakukan deregulasi yang memungkinkan industri mengelola limbah industrinya secara mandiri. Peraturan yang berlaku saat ini sedemikian ketat sehingga hal ini tidak kondusif. Walaupun begitu, deregulasi ini hendaknya dibarengi dengan pengendalian yang intensif dari pemerintah di satu pihak, dan disupport dengan pemberian insentif bagi perusahaan yang telah menunjukkan kinerja yang baik. Malaysia merupakan negara yang cukup maju dalam pengaturan masalah ini. Disamping itu, diperlukan juga adanya benchmarking oleh perusahaan yang telah melakukan pengelolaan limbah industrinya dengan sukses agar dapat menjadi bukti bahwa tindakan tersebut memang dapat mendatangkan keuntungan bagi perusahaan yang melakukannya.

Kesimpulan Limbah industri tidak terlepas dari aktivitas yang ada dalam sebuah industri, diperlukan pengelolaan yang tepat agar limbah yang dihasilkan memiliki dampak sekecil mungkin pada lingkungan. Permasalahan yang timbul saat ini akibat kurangnya pengelolaan limbah industri. Prinsip pengelolaan limbah industri dapat dilakukan melalui pendekatan teknis dan non teknis, dimana pendekatan teknis berhubungan dengan peraturan-peraturan, kajian sistem produksi dalam industri tersebut yang meliputi sistem, produk, servis maupun proses. Sedangkan pendekatan non teknis dengan peningkatan kesadaran lingkungan masyarakat dan industri dalam menyikapi masalah pencemaran.

16

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. b. bahwa lingkungan hidup perlu dijaga kelestariannya sehingga tetap mampu menunjang pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan; bahwa dengan meningkatnya pembangunan di segala bidang, khususnya pembangunan di bidang industri, semakin meningkat pula jumlah limbah yang dihasilkan termasuk yang berbahaya dan beracun yang dapat membahayakan lingkungan hidup dan kesehatan manusia; bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu dilakukan penyesuaian terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun; bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;

c.

d.

Mengingat : 1. 2. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); M EM UT USK AN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1. 2.

Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan; Limbah bahan berbahaya dan beracun, disingkat limbah B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain; Pengelolaan limbah B3 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan limbah B3; Reduksi limbah B3 adalah suatu kegiatan pada penghasil untuk mengurangi jumlah dan mengurangi sifat bahaya dan racun limbah B3, sebelum dihasilkan dari suatu kegiatan; Penghasil limbah B3 adalah orang yang usaha dan/atau kegiatannya menghasilkan limbah B3; Pengumpul limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengumpulan dengan tujuan untuk mengumpulkan limbah B3 sebelum dikirim ke tempat pengolahan dan/atau pemanfaatan dan/atau penimbunan limbah B3; Pengangkut limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengangkutan limbah B3;

3. 4. 5. 6. 7.

17

8. Pemanfaat limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pemanfaatan limbah B3; 9. Pengolah limbah B3 adalah badan usaha yang mengoperasikan sarana pengolahan limbah B3; 10. Penimbun limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan penimbunan limbah B3; 11. Pengawas adalah pejabat yang bertugas di instansi yang bertanggung jawab melaksanakan pengawasan
pengelolaan limbah B3;

12. Penyimpanan adalah kegiatan menyimpan limbah B3 yang dilakukan oleh penghasil dan/atau pengumpul
dan/atau pemanfaat dan/atau pengolah dan/atau penimbun limbah B3 dengan maksud menyimpan sementara;

13. Pengumpulan

limbah B3 adalah kegiatan mengumpulkan limbah B3 dari penghasil limbah B3 dengan maksud menyimpan sementara sebelum diserahkan kepada pemanfaat dan/atau pengolah dan/atau penimbun limbah B3; limbah B3 adalah suatu kegiatan pemindahan limbah B3 dari penghasil dan/atau dari pengumpul dan/atau dari pemanfaat dan/atau dari pengolah ke pengumpul dan/atau ke pemanfaat dan/atau ke pengolah dan/atau ke penimbun limbah B3; limbah B3 adalah suatu kegiatan perolehan kembali (recovery) dan/atau penggunaan kembali (reuse) dan/atau daur ulang (recycle) yang bertujuan untuk mengubah limbah B3 menjadi suatu produk yang dapat digunakan dan harus juga aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia; limbah B3 adalah proses untuk mengubah karakteristik dan komposisi limbah B3 untuk menghilangkan dan/atau mengurangi sifat bahaya dan/atau sifat racun; dengan maksud tidak membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan hidup;

14. Pengangkutan 15. Pemanfaatan 16. Pengolahan

17. Penimbunan limbah B3 adalah suatu kegiatan menempatkan limbah B3 pada suatu fasilitas penimbunan 18. Orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum; 19. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang
dampak lingkungan; pengendalian

20. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
Pasal 2 Pengelolaan limbah B3 bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai fungsinya kembali. Pasal 3 Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan limbah B3 dilarang membuang limbah B3 yang dihasilkannya itu secara langsung ke dalam media lingkungan hidup, tanpa pengolahan terlebih dahulu. Pasal 4 Setiap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan penimbunan limbah B3 dilarang melakukan pengenceran untuk maksud menurunkan konsentrasi zat racun dan bahaya limbah B3. Pasal 5 Pengelolaan limbah radio aktif dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab atas pengelolaan radio aktif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB II IDENTIFIKASI LIMBAH B3 Pasal 6 Limbah B3 dapat diidentifikasi menurut sumber dan karakteristiknya. Pasal 7 (1) Jenis limbah B3 menurut sumbernya meliputi : a. b. c. Limbah B3 dari sumber tidak spesifik; Limbah B3 dari sumber spesifik; Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan, dan buangan produk yang

18

tidak memenuhi spesifikasi. (2) Daftar limbah dengan kode limbah D220, D221, D222, dan D223 dapat dinyatakan limbah B3 setelah dilakukan uji Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) dan/atau uji karakteristik. (3) Perincian dari masing-masing jenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seperti tercantum dalam lampiran I Peraturan Pemerintah ini. Pasal 8 (1) Limbah yang tidak termasuk dalam daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) diidentifikasi sebagai limbah B3 apabila setelah melalui pengujian memiliki salah satu atau lebih karakteristik sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. mudah meledak; mudah terbakar; bersifat reaktif; beracun; menyebabkan infeksi; dan bersifat korosif.

(2) Limbah yang termasuk limbah B3 adalah limbah lain yang apabila diuji dengan metode toksikologi memiliki LD50 di bawah nilai ambang batas yang telah ditetapkan. BAB III PELAKU PENGELOLAAN Bagian Pertama Penghasil Pasal 9 (1) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan limbah B3 wajib melakukan reduksi limbah B3, mengolah limbah B3 dan/atau menimbun limbah B3. (2) Apabila kegiatan reduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih menghasilkan limbah B3, dan limbah B3 tersebut masih dapat dimanfaatkan, penghasil dapat memanfaatkannya sendiri atau menyerahkan pemanfaatannya kepada pemanfaat limbah B3. (3) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib mengolah limbah B3 yang dihasilkannya sesuai dengan teknologi yang ada dan jika tidak mampu diolah di dalam negeri dapat diekspor ke negara lain yang memiliki teknologi pengolahan limbah B3. (4) Pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sendiri oleh penghasil limbah B3 atau penghasil limbah B3 dapat menyerahkan pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 yang dihasilkannya itu kepada pengolah dan/atau penimbun limbah B3. (5) Penyerahan limbah B3 kepada pemanfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (3), serta kepada pengolah dan/atau penimbun limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak mengurangi tanggung jawab penghasil limbah B3 untuk mengolah limbah B3 yang dihasilkannya. (6) Ketentuan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkan dari kegiatan rumah tangga dan kegiatan skala kecil ditetapkan kemudian oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. Pasal 10 (1) Penghasil limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang dihasilkannya paling lama 90 (sembilan puluh) hari sebelum menyerahkannya kepada pengumpul atau pemanfaat atau pengolah atau penimbun limbah B3. (2) Bila limbah B3 yang dihasilkan kurang dari 50 (lima puluh) kilogram per hari, penghasil limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang dihasilkannya lebih dari sembilan puluh hari sebelum diserahkan kepada pemanfaat atau pengolah atau penimbun limbah B3, dengan persetujuan Kepala instansi yang

19

bertanggung jawab. Pasal 11 (1) Penghasil limbah B3 wajib membuat dan menyimpan catatan tentang : a. b. c. jenis, karakteristik, jumlah dan waktu dihasilkannya limbah B3; jenis, karakteristik, jumlah dan waktu penyerahan limbah B3; nama pengangkut limbah B3 yang melaksanakan pengiriman kepada pengumpul atau pemanfaat atau pengolah atau penimbun limbah B3.

(2) Penghasil limbah B3 wajib menyampaikan catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurangkurangnya sekali dalam enam bulan kepada instansi yang bertanggung jawab dengan tembusan kepada instansi yang terkait dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan. (3) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan untuk : a. b. inventarisasi jumlah limbah B3 yang dihasilkan; sebagai bahan evaluasi dalam rangka penetapan kebijaksanaan dalam pengelolaan limbah B3. Bagian Kedua Pengumpul Pasal 12 Pengumpul limbah B3 dilakukan oleh badan usaha yang melakukan kegiatan pengumpulan limbah B3. Pasal 13 (1) Pengumpul limbah B3 wajib membuat catatan tentang : a. b. c. jenis, karakteristik, jumlah limbah B3 dan waktu diterimanya limbah B3 dari penghasil limbah B3; jenis, karakteristik, jumlah, dan waktu penyerahan limbah B3 kepada pemanfaat dan/atau pengolah dan/atau penimbun limbah B3; nama pengangkut limbah B3 yang melaksanakan pengiriman kepada pemanfaat dan/atau pengolah dan/atau penimbun limbah B3.

(2) Pengumpul limbah B3 wajib menyampaikan catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurangkurangnya sekali dalam enam bulan kepada instansi yang bertanggung jawab dengan tembusan kepada instansi yang terkait dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan. (3) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan untuk; a. b. inventarisasi jumlah limbah B3 yang dikumpulkan; sebagai bahan evaluasi dalam rangka penetapan kebijaksanaan dalam pengelolaan limbah B3. Pasal 14 (1) Pengumpul limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang dikumpulkannya paling lama 90 (sembilan puluh) hari sebelum diserahkan kepada pemanfaat dan/atau pengolah dan/atau penimbun limbah B3. (2) Pengumpul limbah B3 bertanggung jawab terhadap limbah B3 yang dikumpulkan. Bagian Ketiga Pengangkut Pasal 15 (1) Pengangkut limbah B3 dilakukan oleh badan usaha yang melakukan kegiatan pengangkutan limbah B3. (2) Pengangkutan limbah B3 dapat dilakukan oleh penghasil limbah B3 untuk limbah yang dihasilkannya

20

sendiri. (3) Apabila penghasil limbah B3 bertindak sebagai pengangkut limbah B3, maka wajib memenuhi ketentuan yang berlaku bagi pengangkut limbah B3. Pasal 16 (1) Setiap pengangkutan limbah B3 oleh pengangkut limbah B3 wajib disertai dokumen limbah B3. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dokumen limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. Pasal 17 Pengangkut limbah B3 wajib menyerahkan limbah B3 dan dokumen limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) kepada pengumpul dan/atau pemanfaat dan/atau pengolah dan/atau penimbun limbah B3 yang ditunjuk oleh penghasil limbah B3. Bagian Keempat Pemanfaat Pasal 18 Pemanfaat limbah B3 dilakukan oleh penghasil atau badan usaha yang melakukan kegiatan pemanfaatan limbah B3. Pasal 19 (1) Pemanfaat limbah B3 yang menghasilkan limbah B3 wajib memenuhi ketentuan mengenai penghasil limbah B3. (2) Pemanfaat limbah B3 yang dalam kegiatannya melakukan pengumpulan limbah B3 wajib memenuhi ketentuan mengenai pengumpul limbah B3. (3) Pemanfaat limbah B3 yang melakukan pengangkutan limbah B3 wajib memenuhi ketentuan mengenai pengangkut limbah B3. Pasal 20 Pemanfaat limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 sebelum dimanfaatkan paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Pasal 21 Pemanfaat limbah B3 wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai : a. b. c. d. sumber limbah B3 yang dimanfaatkan; jenis, karakteristik, dan jumlah limbah B3 yang dikumpulkan; jenis, karakteristik, dan jumlah limbah B3 yang dimanfaatkan dan produk yang dihasilkan; nama pengangkut yang melakukan pengangkutan limbah B3 dari penghasil dan/atau pengumpul limbah B3. Pasal 22 (1) Pemanfaat limbah B3 wajib menyampaikan catatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 21 sekurangkurangnya sekali dalam enam bulan kepada instansi yang bertanggung jawab dengan tembusan kepada instansi yang terkait dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan. (2) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan untuk : a. b. inventarisasi jumlah limbah B3 yang dimanfaatkan; sebagai bahan evaluasi dalam rangka penetapan kebijaksanaan dalam pengelolaan limbah B3. Bagian Kelima

21

Pengolah Pasal 23 (1) Pengolah limbah B3 dilakukan oleh penghasil atau badan usaha yang melakukan kegiatan pengolahan limbah B3. (2) Pengolah limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang akan diolah paling lama 90 (sembilan puluh) hari (3) Pengolah limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang dihasilkannya paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Pasal 24 (1) Pengolah limbah B3 wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai : a. b. c. sumber limbah B3 yang diolah; jenis, karakteristik, dan jumlah limbah B3 yang diolah; nama pengangkut yang melakukan pengangkutan limbah B3.

(2) Pengolah limbah B3 wajib menyampaikan catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurangkurangnya sekali dalam enam bulan kepada instansi yang bertanggung jawab dengan tembusan kepada instansi terkait dan Bupati/Wali kotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan. (3) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan untuk : a. b. inventarisasi jumlah limbah B3 yang dimanfaatkan; sebagai bahan evaluasi dalam rangka penetapan kebijaksanaan dalam pengelolaan limbah B3. Bagian Keenam Penimbun Pasal 25 (1) Penimbun limbah B3 dilakukan oleh badan usaha yang melakukan kegiatan penimbunan limbah B3. (2) Penimbunan limbah B3 dapat dilakukan oleh penghasil untuk menimbun limbah B3 sisa dari usaha dan/atau kegiatannya sendiri. Pasal 26 (1) Penimbun limbah B3 wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai : a. b. c. sumber limbah B3 yang ditimbun; jenis, karakteristik, dan jumlah limbah B3 yang ditimbun; nama pengangkut yang melakukan pengangkutan limbah B3.

(2) Penimbun limbah B3 wajib menyampaikan catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurangkurangnya sekali dalam enam bulan kepada instansi yang bertanggung jawab dengan tembusan kepada instansi terkait dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan. (3) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan untuk : a. b. inventarisasi jumlah limbah B3 yang dimanfaatkan; sebagai bahan evaluasi dalam rangka penetapan kebijaksanaan dalam pengelolaan limbah B3. BAB IV KEGIATAN PENGELOLAAN Bagian Pertama Reduksi Limbah B3

22

Pasal 27 (1) Reduksi limbah B3 dapat dilakukan melalui upaya menyempurnakan penyimpanan bahan baku dalam kegiatan proses (house keeping), substitusi bahan, modifikasi proses, serta upaya reduksi limbah B3 lainnya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai reduksi limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. Bagian Kedua Pengemasan Pasal 28 (1) Setiap kemasan limbah B3 wajib diberi simbol dan label yang menunjukkan karakteristik dan jenis limbah B3. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai simbol dan label limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. Bagian Ketiga Penyimpanan Pasal 29 (1) Penyimpanan limbah B3 dilakukan di tempat penyimpanan yang sesuai dengan persyaratan. (2) Tempat penyimpanan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi syarat : a. b. lokasi tempat penyimpanan yang bebas banjir, tidak rawan bencana dan di luar kawasan lindung serta sesuai dengan rencana tata ruang; rancangan bangunan disesuaikan dengan jumlah, karakteristik limbah B3 dan upaya pengendalian pencemaran lingkungan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penyimpanan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. Bagian Keempat Pengumpulan Pasal 30 (1) Kegiatan pengumpulan limbah B3 wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut : a. b. c. d. e. memperhatikan karakteristik limbah B3; mempunyai laboratorium yang dapat mendeteksi karakteristik limbah B3 kecuali untuk toksikologi; memiliki perlengkapan untuk penanggulangan terjadinya kecelakaan; memiliki konstruksi bangunan kedap air dan bahan bangunan disesuaikan dengan karakteristik limbah B3; mempunyai lokasi pengumpulan yang bebas banjir. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. Bagian Kelima Pengangkutan Pasal 31 Penyerahan limbah B3 oleh penghasil dan/atau pengumpul dan/atau pemanfaat dan/atau pengolah kepada pengangkut wajib disertai dokumen limbah B3. Pasal 32 Pengangkutan limbah B3 dilakukan dengan alat angkut khusus yang memenuhi persyaratan dengan tata cara

23

pengangkutan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Keenam Pemanfaatan Pasal 33 (1) Pemanfaatan limbah B3 meliputi perolehan kembali (recovery), penggunaan kembali (reuse) dan daur ulang (recycle). (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. Bagian Ketujuh Pengolahan Pasal 34 (1) Pengolahan limbah B3 dapat dilakukan dengan cara thermal, stabilisasi dan solidifikasi, secara fisika, kimia, biologi dan/atau cara lainnya sesuai dengan perkembangan teknologi. (2) Pemilihan lokasi untuk pengolahan limbah B3 harus memenuhi ketentuan : a. b. bebas dari banjir, tidak rawan bencana dan bukan kawasan lindung; merupakan lokasi yang ditetapkan sebagai kawasan peruntukan industri berdasarkan rencana tata ruang.

(3) Pengolahan limbah B3 dengan cara stabilisasi dan solidifikasi wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. b. melakukan analisis dengan prosedur ekstraksi untuk menentukan mobilitas senyawa organik dan anorganik (Toxicity Characteristic Leaching Procedure); melakukan penimbunan hasil pengolahan stabilisasi dan solidifikasi dengan ketentuan penimbunan limbah B3 ( landfill).

(4) Pengolahan limbah B3 secara fisika dan/atau kimia yang menghasilkan : a. b. limbah cair, maka limbah cair tersebut wajib memenuhi baku mutu limbah cair; limbah padat, maka limbah padat tersebut wajib memenuhi ketentuan tentang pengelolaan limbah B3.

(5) Pengolahan limbah B3 dengan cara thermal dengan mengoperasikan insinerator wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut : a. b. mempunyai insinerator dengan spesifikasi sesuai dengan karakteristik dan jumlah limbah B3 yang diolah; mempunyai insinerator yang dapat memenuhi efisiensi pembakaran minimal 99,99 % dan efisiensi penghancuran dan penghilangan sebagai berikut : 1) efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Principle Organic Hazard Constituent (POHCs) 99,99%; 2) efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Polyclorinated Biphenyl (PCBs) 99,9999 %; 3) efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Polyclorinated Dibenzofurans 99,9999 %; 4) efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Polyclorinated Dibenso-P-dioxins 99,9999 %. c. d. memenuhi standar emisi udara; residu dari kegiatan pembakaran berupa abu dan cairan wajib dikelola dengan mengikuti ketentuan tentang pengelolaan limbah B3.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis pengolahan limbah B3 ditetapkan oleh Kepala

24

instansi yang bertanggung jawab. Pasal 35 Penghentian kegiatan pengolahan limbah B3 oleh pengolah wajib mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala instansi yang bertanggung jawab. Bagian Kedelapan Penimbunan Pasal 36 Lokasi penimbunan limbah B3 wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. b. c. d. e. bebas dari banjir; permeabilitas tanah maksimum 10 pangkat negatif 7 centimeter per detik; merupakan lokasi yang ditetapkan sebagai lokasi penimbunan limbah B3 berdasarkan rencana tata ruang; merupakan daerah yang secara geologis dinyatakan aman, stabil tidak rawan bencana dan di luar kawasan lindung; tidak merupakan daerah resapan air tanah, khususnya yang digunakan untuk air minum. Pasal 37 (1) Penimbunan limbah B3 wajib menggunakan sistem pelapis yang dilengkapi dengan saluran untuk pengaturan aliran air permukaan, pengumpulan air lindi dan pengolahannya, sumur pantau dan lapisan penutup akhir yang telah disetujui oleh instansi yang bertanggung jawab. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan penimbunan limbah B3 ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. Pasal 38 Penghentian kegiatan penimbunan limbah B3 oleh penimbun wajib mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala instansi yang bertanggung jawab. Pasal 39 (1) Terhadap lokasi penimbunan limbah B3 yang telah dihentikan kegiatannya wajib memenuhi hal-hal sebagai berikut : a. b. c. menutup bagian paling atas tempat penimbunan dengan tanah setebal minimum 0,60 meter; melakukan pemagaran dan memberi tanda tempat penimbunan limbah B3; melakukan pemantauan kualitas air tanah dan menanggulangi dampak negatif yang mungkin timbul akibat keluarnya limbah B3 ke lingkungan, selama minimum 30 tahun terhitung sejak ditutupnya seluruh fasilitas penimbunan limbah B3; peruntukan lokasi penimbun yang telah dihentikan kegiatannya tidak dapat dijadikan pemukiman atau fasilitas umum lainnya.

d.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. BAB V TATA LAKSANA Bagian Pertama Perizinan Pasal 40 (1) Setiap badan usaha yang melakukan kegiatan : a. b. penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 wajib memiliki izin operasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab. pengangkut limbah B3 wajib memiliki izin pengangkutan dari Menteri Perhubungan setelah

25

c.

mendapat rekomendasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab. pemanfaatan limbah B3 sebagai kegiatan utama wajib memiliki izin pemanfaatan dari instansi yang berwenang memberikan izin pemanfaatan setelah mendapat rekomendasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab.

(2) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab, dan ayat (1) huruf b dan huruf c ditetapkan oleh Kepala instansi yang berwenang memberikan izin. (3) Kegiatan pengolahan limbah B3 yang terintegrasi dengan kegiatan pokok wajib memperoleh izin operasi alat pengolahan limbah B3 yang dikeluarkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. (4) Persyaratan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. memiliki akte pendirian sebagai badan usaha yang telah disyahkan oleh instansi yang berwenang; nama dan alamat badan usaha yang memohon izin; kegiatan yang dilakukan; lokasi tempat kegiatan; nama dan alamat penanggung jawab kegiatan; bahan baku dan proses kegiatan yang digunakan; spesifikasi alat pengelolaan limbah; jumlah dan karakteristik limbah B3 yang disimpan, dikumpulkan, dimanfaatkan, diangkut, diolah atau ditimbun; tata letak saluran limbah, pengolahan limbah, dan tempat penampungan sementara limbah B3 sebelum diolah dan tempat penimbunan setelah diolah; alat pencegah pencemaran untuk limbah cair, emisi, dan pengolahan limbah B3.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan tata cara permohonan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. Pasal 41 (1) Keputusan mengenai izin dan rekomendasi pengelolaan limbah B3 yang diberikan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 wajib diumumkan kepada masyarakat. (2) Tata cara pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan ketetapan Kepala instansi yang bertanggung jawab. Pasal 42 (1) Izin lokasi pengolahan dan penimbunan limbah B3 diberikan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sesuai rencana tata ruang setelah mendapat rekomendasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab. (2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada hasil penelitian tentang dampak lingkungan dan kelayakan teknis lokasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 34 ayat (2) dan Pasal 36. Pasal 43 (1) Untuk kegiatan pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 sebagai kegiatan utama wajib dibuatkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup diajukan bersama dengan permohonan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4) kepada instansi yang bertanggung jawab. (3) Keputusan kelayakan lingkungan hidup berdasarkan hasil penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup diberikan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. Pasal 44 (1) Keputusan mengenai permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 diberikan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya 45 (empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak

26

diterimanya. (2) Syarat dan kewajiban dalam analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang telah disetujui merupakan bagian yang akan menjadi bahan pertimbangan dalam pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1). Pasal 45 (1) Kegiatan baru yang menghasilkan limbah B3 yang melakukan pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 yang lokasinya sama dengan kegiatan utamanya, maka analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk kegiatan pengolahan limbah B3 dibuat secara terintegrasi dengan analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk kegiatan utamanya. (2) Apabila pengolahan limbah B3 dilakukan oleh penghasil dan pemanfaat limbah B3 di lokasi kegiatan utamanya, maka hanya rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang telah disetujui yang diajukan kepada instansi yang bertanggung jawab bersama dengan permohonan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40. (3) Keputusan mengenai permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang telah disetujui. (4) Syarat dan kewajiban yang tercantum dalam rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40. Pasal 46 (1) Apabila penghasil dan/atau pemanfaat limbah B3 bertindak sebagai pengolah limbah B3 dan lokasi pengolahannya berbeda dengan lokasi kegiatan utamanya, maka terhadap kegiatan pengolahan limbah B3 tersebut berlaku ketentuan mengenai pengolahan limbah B3 dalam Peraturan Pemerintah ini. (2) Untuk kegiatan pemanfaatan limbah B3 sebagai kegiatan utamanya wajib dibuatkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup sedangkan untuk kegiatan yang terintegrasi dengan kegiatan utamanya wajib membuat rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup. (3) Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup diajukan kepada instansi yang bertanggung jawab dan persetujuan atas dokumen tersebut diberikan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. (4) Syarat dan kewajiban yang tercantum dalam rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang telah disetujui wajib dicantumkan dalam izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40. Bagian Kedua Pengawasan Pasal 47 (1) Pengawasan pengelolaan limbah B3 dilakukan oleh Menteri dan pelaksanaanya diserahkan kepada instansi yang bertanggung jawab. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemantauan terhadap penaatan persyaratan serta ketentuan teknis dan administratif oleh penghasil, pemanfaat, pengumpul, pengangkut, pengolah, dan penimbun limbah B3. (3) Pelaksanaan pengawasan pengelolaan limbah B3 di daerah dilakukan menurut tata laksana yang ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. (4) Pengawasan pelaksanaan sistem tanggap darurat pada tingkat nasional dilaksanakan oleh instansi yang bertanggung jawab dan pada tingkat daerah dilaksanakan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan/atau Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II. Pasal 48

27

(1) Pengawas dalam melaksanakan pengawasan pengelolaan limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dilengkapi tanda pengenal dan surat tugas yang dikeluarkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. (2) Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang : a. b. c. d. memasuki areal lokasi penghasil, pemanfaatan, pengumpulan, pengolahan dan penimbun limbah B3; mengambil contoh limbah B3 untuk diperiksa di laboratorium; meminta keterangan yang berhubungan dengan pelaksanaan pengelolaan limbah B3; melakukan pemotretan sebagai kelengkapan laporan pengawasan. Pasal 49 Penghasil, pengumpul, pengangkut, pemanfaat, pengolah dan penimbun limbah B3 wajib membantu petugas pengawas dalam melakukan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2). Pasal 50 Apabila dalam pelaksanaan pengawasan ditemukan indikasi adanya tindak pidana lingkungan hidup maka pengawas selaku penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup dapat melakukan penyidikan. Pasal 51 (1) Instansi yang bertanggung jawab menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan limbah B3 secara berkala sekurang-kurangnya satu kali dalam satu tahun kepada Presiden dengan tembusan kepada Menteri. (2) Menteri mengevaluasi laporan tersebut guna menyusun kebijakan pengelolaan limbah B3. Pasal 52 (1) Untuk menjaga kesehatan pekerja dan pengawas yang bekerja di bidang pengelolaan limbah B3 dilakukan uji kesehatan secara berkala. (2) Uji kesehatan pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pengelolaan limbah B3 (3) Uji kesehatan bagi pengawas pengelolaan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang kesehatan tenaga kerja. Bagian Ketiga Perpindahan Lintas Batas Pasal 53 (1) Setiap orang dilarang melakukan impor limbah B3. (2) Pengangkutan limbah B3 dari luar negeri melalui Wilayah Negara Indonesia dengan tujuan transit, wajib memiliki persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Kepala instansi yang bertanggung jawab. (3) Pengangkutan limbah B3 dari luar negeri melalui Wilayah Negara Republik Indonesia wajib diberitahukan terlebih dahulu secara tertulis kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab. (4) Pengiriman limbah B3 ke luar negeri dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis dari pemerintah negara penerima dan Kepala instansi yang bertanggung jawab. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata niaga limbah B3 ditetapkan oleh Menteri yang ditugasi dalam bidang perdagangan setelah mendapat pertimbangan dari Kepala instansi yang bertanggung jawab. Bagian Keempat Informasi dan Pelaporan

28

Pasal 54 (1) Setiap orang berhak atas informasi mengenai pengelolaan limbah B3. (2) Instansi yang bertanggung jawab wajib memberikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada setiap orang secara terbuka. Pasal 55 (1) Setiap orang berhak melaporkan adanya potensi maupun keadaan telah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh limbah B3. (2) Pelaporan tentang adanya peristiwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disampaikan secara lisan atau tertulis kepada instansi yang bertanggungjawab atau aparat pemerintah terdekat. (3) Aparat pemerintah yang menerima pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib meneruskan laporan tersebut kepada instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah diterimanya pelaporan. Pasal 56 (1) Instansi yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 wajib segera menindaklanjuti laporan masyarakat. (2) Proses tindak lanjut maupun hasil laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberitahukan kepada pelapor dan/atau masyarakat yang berkepentingan Pasal 57 Tata cara dan mekanisme pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56 diatur lebih lanjut oleh Keputusan Menteri. Bagian Kelima Penanggulangan dan Pemulihan Pasal 58 (1) Penghasil, pengumpul, pemanfaat, pengangkut, pengolah dan penimbun limbah B3 bertanggung jawab atas penanggulangan kecelakaan dan pencemaran lingkungan hidup akibat lepas atau tumpahnya limbah B3 yang menjadi tanggung jawabnya. (2) Penghasil, pengumpul, pengangkut, pemanfaat, pengolah, dan penimbun limbah B3 wajib memiliki sistem tanggap darurat. (3) Penanggung jawab pengelolaan limbah B3 wajib memberikan informasi tentang sistem tanggap darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada masyarakat. (4) Penghasil dan/atau pengumpul dan/atau pengangkut dan/atau pengolah dan/atau pemanfaat dan/atau penimbun limbah B3 wajib segera melaporkan tumpahnya bahan berbahaya dan beracun (B3) dan limbah B3 ke lingkungan kepada instansi yang bertanggung jawab dan/atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan/atau Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan kecelakaan dan pencemaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. Bagian Keenam Pengawasan Penanggulangan Kecelakaan Pasal 59 (1) Pelaksanaan pengawasan penanggulangan kecelakaan di daerah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II untuk skala yang bisa ditanggulangi oleh kegiatan penghasil dan/atau pengumpul dan/atau pengangkut dan/atau pengolah dan/atau pemanfaat dan/atau penimbun.

29

(2) Pelaksanaan pengawasan penanggulangan kecelakaan untuk skala yang tidak dapat ditanggulangi oleh Pemerintah Daerah Tingkat II, maka Pemerintah Daerah Tingkat I dan Pemerintah Daerah Tingkat II secara bersama-sama melakukan pengawasan. (3) Pelaksanaan penanggulangan kecelakaan pada penghasil dan/atau pengumpul dan/atau pengangkut dan/atau pengolah dan/atau pemanfaat dan/atau penimbun yang dampaknya sangat besar sehingga mencakup dua wilayah daerah tingkat II pengawasannya dilakukan secara bersama-sama oleh Pemerintah Daerah Tingkat II dan Pemerintah Daerah Tingkat I. (4) Pelaksanaan penanggulangan kecelakaan pada penghasil dan/atau pengumpul dan/atau pengangkut dan/atau pengolah dan/atau pemanfaat dan/atau penimbun yang dampaknya sangat besar sehingga Pemerintah Daerah Tingkat II tidak bisa mengawasi pengawasannya dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab bersama-sama dengan Pemerintah Daerah Tingkat II dan Pemerintah Daerah Tingkat I. Pasal 60 (1) Penghasil, pengumpul, pemanfaat, pengangkut, pengolah dan penimbun limbah B3 wajib segera menanggulangi pencemaran atau kerusakan lingkungan akibat kegiatannya. (2) Apabila penghasil, pemanfaat, pengumpul, pengangkut, pengolah dan penimbun limbah B3 tidak melakukan penanggulangan sebagai-mana dimaksud pada ayat (1), atau tidak dapat menanggulangi sebagaimana mestinya, maka instansi yang bertanggung jawab dapat melakukan penanggulangan dengan biaya yang dibebankan kepada penghasil, dan/atau pemanfaat, dan/atau pengumpul, dan/atau pengangkut, dan/atau pengolah, dan/atau penimbun limbah B3 yang bersangkutan melalui Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Bagian keenam Pembiayaan Pasal 61 (1) Segala biaya untuk memperoleh izin dan rekomendasi pengelolaan limbah B3 dibebankan kepada pemohon izin. (2) Beban biaya permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya studi kelayakan teknis untuk proses perizinan. (3) Untuk pemantauan dan/atau pengawasan pengelolaan limbah B3 yang dilakukan oleh : a. b. instansi yang bertanggung jawab dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN); instansi yang bertanggung jawab daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata laksana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. BAB VI SANKSI Pasal 62 (1) Instansi yang bertanggung jawab memberikan peringatan tertulis kepada penghasil, pengumpul, pengangkut, pemanfaat, pengolah atau penimbun yang melanggar ketentuan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 28, Pasal 29 Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 49, Pasal 52 ayat (2), Pasal 58, dan Pasal 60. (2) Apabila dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari sejak dikeluarkan-nya peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pihak yang diberi peringatan tidak mengindahkan peringatan atau tetap tidak mematuhi ketentuan pasal yang dilanggarnya, maka Kepala instansi yang bertanggung jawab dapat menghentikan sementara atau mencabut sementara izin penyimpanan, pengumpulan, pengolahan termasuk penimbunan limbah B3 sampai pihak yang diberi peringatan mematuhi ketentuan yang dilanggarnya, dan bilamana dalam batas waktu yang ditetapkan tidak diindahkan maka izin operasi

30

dicabut. (3) Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat menghenti-kan sementara kegiatan operasi atas nama instansi yang berwenang dan/atau instansi yang bertanggung jawab apabila pelanggaran tersebut dapat membahayakan lingkungan hidup. (4) Kepala instansi yang bertanggung jawab wajib dengan segera mencabut keputusan penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) apabila pihak yang dihentikan sementara kegiatan operasinya telah mematuhi ketentuan yang dilanggarnya. Pasal 63 Barangsiapa yang melanggar ketentuan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 39 dan Pasal 60 yang mengakibatkan dan/atau dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup diancam dengan pidana sebagaimana diatur pada Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 64 (1) Apabila pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini telah dilakukan pengelolaan dan/atau pembuangan dan/atau penimbunan limbah B3 yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini, maka setiap orang atau badan usaha yang menghasilkan, mengumpulkan, mengangkut, mengolah atau menimbun limbah B3 baik masing-masing maupun bersama-sama secara proporsional wajib melakukan pembersihan dan/atau pemulihan lingkungan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun. (2) Apabila orang atau badan usaha yang menghasilkan, mengumpul-kan, mengangkut, mengolah dan menimbun limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak melakukan pembersihan dan pemulihan lingkungan maka instansi yang bertanggung jawab dapat melakukan atau meminta pihak ketiga melakukan pembersihan dan pemulihan lingkungan dengan biaya yang dibebankan kepada orang atau badan usaha yang menghasilkan, mengumpulkan, mengangkut, mengolah dan menimbun limbah B3 baik secara sendiri maupun bersama-sama secara proporsional. (3) Bagi kegiatan yang memanfaatkan limbah B3 dari luar negeri dan telah memiliki izin hanya dapat melakukan impor limbah B3 sebagai bahan baku sampai dengan Bulan September 2002. Pasal 65 Setiap orang atau badan usaha yang sudah melakukan kegiatan penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan penimbunan pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini wajib meminta izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun sejak saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 66 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara 3551 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3595) dinyatakan tidak berlaku lagi dan mengacu kepada Peraturan Pemerintah ini. Pasal 67 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

31

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Pebruari 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd. BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Pebruari 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd. AKBAR TANDJUNG LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 31

Latihan 1. Berikan uraian tentang studi kasus permasalahan pengelolaan limbah industri di Indonesia dalam 2 tahun terakhir disertai dengan usulan penyelesaian masalah tersebut. 2. Kegiatan apa saja yang berkaitan dengan pengelolaan limbah B3, dan berikan uraian tentang hal-hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan tersebut. Berikan pula uraian tentang kewajiban dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dan penghasil limbah. Bibliografi Holmes, Gwendolyn, Ben Ramnarine Singh and Louis Theodore (1993) Handbook of Environmental Management & Technology. John Wiley & Sons. New York & Singapore Martin, Edward J. and James H.Johnson, Eds. (1987) Hazardous Waste Management Engineering. Van Nostrand Reinhold Co. Inc., New York. Nemerow, N. L. (1995). Zero Pollution for Industry, waste minimization through industrial complexes. John Wiley & Sons. New York & Singapore Smith, Lawrence, Jeffrey Means and Edwin Barth (1995) Recycling and Reuse of Industrial Waste. Battelle Press. Ohio, USA. Wentz, Charles A. (1995). Hazardous waste management. McGraw-Hill Inc., New York . _______ (1998) Kursus Pengelolaan Limbah B3: Buku Peserta. Proyek PCI, Surabaya.

32

Anda mungkin juga menyukai