Anda di halaman 1dari 23

Bab I

I.1 Latar Belakang

Pendahuluan

Kenampakan Pulau Jawa sekarang mencerminkan kondisi geologi masa kini dan geologi Neogen. Meskipun demikian jejak kondisi geologi yang lebih tua daripada Neogen masih dapat ditelusuri dari batuan Pra-Tersier dan Paleogen yang tersingkap ditempat-tempat tertentu di Pulau Jawa seperti di Ciletuh (Jawa Barat), Karangsambung, Bayat, dan Nanggulan (Jawa Tengah). Singkapan batuan Pra-Tersier, seperti yang ditunjukkan oleh singkapan batuan komplek melange (bancuh) Ciletuh, Jawa Barat, Luk Ulo di daerah Karangsambung, Kebumen dan komplek batuan metamorf Perbukitan Jiwo di daerah Bayat, Klaten yang diduga berlanjut ke arah Pegunungan Meratus di ujung tenggara Pulau Kalimantan, merupakan bagian dari zona subduksi berumur Kapur Akhir-Paleosen (Asikin, 1974; Hamilton, 1979; Suparka, 1988; Parkinson dkk., 1998) (Gambar I.1). Sementara Jalur magmatik Tersier di sepanjang Pulau Jawa menunjukkan sistem subduksi Tersier yang lebih muda (Soeria-Atmadja dkk., 1994) (Gambar I.2).

Berdasarkan bukti geologi di atas dapat disimpulkan bahwa selama Paleogen, yakni sejak Paleosen sampai Oligosen, terjadi evolusi geologi yang signifikan, terutama di wilayah Jawa bagian timur, ditandai dengan berubahnya arah zona subduksi yang pada zaman Kapur Akhir-Paleosen berarah timurlaut-baratdaya menjadi berarah barat-timur pada zaman Tersier (Gambar I.3). Fenomena tektonik ini penting untuk dipelajari karena: (I) sampai saat ini perubahan zona subduksi tersebut belum mendapat perhatian yang khusus dan mendalam; pembahasan yang pernah dibuat hanya bersifat regional (Hamilton, I979; Daly dkk., 1991;

Bransden dan Matthews, 1992; Soeria-Atmadja dkk., 1994; Parkinson dkk., 1998; Hall, 1996, 2002; Sribudiyani dkk., 2003), (2) evolusi tektonik tersebut berkaitan erat dengan perkembangan cekungan Tersier di wilayah Pulau Jawa dan sekitarnya. Disamping itu pada kenyataannya dewasa ini sebagian besar cadangan minyak dan gasbumi di Indonesia berasal dari cekungan Tersier yang produksinya dalam keadaan menurun (Pertamina-BPPKA, 1996).

2 Gambar I.1. Elemen-elemen tektonik di wilayah tenggara Paparan Sunda dan batas kerak kontinen dan jalur melange zaman Kapur (Hamilton, 1979). 2

3 Gambar I.2. Jalur magmatik Tersier Pulau Jawa (Soeria-Atmadja dkk., 1994). 3

4 Gambar I.3. Posisi lajur-lajur penunjaman (subduksi) Kapur dan Tersier (modifikasi dari Katili, 1975; Sujanto dan Sumantri, 1977). 4

Untuk mempertahankan produksi minyak dan gasbumi dibutuhkan target eksplorasi baru. Salah satu diantara hydrocarbon play yang berpotensi adalah berada di bawah Neogene play, yakni Paleogene play, yang telah terbukti dengan penemuan cadangan gasbumi yang cukup besar di daerah Banyuurip, Cepu pada reservoir karbonat Formasi Kujung yang berumur Oligosen (Satyana, 2002). Paleogene play menjadi alternatif yang menjanjikan untuk mempertahankan minyak dan gasbumi sebagai sumber devisa negara yang dapat diandalkan.

Berdasarkan uraian di atas penelitian ini akan difokuskan pada evolusi tektonik Paleogen Jawa bagian timur. Yang dimaksud dengan evolusi tektonik Paleogen di sini adalah perkembangan tektonik yang berkaitan dengan perubahan zona subduksi lempeng Indo-Australia yang pada zaman Kapur Akhir-Paleosen berarah baratdaya-timurlaut menjadi berarah barat-timur pada zaman Tersier Awal (Paleogen) di daerah Jawa bagian timur.

I.2 Daerah Penelitian Daerah penelitian mencakup daerah Jawa bagian timur yang meliputi bagian timur wilayah propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur (Gambar I.4). Daerah Jawa bagian timur dipilih sebagai daerah penelitian berdasarkan hal-hal sebagai berikut: Evolusi geologi sejak zaman Kapur sampai sekarang menghasilkan jejak-jejak struktur, khususnya di Pulau Jawa dan sekitarnya, yaitu: (1) struktur berarah timurlaut-baratdaya atau disebut Pola Meratus, (2) berarah utara-selatan atau disebut Pola Sunda, dan (3) berarah barat-timur atau disebut Pola Jawa (Pulunggono dan Martodjojo, 1994) (Gambar I.5). Di Jawa Timur, disamping Pola Jawa yang berasosiasi dengan struktur kompresional, terdapat pola struktur berarah barat-timur yang lain yang dikenal sebagai Pola Sakala (Pertamina-Robertson Research, 1986). Pola Sakala berasosiasi dengan zona sesar mendatar RMKS (Rembang-MaduraKangean-Sakala) yang menginversi struktur graben Tersier Awal. Dengan demikian wilayah Jawa bagian timur merupakan daerah unik secara struktural karena dua pola struktur utama, yakni Pola Meratus (arah TL-BD) dan Pola Jawa-Sakala (B-T), berpotongan di wilayah ini.

6 Gambar I.4. Daerah penelitian dan sebaran singkapan batuan Pra-Tersier dan batuan Paleogen di Jawa bagian Timur (modifikasi dari Gafoer dan Ratman, 1999; dan Amin, Ratman, dan Gafoer, 1999). 6

7 Gambar I.5. Arah pola struktur utama Pulau Jawa dan sekitarnya (modifikasi dari Pulunggono dan Martodjojo, 1994). 7

Dari tiga lokasi singkapan batuan tertua di Jawa, yakni di Ciletuh, Luk Ulo, dan Bayat, dua lokasi diantaranya, Luk Ulo-Karangsambung, Kebumen; dan Perbukitan Jiwo-Bayat, Klaten, terdapat di daerah Jawa bagian timur.

Data pendukung dan data bawah permukaan dari daerah ini cukup banyak mengingat daerah ini merupakan salah satu daerah sumber minyak dan gasbumi yang masih aktif dieksplorasi dan dieksploitasi.

Terdapatnya jaringan jalan atau akses yang mudah ke seluruh bagian daerah penelitian sehingga mendukung lancarnya pelaksanaan penelitian lapangan.

1.3 Perumusan Masalah Perkembangan tektonik Pra-Tersier Pulau Jawa telah banyak diteliti (Asikin, 1974; Katili, 1975; Hamilton, 1979; Suparka, 1988; Parkinson dkk., 1998, Wakita, 2000; Sapiie dkk., 2006). Penelitian terdahulu tersebut umumnya menunjukkan terdapatnya sistem subduksi Kapur Akhir di sepanjang jalur Ciletuh-Karangsambung-Meratus yang berarah timurlaut-baratdaya. Demikian pula halnya dengan sistem subduksi Neogen yang berzona subduksi di Palung Jawa yang berarah barat-timur dengan busur magmatik yang membentuk tulangpunggung Pulau Jawa. Sementara itu tektonik Paleogen sampai saat ini belum pernah dibahas secara khusus. Meskipun demikian perkembangan tektonik Paleogen secara tidak langsung telah digambarkan oleh peneliti-peneliti terdahulu dalam kaitannya merekonstruksi perkembangan tektonik Asia Tenggara ataupun Kepulauan Indonesia (Asikin, 1974; Katili, 1975; Hamilton, 1979; Daly dkk., 1991; Bransden dan Matthews, 1992; Soeria-Atmadja dkk., 1998; Parkinson dkk., 1998; Hall, 1996, 2002; Sribudiyani dkk., 2003). Hasil sintesa para peneliti terdahulu ini mengemukakan model tektonik berbeda-beda yang dapat dikelompokan menjadi tiga: Model non-rotasional, model rotasional, dan model mikrokontinen. Model non-rotasional beranggapan bahwa selama perkembangannnya zona subduksi jalur Meratus tidak dipengaruhi oleh gejala rotasi wilayah Daratan Sunda yang berasosiasi dengan benturan benua India dengan Asia. Zona subduksi jalur Meratus yang berarah timurlaut-baratdaya pada zaman Kapur berubah arahnya menjadi barat-timur pada zaman Tersier secara berangsur (Asikin, 1974;

Katili, 1975; Hamilton, 1979) (Gambar I.6). Model rotasional dapat dibedakan lagi menjadi model rotasional searah jarum jam dan model rotasional berlawanan jarum jam. Model rotasional searah jarum jam dikemukakan oleh Daly dkk. (1991) yang beranggapan bahwa arah zona subduksi Meratus semula berarah timurlaut-baratdaya.

Pada Paleogen bersamaan dengan tumbukan lempeng kontinen India dengan lempeng Eurasia, proses subduksi Meratus menjadi tidak aktif dan kemudian pada Neogen yang aktif adalah zona subduksi yang berarah barat-timur di palung Sunda (Gambar I.7.). Model tektonik rotasional lainnya dikemukakan oleh Hall (1996, 2002) namun dengan arah rotasi berlawanan jarum jam sehingga posisi Sumatra-Jawa pada Paleogen diperkirakan berorientasi lebih berarah utara-selatan (Gambar I.8). Sejak Eosen Awal sampai sekarang, Hall (1996) beranggapan bahwa Kalimantan terotasi berlawanan jarum jam karena dipengaruhi oleh pergerakan ke utara Benua Australia dan pergerakan ke barat Lempeng Samudera Pasifik. Pada Neogen zona subduksi di selatan Jawa menjadi berarah barat-timur dimana di bagian timur zona ini dipengaruhi oleh benturan Benua Australia dengan busur kepulauan Banda. Mekanisme rotasi berlawanan jarum jam juga dikemukakan oleh Soeria-Atmadja dkk. (1998) berdasarkan rekonstruksi jalur volkano-magmatik sejak Kapur hingga Neogen. Model ini menginterpretasikan rotasi berlawanan jarum jam zona subduksi Meratus menjadi arah barat-timur disebabkan oleh berkembangnya pemekaran di belakang busur (backarc rifting).

Model tektonik mutakhir adalah model tektonik yang melibatkan kehadiran mikrokontinen. Model tektonik ini menginterpretasikan bahwa zona subduksi arah Meratus menjadi tidak aktif karena tersumbat oleh hadirnya fragmen kontinen (Parkinson dkk., 1998; Wakita, 2000; Sribudiyani dkk., 2003) (Gambar I.9 dan I.10). Parkinson dkk. (1998) dan Wakita (2000) menafsirkan bahwa penyumbatan terjadi pada akhir Kapur Awal di palung Karangsambung-Bantimala oleh sebuah mikrokontinen. Mikrokontinen ini merupakan kumpulan dari Pulau Sumba, platfom Pasternoster, komplek batuan Lolotoi-Mutis di Timor dan Sulawesi bagian barat yang kemudian terpisah-pisah pada Paleogen (Parkinson dkk., 1998).

Gambar I.6. Evolusi tektonik Indonesia bagian barat mulai dari zaman Kapur hingga sekarang yang ditandai oleh berpindahnya zona subduksi ke arah selatan (Asikin, 1974).

10

Gambar I.7. Rekonstruksi evolusi tektonik Asia Tenggara, dengan arah rotasi searah jarum jam, mulai dari Kapur Akhir (70 jtl) sampai Oligosen (30 jtl) menurut Daly dkk. (1991).

11

Gambar I.8. Rotasi berlawanan arah jarum jam dalam evolusi tektonik Kepulauan Indonesia mulai dari Eosen Awal (50jtl) sampai Miosen Akhir (10jtl) menurut Hall (1996).

12

Gambar I.9. (A) Paleotektonik bagian tepi timur Daratan Sunda pada Kapur Awal-Kapur Akhir menurut Parkinson dkk. (1998); (B) Ilustrasi perkembangan tektonik bagian tepi tenggara Daratan Sunda pada Kapur Akhir menurut Wakita (2000).

13

Gambar I.10. Kerangka tektonik menggambarkan perkembangan tektonik Asia Tenggara mulai dari 70 jtl sampai dengan 5 jtl. Berpindahnya zona konvergensi berarah timurlaut-baratdaya pada 70-35 jtl menjadi arah barat-timur pada 35-20 jtl akibat penyumbatan oleh tumbukan lempeng Jawa Timur (Sribudiyani dkk., 2003).

14

Penyumbatan ini menyebabkan terjadinya proses tumbukan yang menghasilkan eklogit dan batuan jadeit-glaukofan-garnet-kuarsa, yang merupakan batuan metamorf bertekanan sangat tinggi, di Karangsambung, Pegunungan Meratus dan Bantimala. Zona subduksi kemudian berpindah ke selatan pada Kapur Akhir. Seiring dengan rotasi berlawanan arah jarum jam dari Daratan Sunda pada awal Tersier, zona subduksi ini akhirnya menjadi berarah barat-timur (lihat Gambar I.9). Sribudiyani dkk. (2003), berdasarkan data seismik dan data pemboran baru di Jawa Timur, juga menafsirkan hadirnya mikrokontinen, yang disebut sebagai Lempeng mikro Jawa Timur, sebagai penyebab berubahnya zona subduksi arah Meratus menjadi arah barat-timur.

Munculnya berbagai model tektonik di atas menunjukkan bahwa perkembangan tektonik Paleogen sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan. Meskipun demikian model penyumbatan mikrokontinen lebih luas diterima karena dapat menjelaskan dengan lebih meyakinkan perkembangan tektonik pada zaman Kapur sampai Tersier wilayah Jawa bagian timur dan sekitarnya berdasarkan data-data geologi yang lebih mutakhir (Bransden dan Matthews, 1992; Wakita, 2000; Mudjiono dan Pireno, 2001; Sribudiyani dkk., 2003; Smyth dkk., 2005; Clements dan Hall, 2007).

Keterlibatan mikrokontinen dalam perkembangan tektonik di atas mengakibatkan di jalur Karangsambung-Meratus terjadi perubahan proses tektonik dari subduksi ke tumbukan mikrokontinen namun mekanisme dan waktunya masih belum jelas. Parkinson dkk. (1998) beranggapan terlibatnya mikrokontinen pada akhir Kapur Awal, sedangkan Sribudiyani dkk. (2003) berpendapat bahwa peristiwa tumbukan mikrokontinen terjadi lebih kemudian yakni pada Eosen Awal.

Penelitian ini dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan, baik yang belum diketahui maupun yang masih menjadi perdebatan, berkaitan dengan

perkembangan tektonik Paleogen daerah penelitian yang meliputi: 1. Waktu terjadinya perubahan proses tektonik dari subduksi ke tumbukan di jalur Karangsambung-Meratus. Sampai saat ini waktu kejadian tersebut masih

15

diinterpretasikan berbeda-beda, yakni pada Kapur Awal (Parkinson dkk., 1998) atau pada Eosen Awal (Sribudiyani dkk., 2003). 2. Keberadaan batuan asal-kontinen di komplek batuandasar yang tersingkap di daerah penelitian, terutama di daerah Karangsambung dan Bayat. Model mikrokontinen melibatkan batuan asal-kontinen pada proses tumbukan lempeng sehingga kemungkinan besar di zona konvergensinya (di jalur Karangsambung-Meratus) akan dijumpai keberadaan batuan asal-kontinen. Meskipun demikian hingga kini belum ditemukan bukti yang jelas, baik dari singkapan maupun data bawah permukaan, tentang terdapatnya material kontinen di daerah penelitian. Identifikasi keterdapatan fragmen kontinen hanya didasarkan pada hasil analisis data sumur di daerah lepas pantai Jawa Timur (Bransden dan Matthews, 1992; Mudjiono dan Pireno, 2001; Sribudiyani dkk., 2003) dan analisis Zircon U-PB SHRIMP (Sensitive High Resolution Ion-Microprobe) di daerah Pegunungan Selatan Jawa Timur (Smyth dkk., 2005). 3. Kelanjutan zona konvergensi lempeng pada Paleogen (Tersier Awal). Jalur Karangsambung-Meratus secara luas dianggap sebagai zona subduksi Kapur namun tentang kelanjutannya pada Paleogen masih memunculkan interpretasi yang berbeda-beda. Sribudiyani dkk. (2003) menganggap sampai Eosen Awal zona konvergen masih berada di jalur Karangsambung-Meratus sedangkan yang lain (Hall, 1996; 2002; Smyth dkk., 2005; Clements dan Hall, 2007) berpendapat pada Eosen Awal zona konvergen sudah tidak berada lagi di jalur Karangsambung-Meratus karena sudah berpindah di selatan Jawa. 4. Hubungan genetis struktur Pola Meratus yang berarah timurlaut-baratdaya dengan struktur Pola Sakala yang berarah timur-barat. Dua struktur ini merupakan pengendali pembentukan cekungan Tersier di daerah penelitian, namun hubungan umur dua struktur utama ini diinterpretasikan berbeda-beda oleh para peneliti terdahulu. Ada yang menganggap Pola Meratus merupakan struktur tertua (Pulunggono dan Martodjojo, 1994; Simanjuntak dan Barber, 1996) sementara peneliti lain berpendapat sebaliknya, struktur Sakalalah yang lebih tua (Sribudiyani dkk., 2003).

16

1.4 Cakupan Penelitian Batuan Paleogen serta hubungannnya dengan batuandasar Pra-Tersier di daerah Jawa bagian timur merupakan fokus penelitian. Daerah Jawa bagian timur yang dikaji dalam penelitian meliputi wilayah bagian timur Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kajian atas batuan Paleogen dan batuandasar di daerah yang termasuk wilayah Propinsi Jawa Tengah didasarkan pada penelitian lapangan di lokasi-lokasi dimana batuan Paleogen beserta batuandasar Pra-Tersier tersingkap, yakni di daerah Karangsambung (Kabupaten Kebumen), Nanggulan (Kabupaten Kulonprogo), dan Bayat (Kabupaten Klaten). Sedangkan penelitian batuan Paleogen dan batuandasar di Jawa Timur didasarkan pada data-data bawah permukaan (data sumur dan data seismik) yang berasal dari kegiatan eksplorasi minyak dan gasbumi di daerah daratan maupun daerah lepas pantai Jawa Timur.

1.5 Asumsi dan Hipotesis Jalur Ciletuh-Karangsambung-Meratus merupakan zona subduksi pada zaman Kapur. Pada Neogen zona subduksi berada di selatan Jawa dan berarah barattimur. Oleh karenanya, penelitian ini berasumsi bahwa pada selang waktu antara Kapur dan Neogen terjadi perubahan arah zona subduksi searah jarum jam dari zona subduksi berarah timurlaut-baratdaya (arah Meratus) menjadi arah timurbarat (arah Jawa). Hipotesis yang diajukan untuk mengarahkan penelitian ini adalah bahwa evolusi tektonik daerah penelitian yang dicirikan oleh perubahan tektonik di Jawa diakibatkan oleh kehadiran mikrokontinen yang awalnya berasal dari Gondwana.

1.6 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian pertama-tama adalah mempelajari perkembangan tektonik daerah penelitian mulai dari zaman Kapur hingga Paleogen. Hasil dari mempelajari perkembangan tektonik ini kemudian digunakan untuk pemodelan konseptual geologi sehingga diperoleh gambaran evolusi tektonik daerah penelitian.

17

1.7 Pentingnya Penelitian Secara keilmuan model evolusi tektonik yang dihasilkan oleh penelitian ini diharapkan dapat memperbaharui konsep geologi tentang evolusi Paleogen Pulau Jawa khususnya, mengenai kelanjutan zona subduksi dan dan secara umum tentang waktu terjadinya perubahan tektonik di daerah tepi tenggara Daratan Sunda yang merupakan inti wilayah tektonik Indonesia bagian barat. Disamping itu, model evolusi tektonik Paleogen dari hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sehingga diharapkan dapat menjelaskan perkembangan cekungan yang ada di daerah Jawa bagian timur. Pengetahuan tentang perkembangan cekungan merupakan bagian penting dalam eksplorasi minyak dan gasbumi baik di daerah penelitian maupun di daerah lain yang memiliki tataan tektonik yang sama.

I.8 Metodologi Penelitian ini secara umum didasarkan pada evaluasi data lapangan, data pendukung lain yang berupa data sumur dan data seismik. Untuk tercapainya tujuan penelitian diperlukan pengkajian yang teliti yang meliputi: Memetakan dan menganalisis batuan Paleogen untuk mengetahui stratigrafi, struktur, provenan, dan lingkungan pengendapannya, membandingkan hubungan stratigrafi dan struktur antara endapan Paleogen dan batuandasar yang terdapat di lokasi yang berbeda-beda di daerah penelitian (di Karangsambung, Nanggulan, Bayat, dan Jawa Timur) untuk menginterpretasi paleogeografinya (Gambar I.11).

I.8.1 Data Lapangan Data lapangan dikumpulkan melalui serangkaian penelitian lapangan selama periode musim kemarau (bulan Juni sampai Agustus) tahun 2004 dan 2005 di daerah-daerah Karangsambung, Nanggulan, dan Bayat dimana terdapat singkapan batuan Paleogen dan batuandasar Pra-Tersier. Penelitian lapangan diutamakan pada pemetaan batuan Paleogen dan kontaknya dengan batuandasar melalui lintasan-lintasan terpilih. Pemilihan lintasan ini dilakukan dengan panduan petapeta geologi yang diterbitkan oleh Pusat Survei Geologi. Peta dasar untuk

penelitian lapangan digunakan peta rupabumi berskala 1:25.000 produksi Bakosurtanal tahun 2000. Demi ketepatan dan efektifitas dalam penentuan lokasi

18

pengamatan digunakan alat GPS Garmin 3-Plus dengan ketelitian 2 sampai 8 m. Sebanyak 462 sampel batuan dikumpulkan selama penelitian lapangan ini. Sampel ini kemudian dipilah untuk keperluan analisis laboratorium yang meliputi analisis petrografi, analisis provenan (metoda point counting), analisis paleontologi, analisis mineral lempung dengan metoda difraksi Sinar X, dan analisis umur absolut dengan metoda penanggalan K-Ar. Analisis yang lain adalah analisis struktur terhadap data pengukuran struktur primer (kedudukan perlapisan batuan) dan struktur sekunder (kekar dan sesar). Disamping itu berdasarkan data-data tersebut di atas dibuat penampang-penampang struktur, korelasi sumur dan penampang stratigrafi.

I.8.1.1 Analisis Petrografi Analisis petrografi dilakukan pertama kali terhadap sebagian besar sampel batuan yang dikumpulkan. Setelah sampel batuan disayat setebal 0,03 mm kemudian diamati di bawah mikroskop polarisasi. Disamping untuk menyeleksi sampel batuan untuk analisis lebih lanjut, misalnya untuk analisis provenan, analisis mineral lempung, dan analisis geokimia batuan. Analisis petrografi juga dilakukan untuk mempelajari tekstur dan mineralogi batuan serta proses-proses sekunder seperti adanya gejala ubahan mineral dan deformasi mikroskopis yang menghasilkan mikro struktur terutama pada batuan metamorf.

I.8.1.2 Analisis Provenans Analisis ini dilakukan dengan metoda point counting terhadap 34 sampel-sampel batupasir Paleogen, terutama batupasir Eosen, yang dijumpai di daerah-daerah Karangsambung, Nanggulan, Bayat, dan Cekungan Jawa Timur. Khusus untuk empat batupasir Eosen yang berasal dari cekungan Jawa Timur sampel batuannya merupakan inti pemboran sumur-sumur: Dander-1, Kujung-1, JS 44A-1, dan L 46-1. Penentuan kriteria unsur-unsur komposisi (Q, F, L) dan (Lm, Lv, Ls) merujuk Dickinson dkk., (1983) dan Ingersoll dan Suczek (1979). Hasil analisis ini disajikan dan dibahas pada Bab IV tentang batuan Paleogen.

19

I.8.1.3 Analisis Paleontologi Analisis paleontologi yang dilakukan terdiri dari analisis foraminifera dan analisis fosil nanno. Analisis fosil nanno dilakukan pada sampel-sampel batulempung diamana tidak dijumpai fosil foram, terutama pada sampel batulempung yang berasal dari Bayat dan Karangsambung. Semua fosil foram besar di analisis dengan pengamatan pada sayatan tipis sehingga tingkat identifikasinya kadang hanya terbatas pada level genus.

I.8.1.4 Analisis Mineral Lempung Dalam menganalisis 23 sampel batulempung, yakni sampel batulempung yang berasal dari daerah Karangsambung, digunakan metoda difraksi Sinar X. Analisis dilakukan di Laboratorium Sedimentologi, Lemigas di Jakarta. Metoda difraksi Sinar X dilakukan disamping untuk mengetahui komposisi batulempung yang dianalisis juga untuk mengetahui kristalinitas mineral illit dan kloritnya.

I.8.1.5 Penanggalan Batuan Selama ini batuandasar komplek batuan metamorf Perbukitan Jiwo, Bayat oleh peneliti terdahulu disebandingkan dengan batuandasar Komplek Melange Luk Ulo, Karangsambung yang berumur Kapur (Ketner dkk., 1976; Hamilton, 1979). Sementara itu sampai saat ini umur batuan metamorf Bayat belum diketahui sehingga kesebandingan yang dilakukan kurang memiliki dasar dari segi umur. Oleh karena itu, mengetahui umur batuan metamorf yang berasal dari Perbukitan Jiwo, Bayat menjadi penting. Hal inilah yang mendorong penelitian ini melakukan penanggalan batuan metamorf Bayat.

Meskipun terdapat keterbatasan dalam penentuan umur yang tua karena adanya efek kelebihan Ar, penanggalan K-Ar dipilih karena pada umumnya umur absolut batuan metamorf Karangsambung dan batuandasar Cekungan Jawa Timur juga ditentukan berdasarkan penanggalan K-Ar. Penanggalan K-Ar adalah salah satu metoda untuk menentukan umur absolut batuan atau mineral. Untuk mengetahui umur absolut sampel batuan telah dilakukan penentuan umur berdasarkan metoda ini terhadap tiga sampel batuan, dua sampel batuan metamorf (sampel BY-50B1

20

dan BY-50B2) dari daerah Bayat dan satu sampel batuan diorit yang merupakan inti batuandasar Sumur JS-44 A-1. Analisis dilakukan oleh Laboratorium Geologi P3G Bandung. Uraian tentang teknik penanggalan K-Ar beserta hasilnya dicantumkan pada Lampiran D.

I.8.1.6 Analisis Struktur Dengan foto udara maupun citra penginderaan jauh dilakukan analisis pendahuluan terutama tentang pola struktur daerah penelitian. Pola struktur yang didapatkan dari analisis ini dibantu dengan peta geologi regional dipakai sebagai dasar menentukan lintasan-lintasan terpilih untuk penelitian lapangan. Analisis struktur dilakukan berdasarkan data pengukuran unsur-unsur struktur primer (bidang perlapisan) maupun struktur sekunder (kekar, sesar, foliasi) yang diperoleh dari pengukuran di lapangan. Data kemudian dianalisis secara statistik dengan menggunakan metoda stereografi.

I.8.2 Data Seismik Data seismik yang digunakan terutama untuk interpretasi geologi bawahpermukaan daerah lepas pantai Jawa Timur diperoleh dari PT Patra Nusa Data, dan dari KPS-KPS (Lundin Banyumas, B.V., Lapindo Brantas Inc., Pertamina, PetroChina East Java) atas ijin Dirjen MIGAS melalui surat Direktur Eksplorasi dan Eksploitasi (Tanggal: 18 Nopember 2003, Nomor: 6079/23/DME/2003, Perihal: Permohonan penggunaan data untuk keperluan Program Doktor bidang studi Teknik Geologi di ITB). Data seismik yang lain bersumber dari publikasi Pertamina-Beicip (1985) tentang potensi hidrokarbon Indonesia bagian barat. Semua data seismik yang digunakan berupa hardcopy dan digital image sehingga interpretasinya dilakukan secara manual. Dalam menganalisis penampang seismik, interpretasi seismik yang dilakukan ditekankan pada identifikasi satuansatuan tektonostratigrafi, misalnya satuan-satuan: pre-rift, syn-rift, post-rift,dan inversi, yang mencerminkan adanya hubungan erat antara struktur dengan stratigrafinya.

21

I.8.3 Data Sumur Seperti halnya data seismik, data sumur yang digunakan berasal dari instansi dan proses perijinan yang sama, yakni bersumber sebagian besar dari Patra Nusa Data (PND) atas ijin Dirjen Migas. Sumber data sumur yang lain adalah laporan takterpublikasikan dari Pertamina-Robertson Research (1996). Data sumur yang dipakai terdiri dari sampel batuan Paleogen dan batuandasar inti pemboran dan laporan final sumur-sumur di Cekungan Jawa Timur. Sampel inti pemboran batuan Paleogen dan batuandasar Pra-Tersier yang berhasil diperoleh berjumlah 46 sampel berasal dari 20 sumur. Evaluasi atas data sumur yang umumnya terdiri dari laporan final sumur dan log final diutamakan di level stratigrafi Paleogen dan batuandasar. Data sumur ini disamping untuk mengetahui umur dan litologi batuan Paleogen dan batuandasar juga digunakan untuk mengikat horison seismik pada penampang-penampang seismik yang melewati atau berdekatan dengan sumur yang bersangkutan, dan untuk korelasi struktur dan stratigrafi sehingga dapat diidentifikasi cekungan Paleogennya.

22

Gambar I.11. Diagram alir penelitian.

23

Anda mungkin juga menyukai