Anda di halaman 1dari 12

Pengalihan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Menjadi Dana Alokasi Khusus: Problem dan Tantangan1

Oleh Dr. Hefrizal Handra, M.Soc.Sc.2 1. Pendahuluan Sebuah kebijakan penyelenggara negara di bidang desentralisasi fiskal telah dituangkan dalam UU 33/2004, pasal 108, sbb:
Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan yang merupakan bagian dari anggaran kementrian negara/lembaga yang digunakan untuk melaksanakan urusan yang menurut peraturan perundang-undangan menjadi urusan daerah, secara bertahap dialihkan menjadi Dana Alokasi Khusus.

Meskipun pasal diatas hanya menyebutkan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, namun secara implisit kebijakan ini mengisyaratkan upaya untuk menegakkan fiscal dicipline. Secara lebih tajam, dalam konteks hubungan keuangan negara dan daerah, dapat dikatakan bahwa pemerintah harus menghindari untuk membiayai urusan daerah yang telah di-desentralisasi-kan dengan belanja pemerintah pusat. Dengan kata lain, seluruh biaya pelaksanaan urusan desentralisasi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Meskipun sebagian besar penerimaan daerah juga berasal dari APBN, namun pesan yang terpenting disini adalah bahwa segala bentuk belanja pusat yang selama ini digunakan untuk membiayai urusan desentralisasi harus dialihkan kedalam mekanisme desentralisasi fiskal. Tulisan ini merupakan analisis kritis terhadap kebijakan diatas. Tulisan ini dibagi kedalam empat bagian, sbb: 1. Uraian mengenenai Dana Alokasi Khusus (DAK) dan perbedaan nya dengan dana dekonsentrasi dan TP, dari tinjauan teoritis dan pendekatan legal formal. 2. Pentingnya pengalihan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang membiayai urusan daerah menjadi DAK 3. Problem dan tantangan pengalihan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan menjadi DAK 4. Kesimpulan dan rekomendasi

Makalah disampaikan pada Workshop Nasional Penguatan Pelaksanaan Kebijakan Desentralisasi Fiskal, Jakarta 5-6 April 2006, Departemen Keuangan RI. 2 Pengajar/Peneliti pada Pusat Studi Keuangan Daerah (PSKD) - Fakultas Ekonomi Universitas Andalas Padang dan anggota Tim Asistensi Mentri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal 2006.

2. Dana Alokasi Khusus: Bedanya dengan Dana Dekosentrasi dan Tugas Pembantuan
Dana Dekonsentrasi (dekon) dan Tugas Pembantuan (TP) adalah untuk membiayai pelaksanaan urusan pemerintah pusat yang didekonsentrasikan dan di-tugaspembantuankan ke daerah, sedangkan Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah untuk membiayai pelaksanaan urusan daerah.

DAK merupakan salah satu jenis transfer dari pusat ke daerah di Indonesia. Dalam literatur keuangan negara, sesuai dengan namanya, DAK masuk dalam kategori bantuan spesifik (specific grant) atau bantuan bersyarat (conditional grant). Kategori lain dari transfer adalah bantuan umum (general purpose grant) atau bantuan tanpa syarat (unconditional grant) yang di Indonesia disebut Dana Alokasi Umum (DAU). Bantuan spesifik biasanya ditujukan untuk membiayai bidang tertentu yang telah menjadi urusan daerah. Pemerintah Daerah (Pemda) sebagai si penerima tidak boleh menggunakan dana tersebut kecuali untuk kegiatan yang telah ditentukan oleh pusat. Berbeda dengan Dana Dekon dan TP, bantuan spesifik menjadi bagian dari anggaran Pemda yang menerima dana tersebut dan penerima mempertanggungjawabkan sepenuhnya penggunaan dana tersebut dalam mekanisme pertanggungjawaban keuangan desentralisasi. Sedangkan Dana Dekon dan TP merupakan bagian dari anggaran kementrian/lembaga pusat. Secara teori, bantuan spesifik sangat beragam jenisnya. Dia dapat diciptakan oleh si pemberi untuk berbagai tujuan, diantaranya: - untuk mencapai tujuan dan prioritas nasional di bidang tertentu namun urusannya telah di -desentralisasi-kan ke daerah, - untuk mempengaruhi pola belanja si penerima, - untuk mengakomodasi spill-over benefit (penyediaan pelayanan publik oleh daerah tertentu tetapi dimanfaatkan oleh penduduk daerah lain/tentangga) - untuk mengakomodasi ke-khusus-an daerah tertentu. Bantuan spesifik dapat digunakan oleh pusat untuk tujuan dan prioritas nasional, misalnya untuk mencapai tujuan nasional di bidang pelayanan pendidikan, kesehatan dan infrastrutur namun urusannya telah didesentralisasikan ke daerah. Karena pusat tidak dapat mendikte daerah untuk penggunaan bantuan umum seperti DAU, maka pusat dapat melakukannya dengan menyediakan bantuan spesifik. Bantuan spesifik dapat juga ditujukan untuk mempengaruhi pola belanja daerah. Dengan penggunaannya yang spesifik dan mensyaratkan dana pendamping dari sumber pendapatan daerah lainnya, akan tersedia sejumlah dana yang harus dibelanjakan oleh daerah untuk bidang yang diinginkan pusat. Lebih spesifik lagi, bantuan dapat disediakan oleh si pemberi untuk mengakomodasi beban pembiayaan bagi daerah tertentu, misalnya daerah yang menyediakan pelayanan yang juga dimanfaatkan oleh penduduk daerah lain. Bantuan spesifik tentunya juga dapat disediakan oleh pusat untuk mengakomodasi ke-khusus-an daerah tertentu, yang terkait dengan ketidakmampuan daerah tersebut untuk membiayai pelayanan yang menjadi tujuan nasional. 2

Program nasional yang dibiayai oleh anggaran kementrian/lembaga teknis vertikal tentunya juga dalam rangka mencapai tujuan dan prioritas nasional sebagaimana tujuan bantuan spesifik untuk daerah. Namun anggaran kementrian/lembaga vertikal tersebut bukan untuk membiayai program prioritas nasional yang telah menjadi urusan daerah. Sebagai contohnya di Indonesia adalah penyelenggaraan pendidikan dasar (9 tahun). Prinsip desentralisasi fiskal mengharuskan segala biaya penyelenggaraan pendidikan dasar (mulai dari gaji guru, biaya administrasi dan operational sekolah) menjadi beban daerah. Dan segala bantuan pusat untuk menjamin pembiayaannya harus melalui mekanisme transfer ke daerah, bukan dengan anggaran kementrian pendidikan dalam bentuk dana dekon dan TP. UU 33/2004 mengatur secara jelas perbedaan ketiga jenis dana tersebut. DAK diatur sebagai bagian dari dana perimbangan untuk membiayai tugas desentralisasi. Dana Dekonsentrasi adalah dana untuk membiayai penugasan dekonsentrasi ke gubernur. Dana Tugas Pembantuan ditujukan untuk membiayai tugas pembantuan ke daerah propinsi, kabupaten/kota serta ke desa. Perbedaan antara DAK dengan Dana Dekon dan TP menurut UU 33/2004 dapat dilihat pada table 1. Lihat juga lampiran 1 yang secara rinci membahas dana dekonsentrasi.

Tabel 1. DAK, Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan menurut UU 33/2004 Dana Alokasi Dana Dekonsentrasi Dana Tugas Khusus Pembantuan
Jenis dana Merupakan Transfer dari Pusat ke Daerah dan sebagai pendapatan dalam APBD Untuk membiayai urusan desentralisasi Merupakan Belanja Merupakan Belanja kementrian/lembaga kementrian/lembaga pusat pusat Untuk membiayai pelimpahan kewenangan dekonsentrasi ke Gubernur Gubernur memberitahukan rencana kerja dan anggaran pusat yang berkaitan dengan kegiatan dekonsentrasi kepada DPRD saat pembahasan RAPBD Dilaksanakan oleh SKPD yang ditunjuk oleh Gubernur SKPD yang melaksanakan melaporkan ke Gubernur dan kemudian dilaporkan ke kementrian/lembaga Semua barang yang diperoleh dari dana dekonsentrasi merupakan milik negara namun dapat dihibahkan kepada daerah Dibatasi untuk membiayai kegiatan non-fisik Untuk membiayai pelimpahan Tugas Pembantuan kepada Daerah dan/atau Desa Kepala Daerah memberitahukan rencana kerja dan anggaran yang berkaitan dengan kegiatan Tugas Pembantuan kepada DPRD saat pembahasan RAPBD Dilaksanakan oleh SKPD yang ditunjuk Kepala Daerah SKPD yang melaksanakan melaporkan ke Kepala Daerah dan kemudian dilaporkan ke kementrian/lembaga Semua barang yang diperoleh dari dana tugas pembantuan merupakan milik negara namun dapat dihibahkan kepada daerah

Kegunaan dana

Keterkaitan dengan perencanaan di daerah

Merupakan bagian dari proses perencanaan APBD

Yang melaksanakan Pertanggungja waban

Dilaksanakan oleh SKPD yang terkait dengan jenis DAK Merupakan bagian dari proses pertanggungjawaban APBD

Yang terkait Semua barang yang dengan aset diperoleh dari DAK otomatis merupakan aset daerah

Kegiatan yang Dapat digunakan untuk dapat dibiayai membiyai kegiatan pembangunan fisik dan non-fisik Dana Memerlukan dana pendamping pendamping sekurangkurangnya 10% Sisa dana di Tidak diatur Undangakhir tahun undang anggaran

Dapat digunakan untuk membiyai kegiatan pembangunan fisik dan non-fisik Tidak memerlukan dana Tidak memerlukan dana pendamping pendamping Saldo kas dikembalikan Saldo kas dikembalikan ke rekening kas umum ke rekening kas umum negara negara

3. Pentingnya Pengalihan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Yang Membiayai Urusan Daerah Menjadi DAK Undang-undang 33/2004 telah mengamanatkan pengalihan Dana Dekon dan TP tertentu ke DAK. Berikut beberapa argumen yang mendukung kebijakan tersebut: (i) Disiplin Fiskal (Fiscal Dicipline) Kebijakan pengalihan tersebut dapat dipandang sebagai sebuah upaya untuk memperkuat pelaksanaan desentralisasi fiskal serta penegakan prinsip fiscal discipline. Program desentralisasi harus didukung oleh disiplin fiskal untuk meningkatkan efisiensi alokasi. Harus jelas siapa melakukan apa dan siapa membiayai apa. Disiplin fiskal dapat mengurangi kemungkinan terjadi tumpang tindih pembiayaan urusan dan dengan sendirinya meningkatkan efisiensi belanja pemerintahan. Urusan yang telah didesentralisasikan harus dibiayai dengan dana desentralisasi (dana perimbangan dan berbagai pendapatan daerah). Pemerintah pusat sebagai pembuat kebijakan desentralisasi harus secara tegas menggariskan bahwa kementrian/lembaga pusat tidak diperbolehkan membiayai urusan desentralisasi. (ii) Memperkuat Akuntabilitas Dari sudut pandang akuntabilitas politik (political accountability) pengalihan Dana Dekon dan TP yang membiayai urusan desentralisasi ke DAK akan memperjelas prosesnya di daerah, karena DAK adalah bagian dari APBD maka segala proses mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan adalah merupakan bagian dari proses politik lokal. Sehingga program/kegiatan yang dibiayai DAK diharapkan akan semakin akuntabel dan merasa dimiliki oleh masyarakat daerah. Urusan daerah dibiayai dengan anggaran kementrian/lembaga pusat dalam bentuk Dana Dekon dan TP, akan mengaburkan akuntabilitas politik. Saling lempar tanggung jawab bisa saja terjadi. Di satu sisi, pemerintahan di daerah dapat melempar tanggungjawab ke kementrian/lembaga pusat. Disisi lain, kementrian/lembaga pusat dapat pula menghindar dari tanggung jawab dengan mengatakan telah menugaskan ke daerah. Dari sisi pengelolaan keuangan, pengalihan dana pusat yang membiayai urusan daerah ke DAK akan meningkatkan akuntabilitas keuangan (financial accountability). Pengalihan juga akan memudahkan pihak berkepentingan untuk menelurusi jumlah dana yang telah digunakan untuk membiayai bidang tertentu di daerah. (iii) Mengurangi Standar Ganda di Daerah Dana Dekon dan TP dapat menimbulkan standar biaya yang ganda di daerah. Biasanya standar biaya yang digunakan oleh Dana Dekon dan TP tergantung kepada standar biaya dari anggaran kementrian/lembaga pusat terkait. Sedangkan daerah memiliki standar biaya daerah sendiri yang biasanya ditetapkan dengan peraturan kepala daerah. Standar

ganda muncul pada SKPD yang melaksanakan APBD serta juga melaksanakan kegiatan yang dibiayai dengan Dana Dekon dan TP. Dengan pengalihan Dana Dekon dan TP yang membiayai urusan daerah menjadi DAK tentunya akan mengurangi praktek standar ganda. Kedepan, hal ini perlu menjadi perhatian kementrian/lembaga pusat terkait. Bagaimanapun juga Dana Dekon dan TP tetap akan ada karena urusan pusat yang di daerah tidak akan pernah habis. (iv) Mendukung Efektifitas DAK Di zaman orde baru, bantuan dari pusat banyak yang bersifat spesifik atau bersyarat. Bantuan umum sangat sedikit, itupun masih di blok untuk pembangunan, yang disebut Inpres Dati I dan Inpres Dati II. Bantuan spesifik disediakan untuk berbagai bidang seperti pendidikan dasar dan pelayanan kesehatan tingkat pertama, pembangunan/pemeliharaan jalan kabupaten/kota, dll. Bantuan spesifik di era tersebut dianggap cukup efektif untuk mempengaruhi pola belanja pemerintah daerah. Belanja Pemda sangat terpaut dengan program nasional dan dapat dikatakan bahwa keleluasaan Pemda sangat sedikit. Kondisi tersebut kemudian terbalik sejak penerapan UU 22/99 dan UU 25/99. Daerah sangat leluasa untuk menggunakan dana desentralisasi karena sebagian besar berupa bantuan tanpa syarat (bantuan umum) dalam bentuk DAU dan Bagi Hasil. Jumlah bantuan spesifik (DAK) sangat kecil, hanya sekitar 2-3% dari total dana perimbangan. Sehingga bagaimanapun bagusnya kriteria pembagiannya, DAK tetap saja kurang efektif untuk mempengaruhi pola belanja daerah. Handra (2005) menemukan kasus disebuah daerah dimana penyediaan DAK oleh pusat justru mengakibatkan daerah tersebut mengurangi alokasi pembiayaan pelayanan pendidikan dan kesehatan, dari sumber pendapatan daerah lainnya (PAD, DAU dan Bagi hasil). DAK yang jumlah nya kecil dan hanya mengharuskan 10% dana pendamping menjadi semakin tidak efektif untuk peningkatan pelayanan publik. Memperhatikan kemampuan keuangan negara dan porsi dana perimbangan yang telah di transfer dalam bentuk DAU dan bagi hasil, maka sangat kecil kemungkinan DAK dapat ditingkatkan jumlah nya agar efektif untuk mempengaruhi pola belanja Pemda. Dengan itu pengalihan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan menjadi semakin penting untuk mendukung kecukupan DAK dalam mempengaruhi pola belanja daerah. Meskipun begitu perlu penelitian lebih lanjut untuk menjawab pertanyaan, berapa besar DAK agar efektif untuk mempengaruhi pola belanja daerah? (v) Pemerataan Fiskal (Fiscal Equalisation) Salah satu persoalan yang dihadapi Indonesia sejak pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah meningkatnya ketimpangan antar daerah (horizontal imbalance). Berbagai tulisan yang mendukung pernyataan diatas diantaranya dapat dilihat dalam Hofman & Kaiser (2002), Fane (2003), Lewis (2003) dan Handra(2005). Dari sudut pandang kapasitas fiskal daerah, peningkatan ketimpangan horizontal antar daerah terutama disebabkan

bagihasil pajak dan bukan pajak dari pusat ke daerah. Daerah-daerah tertentu mendapatkan bagihasil yang sangat besar, sementara kebanyakan daerah tidak. DAU sebagai equalisation grant memang diakui telah dapat mengurangi ketimpangan fiskal. Namun jika dibandingkan dengan ketimpangan fiskal di era orde baru, ketimpangan fiskal yang ada sekarang masih jauh lebih tinggi (Handra, 2005). Meningkatnya ketimpangan fiskal antara kabupaten/kota akan meningkatkan ketimpangan kemampuan daerah untuk membiayai pelayanan publik lokal. Dengan sendirinya hal ini akan menjadi satu faktor pemicu bagi peningkatan ketimpangan tingkat pelayanan publik antar daerah. Dengan UU 33/2004, ada optimisme untuk terjadinya penurunan ketimpangan fiskal antar daerah terutama dengan penegasan peran dari DAU dan kejelasan kriteria pembagian DAK. DAU dan DAK dengan UU 33/2004 telah disatukan ke dalam mekanisme pemerataan kemampuan fiskal antar daerah. Dana Dekon dan TP berpotensi untuk meningkatkan ketimpangan fiskal antar daerah, karena alokasinya berorientasi sektoral dan cenderung mengabaikan ketimpangan fiskal antar daerah (Elfindri & Handra, 2005). Pengalihan Dana Dekon dan TP yang membiayai urusan daerah menjadi DAK tentunya akan semakin memperkuat mekanisme pemerataan. 4. Problem dan Tantangan Pengalihan Dana Dekon dan TP Bagian di atas memberikan argumentasi pentingnya pengalihan Dana Dekon dan TP yang membiayai urusan daerah menjadi DAK. Namun diperkirakan proses pengalihan ini akan berhadapan dengan berbagai problem dan tantangan. Paling sedikit ada 3 masalah/tantangan pengalihan Dana Dekon dan TP menjadi DAK. Berikut uraiannya: Kejelasan pembagian urusan antara pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Tantangan utama yang dihadapi dalam upaya menerapkan kebijakan fiscal discipline ini adalah kejelasan pembagian urusan antar tingkat pemerintahan. Pengalihan Dana Dekon dan TP menjadi DAK menuntut kejelasan tetang pembagian urusan tersebut. Tanpa kejelasan pembagian urusan, akan sulit untuk menentukan mana yang harus dialihkan mana yang tidak. Bidang yang secara jelas menjadi urusan pusat namun diselenggarakan di daerah tentunya tetap dapat dibiayai dengan dana dekon dan TP. Pembagian urusan antar tingkat pemerintahan merupakan salah satu permasalahan Indonesia terutama sejak desentralisasi dengan UU 22/99. Upaya pertama yang pernah dilakukan adalah dengan mengeluarkan peraturan pemerintah tentang kewenangan pusat dan propinsi (PP 25/2000). Peraturan ini mengandung banyak kelemahan dan kontroversi dalam pelaksanaannya. Daerah sekarang sedang menunggu peraturan pengganti PP 25/2000 tetang pembagian urusan antar tingkat pemerintahan di segala bidang. Diharapkan peraturan yang akan dikeluarkan tersebut dapat memperjelas pembagian urusan. Namun diperkirakan akan tetap ada bidang urusan tertentu yang menyisakan

permasalahan. Untuk itu ada rencana bahwa kementrian/lembaga pusat diberi kewenangan untuk mengatur lebih lanjut pembagian urusan yang sangat teknis (lihat draft rancangan PP tentang pembagian urusan pemerintahan di http://www.ditjenotda.go.id). Sempitnya Definisi DAK mengurangi fleksibilitas dalam menampung berbagai cara Kementrian/Lembaga untuk menyalurkan dana sektoral. DAK dalam peraturan perundang-undangan kita telah diterjemahkan secara sempit. DAK yang sekarang dipraktekkan pada dasarnya adalah sejenis matching grant, yaitu bantuan spesifik yang mensyaratkan dana pendamping. Padahal bantuan spesifik itu sangat beragam jenisnya, mulai dari bantuan spesifik yang diblok untuk bidang pelayanan tertentu sampai kepada bantuan spesifik yang dikompetisikan (competitive grant). Bahkan matching grant sendiri juga dapat dijadikan open-ended matching grant (alokasi per daerah serta jumlah dana pendamping yang diperlukan tergantung kepada tingkat pelayanan yang dibiayai) atau close-ended matching grant (alokasi per daerah dan jumlah dana pendamping sudah ditentukan dari awal) Penyempitan definisi DAK di peraturan perundang-undangan menyulitkan kementrian/lembaga untuk mengalihkan Dana Dekon dan TP ke DAK. Kementrian/lembaga punya berbagai macam cara/metode dalam mengalokasi anggarannya ke daerah dan belum tentu kesemuanya dapat diakomodasi oleh DAK menurut aturan yang sedang berlaku. Resistensi Kementrian/Lembaga Pusat Pengalihan Dana Dekon dan TP yang membiayai urusan daerah menjadi DAK memiliki konsekuensi berkurangnya anggaran kementrian/lembaga. Konsekuensi inilah yang biasanya sulit diterima oleh lembaga pemerintahan di Indonesia. Lembaga pemerintahan di Indonesia sudah terbiasa dengan praktek anggaran tradisional yang bersifat line-item dan incremental. Turunnya anggaran, meskipun akibat pengalihan itemnya ke lembaga lain seringkali dianggap sebagai punishment bagi lembaga tersebut. Selain itu, pengalihan akan mengurangi peranan kementrian/lembaga pusat terhadap program sektoral di daerah. Meskipun kementrian/lembaga pusat dapat memiliki peranan dalam membuat petunjuk teknis penggunaan DAK, namun sebagian kontrol terhadap alokasi dana tersebut ke daerah ditarik oleh mekanisme dana perimbangan. Kehilangan kontrol terhadap pengalokasian dana serta berkurangnya anggaran kementrian/lembaga jelas akan menimbulkan resistensi terhadap proses pengalihan tersebut. Sehingga apabila pembagian urusan antara pusat dan daerah tetap tidak jelas dan memunculkan berbagai interpretasi, proses pengalihan tidak akan dapat berjalan sebagai mana yang diharapkan oleh kebijakan desentralisasi fiskal.

5. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan pengalihan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang membiayai urusan desentralisasi menjadi Dana Alokasi Khusus adalah sebuah kebijakan penting dalam rangka peningkatan disiplin fiskal dan penguatan desentralisasi fiskal. Kebijakan ini juga akan mendukung akuntabilitas, mengurangi standar ganda di daerah, mendukung efektifitas DAK, serta memperkuat mekanisme pemerataan fiskal antar daerah. Namun kebijakan tidak dengan mudah dapat dilaksanakan. Paling tidak ada tiga permasalahan dan tantangan akan dihadapi dalam proses pengalihan tersebut. Pertama adalah kejelasan pembagian urusan antara pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Kedua penyempitan definisi DAK dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang sehingga menyulitkan kementrian/lembaga dalam mengalihkan Dana Dekon dan TP. Ketiga adalah resistensi kementrian/lembaga yang memiliki anggaran untuk Dana Dekon dan TP yang cukup besar dan telah terbiasa melaksanakan Dana Dekon dan TP tanpa melihat apakah itu menjadi urusan daerah atau tidak. Tidak mudah memang untuk mengharmoniskan antara pembangunan dengan pendekatan regional dan pembangunan dengan pendekatan sektoral. Desentralisasi Fiskal pada dasarnya adalah untuk mendukung pembangunan dengan pendekatan regional. Desentralisasi fiskal adalah memberi keleluasaan fiskal bagi wilayah otonom. Sedangkan pembangunan dengan pendekatan sektoral memberi penekanan kepada tercapainya sasaran nasional secara sektoral. Akan selalu ada pihak yang mewakili masing-masing pendekatan pembangunan. Depkeu dan Depdagri dapat dianggap sebagai pihak yang mewakili pendekatan desentralisasi fiskal, sedangan Departemen Teknis/Sektoral mewakili pihak yang mewakili pendekatan pembangunan sektoral. Untuk itu, proses pengalihan Dana Dekon dan TP yang membiayai urusan daerah menjadi DAK memerlukan sebuah kebijakan yang dirancang secara bersama terutama oleh kedua pihak yang terkait serta pemerintah daerah. Daftar Bacaan Alm, James, R.H.Aten dan Roy Bahl (2001) Can Indonesia Decentralize successfully? Plans, Problems and Prospects, Bulletin of Indonesian Economic Studies (BIES) 37 (1), hal. 83-102. BPS, Bappenas dan UNDP (2005): Indonesian Human Development Report 2004: The Economics of Democracy: Financing Human Development in Indonesia , BPS, Bappenas and UNDP. Elfindri & Handra (2005), Perimbangan Keuangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah: Tantangan Bagi Pemerataan Pelayanan Publik, Makalah disampaikan pada Semiloka Evaluasi Kebijakan Dana Dekonsentrasi, Jakarta 2-3 Juni 2005. Fane, George, 2003, 'Change and Continuity in Indonesia's New Fiscal Decentralisation Arrangements', BIES Vol.39, No.1, p.156-176.

Handra, Hefrizal (2005), "A Study of Indonesia's Fiscal Equalisation Mechanims In the Early Stages of Decentralisation", Ph.D Thesis, Faculty of Social Science, Flinders University of South Australia. Hidayat, S. (2001) Hubungan kekuasaan Pusat-Daerah Dalam Perspektif Elit Penyelenggara Pemerintah Daerah, dalam Sjarif Hidayat (ed.), Otonomi Daerah dalam Perspektif Lokal, P2E-LIPI. Hofman, Bert & Kaiser, Kai, 2002, The Making of the Big Bang and its Aftermath: A Political Economy Perspective, Paper Presented at the Conference: Can Decentralization Help Rebuild Indonesia? May 1-3 2002, Andrew Young School of Policy Studies, Atlanta. Lewis, Blane D. (2001) The New Indonesian Equalization Transfer, BIES 37 (3), hal. 309-324. Lewis, Blane D., 2003, 'Indonesia', Chapter 5 in Intergovernmental Fiscal Transfers in Asia: Current Practice and Challenges for the Future, edited by Paul Smoke & Yun-Hwai Kim, Asian Development Bank, available at: http://www.adb.org/Documents/Books/Intergovernmental_Fiscal_Transfers/default. asp, accessed by July 2003. Lewis, Blane D. Jasmin Chakeri (2004) Central Development Spending in the Regions Post-Decentralization, BIES, Vol 40, No. 3, hal. 379-394. Matsui, Kazuhisa (2005) Post-Decentralization Regional Economies and Actors: Putting the Capacity of Local Government to The Test, The Developing economies, XLIII-1, march, hal 171-189. Smith B.C. (1985) Decentralization: The Teritorial Dimension of the State , George Allen & Irwin. Van De Walle, Dominique (1998) Assessing the Welfare Impacts of Public Spending, World Development, Vol 26, No. 3, hal 365-379. Rondinelli, Denis, 'What is Decentralisation? in Decentralisation Briefing Notes, World Bank Institute, available in http:/www.worldbank.org/. Silver Christover, Iwan J. Aziz dan Larry Scroeder (2001) Intergovernmental Transfers and Decentralization in Indonesia, BIES 37 (3), hal. 345-363. Unity in Diversity? He Creation of New Local Governments in a Decentralizing Indonesia (2005), BIES, Vol 41 (1), hal. 57-80. Undang undang 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang undang 33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

10

Lampiran 1. (Dari tulisah Elfindri dan Handra (2005). Dana Dekonsentrasi menurut UU 32/2004 dan UU 33/2004 Mengacu kepada UU 32/2004, yang bisa menerima pelimpahan kewenangan dekonsentrasi adalah gubernur dan instansi vertikal di daerah, sebagaimana menurut Pasal 1.8:
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah ke Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu

Coba bandingkan dengan (www.worldbank.org.) berikut:

definisi

Dekonsentrasi

menurut

Rondinelli

The redistribution of decision making authority and financial and management responsibilities among different levels of the central government.

Dari definisi Rondinelli, dapat dikatakan bahwa istilah dekonsentrasi hanya berlaku dalam satu organisasi pemerintahan. Istilah dekonsentrasi tidak digunakan dalam pendelegasian wewenang ke pemerintahan otonom lainnya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dekonsentrasi adalah pendistribusi kewenangan oleh Pemerintah Pusat kepada kantor wilayah/cabang nya. Dengan itu dapat diartikan bahwa Gubernur adalah juga merupakan bagian dari pemerintah (sebagai wakil pemerintah di daerah). Hal ini memperlihatkan adanya peran ganda dari gubernur (1) sebagai kepala daerah otonom dan (2) sebagai wakil pemerintah di daerah. Berbeda dengan UU 32/2004, definisi dekonsentrasi berdasarkan UU 33/2004 lebih dipersempit lagi, sebagaimana tertulis di Pasal 1.9:
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah ke Gubernur sebagai wakil pemerintah.

UU 33/2004 mempersempit definisi dekonsentrasi menjadi hanya pelimpahan wewenang ke gubernur, tidak termasuk pelimpahan wewenang ke kantor wilayah/cabang. Penyempitan definisi oleh UU 33/2004 ini nampaknya ditujukan untuk mempersempit peran dari dana dekonsentrasi. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah wewenang yang dilimpahkan ke gubernur sebagai wakil pemerintah bisa lebih banyak dari yang tertulis pada UU 32/2004 pasal 38, (1) pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota (2) koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah propinsi dan kabupaten/kota (3) koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah propinsi dan kabupaten/kota. Definisi kewenangan dekonsentrasi menurut UU 33/2004 secara konsisten diikuti dengan pendefinisian dana dekonsentrasi, sebagaimana tertulis dalam Pasal 1.26:

11

Dana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran yang dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah

Prinsip yang melandasi disediakannya Dana Dekonsentrasi adalah Money Follow Functions. Sebagai mana tertera pada UU 32/2004 pasal 12 ayat 2:
Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada gubernur, disertai dengan pendaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan

Kemudian diperkuat oleh UU 33/2004 Pasal 87 ayat 1 yang menyatakan bahwa Dana dekonsentrasi disediakan setelah adanya pelimpahan wewenang Pemerintah melalui kementrian negara/lembaga kepada gubernur. Namun kemudian UU 33/2004 pasal 87 ayat 7 membatasi jenis pelimpahan wewenang yang bisa dibiayai dengan dana dekonsentrasi yaitu hanya yang bersifat non-fisik. Sebuah pertanyaan yang sangat prinsipil adalah apa tujuan yang ingin dicapai dengan disediakannya dana dekonsentrasi. Dari analisis terhadap pasal demi pasal secara khusus di UU 33/2004, dapat disimpulkan bahwa ada dua tujuan disediakannya dana dekonsentrasi: Pasal 2.3 UU 33/2004 menyatakan bahwa Dana Dekonstrasi adalah bagian integral dari Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pasal ini mengisyaratkan agar pembagian dana dekonsentrasi ke gubernur dalam pelaksanaan tugas dekonsentrasi nya harus mempertimbangkan aspek equity (keadilan). Maksudnya adalah pen-distribusian dana dekonsentrasi ke gubernur tidak saja dihitung berdasarkan kebutuhan untuk membiayai pelimpahan wewenang, tetapi juga didistribusikan dengan mempertimbangkan aspek 'keadilan'. Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin? Apa mungkin ada metode pendistribusian dana dekonsentrasi yang mempertimbangkan kedua tujuan sekaligus. Ada propinsi yang memiliki kemampuan fiskal (dari PAD, dan dana perimbangan lainnya) yang jauh sangat tinggi, namun ada yang jauh sangat rendah. Kemampuan fiskal daerah pada dasar nya telah di pertimbangkan pada formula DAU dan DAK. Yang menjadi pertanyaan, apa juga mungkin kemampuan fiskal daerah tersebut dipertimbangkan dalam pembagian dana dekonsentrasi? Dana dekonsentrasi hanya boleh digunakan untuk membiayai kegiatan non fisik, maka fokus dana dekonsentrasi sebaiknya untuk mengatasi problem inter-personal income inequality (ketimpangan pendapatan antar penduduk) yang memang menjadi urusan pusat seperti penyediaan jaminan (asuransi) kesehatan dan beasiswa pendidikan untuk penduduk miskin agar mereka dapat meng-akses pelayanan publik.

12

Anda mungkin juga menyukai