Anda di halaman 1dari 3

17/10/13

Kamis, 17 Oktober 2013

Memahami Nahwu dengan Pendekatan Filsafat | Situs Resmi Nahdlatul Ulama | NU Online
Language : Bahasa Indonesia
CARI

Find us on:

Beranda

Warta

Fragmen

Seni Budaya

Halaqoh

Kolom

Pesantren

Tokoh

Buku

Humor

Tentang NU

Index

TEKNOLOGI

Kolom

Memahami Nahwu dengan Pendekatan Filsafat


Print Download Send
Share

Tw eet

Ahad, 18/11/2012 08:18

Oleh Mohamed Abul Fadlol Af

Space Iklan 300 x 80 Pixel Nahwu merupakan kumpulan kaidah-kaidah linguistik klasik bangsa Arab. Dalam perjalanannya, ilmu nahwu telah mengalami proses panjang dalam peletakan, perkembangan dan segala perdebatan. Menurut satu versi historis, ilmu nahwu untuk pertama kali muncul pada masa khalifah Ali Bin Abi Thalib lewat perantara Abu al-Aswad al-Dualy. Munculnya ilmu nahwu dilatarbelakangi oleh semakin meluasnya kesalahan-kesalahan dalam berbahasa Arab menurut standar fasih, atau yang biasa kita sebut sebagai Lahn. Hal ini disebabkan kondisi sosial masyarakat Arab pada saat itu yang mulai bercampur dengan bangsa Ajam pasca meluasnya wilayah Islam ke negara-negara sekitar.
Dalam kitab Qawaid al-Asasiyah karangan Sayyid Ahmad al-Hasyimi misalnya, diriwayatkan bahwa putri Abu al-Aswad salah dalam mengucapkan shighat taajub ketika melihat gemerlap bintang di langit. Kalimat yang seharusnya dipakai adalah Ma ahsana as-sama namun diucapkan rafa sehingga menjadi Ma ahsanu as-sama. Selain itu juga diriwayatkan kesalahan bahasa yang lain seperti seorang Ajam yang salah dalam membaca surat at-Taubah ayat 3. Pembacaan yang benar adalah dengan membaca rafa pada lafadz Rasuluhu dalam ayat Innallaaha bariiun min almusyrikiina wa rasuuluhu namun orang ajam tersebut membacanya dengan jer. Sehingga makna yang dihasilkan sangat berbeda dan kontradiksi dengan makna asli yang dimaksudkan. Oleh karena itu ilmu nahwu dicetuskan dengan tujuan menjaga lisan dari kesalahan dalam pengucapan, baik dalam bahasa sehari-hari atau dalam pelafadzan ayat al-Qur'an.

Laporan Donasi

Di setiap pesantren, ilmu nahwu merupakan pelajaran primer yang wajib dikuasai santri. kepada kami melalui email: redaksi@nu.or.id >>>Simak jug >>>Kritik, mata saran, informasi atau artikel dapat dikirimkan Karena dengan ilmu ini, khazanah keilmuan Islam yang sangat luas dapat diselami secara mendalam. Jelas saja, keilmuan Islam dari zaman klasik sampai sekarang diwariskan dalam bentuk buku yang berbahasa Arab atau yang lebih populer disebut dengan Kitab kuning. Tanpa nahwu, seseorang tidak akan bisa membaca kitab kuning, sehingga wajar jika nahwu memperoleh julukan Abu al-Ilmi bersanding dengan sharaf sang Ummu al-Ilmi. Oleh karena itu, indikator Space Iklan keberhasilan santri dalam belajar ditandai dengan penguasaan terhadap gramatikal Arab ini.

305 x 150 Pixel

Di sisi lain, kebanyakan santri sering mengeluh karena banyak hafalan yang harus disetorkan untuk memenuhi standar kompetensi yang dicanangkan pesantren, yakni nadzam-nadzam nahwu seperti Imrithy atau Alfiyah. Hal ini menyebabkan santri terkadang merasa jenuh dengan materi nahwu. Lebih dari itu, keberadaan nahwu mulai terpinggirkan karena santri-santri lebih menyukai diskusi teologi. Apalagi ketika seorang santri telah melewati tingkatan Alfiyah, nahwu serasa kurang penting dan menarik untuk dipelajari. Filsafat itu penting Perkembangan filsafat dari zaman klasik sampai dengan postmodern telah memberikan sumbangan tak ternilai untuk kelangsungan kehidupan manusia. Masa kejayaan dinasti Abbasiyah sendiri tidak lepas dari campur tangan filosof-filosof hebat. Misalnya, Ibnu Rusyd, Ibnu Shina, Ibnu Khaldun, Ibnu Razi, al-Ghazali, dan masih banyak lagi. Karena dengan filsafat, manusia mampu menemukan hal yang awalnya tidak mungkin menjadi mungkin. Filsafat merupakan metode berfikir secara radikal dan sistematis yang melahirkan berbagai disiplin pengetahuan. Di masa dinasti

Populer Puasa Sunnah 9 Dzulhijjah

Terkomentar

Kisah Hasan al-Bashri Melihat Orang Pacaran Gus Mus: Islam Kita Bukan Islam Saudi Arabia Kapten Timnas U-19 itu Jebolan SMA NU Shafta Hukum Rambut Rontok saat Junub Hebatnya Banser

www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,40823-lang,id-c,kolom-t,Memahami+Nahwu+dengan+Pendekatan+Filsafat-.phpx

1/3

17/10/13

Memahami Nahwu dengan Pendekatan Filsafat | Situs Resmi Nahdlatul Ulama | NU Online
Aqiqah Bayi yang Meninggal Ikuti Lomba Cipta Kata dan Foto NU Online Apakah Pelaku Bom Bunuh Diri Masuk Surga? Enam Amalan Sunnah di Idul Adha

Abbasiyah, para filosof Islam berhasil melahirkan temuan-temuan baru dalam bidang sains, dan teknologi. Sehingga nama-nama mereka masyhur sampai ke daratan Eropa. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa Islam adalah kiblat pengetahuan dunia pada waktu itu. Namun di kalangan pesantren, filsafat kurang begitu populer. Ini disebabkan karena adanya anggapan bahwa filsafat selalu menyesatkan pemikiran agama. Hal ini tentu saja tidak sepenuhnya benar dan tidak pula sepenunya salah. Memang, al-Ghazali dalam kitabnya Tahafuth al-Falasifah membatasi filsafat dalam dimensi ketuhanan. Namun, perlu diketahui juga bahwa filsafat tidak hanya berkutat tentang masalah ketuhanan. Karena objek filsafat secara umum ada tiga macam. Yaitu ketuhanan (teologis), alam (kosmologis) dan manusia (antropologis). Jadi, meskipun tidak berfilsafat dalam wilayah sakral, setidaknya santri-santri bisa berfilsafat dalam wilayah profan, yakni alam dan manusia. Kesimpulannya, tidak ada alasan bagi santri untuk tidak berfilsafat. Oleh karena itu, pembelajaran filsafat untuk santri harus sesegera mungkin diselenggarakan. Untuk mencapai tujuan ini tentunya tidak lepas dari kendala. Filsafat merupakan jenis keilmuan non agamis, jadi sangat tidak mungkin dimasukkan dalam kurikulum pesantren. Oleh karena itu diperlukan trik-trik khusus agar filsafat dapat diterima di pesantren, salah satunya adalah dengan menjadikan nahwu sebagai objek filsafat. Hal ini sangat mungkin, karena pada dasarnya ada persamaan mendasar antara nahwu dengan filsafat, yaitu menggunakan penalaran. Al-Jabiri dalam kitabnya Takwin al-Aql al-Araby mengatakan Jika filsafat adalah mukjizat bagi bangsa Yunani, maka tata bahasa adalah mukjizat bagi bangsa Arab. Dengan filsafat, pengetahuan yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Dengan nahwu, pengetahuan yang awalnya belum dipahami menjadi terberdaya. Menurut penulis, nahwu harus berselingkuh dengan filsafat, meninggalkan sharaf. Sehingga dua mukjizat ini bisa bersinergi untuk menghasilkan pengetahuan baru dengan cara yang berbeda. Nahwu feat Filsafat Unsur pokok dalam nahwu adalah Isim, Fiil dan Huruf. Karena ketiganya merupakan hal pertama yang ditetapkan dan disepakati di awal peletakan nahwu. Maka, ketiga kalimat inilah yang menjadi pondasi pokok agenda realisasi nahwu sebagai objek filsafat. Dalam kategori derajat, Isim menempati urutan teratas, karena Isim bisa membentuk kalam tanpa adanya Fiil dan Huruf. Isim adalah kalimat yang independen. Isim juga merupakan kalimat yang Qiyamuhu qinafsihi. Fakta lain, isim tidak terikat dengan waktu. Dan sifat-sifat ini hanya dimiliki oleh Allah, sehingga dapat disimpulkan bahwa Isim adalah bentuk dari filsafat ketuhanan. Sedangkan Fiil menempati urutan kedua. Ini disebabkan karena Fiil tidak bisa membentuk kalam sendirian tanpa adanya Isim. Ketiadaan isim berarti ketiadaan jumlah filiyah. Sebab lain, kalimat Fiil merupakan cetakan dari Isim (mashdar). Fiil juga terikat dengan waktu, sangat berbeda dengan Isim. Jika kita berfikir secara mendalam (radikal), maka kita akan sampai kepada satu kesimpulan bahwa substansi Fiil ada dalam alam. Karena alam tidak bisa berdiri sendiri. Alam juga merupakan hasil ciptaan Allah sang maha kuasa. Alam terikat dengan waktu sedangkan tuhan tidak. Adanya alam merupakan bentuk representasi bagi eksistensi tuhan. Fiil merupakan simbol dari filsafat alam. Yang terakhir adalah Huruf. Kalimat ini paling rendah derajatnya. Karena Huruf tidak bisa membentuk kalam tanpa adanya Isim dan Fiil. Bahkan tanpa adanya kalimat lain, makna aslinya tidak bisa ditentukan. Sama halnya dengan manusia, yang eksistensinya akan dipertanyakan tanpa adanya tuhan dan alam. Jenis terakhir adalah filsafat kemanusiaan. Harapan Manusia tidak bisa mengukur keberadaan tuhan lewat dzat. Namun manusia bisa berfikir lewat ciptaannya untuk menemukan keberadaan tuhan. Nahwu bisa dijadikan argumentasi atas keberadaan tuhan, meski dalam wilayah sendiri. Isim, Fiil dan Huruf merupakan sebuah gambaran kehidupan, dimana satu sama lain saling berkaitan dan tak terpisahkan. Penjelasan di atas hanya sebuah pengantar, dan belum mewakili secara keseluruhan. Dengan menjadikan nahwu sebagai objek filsafat, selain akan melahirkan istilah baru, juga akan membuat santri lebih antusias dan tidak cepat bosan dengan materi nahwu yang disampaikan, serta media untuk memperkuat iman kita kepada allah SWT. Berangkat dari sini, semoga pesantren bisa melahirkan kader-kader intelektual agamis yang mampu mengembalikan kejayaan Islam yang sekarang direbut bangsa barat. Tentu untuk merealisasikan hal tersebut tidaklah mudah. Namun, dengan kemauan yang keras, apapun bisa dilakukan. Harapan penulis adalah pesantren mampu menelurkan kader ummat layaknya Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, Ibnu Shina, dan al-Ghazali, yang sampai sekarang belum terwujud. Tasawuf yes, filsafat yes. Wallahu alam bi al-Shawab.

Space Iklan 305 x 269 Pixel

Galeri

Pembukaan Perwimanas I di Pesantren Babus Salam Jombang

Buletin Jumat
Selasa, 25/06/2013 10:00

Bulan Ruwah dan Kisah Sayyidina Umar ra


Sebagian tradisi masyarakat kita menamakan bulan syaban dengan nama bulan Ruwah yang berasal dari kata arwah. Yaitu...

Polling Apakah anda setuju dengan konsep dakwahtainment dalam siaran TV Setuju Tidak setuju Tidak tahu

Hasil

Vote

Space Iklan 305 x 100 Pixel

Agenda
Pref Mng Sen Oktober 2013 Sel Rab Kam Jum Next Sab

www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,40823-lang,id-c,kolom-t,Memahami+Nahwu+dengan+Pendekatan+Filsafat-.phpx

2/3

17/10/13

Memahami Nahwu dengan Pendekatan Filsafat | Situs Resmi Nahdlatul Ulama | NU Online
1 6 13 7 14 21 28 8 15 22 29 2 9 16 23 30 3 10 17 24 31 4 11 18 25 5 12 19 26

* Alumni pesantren al-Anwar Sarang Rembang

Komentar(3 komentar)
Selasa, 27/11/2012 06:56

kirim komentar

Nama: kholilur rohman koment saya sangat mendukung ilmu nahwu dikaji dengan filsafat. tapi sayang, kayaknya pondok al-anwar sarang rembang jarang dah ada pembahasan filsafat. filsafat hanya terbatas pada teologi alas'ariyah. tidak menyentuh filsafat lain. apalagi filsafat barat.
Ahad, 25/11/2012 06:23

20 27

Nama: m kunta khayra nahdliyin nahwu menjadi sebab ridla Allah Maju terus Nahwu... Banyak jalan menuju Sorga...salah satunya dengan Nahwu. contohnya Imam Sibawayh... qila: masuk sorga berkat ridla dan rahmat Allah gara-gara ilmu nahwu...Kasyifah alSaja li alSyaykh Nawawi alBantani alJawi
Ahad, 18/11/2012 13:01

Nama: Dwi Khoirotun Nisa' Like this note Sepakat banget. Ketika ditelusuri secara mendalam, memang nahwu 'mirip' dengan filsafat. Akan tetapi yang mungkin menjadi PR bagi kita (yang memang menggeluti dunia nahwu dan pesantren) adalah dengan lebih mengenalkan filsafat pada pesantren, karena memang 'imej' filsafat di mata umum adalah ruwet dan menyesatkan (padahal tidak sepenuhnya anggapan itu benar). Saya harap tulisan-tulisan seperti ini bisa ditayangkan lebih banyak lagi, dan juga semoga bisa dibaca oleh orang-orang pesantren, khususnya mereka yang mencintai nahwu. Lanjutkan....!

Space Iklan 305 x 120 Pixel

Powered by NU Online 2013 C opyright NU Online

www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,40823-lang,id-c,kolom-t,Memahami+Nahwu+dengan+Pendekatan+Filsafat-.phpx

3/3

Anda mungkin juga menyukai