Anda di halaman 1dari 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan tentang Nyamuk Aedes spp. Nyamuk Aedes spp.

adalah spesies nyamuk tropis dan subtropis di seluruh dunia dalam garis lintang 35LU dan 35LS. Namanya diperoleh dari perkataan Yunani yaitu aedes, yang berarti "tidak menyenangkan", karena nyamuk ini menyebarkan beberapa penyakit berbahaya seperti demam berdarah dan demam kuning. Ae. albopictus merupakan spesies yang sering ditemui di Asia. Distribusi Aedes dibatasi dengan ketinggian wilayah kurang dari 1000 meter di atas permukaan air laut. Di Indonesia nyamuk penular (vektor) penyakit demam berdarah dengue (DBD) yang paling penting adalah Ae. aegypti, Ae. albopictus, dan Ae. scutellaris, tetapi sampai saat ini yang menjadi vektor utama dari penyakit DBD adalah Ae. aegypti. Demikian juga halnya di Kotamadya Surabaya spesies utama vektor penyakit DBD adalah Ae. aegypti. Nyamuk Ae. aegypti dikenal dengan sebutan black white mosquito atau tiger mosquito karena tubuhnya memiliki ciri yang khas yaitu adanya garis - garis dan bercak - bercak putih keperakan diatas dasar warna hitam. Sedangkan yang menjadi ciri khas utamanya adalah ada dua garis lengkung yang berwarna putih keperakan di kedua sisi lateral dan dua buah garis putih sejajar di garis median dari punggungnya yang berwarna dasar hitam (lyre shaped marking). Ae. aegypti tersebar luas di wilayah tropis dan subtropis Asia Tenggara, dan terutama di sebagian besar wilayah perkotaan. Penyebaran Ae. aegypti di pedesaan 7

akhir - akhir ini relatif sering terjadi yang dikaitkan dengan pembangunan sistem persediaan air pedesaan dan perbaikan sistem transportasi. Di wilayah yang agak kering, mis: India, Ae. aegypti merupakan vektor perkotaan dan populasinya secara khas berfluktuasi bersama air hujan dan kebiasaan penyimpanan air. Pada negara lain di Asia Tenggara yang curah hujannya melebihi 200 cm pertahun, populasi Ae. aegypti ternyata lebih stabil dan ditemukan di daerah perkotaan, pinggiran kota dan daerah pedesaan. Karena, kebiasaan penyimpanan air secara tradisional di Indonesia, Myanmar, dan Thailand, kepadatan nyamuk mungkin lebih tinggi di daerah pinggiran kota daripada di daerah perkotaan (WHO, 2004). Nyamuk Ae. aegypti betina menggigit dan menularkan virus dengue. Umumnya, nyamuk ini menggigit di siang hari (pukul 09.00 10.00) atau sore hari pukul (16.00 - 17.00). Nyamuk jenis itu senang berada di tempat yang gelap dan lembap. Penampilan nyamuk ini sangat khas, yaitu memiliki bintik - bintik putih dan ukurannya lebih kecil dibandingkan nyamuk biasa. Pada malam hari, nyamuk ini bersembunyi di tempat gelap atau di antara benda-benda yang tergantung, seperti baju atau tirai (Satari, 2004). 2.1.1. Klasifikasi Nyamuk Aedes spp. Nyamuk Aedes spp., secara umum mempunyai klasifikasi (Womack, 1993), sebagai berikut : Kerajaan Filum Kelas Ordo : : : : Animalia Arthropoda Insecta Diptera 8

Famili Subfamili Tribus Genus

: : : :

Culicidae Culicinae Culicini Aedes

2.1.2. Morfologi Nyamuk Aedes spp. Masa pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Ae. aegypti dapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu telur, larva, pupa, dan dewasa, sehingga termasuk metamorfosis sempurna (holometabola), yaitu (Soegijanto, 2006): 1. Telur Telur nyamuk Ae. aegypti berbentuk ellips atau oval memanjang, warna hitam, ukuran 0,5 0,8 mm, jumlah telur (sekali bertelur) 100 300 butir, rata rata 150 butir, permukaan poligonal, tidak memiliki alat penampung, dan diletakkan satu persatu pada benda - benda yang terapung atau pada dinding bagian dalam tempat penampungan air (TPA) yang berbatasan dengan permukaan air. Dilaporkan bahwa dari telur yang dilepas, sebanyak 85% melekat di dinding TPA, sedangkan 15% lainnya jatuh ke permukaan air. 2. Larva Larva nyamuk Ae. aegypti tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan bulu-bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit (ecdysis), larva yang terbentuk berturut-turut disebut larva instar I, II, III dan IV. Larva instar I, tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1 - 2 mm, duri - duri (spinae) pada dada (thorax) belum begitu jelas, dan corong pernapasan (siphon) belum menghitam. Larva instar II 9

bertambah besar, ukuran 2,5 - 3,9 mm, duri dada belum jelas, corong pernapasan sudah berwarna hitam. Larva instar IV telah lengkap struktur anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax), dan perut (abdomen). Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang antena tanpa duri-duri, dan alat-alat mulut tipe pengunyah (chewing). Bagian dada tampak paling besar dan terdapat bulu-bulu yang simetris. Perut tersusun atas 8 ruas. Ruas perut ke-8, ada alat untuk bernapas yang disebut corong pernapasan. Corong pernapasan tanpa duri-duri, berwarna hitam, dan ada seberkas bulu-bulu (tulf). Ruas ke-8 juga dilengkapi dengan seberkas bulu-bulu sikat (brush) di bagian ventral dan gigi-gigi sisir (comb) yang berjumlah 15 19 gigi yang tersusun dalam 1 baris. Gigi - gigi sisir dengan lekukan yang jelas membentuk gerigi. Larva ini tubuhnya langsing dan bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negatif, dan waktu istirahat membentuk sudut hampit tegak lurus dengan bidang permukaan air. 3. Pupa Pupa nyamuk Ae. aegypti bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepala dada (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya, sehingga tampak seperti tanda baca koma. Pada bagian punggung (dorsal) dada terdapat alat bernapas seperti terompet. Pada ruas perut ke-8 terdapat sepasang alat pengayuh yang berguna untuk berenang. Alat pengayuh tersebut berjumbai panjang dan bulu di nomor 7 pada ruas perut ke-8 tidak bercabang. Gerakan pupa tampak lebih lincah bila dibandingkan dengan larva. Waktu istirahat posisi pupa sejajar dengan bidang permukaan air. 10

4. Dewasa Nyamuk Ae. aegypti tubuhnya tersusun dari tiga bagian, yaitu kepala, dada dan perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk dan antena yang berbulu. Alat mulut nyamuk betina tipe penusuk - pengisap (piercing - sucking) dan termasuk lebih menyukai manusia (anthropophagus), sedangkan nyamuk jantan bagian mulut lebih lemah sehingga tidak mampu menembus kulit manusia, karena itu tergolong lebih menyukai cairan tumbuhan (phytophagus). Nyamuk betina mempunyai antena tipe-pilose sedangkan nyamuk jantan tipe plumose. Dada nyamuk ini tersusun dari 3 rias, porothorax, mesothorax dan metathorax. Setiap ruas dada ada sepasang kaki yang terdiri dari femur (paha), tibia (betis), dan tarsus (tampak). Pada ruas-ruas kaki ada gelang-gelang putih, tetapi pada bagian tibia kaki belakang tidak ada gelang putih. Pada bagian dada juga terdapat sepasang sayap tanpa noda-noda hitam. Bagian punggung (mesontum) ada gambaran garis-garis putih yang dapat dipakai untuk membedakan dengan jenis lain. Gambaran punggung nyamuk Ae. aegypti berupa sepasang garis lengkung putih (bentuk: lyre) pada tepinya dan sepasang garis submedian di tengahnya. Perut terdiri dari 8 ruas dan pada ruas-ruas tersebut terdapat bintik-bintik putih. Waktu istirahat posisi nyamuk Ae. aegypti ini tubuhnya sejajar dengan bidang permukaan yang dihinggapinya. Ciri Ae. albopictus hampir sama dengan Ae. aegypti, yaitu bercak-bercak putih di badan. Bila dilihat dengan kaca pembesar tampak di median punggungnya ada garis putih (Wikipedia, 2010).

11

2.1.3. Tata Hidup Nyamuk Aedes spp. Telur nyamuk Ae. aegypti di dalam air dengan suhu 20 - 40O C akan menetas menjadi larva dalam waktu 1 2 hari kecepatan pertumbuhan dan perkembangan larva dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu temperatur, tempat, keadaan air dan kandungan zat makanan yang ada di dalam tempat perindukan. Stadium larva berlangsung selama 6 - 8 hari, pada kondisi optimum, larva berkembang menjadi pupa dalam waktu 4 - 9 hari, kemudian pupa menjadi nyamuk dewasa dalam waktu 2 - 3 hari. Jadi pertumbuhan dan perkembangan telur, larva, pupa, sampai dewasa memerlukan waktu kurang lebih 7 - 14 hari (Soegijanto, 2006). Ae. aegypti bersifat aktif pada pagi hingga siang hari. Penularan penyakit dilakukan oleh nyamuk betina karena hanya nyamuk betina yang mengisap darah. Hal itu dilakukannya untuk memperoleh asupan protein yang diperlukannya untuk memproduksi telur. Nyamuk jantan tidak membutuhkan darah, dan memperoleh energi dari nektar bunga ataupun tumbuhan. Jenis ini menyenangi area yang gelap dan benda - benda berwarna hitam atau merah (Wikipedia, 2008). Ae. albopictus pun bersifat aktif sama dengan Ae. aegypti, yaitu di pagi dan sore hari. Bertelurnya di air tergenang, misalnya pada kaleng-kaleng bekas yang menampung air hujan di halaman rumah. Pada musim penghujan, nyamuk ini banyak terdapat di kebun atau halaman rumah karena di situ terdapat banyak tempat yang terisi air (Wikipedia, 2010). 2.1.4. Kebiasaan Hidup (Bionomik) Aedes spp. Jarak terbang Ae. aegypti per hari sekitar 30 50 meter, berarti berada pada lingkungan beberapa rumah saja dari tempat nyamuk berkembang biak. Nyamuk 12

betina menghisap darah pada umumnya tiga hari setelah kawin dan mulai bertelur pada hari keenam. Dengan bertambahnya darah yang diisap, bertambah pula telur yang diproduksi. Kesenangan menggigit ini menurut pengamatan di Trinidad agak khas. Kebiasaan hidup/ bionomik dari nyamuk Ae. aegypti tersebut, terdiri dari: 1. Kebiasaan Menggigit (Feeding Habit) Nyamuk Ae. aegypti betina bersifat anthropofilik, karenanya lebih menyukai darah manusia daripada darah binatang. Nyamuk Ae. aegypti betina menghisap darah dengan tujuan mematangkan telur dalam tubuhnya. Nyamuk Ae. aegypti hidup di dalam dan sekitar rumah sehingga makanan yang diperoleh semuanya sudah tersedia. Boleh dikatakan bahwa nyamuk betina sangat menyukai darah manusia (anthropofilik) dari pada darah binatang. Kebiasaan menghisap darah terutama pada pagi hari jam 08.00 12.00 dan sore hari jam 15.00 17.00. Nyamuk betina mempunyai kebiasaan menghisap darah berpindah - pindah berkali - kali dari satu indiviu ke individu yang lain (Soegijanto, 2006). Hal ini disebabkan pada siang hari orang sedang aktif, sehingga nyamuk yang menggigit seseorang belum tentu kenyang. Orang tersebut sudah bergerak, nyamuk terbang menggigit orang lagi sampai cukup darah untuk pertumbuhan dan perkembangan telurnya. Pada nyamuk perkotaan lebih suka menggigit pada waktu siang hari (90%) dan waktu malam (10%). Nyamuk desa hanya menggigit siang saja. Kejadian tersebut kemungkinan juga sinar lampu di perkotaan ikut mempengaruhi kebiasaan menggigit (Hasan, 2006).

13

2. Kebiasaan/ perilaku Istirahat (Resting Habit) Ae. aegypti suka beristirahat di tempat yang gelap, lembab, dan tersembunyi di dalam rumah atau bangunan, termasuk di kamar tidur, kamar mandi, kamar kecil, maupun di dapur. Nyamuk ini jarang ditemukan di luar rumah, di tumbuhan, atau di tempat terlindung lainnya. Di dalam ruangan, permukaan istirahat yang mereka suka adalah di bawah furnitur, benda yang tergantung seperti baju dan korden, serta di dinding. Kebiasaan hinggap istirahat, lebih banyak di dalam rumah, yaitu benda-benda yang bergantungan, berwarna gelap, dan tempat-tempat lain yang terlindung, juga di dalam sepatu. Keadaan inilah yang menyebabkan penyakit DBD menjadi lebih mudah terjadi (Ditjen PPM&PL. 2001). 3. Kebiasaan Berkembangbiak (Breeding Habit) Tempat perkembangbiakan nyamuk Ae. aegypti adalah penampungan air bersih di dalam rumah ataupun berdekatan dengan rumah, dan air bersih tersebut tidak bersentuhan langsung dengan tanah (Ditjen PPM&PL, 2002). Tempat perkembangbiakan tersebut berupa: a. Tempat penampungan air (TPA) yaitu tempat menampung air guna keperluan sehari-hari seperti drum, tempayan, bak mandi, bak WC dan ember. b. Bukan tempat penampungan air (non TPA) yaitu tempat - tempat yang biasa digunakan untuk menampung air tetapi bukan untuk keperluan sehari-hari seperti tempat minum hewan piaraan, kaleng bekas, ban bekas, botol, pecahan gelas, vas bunga dan perangkap semut.

14

c. Tempat penampungan air alami (TPA alami/ natural) seperti lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon pisang dan potongan bambu. 2.1.5. Pengendalian Vektor Nyamuk Beberapa usaha pencegahan dan pengendalian terhadap serangan nyamuk demam berdarah dengue tidak akan berjalan jika dilakukan secara simultan dan terpadu. Jika salah satu lingkungan saja tidak ikut berpatisipasi, lingkungan tersebut bisa menjadi sumber infeksi serangan nyamuk demam berdarah. Usaha-usaha pencegahan dan pengendalian yang bisa dilakukan sebagai berikut (Kardinan, 2007): 1. Pencegahan Usaha ini dilakukan dengan menggunakan repellent atau pengusir, misalnya lotion yang digosokkan ke kulit sehingga nyamuk takut mendekat. Banyak bahan tanaman yang bisa dijadikan lotion anti nyamuk. Hal ini yang dapat dilakukan untuk mengusir nyamuk adalah menanam tanaman yang tidak disukai serangga, termasuk nyamuk Ae. aegypti. Tanaman ini bisa diletakkan di sekitar rumah atau di dalam. 2. Pengendalian Pengendalian vektor adalah semua usaha yang dilakukan untuk menurunkan atau menekan populasi vektor pada tingkat yang tidak membahayakan kesehatan masyarakat (Kusnoputranto, 2000). Menurut data dari Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, keberhasilan pencegahan penyakit DBD sangat bergantung pada pengendalian vektornya, yaitu Ae. aegypti/ Ae. albopictus (Bermawie, 2006).

15

Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu : a. Secara Lingkungan Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), misalnya sarang nyamuk dengan cara mengeringkan genangan air yang menjadi tempat berkembangbiaknya, membakar sampah yang menjadi tempat lalat bertelur dan tempat-tempat persembunyian serangga pengganggu. Termasuk dalam pengendalian serangga adalah mencegah terjadinya kontak antara serangga dengan manusia, misalnya dengan memasang kawat kasa atau kawat nyamuk (insect-screen) di jalan angin, pintu atau jendela rumah (Soedarto, 1992). Cara yang hingga saat ini masih dianggap paling tepat untuk mengendalikan penyebaran penyakit demam berdarah adalah dengan mengendalikan populasi dan penyebaran vektor. Program yang sering dikampanyekan di Indonesia adalah 3M+1T (Wikipedia, 2008), yaitu: Menguras bak mandi, untuk memastikan tidak adanya larva nyamuk yang berkembang di dalam air dan tidak ada telur yang melekat pada dinding bak mandi. Menutup tempat penampungan air sehingga tidak ada nyamuk yang memiliki akses ke tempat itu unutk bertelur. Mengubur barang bekas sehingga tidak dapat menampung air hujan dan dijadikan tempat nyamuk bertelur. 16

Telungkupkan barang bekas sehingga tidak dapat menampung air hujan dan dijadikan tempat nyamuk bertelur.

b. Secara Biologi Pengendalian secara biologi adalah pengendalian serangga dengan

menggunakan predator (binatang pemangsa serangga), menyebarkan parasit penyebab penyakit pada serangga dengan tujuan untuk menurunkan populasinya secara alami tanpa mengganggu ekologi (Soedarto, 1992). Contoh Predator tersebut terdiri dari Ikan pemakan larva yaitu ikan kepala timah, cupang dan gambus yang sudah semakin banyak digunakan untuk mengendalikan nyamuk Ae. aegypti di kumpulan air yang banyak atau di kontainer air yang besar, bakteri penghasil endotoksin yaitu Bacillus Thuringies serotipe H-14 (Bt: H-14) dan Bacillus sphaericus(Bs) adalah efektif untuk mengendalikan nyamuk. c. Secara Kimia Bahan kimia yang banyak digunakan dalam pemberantasan Ae. aegypti ialah golongan organophospat. Malathion digunakan untuk memberantas nyamuk dewasa, sedangkan temephos digunakan untuk jentiknya. Malathion digunakan dengan cara pengasapan (fogging), karena kebiasaan beristirahat Ae. aegypti ialah pada benda yang bergantungan. Temephos yang biasa digunakan berebentuk butiran pasir (sandgranules) dan ditaburkan di tempat penampungan air. Penggunaan larvasida ini dalam posisi 1 ppm mampu mencegah infestasi jentik Ae. aegypti selama 2 - 3 bulan. Pengaruh residu temephos ini disebabkan karena bahan aktifnya dilepas secara perlahan (slow release) dan menempel pada pori pori dinding sebelah dalam dari tempat penampungan air. 17

Upaya lain dalam memutus mata rantai kehidupan nyamuk yakni dengan perangkap telur (ovitrap). Ovitrap adalah alat pemancing nyamuk untuk bertelur di dalamnya. Ketika telur berkembang menjadi nyamuk dewasa, nyamuk akan terperangkap di dalam ovitrap, dan akhirnya mati (Anonimous, 2008). Ovitrap dapat berupa bejana, misalnya, cangkir (cup) kaleng (seperti bekas kaleng susu atau gelas plastik) yang dinding sebelah dalamnya di cat hitam, dan ember kemudian diberi air secukupnya. Ke dalam bejana tersebut dimasukkan paddle berupa potongan kayu, bilah bambu atau kain yang tenunannya kasar dan berwarna gelap sebagai tempat meletakkan telur bagi nyamuk. Dapat dilihat pada gambar 2.1. berikut ini :

Gambar 2.1. Ovitrap (Wikimedia, 2008) 2.1.6. Suhu Suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat mempengaruhi kelangsungan hidup serta populasi nyamuk di lingkungan. Rata-rata suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25-27C. Pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali bila suhu kurang dari 10C atau lebih dari 40C (Sugito, 1990). 18

2.1.7. Kelembaban Kelembaban udara sangat mendukung dalam kelangsungan hidup nyamuk mulai dari telur, larva, pupa hingga dewasa. Kelembaban yang sesuai adalah sekitar 70% - 89% (Jumar, 2000). 2.1.8. Derajat Keasaman Air (pH) Derajat keasaman dengan kertas lakmus, untuk menunjukkan keasaman air. yang disenangi pada tempat perkembangbiakan nyamuk. Larva aedes dapat hidup pada air dengan pH antara 5,8 8,6 (Hidayat, 1997). 2.2. Tinjauan Tentang Insektisida Nabati 2.2.1. Pengertian Insektisida Nabati Secara umum, insektisida nabati diartikan sebagai suatu insektisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Insektisida nabati relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan terbatas. Oleh karena terbuat dari bahan alami/ nabati maka jenis insektisida ini bersifat mudah terurai (biodegradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan karena residunya mudah hilang. Insektisida nabati bersifat pukul dan lari (hit and run), yaitu apabila diaplikasikan akan membunuh serangga pada waktu itu dan setelah serangganya terbunuh maka residunya akan cepat menghilang di alam (Kardinan, 2004). Senyawa bioaktif yang terdapat pada tanaman dapat dimanfaatkan seperti layaknya insektisida sintetik. Perbedaannya adalah bahan aktif pada insektisida nabati disintesa oleh tumbuhan dan jenisnya dapat lebih dari satu macam (campuran). Bagian tumbuhan seperti daun, bunga, buah, biji, kulit, batang, dan sebagainya dapat 19

digunakan dalam bentuk utuh, ekstraksi (dengan air atau senyawa pelarut organik), ataupun bubuk (Naria, 2005). 2.2.2. Pembuatan Insektisida Nabati Pembuatan insektisida nabati dapat dilakukan secara sederhana atau secara laboratorium. Cara sederhana (jangka pendek) dapat dilakukan dengan penggunaan ekstrak sesegera mungkin setelah pembuatan ekstrak dilakukan. Cara laboratorium (jangka panjang) biasanya dilakukan oleh tenaga ahli yang sudah terlatih. Hal tersebut menyebabkan produk insektisida nabati menjadi mahal. Hasil kemasannya memungkinkan untuk disimpan relatif lama. Untuk menghasilkan bahan insektisida nabati dapat dilakukan dengan teknik sebagai berikut (Kardinan, 2004): 1. Penggerusan, penumbukan, atau pengepresan untuk menghasilkan produk berupa tepung, abu, atau pasta. 2. Rendaman untuk produk ekstrak 3. Ekstraksi dengan menggunakan bahan kimia pelarut disertai perlakuan khusus oleh tenaga yang terampil dan dengan peralatan yang khusus. Untuk mengendalikan serangga-serangga yang terbang (seperti nyamuk Ae. aegypti), insektisida yang diperlukan untuk menyemprot adalah insektisida yang mengandung racun perut atau racun kontak. Penyemprotan dengan hand spray harus diarahkan pada sasaran yang akan disemprot pada jarak 30 - 50 cm. Untuk mendapatkan distribusi semprotan yang sama harus dilakukan secara merata baik dari atas atau memutar dari samping (Djojosumarto, 2000).

20

Untuk menjauhkan serangga atau gangguan oleh serangga terhadap manusia dengan bahan-bahan kimia adalah Repellent yang digunakan dengan cara menggosokkannya pada tubuh atau menyemprotkannya pada pakaian. Oleh karena itu repellent harus memenuhi syarat yaitu tidak mengganggu pemakainya, tidak melekat atau lengket, baunya menyenangkan pemakainya dan orang sekitarnya, tidak menimbulkan iritasi pada kulit, tidak beracun, tidak merusak pakaian, dan daya pengusir terhadap serangga hendaknya bertahan cukup lama. DEET (N,N-diethyl-mtoluamide) adalah salah satu contoh repellent yang tidak berbau, akan tetapi repellent ini menimbulkan rasa terbakar jika mengenai mata, luka atau jaringan membranous. Repellent digunakan dalam berbagai bentuk, misalnya berbentuk cairan, pasta atau semprotan yang ditujukan pada pakaian (Soedarto, 1992). Interval (jarak taraf) perlakuan harus memberi peluang kepada peneliti untuk mendapatkan perlakuan terbaik yang memberikan pengaruh maksimum. Semakin tinggi derajat ketelitian yang diinginkan dan semakin heterogen lingkungan/ kondisi percobaan, jumlah ulangan harus lebih banyak. Secara umum, ulangan minimal untuk percobaan harus 3 (tiga) kali ( Hanafiah, 2008). 2.2.3. Keunggulan dan Kelemahan Insektisida Nabati Penggunaan insektisida nabati memiliki keunggulan dan kelemahan, yaitu (Naria, 2005): 1. Keunggulan a. Insektisida nabati tidak atau hanya sedikit meninggalkan residu pada komponen lingkungan dan bahan makanan sehingga dianggap lebih aman daripada insektisida sintetis/ kimia. 21

b. Zat pestisidik dalam insektisida nabati lebih cepat terurai di alam sehingga tidak menimbulkan resistensi pada sasaran. c. Dapat dibuat sendiri dengan cara yang sederhana. d. Bahan pembuat insektisida nabati dapat disediakan di sekitar rumah. e. Secara ekonomi tentunya akan mengurangi biaya pembelian insektisida. 2. Kelemahan a. Frekuensi penggunaan insektisida nabati lebih tinggi dibandingkan dengan insektisida sintetis. Tingginya frekuensi penggunaan insektisida botani adalah karena sifatnya yang mudah terurai di lingkungan sehingga harus lebih sering diaplikasikan. b. Insektisida nabati memiliki bahan aktif yang kompleks (multiple active ingredient) dan kadang kala tidak semua bahan aktif dapat dideteksi. c. Tanaman insektisida nabati yang sama, tetapi tumbuh di tempat yang berbeda, iklim berbeda, jenis tanah berbeda, umur tanaman berbeda, dan waktu panen yang berbeda mengakibatkan bahan aktifnya menjadi sangat bervariasi. 2.2.4. Cara Masuk Insektisida Untuk membunuh serangga, insektisida masuk dalam tuguh serangga melalui lambung, kontak, dan alat pernapasan (Wudianto, 2004), yaitu: 1. Insektisida dapat meracuni lambung (stomach poisons) bila insektisida masuk dalam tubuh bersama bagian tanaman yang dimakannya. Akibatnya alat pencernaan akan terganggu. Insektisida seperti ini sangat efektif untuk mengendalikan serangga yang mulutnya bertipe penggigit dan pengunyah. 22

2. Insektisida kontak (contact poisons) akan masuk ke dalam tubuh serangga melalui kutikulanya. 3. Insektisida masuk ke tubuhnya melalui pernapasan, misalnya fumigasi hama gudang dapat mematikan hama yang mengisap gas beracun dari fumigan. Sedangkan dilihat dari cara kerjanya, insektisida dibedakan atas peracun fisik, peracun protoplasma, dan peracun pernapasan, yaitu: 1. Insektisida peracun fisik akan menyebabkan dehidrasi, yaitu keluarnya cairan tubuh dari dalam tubuh serangga. 2. Insektisi peracun protoplasma dapat mengendapkan protein dalam tubuh serangga. 3. Insektisida pernapasan. 2.3. Tinjauan Tentang Cabai Rawit 2.3.1. Deskripsi Cabai Rawit Tanaman cabai berasal dari daratan Benua Amerika, tepatnya di Amerika Latin dengan garis lintang 0 - 30o LU dan 0 - 30o LS, mempunyai nama ilmiah Capsicum frutescens, C. penulum, C. baccatum, C. chinense. Karena ukuran buahnya yang kecil, di Indonesia cabai ini dikenal dengan nama cabai rawit (Setiadi, 2000). Cabai rawit kadang ditanam orang di pekarangan sebagai tanaman sayur atau tumbuh liar di tegalan dan tanah kosong yang telantar, lebih suka tumbuh di daerah kering, serta ditemukan pada ketinggian 0,5 - 1.250 m di atas permukaan laut (Anonimous, 2010). peracun pernapasan dapat menghambat aktifitas enzim

23

2.3.2. Klasifikasi Klasifikasi cabai rawit adalah sebagai berikut (Rukmana, 2002): Kingdom Divisi Subsidi Kelas Subkelas Ordo Famili Genus Spesies 2.3.3. Karakteristik Tanaman cabai rawit biasanya tumbuh setahun, tetapi dapat juga tumbuh 2 - 3 tahun (Rukmana, 2002). Karakteristik cabai rawit adalah sebagai berikut (Setiadi, 2000): Tinggi Batang Daun : 50 150 cm : Berbuku-buku, bersudut : Tidak berbulu, bundar telur sampai lonjong, panjangnya 1-12 cm Bunga : Keluar dari ketiak daun; tunggal atau 23 bunga : : : : : : : : : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Angiospermae (berbiji tertutup) Dicotyledonae (biji berkeping dua) Metachlamidae Tubiflorae Solanaceae Capsicum Capsicum frutescens Linn.

(berdekatan); mahkota bebentuk bintang berwarna putih, putih kehijau-hijauan, atau ungu; garis tengah 1,75 mm sampai 2,0 mm 24

Buah

: Buah tegak (pada hibrida merunduk); bentuk bulat telur atau jorong; panjang 1-3 cm; lebar 2,5 mm-12 mm.

Warna Buah : - Buah Muda : Hijau tua; putih; putih kehijau-hijauan - Buah Tua : Dari hijau kemerah-merahan, lalu merah; dari putih menjadi kuning kemerah-merahan, lalu berubah merah menyala (jingga); dari putih kehijau-hijaun menjadi kemerah-merahan, lalu menjadi merah. 2.3.4. Jenis dan Varietas Berdasarkan tampilan buahnya, cabai rawit dibedakan menjadi tiga jenis (Rukmana, 2002) , sebagai berikut: 1. Cabai Rawit Jemprit Ciri - ciri buah cabai rawit jemprit adalah kecil dan pendek, berdiri tegak pada ketiak-ketiak daun. Buah memiliki panjang 1 cm 2 cm dan lebar atau diameter 0,5 cm 1 cm. Buah yang masih muda berwarna hijau dan setelah tua (masak) berubah menjadi merah tua. Rasa sangat pedas, hingga dapat merangsang selaput gendang telinga.

Gambar 2.2 Cabai Rawit Jemprit Sumber: Pusat Data dan Informasi PERSI (2003) 25

2. Cabai Rawit Cengek Ciri-ciri buah cabai rawit cengek adalah panjang dan langsing, lebih besar daripada cabai rawit jemprit, berdiri tegak pada ketiak - ketiak daun. Buah memiliki panjang 4 cm 6 cm dan lebar (diameter) 1 cm 1,5 cm. Buah muda berwarna putih, tetapi setelah tua (matang) berubah menjadi merah kekuning - kuningan. Rasanya pedas, tetapi tidak sepedas cabai jemprit.

Gambar 2.3 Cabai Rawit Cengek Sumber: Pusat Data dan Informasi PERSI (2003) 3. Cabai Rawit Ceplik Ciri-ciri buah cabai rawit ceplik adalah agak besar dan gemuk. Berukuran panjang 3 cm 4 cm, lebih besar daripada cabai jemprit. Buah muda berwarna hijau, tetapi setelah tua berubah menjadi merah tua. Rasanya cukup pedas, tetapi tidak sepedas cabai jemprit.

Gambar 2.4 Cabai Rawit Ceplik Sumber: Majalah Online Indonesia (2010) 26

2.3.5. Habitat Tanaman cabai rawit mempunyai daya adaptasi luas terhadap lingkungan tumbuh (agroekologi) di daerah subtropis dan tropis. Di Indonesia, tanaman cabai rawit dapat dibudidayakan di daratan rendah sampai dataran tinggi (pegunungan) (Rukmana, 2002). Daerah tumbuh cabai rawit yang paling cocok yaitu dataran dengan ketinggian antara 0 - 500 m dari permukaan laut, suhu yang paling ideal untuk perkecambahan benih cabai adalah 25 - 30o C, sedangkan untuk pertumbuhannya adalah 24 - 28o C. Jika suhunya terlalu rendah pertumbuhan tanaman terhambat. Intensitas cahaya matahari sekurang-kurangnya selama 10 - 12 jam untuk fotosintesis, pembentukan bunga dan buah, serta pemasakan buah. Kelembapan relatif yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah 80%. Pada musim hujan, kelemabapan akan tinggi, sehingga menanam cabai pada musim ini akan menghadapi risiko terkena serangan bakteri dan cendawan. Derajat keasaman tanah (pH) yang paling ideal untuk tanaman cabai adalah 6 - 7 (Wiryanta, 2002). 2.3.6. Kandungan Kimia Cabai rawit mengandung zat capsaicin, minyak atsiri capsitol dan bioflavonoids serta nutrisi (gizi) yang cukup tinggi (Rukmana, 2002). Kapsaikin yang merupakan unsur aktif dan pokok yang berkhasiat terdiri dari empat komponen kapsaikinoid, yaitu dihydrocapsaicin, nordihydrocapsaicin, homocapsaicin, dan homodihydrocapsaicin.

27

Cabai

rawit

juga

mengandung

senyawa

ascorbic

acid.

Menurut

Syamsuhidayat dan Hutapea (1991) dikutip oleh Wakhyulianto (2005) bahwa di dalam cabai rawit terkandung senyawa saponin, flavonoida dan tannin. 2.3.7. Manfaat Cabai rawit banyak digunakan untuk terapi kesehatan. Berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa buah cabai dapat membantu menyembuhkan kejang otot, rematik, sakit tenggorokan, dan alergi (Wiryanta, 2002). Cabai rawit rasanya pedas, sifatnya panas, tumbuhan ini berkhasiat tonik stimultan kuat untuk jantung dan aliran darah membantu menghancurkan bekuan darah (antikoagulan), dan meningkatkan nafsu makan. Minyak atsiri capsitol dapat dimanfaatkan sebagai pengganti minyak kayu putih untuk mengurangi/ meringankan rasa pegal-pegal, sesak napas, gatal-gatal dan encok karena bersifat analgesik. (Rukmana, 2002). Data hasil penelitian Tyas Ekowati Prasetyoningsih (1987) yang dikutip oleh Setiawan Dalimartha (2004), menunjukkan bahwa ekstrak cabai rawit dapat menghambat pertumbuhan Candida albicans. Candida albicans adalah spesies dari candida yang menyebabkan infeksi pada membran mukosa mulut (thrush def 1), dan infeksi saluran pernapasan (bronkokandidiasis).

28

2.4. Kerangka Konsep

Cabai Rawit Jemprit

Hasil ekstrak cabai rawit jemprit dengan konsentrasi 0% (sebagai kontrol), 0,1%, 0,2%, dan 0,3%

Pemberian larutan ekstrak cabai rawit jemprit terhadap larva Aedes spp. dengan konsentrasi 0% (sebagai kontrol), 0,1%, 0,2%, dan 0,3% pada ovitrap Suhu, Kelembaban dan Keasaman Air Jumlah larva Aedes spp. yang mati pada ovitrap

2.5. Hipotesa Penelitian Ho: Tidak ada perbedaan efektifitas ektrak cabai rawit (Capsicum frutescens L) terhadap kematian larva Aedes spp. pada ovitrap. Ha: Ada perbedaan efektifitas ektrak cabai rawit (Capsicum frutescens L) terhadap kematian larva Aedes spp. pada ovitrap.

29

Anda mungkin juga menyukai