Anda di halaman 1dari 3

Batik Sebagai Budaya Tradisional

Nama NIM

: ANUNG ARI NUGROHO : K3209002

PENDIDIKAN SENI RUPA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2013

Batik adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang mengandung nilai-nilai tradisi budaya indonesia. Namun nilai pada batik Indonesia bukan hanya semata-mata pada keindahan visual. Lebih jauh, batik memiliki nilai filosofi yang tinggi serta sarat akan pengalaman transendenitas. Nilai inilah yang mendasari visualisasi akhir yang muncul dalam komposisi batik itu sendiri (Doellah, 2002). Menurut falsafah jawa, batik adalah suatu cara untuk mencapai transendensitas. Transendenitas itu sendiri merupakan salah satu cara untuk beribadah pada Tuhan. Karena itulah, dilakukan berbagai upaya untuk berada atau menggambarkan transendenitas tersebut (Hamzuri, 1981). Hal ini dapat dipahami, karena hampir seluruh bentuk kesenian tradisi Indonesia pembuatannya bertujuanntuk menciptakan penyelarasan dan harmonisasi. Dalam hal visual, pemilihan ornamen yang muncul biasanya berasal dari lingkungan sekitar yang dianggap mampu merepresentasi maksud yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat dari pola Kawung yang mengadopsi bentuk bunga yang sedang mekar. Selain itu, motif ini sekilas terlihat seperti biji yang merujuk pada pertumbuhan dan kesuburan. Lebih jauh, pola ini juga menampilkan sistem kepercayaan saat itu, yaitu mancapat-macapat sekaligus pengembangannya, yaitu pola sembilan. Contoh lain dapat dilihat dari pola parang Barong yang merupakan stilasi bentuk dari senjata keris. Pada masa itu,keris merupakan senjata yang sekaligus menjadi penanda status sosial. Senjata merupakan representasi dari kekuasaan dan pemerintahan, sedangkan penanda status sosial dengan sangat jelas mengacu pada strata sosial tertentu, yang dalam hal ini adalah Raja dan para bangsawan. Dalam ranah Non Geometris,dapat kita lihat pola Alas-alasan yang menggambarkan kehidupan belantara hutan yang liar. Stilasi hewan yang ditampilkan bertolak pada hewan-hewan yang ada di alam sekitarnya atau mengadopsi dari hewan-hewan Mitologi,seperti Garuda yang merupakan pengaruh agama Hindu Selain itu, setiap ornamen yang muncul pada satu kesatuan pola batik bukanlah tanpa maksud. Karena meskipun memiliki kecenderungan Horror ,ornamen yang muncul diharapkan mampu memberikan suatu hal yang positif,bukan hanya mengisi ruang kosong agar tidak di isi oleh sesuatu yang lain. Hal ini dapat dilihat dalam pola batik Bondhet yang secara keseluruhan mengusung tema tentang penyelarasan atau transendensi antara dunia atas dan dunia bawah Transendenitas tersebut berusaha ditampilkan bukan hanya melalui motif lar (turunan bentuk garuda,dunia atas) yang disekelilingnya dibentuk oleh ular (dunia bawah), tetapi juga tersampaikan pada pemilihan warnanya,yang berkisar antara warna hitam, merah dan coklat. Telah kita ketahui sebelumnya

bahwa dalam kepercayaan Jawa warna merah mewakili dunia atas,hitam representasi dari dunia bawah sedangkan coklat adalah dunia tengah pada pencampuran kedua warna tersebut. Untuk pemilihan warna pada batik keraton Surakarta ini lebih memberikan kesan gradasi dibanding kesan kontras antara satu warna dengan yang lain. Halini bertolak pada falsafah yang mengajarkan bahwa segala sesuatunya harus dilakukan perlahan-lahan dan berproses. Hal ini diperkuat dengan prosespewarna alami yang membutuhkan beberapa kali membabaran untukmeningkatkan kepekatan warna. Hasil akhir pewarnaannyapun lebih lembut dantidak mencolok mata. Dalam hal ini penulis juga melihat persamaan dasar antara kegiatan membatik dengan seni cetak Grafis. Kedua bentuk kesenian tersebut selain menghargai proses ritual pengerjaannya (bukannya melulu visualisasi akhir),juga menerapkan teknik negatif, dimana bagian yang dicukil atau dibubuhi malam adalah bagian yang resist terhadap warna Selain itu, jika dalam membatik pada proses pewarnaan dengan pewarna alam mengandung makna filosofi perjalanan bertahap dalam upaya mendekatkan diri dengan Yang mahaKuasa. Dalam seni grafis, hal tersebut dapat dilihat dalam Etsa saat melakukan teknik pengasaman bertingkat untuk menghasilkan tingkat kepekatan warna yang berbeda-beda (Fraser-Lu, 1986).

Daftar pustaka: H. Santosa Doellah, 2002, Batik Pengaruh Zaman dan Lingkungan, (Surakarta : Danar Hadi) Hamzuri, 1981, Batik Klasik , (Jakarta : Penerbit Djambatan) Fraser-Lu, 1986,Indonesian Batik :Processes, Patterns, and Places,Singapore Univesity Press

Anda mungkin juga menyukai