Anda di halaman 1dari 7

1

Pengembangan Klaster Berbasis Internet (Klasnet) bagi Industri Kreatif


Abdul Luky Shofiul Azmi, ST, MH1

A. Latar Belakang Setiap daerah dituntut mampu mengembangkan wilayah dengan mengenali dan mengoptimalkan potensi lokalnya. Dalam upaya pengembangan potensi UMKM, peta ekonomi dewasa ini didominasi oleh distrik industri yang kemudian disebut sebagai cluster karena terdapat keterkaitan (linkages) dan jaringan (networks) antar aktivitas dan pelaku industri. Schmitz (1997) menyatakan bahwa kehadiran joint action dapat menumbuhkan cluster industri yang subur. Hal ini terkait dengan nilai efisiensi kolektif cluster yang menekankan pada pentingnya keterkaitan dan jaringan yang terbentuk. Industri kecil di klaster-klaster dapat berkembang lebih pesat, lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan pasar, dan dapat meningkatkan produksinya daripada industri kecil secara individual di luar klaster. Sistem klaster ini mulai menjadi topik yang cukup hangat sejak munculnya tesis flexible specialization pada tahun 1980-an, yang didasari oleh pengalaman dari klaster UMKM di beberapa negara di Eropa Barat, khususnya Italia (Becattini, 1990 dalam Tambunan, 1999). Sebagai contoh kasus, pada tahun 1970-80an, pada saat Industri Skala Besar di Inggris, Jerman dan Italia mengalami staknasi ternyata Industri Skala Kecil yang terkonsentrasi di lokasi tertentu membentuk klasterklaster mengalami pertumbuhan yang pesat bahkan mengembangkan pasar ekspor untuk barangbarangnya dan menyerap banyak tenaga kerja (Rabelloti, 1994 dalam Kuncoro, 2003). Di Indonesia, pengembangan klaster dilakukan dengan menggunakan istilah sentra industri, yang didefinisikan sebagai kelompok geografis dengan anggota sedikitnya ada 20 perusahaan yang serupa. Kecuali kelompok-kelompok kecil yang mampu mengekspor seluruh atau sebagian dari produknya, karena dalam beberapa kasus kelompok yang lebih kecil juga tercatat sebagai klaster. Identifikasi yang lebih penting adalah dalam klaster terdapat peta keterkaitan dan keterpaduan antar industri dengan berbagai institusi pendukungnya. Ekonomi kreatif menempati posisi ke-7 dari 10 sektor ekonomi nasional dengan menyumbang Produk Domestik Bruto 6,9% dari total kontribusi ekonomi nasional pada 2012. Dengan posisi yang sudah cukup signifikan ini, industri kreatif Indonesia dapat lebih dikembangkan dengan pola klaster. Keunikan industri kreatif membuat kurangnya efektivitas pola klaster berbasis geografis yang
1

Penulis adalah Presiden dari C3D (Center for Creativity and Community Development)

dilakukan pada jenis industri lain. Kreativitas, keterampilan dan bakat individu yang menjadi basis industri kreatif yang membutuhkan inspirasi tanpa batas dapat terganggu dengan pembatasan konsentrasi geografis.

B. Rumusan Masalah Dalam upaya meningkatkan ekonomi Indonesia terutama pengembangan UMKM sektor industri kreatif melalui pola klaster yang tepat, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pola klaster yang lebih sesuai dengan kebutuhan para UMKM industri kreatif? 2. Kebutuhan apa saja yang perlu ada dalam pola klaster industri kreatif? 3. Bagaimana cara pengembangan dan pengoperasian klaster industri kreatif ini?

C. Pembahasan 1. Pola Klaster yang Sesuai dengan UKM Industri Kreatif Terdapat beberapa devisi klaster, diantaranya adalah sebagai berikut:

Kumpulan/kelompok bisnis dan industri yang terkait melalui suatu rantai produk umum, ketergantungan atas keterampilan tenaga kerja yang serupa, atau penggunaan teknologi yang serupa atau saling komplementer (OECD, 2000);

Konsentrasi geografis dari perusahaan dan industri yang saling berkompetisi, komplementer, atau saling terkait, yang melakukan bisnis satu dengan lainnya dan/atau memiliki kebutuhan serupa akan kemampuan, teknologi dan infrastruktur (Munnich Jr.1999 dalam Badri, 2012);

Kelompok industri dengan focal/core industry yang saling berhubungan secara intensif dan membentuk partnership, baik dengan supporting industry maupun related industry (Deperindag, 2000);

Sekumpulan perusahaan dan lembaga-lembaga terkait di bidang tertentu yang berdekatan secara geografis dan saling terkait karena kebersamaan (commonalities) dan

komplementaritas (Michael Porter, 1990, dalam Badri 2012). Pendekatan klaster menjadi strategis karena klaster bermanfaat baik bagi klaster itu sendiri maupun bagi ekonomi wilayah. Pengembangan klaster juga menjadi salah satu alternatif untuk percepatan pengembangan UMKM karena klaster merupakan aglomerasi ekonomi yang melibatkan pelaku dari hulu ke hilir, sehingga memungkinkan penggabungan skala usaha antar pelaku UMKM, dan karenanya dapat mengeliminasi beberapa kelemahan UMKM, terutama di bidang produksi dan pemasaran (Direktorat, 2012). Pengembangan klaster mendorong

terwujudnya kemakmuran dan kestabilan ekonomi suatu wilayah (daerah) karena dalam klaster tidak ada dominasi pelaku, setiap bagian dalam klaster merupakan kesatuan unit usaha dinamis. Sehubungan dengan hal tersebut, maka untuk menumbuhkembangkan klaster dibutuhkan pemahaman business nature dari usaha yang bersangkutan dan konteks hulu-hilir berikut pelakupelaku yang terkait dalam usahanya, baik internal maupun eksternal. Industri kreatif berdasarkan pemetaan Departemen Perdagangan Republik Indonesia, adalah Periklanan, Arsitektur, Pasar Barang Seni, Kerajinan, Desain, Fashion, Video, Film dan Fotografi, Permainan Interaktif, Musik, Seni Pertunjukan, Penerbitan dan Percetakan, Layanan Komputer dan Piranti Lunak, Televisi dan Radio, Riset dan Pengembangan, serta Kuliner. Menurut Peraturan Presiden RI No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, Industri Kreatif adalah proses peningkatan nilai tambah hasil dari eksploitasi kekayaan intelektual berupa kreatifitas, keahlian dan bakat individu menjadi suatu produk yang dapat dijual sehingga meningkatkan kesejahteraan bagi pelaksanaan dan orang-orang yang terlibat. Untuk menumbuhkan kreativitas, keterampilan dan bakat individu yang menjadi basis industri kreatif ini, dibutuhkan kondisi yang lebih disesuaikan dengan masing-masing individu. Dalam hal ini, bentuk klaster secara umum seperti yang didefinisikan oleh Munnich Jr, Michael Porter yakni dalam bentuk konsentrasi geografis kurang tepat diterapkan untuk industri kreatif. Kreativitas pelaku industri kreatif dapat terganggu jika dipaksakan menggunakan lokasi geografis yang tidak sesuai dengan karakter masing-masing pelaku. Selain itu, alat-alat produksi yang digunakan oleh pelaku industri kreatif juga relatif bukan merupakan alat yang membutuhkan investasi besar seperti pada industri lainnya. Meskipun demikian, adanya pengelompokan beberapa pengusaha sejenis tetap akan dapat membantu mempermurah harga beli suatu alat produksi industri kreatif, misalnya software tertentu. Bentuk klaster seperti yang didefinisikan oleh Deperindag tetap menjadi acuan utama yakni pengelompokan yang dapat saling berhubungan secara intensif dan membentuk partnership baik dengan supporting industry maupun related industry. Ada 6 teori yang melatarbelakangi klaster industri, yaitu external economies, lingkungan inovasi, persaingan atau kompetisi kooperatif (cooperative competition), persaingan antar industri (interfirm rivalry), dan path dependence, serta efisiensi kolektif (collective efficiency). Untuk tetap mendapatkan manfaat klaster sebagai percepatan pengembangan UKM industri kreatif, dan sesuai dengan karakter yang dimiliki industri ini, maka pengklasteran dapat dilakukan dengan menggunakan basis internet. Saat ini, internet merupakan salah satu media yang sudah

sangat umum digunakan oleh para pelaku industri kreatif. Selain itu, kebutuhan yang sangat cepat berkaitan dengan industri ini juga dapat segera dipenuhi dengan adanya klaster berbasis internet yang dinamai Klasnet ini. Klasnet dibentuk dalam platform berbasis web dan mobile yang dapat diakses baik dengan menggunakan komputer, laptop, maupun smart phone. Klasnet dilengkapi juga dengan fasilitas direct chat, email untuk para pengguna bahkan direct phone pada aplikasi mobile-nya.

2. Kandungan Klaster UKM Industri Kreatif Lyon dan Atherton (2000) berpendapat bahwa terdapat tiga hal mendasar yang dicirikan oleh klaster industri, terlepas dari perbedaan struktur, ukuran ataupun sektornya, yaitu: 1. Komonalitas/ Keserupaan/Kebersamaan/Kesatuan (Commonality); yaitu bahwa bisnis-bisnis beroperasi dalam bidang-bidang serupa atau terkait satu dengan lainnya dengan fokus pasar bersama atau suatu rentang aktivitas bersama. 2. Konsentrasi (Concentration); yaitu bahwa terdapat pengelompokan bisnis-bisnis yang dapat dan benar-benar melakukan interaksi. 3. Konektivitas (Connectivity); yaitu bahwa terdapat organisasi yang saling terkait/ bergantung (interconnected/linked/interdependent organizations) dengan beragam jenis hubungan yang berbeda. Untuk memudahkan penggunaan Klasnet dan namun tetap mewakili seluruh stakeholder, maka sub kriteria yang difasilitasi adalah SDM, Keuangan, Perangkat, Keahlian dan Pemasaran dengan keterangan sebagai berikut: Pendaftaran: pengisian data dan pengecekan apakah akun sudah disetujui oleh instansi terkait SDM: mencari dan mengiklankan kebutuhan baik bagi pencari kerja maupun pencari tenaga kerja Keahlian: menyediakan berbagai pelatihan online baik melalui text, audio, maupun audio. Selain itu, juga mengumumkan workshop offline
Gambar 1. User-interface Klasnet mobile-version

Keuangan: mamfasilitasi antara pemodal dan pengusaha dengan dilengkapi escrow system Perangkat: informasi jual beli sewa alat produksi Pemasaran: platform jual beli produk dan pencarian perusahaan peserta klaster

Gambar 2. Fasilitas Pencarian pada Klasnet

Gambar 3. User-Interface Hasil Pencarian pada Klasnet

3. Pengembangan dan Pengoperasian Klaster UKM Industri Kreatif Klasnet juga perlu mengakomodir tiga dimensi pengukuran umum klaster yakni waktu (time), lokasi (geography), dan keterkaitan (linkage). Meskipun pengukuran lokasi di sini bukan berarti bahwa dilakukannya konsentrasi geografis, namun untuk lebih memudahkan pengguna, maka Klasnet dilengkapi dengan pemetaan lokasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Selain itu, akses yang mudah dalam penggunaan internet juga memiliki kekurangan yakni keyakinan masyarakat akan keakuratan data yang dimasukkan oleh para pengguna. Oleh karena itu, peran instansi penyelenggara klaster sangat diperlukan dalam hal persetujuan keabsahan data yang dimasukkan. Untuk kebutuhan ini, Klasnet juga dilengkapi dengan aplikasi yang memudahkan bagi instansi terkait dalam proses penyetujuan akun. Untuk meningkatkan efektifitas pengaplikasian Klasnet dalam jangkauan tertentu, diperlukan beberapa tahap pengembangan klaster yang juga perlu dilengkapi. Tahap pertama adalah Tahap Diagnosis yang meliputi kejelasan visi misi klaster serta Dokumen Rencana Aksi. Tahap berikutnya adalah Tahap Sosialisasi, yakni pemahaman bersama antar berbagai pihak yang terkait dalam upaya kolaborasi yang baik sehingga Klasnet yang dibuat akan benar-benar dapat memberikan manfaat luas. Setelah dilakukan sosialisasi, masuk ke Tahap Operasional yakni pengembangan komunikasi dan penggunaan Klasnet. Tahap selanjutnya adalah Tahap Pengembangan yang merupakan pengembangan dari Klasnet itu sendiri sehingga lebih sesuai dengan kebutuhan yang ada.

Pemahaman yang memadai berkaitan dengan konsep klaster industri, terutama Klasnet perlu ditanamkan dan disamakan dalam tahap sosialisasi karena hal ini merupakan salah satu pangkal tolak sukses tidaknya praktik implementasi pengembangan Klasnet. Pada sisi praktik-empiris, pengembangan Klasnet tidak dapat secara kaku disandarkan pada perkembangan pengguna saja, namun juga perlu campur tangan aktif dari pengelola untuk memberikan beberapa fasilitas pendukung seperti pelatihan, pertemuan tatap muka, serta akses kepada fasilitas lain. Para stakeholders harus mau menjalani proses pembelajaran kolektif, termasuk para regulator terkait. Ini sangat penting karena pengembangan klaster industri bukanlah suatu proses revolusioner, tetapi perlu dipandang sebagi proses evolusi yang dipercepat.

D. Kesimpulan 1. Klaster berbasis internet (Klasnet) dapat mengakomodir kebutuhan para pelaku UKM di bidang ekonomi kreatif untuk dapat berkembang dengan lebih pesat. 2. Untuk dapat menjadi jembatan antar berbagai stakeholder yang terkait dengan industri kreatif, Klasnet dibentuk dalam platform berbasis web dan mobile yang memfasilitasi berbagai keperluan di bidang SDM, Keuangan, Perangkat, Keahlian dan Pemasaran. 3. Untuk mengembangkan Klasnet diperlukan peran pemerintah atau instansi terkait untuk meningkatkan kepercayaan para pengguna Klasnet dalam hal ketepatan data yang ada. Keakuratan data didapatkan dengan sinkronisasi pendaftaran serta pelayanan online dan offline. Klasnet juga perlu mengakomodir tiga dimensi pengukuran yakni waktu (time), lokasi (geography), dan keterkaitan (linkage).

E. Daftar Pustaka Barrie Steven, 2000, The Creative Society of 21th Century, OECD Direktorat Kredit, BPR dan UMKM BI, 2012, Kajian Pembiayaan dalam rangka Pengembangan Klaster, Bank Indonesia, Jakarta Hubert Schmitz, 1997, Responding to Global Competitive Pressure: Local Co-operation and Upgrading in The Sinos Valley, Brazil, IDS Working Paper 82 Lyon F, Atherton A, 2000, A Business View of Clustering: Lessons for Cluster Development Policies, Foundation for SME Development, University of Durham, Durham Mudrajad Kuncoro, 2003, Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi, Erlangga, Jakarta Sutrisno Badri, 2012, Keunggulan Kompetitif pada Sistem Agrobisnis Kelapa Sawit dengan Penerapan Model Klaster Agrobisnis, Tesis Universitas Widya Dharma, Klaten

Tulus Tambunan, 1999, Perkembangan Industri Skala Kecil di Indonesia, Mutiara Sumber Widya, Jakarta Disperindag, 2004, Strategi Industri Nasional, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai