Anda di halaman 1dari 23

BAB 3. PEMBAHASAN 3.

1 Sengketa Medik Sebelum penulis membahas tentang Tanggung Gugat dan Tanggung Jawab Pihak Rumah Sakit yang diwakili oleh Direksi, dalam menghadapi suatu sengketa medik, penting ditetapkan dahulu tentang apakah definisi Sengketa Medik. Sengketa Medik adalah pertentangan antara dokter/rumah sakit (di satu pihak) dengan pasien sebagai pihak lain yang telah berwujud dengan pengaduan (pihak) pasien terhadap pihak dokter/ rumah sakit disertai malpraktek atau tidak (Purwadianto). Secara hukum, suatu sengketa medik dapat meliputi: a. Sengketa pidana medik Fokusnya adalah justru kausa/sebab dan bukan akibatnya. Tindakan dikategorikan ke dalamnya jika memenuhi kriteria: melanggar norma hukum pidana tertulis, bertentangan dengan hukum, dan berdasar suatu kelalaian atau kesalahan besar. b. Sengketa perdata medik Sengketa perdata medik ini menganut prinsip barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi. Menurut hukum perdata, hal ini dapat terjadi karena 2 (dua) hal yaitu: (1) Berdasar perjanjian (ius contractu) (2) Berdasar hukum (ius delicto) (Soeparto dkk, 2001). Hak pasien adalah sebagai pembawa peran pribadi penderita, konsumen pelayanan kesehatan, pengadu, dan pencari ganti rugi atas ketidakpuasan yang terjadi. Ketiga peran tersebut secara hukum terfokus pada motivasi pasien untuk mengadukan atau menggugat dokter/rumah sakit untuk alasan sebagai berikut: a. Ingin kompensasi (ganti rugi), melalui hukum perdata, administratif/profesi. b. Ingin dokter/direksi rumah sakit yang salah dipidana melalui ranah hukum pidana. c. Ingin mengetahui status hukum kelembagaan pelayanan kesehatan, yakni:

(1) Badan publik adalah melalui ranah hukum tata usaha (administrasi) negara. (2) Badan usaha adalah melalui ranah hukum perdata. Sedangkan kata malpraktik berasal dari kata ''mal'', berarti penyimpangan dan ''praktik'' yang artinya pelaksanaan sesuai prosedur profesi. Pengertian hukum malpraktik banyak diambil dari literatur luar negeri, antara lain World Medical Association (WMA,1992): ''medical malpractice involves the physician's failure to conform to the standard of care for treatment of the patient's condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient''. Berdasarkan hal itu dirumuskan kata malpraktik medik (medical negligence) yang untuk pembuktiannya harus memenuhi empat kriteria yaitu 4 D: duty, deriliction of duty, damages, dan direct cause. Sehingga untuk menyatakan seorang dokter melakukan malpraktik medis maka di pengadilan harus terbukti keempat unsur tersebut dan tidak hanya berdasarkan somasi pengacara atau laporan pengaduan pasien saja. Persoalan malpraktik yang latah diucapkan sebenarnya adalah sengketa medik. Ada pasien atau keluarganya yang tidak puas terhadap hasil pengobatan yang dilakukan dokter atau rumah sakit tertentu dan mengajukan laporan atau pengaduan seperti yang diberitakan surat kabar atau media televisi. Kontrak terapeutik yang disepakati (atau terlebih lagi jika belum jelas disepakati) ternyata menimbulkan ketidakpuasan. Masyarakat awam mestinya tahu bahwa tidak semua kegagalan medis akibat malpraktik medik. Peristiwa buruk yang tak teramalkan sebelumnya yang terjadi saat tindakan medik sudah dilakukan dengan memenuhi standar, tetapi ternyata menimbulkan cedera, bukan termasuk dalam pengertian malpraktik. WMA menyatakan: ''An injury occuring in the course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack of the skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which the physician should not bear any liability''. Gunting atau gulungan kasa tertinggal dalam rongga perut pastilah malpraktik. Tepatnya disebut kelalaian medik. Akan tetapi hasil

10

sambungan tulang penyembuhannya kurang baik atau rahim terpaksa diangkat setelah melahirkan karena perdarahan yang banyak, itu belum tentu malpraktik, dan masih banyak hal yang masih bisa diperdebatkan. Bagaimanapun juga, istilah malpraktek adalah istilah yang kurang tepat, karena merupakan suatu praduga bersalah terhadap profesi kedokteran. Praduga bersalah ini dapat disalah-gunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan sesaat yang akan merusak semua tatanan dan sistem pelayanan kesehatan. Celakanya, malpraktek medik yang merupakan suatu kesalahan dokter dalam berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dibandingkan dengan standard profesi, tidak eksplisit dijumpai dalam UU No 29 Tahun 2004. Karenanya hal ini merupakan pekerjaan rumah bagi Konsil Kedokteran Indonesia/KKI (dalam hal legislasinya). Disusul oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia/MKDKI yang akan menentukan apakah telah terjadi suatu kesalahan dokter, walaupun tanpa bakunya suatu perumusan perbuatan indisipliner tersebut. Selayaknya masalah ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan oleh dokter atau rumah sakit yang pada umumnya merupakan masalah miskomunikasi antara pasien dokter, diganti dengan istilah sengketa medik. Alasannya karena pada saat ini masih banyak dokter yang berpraktek untuk kepentingan kemanusiaan dalam bentuk pertolongan kegawatan, kedaruratan, sejak dari prevensi, perlindungan khusus, diagnosis dini yang cepat, terapi hingga rehabilitasi maupun pertolongan kemanusiaan lainnya. 3.2 Pola Hubungan Terapeutik dan Pola Hubungan Kerja Tenaga Medik di Rumah Sakit Selanjutnya, penting penulis kemukakan terlebih dahulu tentang bagaimanakah pola hubungan terapeutik dan pola hubungan kerja tenaga medis di dalam lingkup rumah sakit karena nantinya akan sangat membantu dalam menentukan seberapa besar dibebankan tanggung gugat dan tanggung jawab untuk masing-masing pihak dalam suatu sengketa medik.

11

3.2.1

Pola Hubungan Terapeutik Hukum perdata memandang hubungan terapetik sebagai hubungan yang menghasilkan perikatan (verbintenis), yang kemudian

kontraktual

memunculkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak. Health care provider wajib memberikan prestasinya dalam bentuk upaya medik yang benar berdasarkan teori kedokteran yang telah teruji. Sedangkan health care receiver wajib memberikan kontra-prestasinya dalam bentuk materi, kecuali health care provider setuju membebaskannya. Ada beberapa pola hubungan terapeutik yang terjadi di rumah sakit, yaitu: a. Hubungan pasien-rumah sakit b. Hubungan penanggung pasien-rumah sakit c. Hubungan pasien-dokter d. Hubungan penanggung pasien-dokter Hubungan Hukum Antara Pasien Dan Rumah Sakit, antara lain sebagai berikut: a. Perjanjian perawatan, yaitu kesepakatan antara RS dan pasien bahwa pihak RS menyediakan kamar perawatan dan adanya tenaga perawat yang akan melakukan tindakan perawatan b. Perjanjian pelayanan medis, yaitu kesepakatan antara RS dan pasien bahwa tenaga medis pada RS akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis (inspanningsverbintenis). 3.2.2 Pola Hubungan Kerja Tenaga Medik di Rumah Sakit Jika diamati dengan seksama, maka ada beberapa macam pola yang berkembang dalam kaitannya dengan hubungan kerja antara dokter dengan rumah sakit, antara lain: a. Dokter sebagai employee b. Dokter sebagai attending physician (mitra) c. Dokter sebagai independent contractor

12

3.3

Tanggung Gugat Pihak Rumah Sakit Ada beberapa jenis tanggung gugat (liability) antara lain:

1. Contractual Liability Tanggung gugat jenis ini muncul karena ingkar janji, yaitu tidak dilaksanakannya sesuatu kewajiban atau tidak dipenuhinya sesuatu prestasi sebagai akibat adanya hubungan kontraktual. Kaitannya dengan hubungan terapeutik, kewajiban atau prestasi yang harus dilaksanakan oleh health care provider adalah berupa upaya (effort), bukan hasil (result). Oleh karena itu, health care provider hanya bertanggung gugat atas upaya medik yang tidak memenuhi standar, atau dengan kata lain, upaya medik yang dapat dikategorikan sebagai civil malpractice. 2. Liability in Tort Tanggung gugat jenis ini merupakan tanggung gugat yang tidak didasarkan atas adanya contractual obligation, tetapi atas perbuatan melawan hukum. Pengertian melawan hukum tidak hanya terbatas pada perbuatan yang berlawanan dengan hukum, kewajiban hukum diri sendiri atau kewajiban hukum orang lain saja, tetapi juga yang berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad dalam Dahlan, 2001). Adanya tanggung gugat seperti itu, maka health care provider dapat digugat membayar ganti rugi atas terjadinya kesalahan (criminal malpractice); baik yang bersifat intensional, recklessness atau negligence. Contoh dari criminal malpractice yang dapat menimbulkan tanggung gugat antara lain membocorkan rahasia kedokteran, euthanasia, atau ceroboh dalam melakukan upaya medik sehingga pasien meninggal dunia atau cacat. 3. Strict Liability Tanggung gugat jenis ini sering disebut tanggung gugat tanpa kesalahan (liability without fault) karena seseorang harus bertanggung jawab meskipun tidak melakukan kesalahan apa-apa; baik yang bersifat intensional, recklessness ataupun negligence.

13

4. Vicarious Liability Tanggung gugat jenis ini timbul akibat kesalahan yang dibuat oleh subordinate-nya. Kaitannya dengan pelayanan medik maka rumah sakit (sebagai employer) dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang bekerja dalam kedudukan sebagai sub-ordinate (employee). Lain halnya jika tenaga kesehatan, misalnya dokter, bekerja sebagai mitra (attending physician) (Dahlan, 2001). 3.4 Tanggung Jawab Pihak Rumah Sakit Kasus hukum kedokteran umumnya terjadi di rumah sakit di mana dokter bekerja. Rumah sakit merupaan suatu usaha yang pada pokoknya dapat dikelompokkan menjadi: a. Pelayanan medis dalam arti luas yang menyakut kegiatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. b. Pendidikan dan latihan tenaga medis/paramedis c. Penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran. Personalia rumah sakit terdiri dari dokter(umum dan spesialis), perawat, paramedis non perawat dan tenaga administratif dan teknis. Berdasarkan pelayanan yang diberikan rumah sakit bisa merupakan rumah sakit umum maupun rumah sakit khusus. Klasifikasi rumah sakit umum dibedakan atas Rumah Sakit Umum Pemerintah dan Rumah Sakit Swasta. RSU Pemerintah dibagi menjadi tipe: a. b. c. d. A, tersedia fasilitas dan kemampuan pelayanan medis spesialis dan subspesialis yang luas. B, pelayanan spesialis luas dan subspesialis terbatas C, pelayanan spesialis minimal untuk empat vak besar yaitu penyakit dalam, kesehatan anak, bedah dan obstetri/ginekologi D, minimal pelayanan medik dasar oleh dokter umum RSU Swasa terdiri dari: a. RSUS Pratama, pelayanan medik umum b. c. RSUS Madya, pelayanan spesialis RSUS Utama, pelayanan spesialis dan subspesialis

14

Sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yng secara tegas mengatur hubungan antara dokter dan rumah sakit swasta tempat ia bekerja. Pertanggungjawaban hukum rumah sakit dalam hal ini badan hukum yang memilikinya bisa dituntut atas kerugian yang terjadi, bisa secara: a. Langsung sebagai pihak, pada suatu peranjian bila ada wanprestasi, atau b. Tidak langsung sebagai majikan bila karyawannya dalam pengertian peraturan perundang-undangan melakukan perbuatan melanggar hukum. Sebenarnya hubungan hukum yang terjadi antara pasien dan rumah sakit bisa dibedakan dalam dua jenis perjanjian yaitu: a. b. Perjanjian perawatan, seperti kamar dengan perlengakapannya Peranjian pelayanan medis, berupa tindakan medis yang dilakukan oleh dokter yang dibantu oleh paramedis Dokter yang praktek di rumah sakit bisa merupakan karyawan (dokter purnawaktu) atau sebagai dokter tamu (visiting doctor). Kadangkala pasien sulit mengetahui status dokter yang merawatnya. Di samping itu pendapat yang menyatakan bahwa rumah sakit sebagai suatu lembaga yang memberikan pelayanan perawatan dan pengobatan, betanggung jawab atas segala peristiwa yang terjadi di dalamnya. Atas dasar itu timbul doktrin Corporate Liability, di mana secara resmi terhadap pasien yang di rawat, rumah sakit bertanggung jawab atas pengendalian mutu secara keseluruhan dari pelayanan yang diberikan. Jadi yang pertama-tama bertanggung jawab adalah rumah sakitnya, tetapi bila ada kesalahan yang dilakukan dokter rumah sakit bisa menggunakan hak regresnya untuk minta ganti kembali. Doktin Vicarious Liability, Let The Master Answer, Majikan-Karyawan) bisa diterapkan dalam hubungan rumah sakit dengan karyawannya. Sehubungan dengan doktrin Vicarious Liability ini ada yang disebut doktrin Captain of the Ship yang berlaku bagi dokter bedah yang melakukan operasi di rumah sakit. Dokter bedah tersebut dalam hal ini tidak bekerja dalam kaitan langsung untuk dan atas nama rumah sakit, misalnya dokter tamu atau dokter karyawan untuk pasien pribadinya. Dokter itu dianggap bertanggung jawab

15

atas kesalahan stafnya, termasuk perawat bedah. Dalam hal ini perawat tersebut yang merupakan karyawan rumah sakit dianggap dipinjamkan, sehingga tanggung jawab itu beralih kepada si pemakai, yaitu dokter bedah. Pasien yang menuntut harus memastikan dulu apakah dokter bedah itu bertanggung jawab atas doktrin Majikan-Karyawan dan apakah dokter itu mengawasi dan memberikan segala instruksi kepada perawat pada saat peristiwa itu terjadi. Belum adanya peraturan perundang-undangan yang tegas mengatur penyelenggaraan rumah sakit di Indonesia, dapat menyulitkan konsumen apabila timbul hal yang tidak diinginkan dalam pelayanan kesehatan yang diberikan. Fungsi sosial rumah sakit, sesuai dengan hak atas pelayanan kesehatan atau pelayanan medis yang dimiliki oleh setiap warga masyarakat, haruslah dipenuhi dengan tersedianya pelayanan yang bermutu, baik dari segi sarana maupun tenaga kesehatan, juga terjangkau, baik dari segi geografi maupun finansial. Demikian pula hubungan kerja dokter dengan rumah sakit, perlu diatur lebih lanjut dengan tujuan agar pelayanan rumah sakit menjadi lebih bermutu dan memberi perlindungan bagi pasien (Wiradharma, 1996) Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI) menegaskan bahwa tanggung jawab rumah sakit meliputi tanggung jawab umum dan tanggung jawab khusus. Sehubungan dengan hal tersebut, rumah sakit harus senantiasa menyesuaikan kebijakan pelayanannya pada harapan dan kebutuhan masyarakat setempat dan akan tercermin melaui strategic planning, baik jangka pendek, menengah maupun panjang. Yang merupakan tanggung jawab umum rumah sakit adalah kewajiban pimpinan rumah sakit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai permasalahan, peristiwa, kejadian dan keadaan di rumah sakit. Sedangkan tanggung jawab khusus muncul jika ada anggapan bahwa rumah sakit telah melanggar kaidah-kaidah, baik dalam bidang hukum, etik, maupun tata tertib atau disiplin (Koeswadji, 2002). Akan sangat dirasakan perkembangan paradigma fungsi dan status rumah sakit ini khususnya pada Rumah Sakit Pemerintah karena rumah sakit harus mengutamakan pelayanan yang baik dan bermutu secara berkesinambungan serta

16

tidak mendahulukan urusan biaya. Penyelenggaraan pelayanan secara menyeluruh yang dilakukan sebagai upaya untuk melindungi kepentingan pasien pada khususnya dan khalayak ramai pada umumnya, yang satu dengan yang lain terkait sedemikian rupa, sehingga terlaksana pelayanan rumah sakit yang mengandung ciri-ciri sebagai berikut: a. Setiap saat memberikan pelayanan. b. Beranjak dari pendirian dan pandangan bahwa manusia adalah suatu kesatuan psiko-sosio-somatik. c. Memberi layanan kepada pasien selaku konsumen yang dewasa dan mengakui serta menghormati sepenuhnya hak-haknya. d. Menjamin diberikannya mutu pelayanan teknik medik yang menunjukkan kemampuan dan keterampilan. Sehubungan dengan itu, perlu dilakukan berbagai tindakan pengawasan dan pengamanannya. e. Menjamin terselenggaranya mutu pelayanan yang manusiawi, berdedikasi tinggi serta penuh kehati-hatian. f. Diselenggarakannya sebagai sebuah lembaga sosial ekonomi untuk kepentingan seluruh rakyat yang pada hakikatnya merupakan sumber pembiayaan proses pelayanan rumah sakit. Oleh karena itu tidak diperkenankan mendahulukan hal ihwal yang menyangkut biaya dari layanan. g. Harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat (Koeswadji, 2002). Berikut ini uraian tentang tanggung jawab hukum rumah sakit, baik rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit swasta: a. Tanggung jawab Rumah Sakit Pemerintah Manajemen RS Pemerintah cq Kanwilkes/Depkes dapat dituntut. Menurut pasal 1365 KUHPerdata karena pegawai yang bekerja pada RS Pemerintah menjadi pegawai negeri dan negara sebagai suatu badan hukum dapat dituntut untuk membayar ganti rugi atas tindakan pegawai negeri yang dalam menjalankan tugasnya merugikan pihak lain. b. Tanggung jawab Rumah Sakit Swasta Untuk manajemen RS dapat diterapkan pasal 1365 dan 1367 KUHPerdata

17

karena RS swasta sebagai badan hukum memiliki kekayaan sendiri dan dapat bertindak dalam hukum dan dapat dituntut seperti halnya manusia. Rumah sakit, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta, merupakan organisasi yang sangat kompleks dan di tempat ini banyak berkumpul pekerja profesional dengan berbagai macam latar belakang keahlian dan banyak pula peralatan yang digunakannya. Semakin besar dan canggih suatu rumah sakit akan semakin kompleks pula permasalahannya. Oleh sebab itu, tidaklah mudah menentukan hospital liability. (Dahlan, 2001). Jika diteliti dengan seksama, maka layanan yang diberikan oleh rumah sakit antara lain, layanan medical treatment, nursing care dan layanan lainnya seperti misalnya, penggunaan alat-alat medik dan non-medik. Pemberian layananlayanan tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya kesalahan yang dapat menimbulkan kerugian pada pasien. Hanya saja, sejauh mana rumah sakit harus bertanggung jawab, sangat tergantung dari pola hubungan terapeutik yang terjadi dan pola hubungan kerja antara tenaga kesehatan dengan rumah sakit. Kerugian yang disebabkan oleh peralatan medik maupun non-medik dapat dibebankan kepada rumah sakit, baik rumah sakit pemerintah maupun swasta. Contohnya, bila pasien jatuh dari tempat tidur karena bed-nya patah sehingga mengakibatkan patah tulang kaki, maka kerugian tersebut menjadi tanggung jawab rumah sakit. Oleh sebab itu, rumah sakit harus selalu melakukan kontrol yang ketat terhadap semua peralatan, utamanya peralatan medik (Dahlan, 2001). Kerugian yang disebabkan oleh kesalahan medical treament, sangat tergantung pada status dokter yang bersangkutan. Bila kedudukannya sebagai attending physician, maka rumah sakit tidak bertanggung gugat atas kesalahan dokter. Tetapi bila status dokter di rumah sakit sebagai employee, maka berdasarkan doctrine of vicarious liability, tanggung gugatnya dapat dialihkan ke rumah sakit. Berdasarkan uraian sebelumnya, tampak jelas bahwa rumah sakit pemerintah yang semua tenaga medik maupun non-mediknya bekerja sebagai employee, maka tanggung gugat sepenuhnya menjadi tanggung gugat rumah sakit, dengan catatan, untuk rumah sakit pemerintah yang melaksanakan program swadana masih diperlukan klarifikasi konsep, sehingga implikasi hukumnya

18

menjadi jelas. Persoalannya bukan saja ketidakadilan, tetapi juga ketidaklogisan ketika harus membebankan tanggung gugat kesalahan medik seluruhnya kepada pihak rumah sakit, sementara dokter selama ini juga menikmati hasil penjualan jasa medik rumah sakit, berdasarkan persentase, dapat bebas dari tanggung gugat atas kesalahannya sendiri. Rumah sakit sebagai salah satu institusi health care provider diwakili oleh Direksi yang merupakan fasilitator utama yang harus memberikan kebijakankebijakan yang diharapkan dapat menyelesaikan setiap permasalahan yang ada di rumah sakit, termasuk di dalamnya sengketa medik rumah sakit. Tanggung jawabnya sangat besar, sebab jika kebijakannya tidak sesuai, maka yang akan terjadi adalah kekacauan pada penyelesaian masalah pelayanan kesehatan. Direksi dituntut harus memiliki strategi yang memadai dan harus mampu mengusahakan bagaimana agar strategi tersebut dapat terlaksana sesuai dengan kemampuan dan target yang akan dicapai. Direktur utama sebagai jawab direktur utama. 3.5 Penyelesaian Sengketa Medik Antara Rumah Sakit dengan Pasien Ada dua jalur dalam penyelesaian sengketa medik rumah sakit dengan pasien, yaitu: 1. Litigasi, penyelesaian sengketa di luar jalur peradilan. 2. Nonlitigasi, penyelesaian sengketa melalui peradilan. Putusan Pengadilan Negeri dapat menjatuhkan sanksi pidana berupa pidana pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan Pasal 10 KUHP jo. Pasal 62 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Bila pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha itu mengakibatkan luka, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan KUHP. Sanksi pidana yang dimaksud dalam Pasal 62 tersebut dapat dijatuhi hukuman tambahan yang diatur dalam Pasal 63 a sampai f. Hukuman tambahan yang dimaksud dapat berupa: penanggung jawab organisasi dan penentu kebijakan organisasi. Apapun yang tejadi dalam organisasi merupakan tanggung

19

a. Perampasan barang tertentu; b. Pengumuman putusan hakim; c. Pembayaran ganti rugi; d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran; f. Pencabutan izin usaha (Koeswadji, 2003). Menurut Direktur Jenderal Pelayanan Medik (Ditjen Yanmedik), Dr. Farid W. Husain, dalam setiap tuntutan medis, rumah sakit memang selalu ikut masuk dalam gugatan, meskipun bukan sebagai tergugat pertama. Masih banyak lubang yang harus dibenahi dalam penciptaan pelayanan kesehatan yang baik. Salah satu yang harus dibenahi adalah Sumber Daya Manusia (SDM)-nya, yakni dokter dan semua pekerja di rumah sakit. Berdasarkan pengalaman dari beberapa kasus dugaan malpraktik yang dilaporkan pasien, sebagian besar memang disebabkan karena faktor manusia atau human error , meskipun kini sudah dibuat beberapa kridor hukum untuk mencegah terjadinya kelalaian medis. Dengan kata lain, payung-payung hukum yang berfungsi sebagai pelindung bagi dokter telah dibuka lebar-lebar. Payung-payung itu antara lain berlabel UndangUndang Praktik Kedokteran (UUPK) yang lantas melahirkan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), dibuat tidak hanya melindungi pasien namun juga dokter. Seperti kita ketahui, masih banyak anggapan dari sebagian besar masyarakat tentang pelayanan kesehatan di rumah sakit yang jauh dari harapan. Oleh karena itu, pendidikan berkesinambungan tentang ilmu-ilmu medikolegal untuk rumah sakit sangat diperlukan dalam rangka memperbaiki kualitas pelayanan, selain sebagai upaya preventif dari kemungkinan tuntutan hukum. Selain itu, Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (Persi), Dr. Adib A. Yahya, MARS, menyampaikan, rumah sakit merupakan organisasi yang sangat kompleks karena merupakan institusi yang padat segalanya. Padat modal, padat teknologi, padat karya, padat profesi, padat sistem, padat mutu, hingga padat keluhan atau masalah, risiko, dan juga error. Berdasarkan data yang dihimpun

20

sejak tahun 2004 hingga 2005 saja menunjukkan hampir 50 kasus malpraktik yang terjadi di rumah sakit. Lantas bagaimana peran manajemen rumah sakit dalam penanganan dugaan kelalaian medis? Ada beberapa langkah menghadapi kejadian yang tidak diharapkan berkaitan dengan dugaan kelalaian medis. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut: a. Menerima keluhan, b. Mengelola keluhan, c. Investigasi kasus, d. Analisis kasus, e. Penanganan kasus atau penyelesaian kasus, dan f. Dokumentasi kasus. Keluhan pasien bisa datang dari mana saja. Entah itu melalui media massa, kotak saran, langsung dari pasien, laporan staf rumah sakit, telepon pengaduan, kuasa hukum, tokoh masyarakat maupun LSM. Pasien tidak puas atau merasa dirugikan, pasien bisa mengadukannya kepada komite medis atau panitia etik, yang menjadi tim pengawas di sebuah rumah sakit. Jadi, bukannya langsung lapor polisi dan ditulis besar-besar di media massa. Selanjutnya, pihak menajemen rumah sakit harus mengelola keluhan dengan cermat, yaitu mencatat semua informasi berkenaan dengan keluhan. Misalnya identitas pasien, kondisi pasien, peristiwa dan kejadian apa yang menyebabkan muncul keluhan, dan tuntutan pasien. Pasien bisa diberikan penjelasan sementara sebelum melaporkan ke pihak direksi. Jika ditemukan indikasi kesalahan dokter, segera akan dilaporkan ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yang selama ini menangani sengketa medis antara pasien dan dokter/rumah sakit. Jika UU Praktek Kedokteran disahkan, tuduhan malapraktek menjadi wewenang Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Majelis ini terdiri dari tiga dokter umum, tiga dokter gigi, dan tiga sarjana hukum. Administrasi majelis ini berada di bawah Konsil Kedokteran Indonesia yang berada langsung di bawah presiden. Tugasnya menerima pengaduan konflik, memeriksa, dan membuat keputusan tentang sengketa medis, serta menjatuhkan sanksi kepada dokter yang

21

salah dan membebaskan yang tidak bersalah. Jadi, lembaga ini semacam hakim untuk setiap kasus sengketa medis. Investigasi kasus bisa dilakukan dengan mulai membahas kebenaran informasi tentang identitas pasien, peristiwanya, dan rekam medis. Dalam tahap investigasi juga perlu dilakukan penataan dokumen sebagai antisipasi kejadian lebih lanjut. Antara lain dokumen informasi, berkas rekam medis, resume medis, termasuk pendapat organisasi, juklak, juknis, dan Standar Operasional dan Prosedur (SOP) pelayanan. Analisis kasus adalah tahap yang didalamnya dilakukan pemilahan kasus, apakah ini kasus etik, kasus administrasi, kasus hukum, atau gabungan. Pemilahan kasus berguna untuk menentukan pihak mana yang akan menyelesaikan. Misalnya kalau kasus etik maka dibawa ke Komite Medik dan Komite Etik Rumah Sakit (KERS) atau ke organisasi profesi. Penanganan kasus, pihak manajemen rumah sakit harus bisa memutuskan pilihan penyelesaian kasus. Jika secara hukum posisi rumah sakit atau staf cukup kuat, maka penyelesaian yang dipilih adalah litigasi. Namun, jika pendalaman disimpulkan bahwa secara hukum posisi rumah sakit atau staf tidak cukup kuat, maka penyelesaian yang dipilih adalah nonlitigasi yaitu negosiasi, mediasi atau kondiliasi. Bila penyelesaian dilakukan dengan litigasi, maka pihak manajemen harus menunjuk kuasa hukum dan membawa kasus ini ke persidangan (Perdata, Pidana, atau TUN). Jika ada tuntutan ganti rugi yang lebih kecil dari prediksi biaya penyelesaian maka dapat dipertimbangkan melalui jalur nonlitigasi. Berikut ini adalah contoh alur hierarkhi penyelesaian suatu sengketa medik yang diterapkan di RSUD Syaiful Anwar, Malang. a. Pengaduan pelayanan publik diajukan kepada penyelenggara pelayanan publik; b. Pengaduan tertulis, telepon, SMS, Faxsimile, E- mail, kotak saran harus disampaikan secara jelas dan bertanggungjawab dengan menyebutkan identitas yang jelas; c. Bagi setiap orang/kelompok/badan usaha yang menyampaikan pengaduan langsung kepada pejabat/petugas penerima pengaduan, diberi surat/formulir

22

tanda bukti pengaduan dan dicatat dalam buku pengaduan yang disediakan secara khusus; d. Pada surat/formulir tanda bukti pengaduan disebutkan nama dan jabatan pejabat/petugas yang berwenang untuk menyelesaikan masalah/pengaduan tersebut; e. Paling lama 5 (lima) hari setelah diterimanya pengaduan, penyelenggara pelayanan publik harus menindaklanjuti pengaduan tersebut; f. Apabila sampai pada batas waktu yang telah ditentukan belum ditanggapi oleh penyelenggara pelayanan publik, pengaduan dapat dilanjutkan kepada Komisi Pelayanan Publik; g. Penyelenggara pelayanan publik wajib menyampaikan laporan pengaduan dan atau tindak lanjut hasil penyelesaian pengaduan setiap tanggal 15 bulan berikutnya kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah; h. Penyelenggara pelayanan publik yang tidak menyampaikan laporan pengaduan dan atau tindak lanjut hasil penyelesaian pengaduan diberikan tegoran secara tertulis. Penting pula diperhatikan beberapa saran-saran bagi penanggulangan malpraktik medik a. Adanya Komite Medik / Malpractice Review Committee yang independen (tidak dibawah Direktur) pada setiap RS yang bertugas membahas keadaan RS secara periodik tentang kesalahan tenaga kesehatan personil RS tersebut. Di masa mendatang, audit medik hendaknya diatur dengan peraturan perundangundangan dan dapat dilakukan pula terhadap praktik dokter pribadi. b. Pertanggungjawaban terpusat pada RS baik pemerintah maupun swasta (central responsibility). Dengan demikian, bila pasien tidak puas atas sikap RS maka dapat menuntut dan menggugat RS. Pimpinan RS yang akan menetapkan siapa yang bersalah dan melakukan hak Regres (hak menuntut orang yang bersalah dalam kenyataan). Untuk itu RS dapat mengasuransikan diri dengan batas kerugian sebagai akibat gugatan pasien. c. Terpenuhinya jaminan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan, terutama bagi pasien.

23

d. Informasi yang benar, jelas, dan jujur agar tidak terjadi, misalnya interpretasi antara tenaga kesehatan dengan pasien / keluarganya. Namun demikian, untuk melaksanakan hal-hal sebagaimana tercantum dalam saran tersebut masih ada kendala, terutama dalam hal pembuktian ada/ tidaknya perbuatan malapraktik. selama ini pembuktian benar/salahnya suatu kasus dugaan malpraktik secara hukum sulit karena belum ada Peraturan Pemerintah (PP) tentang Standar Profesi, sehingga hakim cenderung berpatokan pada hukum acara konvensional, sedangkan dokter merasa sebagai seorang profesional yang tidak mau disamakan dengan hukuman bagi pelaku kriminal biasa, misalnya : pencurian. Menanggapi hal ini, diperlukan keseriusan pihak pemerintah, khususnya Departemen Kesehatan untuk segera membuat Peraturan Pemerintah (PP) dari UU No. 23 / 1992 tentang Kesehatan, terutama PP tentang Standar Profesi. Hal ini mengingat hingga saat ini, dari 29 PP UU No. 23/1992 yang seharusnya ada, baru 6 (enam) PP yang telah dibuat. Sedangkan UU Praktik Kedokteran yang belum lama ini disahkan cenderung hanya mengakomodisasi kepentingan dokter, sehingga perlu diadakan judicial review. 3.6 Patient Safety Patient Safety merupakan suatu bentuk upaya pencegahan timbulnya kelalaian medik yang akhirnya dapat menekan munculnya konflik atau kasus sengketa medik di rumah sakit. Patient Safety menjadi langkah paling strategis mencegah terjadinya kelalaian medis, melalui pengembangan program keselamatan pasien di rumah sakit. Patient Safety adalah suatu sistem di mana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Departemen Kesehatan sudah mengeluarkan panduan Kegiatan Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) yang berisi tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit dan standar keselamatan pasien rumah sakit. Ada banyak sekali manfaat yang diperoleh rumah sakit yang menerapkan keselamatan

24

pasien (KP). Ibarat green product-istilah untuk produk yang aman, di bidang industri lain, maka rumah sakit akan menjadi semakin laku atau laris, makin dicari masyarakat. Selain pasien, rumah sakit yang menerapkan KP juga akan dicari oleh 3rd Party Payer yaitu perusahaan-perusahaan dan asuransi-asuransi yang akan memakai rumah sakit tersebut sebagai provider kesehatan karyawan atau klien mereka. Adapun Tujuh Langkah menuju Kegiatan Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) yang menjadi pedoman dan panduan bagi staf pengurus rumah sakit, terutama jajaran Direksi tersebut antara lain: 1. Bangun kesadaran akan nilai Keselamatan Pasien (KP). Ciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil. 2. Pimpin dan dukung staf Anda. Bangunlah komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang Keselamatan Pasien (KP) di rumah sakit Anda. 3. Integrasikan Aktivitas Pengelolaan Risiko. Kembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko, serta lakukan identifikasi dan asesmen hal yang potensial bermasalah. 4. Kembangkan sistem pelaporan. Pastikan staf Anda mampu melaporkan kejadian/insiden, serta mampu mengatur pelaporan kepada KKP-RS. 5. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien. Kembangkan cara-cara komunikasi yang terbuka dengan pasien. 6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang KP. Dorong staf Anda untuk melakukan analisis akar masalah untuk belajar bagaimana dan mengapa kejadian itu timbul. 7. Cegah cedera melalui implementasi sistem KP. Gunakan informasi yang ada tentang kejadian/masalah untuk melakukan perubahan pada sistem pelayanan. Selain itu, Departeman Kesehatan juga menetapkan Standar Keselamatan Pasien, meliputi pemenuhan hal-hal berikut: a. Hak Pasien b. Mendidik pasien dan keluarga c. Keselamatan pasien dan asuhan berkesinambungan

25

d. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja, untuk melakukan evaluasi dan meningkatkan keselamatan pasien e. Peran pemimpin dalam meningkatkan keselamatan pasien f. Mendidik staf tentang keselamatan pasien g. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien (Andra dalam Majalah Farmacia Edisi Februari, 2007) Bagaimanapun juga kata kuncinya adalah pihak-pihak yang terlibat harus dapat rujuk kembali dan memahami hak dan kewajiban masing-masing. Dimulai dari dokter, ia harus bertindak profesional sesuai standar keahliannya. Selalu melakukan KIE dan konseling kepada pasien. Tidak melakukan sesuatu tanpa dimengerti dan disetujui oleh pasien atau keluarganya. Pasien juga harus melakukan kewajibannya sesuai dengan apa yang dianjurkan oleh dokternya dan mempergunakan haknya untuk mendapat keterangan dan penjelasan. Harus bertanya apa yang akan dilakukan dokternya dan memberikan izin bila sudah mengerti. Bila pasien tidak puas, pilih saja dokter lain yang lebih komunikatif dan dapat memenuhi rasa puas. Sekarang memilih dokter sangat dimungkinkan karena banyak pilihan. 3.7 Kasus Kelalaian Medik Rumah Sakit Menyangkut Direksi Berikut ini beberapa yurisprudensi tentang kelalaian medik di rumah sakit: a. Darling v. Charleston Community Memorial Hospital, 1960 Kronologisnya adalah sebagai berikut 5 November 1960 Seorang mahasiswa berumur 18 tahun mengalami patah kaki sewaktu bermain sepak bola. Ia dibawa ke ruang Unit Gawat Darurat dari Charleston Community Memorial Hospital dan ditangani oleh Dr. Alexander yang pada hari itu mendapat giliran jaga. Dokter tersebut dibantu oleh beberapa asisten dari rumah sakit lalu melakukan traksi terhadap pasien dan memasangkan gips pada kakinya. Setelah gips selesai dipasang, pasien mengalami kesakitan hebat dan jari kakinya menjadi bengkak dan berwarna gelap. Tak lama kemudian jari tersebut menjadi dingin dan tidak terasa.

26

6 November 1960 Dr. Alexander melakukan gips pada sekeliling jari. 7 November 1960 Sore harinya ia memotong gips itu 3 inci dari jari kaki. 8 November 1960 Dokter membelah gipsnya dengan gergaji Strycker. Pada saat pemotongan gips, kaki pasien terluka pada kedua sisi. Para perawat melihat darah dan juga terdapat jaringan kental lain yang berbau sangat busuk. 19 November 1960 Pasien baru dirujuk ke rumah sakit Barnes Hospital di St. Louis di bawah pimpinan Dr. Reynold, kepala bagian bedah orthopedi. Dr. Reynold melihat bahwa kaki yang patah itu mengandung banyak jaringan mati. Menurut pendapatnya, hal ini disebabkan karena adanya gangguan sirkulasi darah pada kaki dan perdarahan yang disebabkan oleh konstruksi pemasangan gips tersebut. Ia berusaha sedapat mungkin untuk menyelamatkan kaki tersebut, namun tidak berhasil. Akhirnya kaki tersebut terpaksa harus diamputasi 8 inci di bawah lutut. Ada juga tugas perawat untuk mengawasi jari kaki yang menonjol itu terhadap perubahan warna, suhu, bila tidak bisa digerakkan. Pula ia harus mengecek sirkulasi darah tiap 20 menit. Pemeriksaan ini oleh perawat tersebut hanya dilakukan beberapa kali sehari. Rumah sakit dianggap bertanggung jawab karena Dr. Alexander yang ditugaskan menjaga Unit Gawat Darurat tidak merujuk pasien itu kepada dokter yang lebih ahli dan tidak dilaksanankan prosedur sebagaimana mestinya di rumah sakit. Keputusan kasus Darling menganggap rumah sakit yang bertanggung jawab akibat kelalaian dari seorang dokter. Sejak kasus ini mulai timbul kecenderungan untuk mengikuti ajaran Corporate liability, sehingga jika timbul suatu kasus maka pertama-tama yang diminta pertanggungjawaban adalah rumah sakitnya terlebih dahulu. b. Porter v. Petterson and Emory University, Georgia, 1962.

27

Seorang bayi yang baru lahir memerlukan pertukaran darah (blood change-over operation). Oleh karena itu bayi tersebut dipasangi pengikat pada inkubator oleh perawat. Karena suatu kelalaian, maka bayi tersebut menempel pada lampu yang menyala yang digunakan untuk memanaskan inkubator. Akibatnya bayi menderita luka bakar dan kehilangan sebagian besar dari telapak kakinya. Rumah sakit dianggap bertanggung jawab untuk kelalaian dari perawat yang bekerja di rumah sakit tersebut. c. Duling v. Bluefield Sanitarium, Inc, 1965. Seorang pasien berumur 13 tahun, menderita demam rematik. Ia batukbatuk terus. Kukunya tampak membiru, jantungnya berdetak keras selama enam jam. Permintaan pertolongan dari ibunya kepada perawat bahkan mendapat omelan dari perawatnya. Akhirnya sang ibu yang putus asa menangis di lorong rumah sakit dan terlihat oleh kepala perawat. Kepala perawat menanyakan dan sang ibu menceritakan persoalan yang dihadapinya. Kepala perawat bergegas pergi melihat pasien tersebut dan segera memanggil seorang dokter jaga. Walaupun perawatan intensif langsung diberikan, ditambah usaha keras dari dokter dan perawat khusus lainnya, tapi jiwa anak tersebut tidak tertolong lagi. Anak itu meninggal esok harinya. Hal ini disebabkan karena terlambat memberi bantuan. Rumah sakit harus bertanggung jawab atas segala akibat yang ditimbulkan sebagai akibat dari kekurangan perhatian dari perawat tersebut. d. Garcia v. Memorial Hospital, Texas, 1977 Tersedianya sarana dan peralatan penting merupakan kelengkapan esensial dalam rumah sakit. Sebuah rumah sakit dianggap bertanggung jawab atas kematian seorang anak, karena rumah sakit itu tidak mempunyai endo-tracheal tube pediatrik untuk memberikan bantuan pernapasan (Tjokronegoro dan Utama, 1994). e. Kasus anafilaksis syok Menurut WMA, tidak semua kejadian buruk/kegagalan medis seperti anafilaktik syok adalah akibat malpraktek medis. Kejadian buruk (adverse event) adalah an injury that was caused by medical management (rather than underlying disease) and that prolonged the hospitalization, produced a disability

28

at the time of discharged, or both. Anafilaktik syok merupakan musibah medik karena tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) pada pasien tersebut yang cedera/mati saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar oleh dokter yang berwenang. Musibah medik bukanlah malpraktek. An injury occurring in the course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which the physician should not bear any liability . Menurut UU New Zealand termasuk medical mishap yang berarti an adverse consequence of treatment by a registered health professional, properly given, if (a) the likelihood of the adverse consequence of the treatment occurring is rare; and (b) the adverse consequence of the treatment is severe. Karena langka dan nirlaik bayang, disebut musibah medik, yang dokter/Rumah Sakit tak dapat dimintai pertanggungjawaban hukumnya. Suatu pertanggungjawaban hukum (dokter/RS membayar ganti rugi) baru dapat dikenakan pada kelalaian medik. Salah satu pengertian negligence adalah care that fall below the standard expected of physicians in their community. Musibah medik yang diklaim pasien adalah bila tergolong negligence adverse event (yang jumlahnya kira-kira 1/ 7 dari total kejadian buruk). f. Pembeberan rekam medik Dikutip dari TEMPO Interaktif, 5 April 2005 Purwokerto, Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)Purwokerto, Margono Soekarjo Hartanto, dipanggil Markas Kepolisian Resor (Polres) Banyumas, Selasa (5/4) sehubungan dengan somasi dugaan malpraktik. Gara-gara salah seorang pasien RS tersebut meninggal dunia. Margono juga dituduh telah melanggar aturan karena mempublikasikan data rekam medis pasien yang seharusnya menjadi rahasia. Permintaan keterangan itu berlangsung satu jam lebih di salah satu ruang di Mapolres Banyumas. Margono mendapat 16 pertanyaan yang diajukan Inspektur Satu (Iptu) Sudiro. Dalam pemeriksaan itu Margono didampingi seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Polisi sempat menolak kehadiran dosen itu dengan alasan tak punya izin praktek pengacara.

29

Padahal, untuk mendampingi seorang tersangka tak perlu izin praktek pengacara, kecuali di pengadilan. AKP Sudiro menyatakan, pertanyaan yang dia ajukan lebih berfokus pada tindakan Margonoo selaku Direktur RSUD Margono yang membeberkan rekam medis pasien bernama Warsinah, warga Kelurahan Sumampir, Kecamatan Purwokerto Utara. Warsinah adalah pasien yang meninggal setelah tiga hari dirawat di RSUD Margono akibat diabetes yang dideritanya. Namun dalam perawatan itu Darno, suami Warsinah melayangkan somasi kepada RSUD Margono melalui kuasa hukumnya yakni Dwi Prasetyo Sasongko SH dan Joko Susanto SH, keduanya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan dan Perumahsakitan. Somasi yang dikirimkan kepada 19 instansi itu berisi dugaan malpraktik yang dilakukan RSUD Margono yang mengakibatkan kematian Warsinah. Saat dirawat di RS Margono 13-16 Februari 2004 lalu Warsinah meninggal karena kadar gula yang terlalu tinggi. Hal itu diduga karena dipicu pemberian infus berisi cairan mengandung gula sehingga memicu kenaikan kadar gula dalam tubuh Warsinah. Selain somasi, LBH Kesehatan dan Perumahsakitan juga meminta RSUS Margono memberikan catatan rekam medis mengenai Warsinah. RS Margono lantas mengirimkan permintaan LBH yakni mengirimkan hasil rekam medis. Surat penjelasan rekam medis itu tidak hanya diberikan pada pengacara melainkan juga ke-18 instansi yang lain, salah satunya ke kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Banyumas. Beberapa hari kemudian muncul pemberitaan di harian Suara Merdeka Kamis, 31 Maret 2005. Pemberitaan itu menyebutkan, Warsinah menderita Febris berdasar gejala yang dialami sewaktu masuk Instalasi Gawat Darurat yakni panas enam hari, mual, muntah dan lemas. Infus yang diberikan saat itu berupa cairan gula. Cairan infus lantas diganti dengan jenis RL dan Warsinah diberi Actrapid begitu hasil analisa dokter menunjukkan Warsinah mengidap diabetes. Beberapa saat kemudian Warsinah mengalami koma dan meninggal dunia. Rekam medis itulah yang dibeberkan dalam surat yang tembusan pada 19 instansi tersebut.

30

Joko Susanto menyatakan, rekam medis seharusnya tidak dibeberkan kepada khalayak karena merupakan rahasia pasien. "Pihak RS telah melakukan pelanggaran hukum yakni Pasal 322 KUHP yang berisi larangan membuka rahasia yang seharusnya wajib disimpan karena jabatan atau pekerjaan seorang dokter,"kata Joko. Ancaman hukuman terhadap pelanggaran pasal ini sembilan bulan penjara. Iptu Sudiro menyatakan, setelah Margono, polisi juga akan memanggil dr I Gede Arinton, yang langsung menangani Warsinah dan wartawan harian yang memuat hasil rekam medis. "Untuk sementara masih kami panggil mereka sebagai saksi. Kelanjutan status akan ditentukan hasil pemeriksaan nanti. Kami masih focus pada pembeberan rahasia rekam medis kepada publik," katanya.

Anda mungkin juga menyukai