Anda di halaman 1dari 13

ASUHAN KEPERAWATAN dan SINDROM KOMPARTEMEN

Definisi
Sindrom kompartemen didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan di dalam suatu rongga anatomis tubuh yang mempengaruhi sirkulasi dan mengancam fungsi dan kelangsungan hidup jaringan di sekitarnya. Sindrom kompartemen abdominal (ACS) muncul bila disfungsi organ terjadi sebagai hasil dari hipertensi intra-abdomen. Sindrom ini didefinisikan dengan menetap atau berulangnya tekanan intra-abdomen lebih dari 20 mmHg atau tekanan perfusi abdomen kurang dari 60 mmHg dengan disertai onset satu atau lebih kegagalan system organ. Tekanan intra-abdomen normal antara 0 dan 5 mmHg, tapi pada pasien dewasa yang kritis normal IAP dapat mencapai antara 5 dan 7 mmHg. Hipertensi intra-abdomen didefinisikan dengan menetap atau berulangnya tekanan intra-abdomen (IAP) lebih dari 12 mmHg atau tekanan perfusi abdomen (APP) kurang dari 60 mmHg, dimana tekanan perfusi abdomen (APP) = tekanan arteri rata-rata (MAP) tekanan intra-abdomen (IAP). Berbeda dengan hipertensi intraabdomen (IAH), sindrom kompartemen abdominal tidak diberi tingkatan tetapi lebih didasarkan sebagai fenomena all or none.

Diagnostik:
1. Nyeri: nyeri yang dalam, terus menerus, dan tidak terlokalisir (pain at rest) serta regangan pasif dari otot-otot yang terkena akan menimbulkan nyeri yang hebat (pain on passive movement). Pemeriksaan ini, lebih-lebih bila disertai parestesia di sepanjang distribusi saraf sensoris yang melalui kompartemen, merupakan tanda kompartemen syndrome yang paling terpercaya. 2. Parestesia, sesuai dengan dermatom saraf yang bersangkutan. a. Dari dermatomnya kita dapat memperkirakan saraf yang lesi sekaligus mengetahui kompartemen mana yang mengalami proses patologis. 3. Paresis/paralysis 4. Hilangnya denyut nadi (pulselessness), terjadinya lambat kadang tidak terjadi sama sekali 5. Kulit di atas kompartemen tegang 6. Pengukuran tekanan intra kompartemen. Sebenarnya secara klinis sindroma kompartemen sudah dapat ditegakkan, akan tetapi pada penderita-penderita yang tidak kooperatif atau tidak dapat dipercaya (uncooperative/unreliable patient), penderita yang tidak sadar (unresponsive patient) serta pada adanya defisit neurologis.Secara umum, apabila tekanan intra kompartemen

melebihi 30 mmHg penderita harus diobservasi ketat, fasciotomi dilakukan bila tekanan di atas 40 mmHg.

Penanganan
1. Anggota gerak yang mengalami trauma, bengkak dan sakit harus terus dievaluasi (setiap 15 menit) ketat. Bila nadi tak teraba dilakukan pemeriksaan Doppler serta lakukan pemeriksaan neurologis yang akurat bila didapatkan juga parestesia /hipestesia. 2. Bila kuat dugaan adanya kompartemen syndrome segera lepaskan gips (bivalved splitting) longgarkan bebat dan ekstensikan sendi yang fleksi. Elevasi anggota gerak sedikit di atas jantung penderita, sebab bila terlalu tinggi justru akan meningkatkan tekanan intra kompartemen. Kemudian lakukan observasi ketat (tiap 15 menit). 3. Jika dalam satu jam tidak ada perubahan lepaskan semua gips, verban dan atau semua bebat yang ada. Jika dengan tindakan tersebut tetap tidak ada perubahan dalam waktu 30 menit, dianjurkan pengukuran tekanan intra kompartemen. 4. Segera lakukan fasciotomi, bila terdapat tanda klinis sindroma kompartemen atau bila tekanan intra kompartemen > 30 mmHg (pada penderita yang tidak kooperatif, tidak sadar dan unreliable). 5. Lakukan pemeriksaan ulang setelah fasciotomi. Bila tetap tidak ada perubahan mungkin: fasciotomi tidak adekuat ada kompartemen lain yang belum dekompresi diagnosa salah (memerlukan pemeriksaan arterografi) periksa laboratorium: mioglobinuria, RFT dan urine produksi

Profilaksis fasciotomi dianjurkan pada osteotomi tibia, lengthening dan paska repair arteri dimana sudah terjadi iskemia 4-6 jam.

Komplikasi
1. 2. Volkmans ischemia Volkmans contracture

Perawatan paska bedah:


1. 2. rawat luka secara basah (dengan PZ) ekstensi anggota gerak

3. 4. 5.

ganjal bantal/elevasi anggota gerak setinggi level jantung observasi ketat: nyeri, parestesia, paresis delayed closure atau skin graft setelah oedema berkurang (rata-rata

pada hari ke 5-7)

Etiologi
Peningkatan tekanan intra abdomen terjadi pada 4 hingga 15% pasien dengan penanganan intensive bedah pada berbagai kondisi klinis termasuk pembedahan abdomen yang lama, akumulasi ascites, trauma tumpul abdomen, ruptur aneurisma aorta abdomen, pancreatitis hemoragik, fraktur pelvis, ileus dan obstruksi usus, pneumoperitoneum dan syok septic.

Klasifikasi
1. Akut primer ACS Keadaan yang berhubungan dengan cedera atau penyakit di region pelvisabdomen yang sering memerlukan penanganan bedah atau intervensi radiologis intervensional. 2. Sekunder ACS ACS yang bukan berasal dari region pelvis-abdomen 3. Kronik Keadaan dimana ACS kembali terjadi akibat tindakan bedah sebelumnya atau terapi medis pada primer atau ACS sekunder

Manifestasi Klinis
1. Gagal napas yang ditandai dengan PCO2 yang meningkat, volume tidal yang berkurang, tingginya tekanan puncak inspirasi. 2. Curah jantung yang menurun 3. Tekanan darah yang labil 4. pH rendah yang menetap 5. Oliguria yang tidak respon terhadap terapi konvensional 6. Tekanan intra abdomen yang meningkat (> 40 mm Hg)

Patofisiologi
Setiap kelainan yang meningkatkan tekanan dalam rongga perut dapat menimbulkan hipertensi intra-abdomen. Dalam beberapa situasi, seperti pankreatitis akut atau pecahnya aneurisma aorta abdominal. Obstruksi mekanis usus halus, dan pembesaran abdomen bisa menimbulkan hipertensi intra-abdomen. Namun, trauma tumpul abdomen dengan perdarahan intra-abdomen dari lienalis, hati, dan cedera mesenterika adalah penyebab paling umum dari hipertensi intraabdomen. Pembedahan perut dengan tujuan untuk mengendalikan pendarahan juga dapat meningkatkan tekanan dalam ruang peritoneal. Distensi usus, sebagai akibat dari syok hipovolemik dan perpindahan volume yang besar, merupakan penyebab penting hipertensi intra-abdomen, dan selanjutnya mengakibatkan ACS, pada pasien trauma. Pada kondisi syok, vasokonstriksi dimediasi oleh sistem saraf simpatik mengakibatkan kurangnya suplai darah ke kulit, otot, ginjal, dan saluran pencernaan, hal ini bertujuan untuk menyuplai jantung dan otak. Redistribusi darah dari usus menghasilkan hipoksia seluler di jaringan usus. Hipoksia ini berhubungan dengan 3 bagian penting dari perkembangan kompensasi positif yang mencirikan patogenesis hipertensi intra-abdomen dan perkembangannya menjadi ACS: 1. Pelepasan sitokin, 2. Pembentukan oksigen radikal bebas, 3. Penurunan produksi adenosin trifosfat pada sel Sebagai respon terhadap jaringan yang mengalami hipoksia, maka sitokin dilepaskan. Molekul-molekul ini meningkatkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas kapiler, yang mengarah pada terjadinya edema. Setelah seluler mengalami re-perfusi, oksigen radikal bebas dihasilkan. Agen ini mempunyai efek toksik pada membran sel yang kondisinya diperparah oleh adanya sitokin, yang merangsang pelepasan radikal lebih banyak lagi. Selain itu, kurangnya penghantaran oksigen ke jaringan yang mengalami keterbatasan produksi adenosine triphospat dan penurunan persediaan dari adenosin trifosfat ini tergantung pada aktivitas selular. Yang terkena dampak adalah pompa natriumkalium. Efisien fungsi pompa sangat penting untuk peraturan intraselular elektrolit. Ketika pompa gagal, terjadi kebocoran natrium ke dalam sel sehingga menarik air. Sebagai sel membengkak, selaput kehilangan integritas, menumpahkan isi intraselular ke lingkungan ekstraselular dan lebih jauh mengakibatkan inlamasi (peradangan). Peradangan dengan cepat mengarah pada pembentukan edema, sebagai akibat dari kebocoran kapiler, dan jaringan yang semakin membengkak di usus akibat semakin meningkatnya tekanan intra-abdomen. Pada awal tekanan, perfusi usus terganggu, dan siklus hipoksia selular, kematian sel, peradangan, dan edema terus berlanjut.

Jadi , pada hipertensi intra-abdomen dapat menyebabkan vasokontriksi sehingga terjadi peningkatan tekanan intra abdomen. Apabila tekanan intra abdomen terus meningkat, dapat menyebabkan terjadinya penurunan perfusi jaringang dan akhirnya terjadi edema yang juga dapat memperparah peningkatan tekanan intra abdomen. Terus meningkatnya tekanan intra abdomen inilah yang akhirnya menyebabkan Kompartement sindrom abdominal.

Pemeriksaan Diagnostik
Laboratorium : 1. Comprehensive metabolic panel (CMP) 2. Complete blood cell count (CBC) 3. Amylase and lipase assessment 4. Prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT) bila pasien diberi heparin 5. Test untuk marker jantung 6. Urinalisis and urine drug screen 7. Pengukuran level serum laktat 8. Arterial blood gas (ABG): cara cepat untuk mengukur deficit pH, laktat dan basa. 9. Radiografi : 10.Abdomen serial untuk melihat udara bebas atau obstruksi usus. 11.Radiografi polos abdomen sering tidak berguna dalam mengidentifikasi sindrom kompartemen abdominal. 12.CT scan abdomen dapat memberikan banyak temuan. Pada tahun 1999 Pickhardt dkk menemukan gambaran dibawah ini pada pasien dengan sindrom kompartemen abdominal: a) Round-belly sign distensi abdomen dengan rasio diameter abdomen anteroposterior ke transversal meningkat. (ratio >0.80; P <0.001) b) Kolaps vena kava c) Penebalan dinding usus dengan enhancement d) Hernia inguinal bilateral e) USG Abdomen f) Aneurisma aorta, bila besar dapat terdeteksi

g) Gas usus atau kegemukan mempersulit pemeriksaan

Penatalaksanaan
Penanganan harus berdasarkan pada pemeriksaan klinis dengan peningkatan IAP. IAP kritis yang menimbulkan berbagai disfungsi organ bergantung pada keadaan premorbid pasien. Pasien gemuk setiap saat meningkat IAP tetapi telah terkompensasi dengan hal tersebut. Grade I IAH secara umum hanya memerlukan resusitasi volume dengan pemantauan tekanan berkelanjutan. Beberapa pasien tidak membaik keadaannya. Pasien dengan grade II harus ditangani berdasarkan gejalanya. Bila oliguria ringan dengan kompresi jantung dan paru minimal, dapat diresusitasi lebih lanjut dan dilanjutkan dengan memantau tekanan. Bila pasien mengalami cedera intra-kranial atau kompresi berat yang lebih, operasi dekompresi harus dipikirkan. Grades III dan IV ditangani dengan operasi dekompresi. Saat ini sebagian besar penulis menyetujui bahwa tekanan kritis untuk ACS adalah antara 20 hingga 25 mmHg.

Pilihan terapi medis untuk mengurangi IAP :


1. Memperbaiki komplians dinding abdomen Sedasi dan analgesik Blokade neuromuskular Hindari ketinggian kepala tempat tidur > 30 degrees

2. Evakuasi isi intra-lumen Dekompresi nasogaster Dekompresi rektum Agent gastro-/colo-prokinetik

3. Evakuasi kumpulan cairan abdominal Parasentesis Drainase perkutan

4. Koreksi keseimbangan cairan positif Hindari resusitasi cairan berlebih Diuretik Koloid / cairan hipertonik Hemodialisis / ultrafiltrasi

5. Organ Pendukung Pertahankan APP > 60 mmHg dengan vasopressor Optimalkan ventilasi, alveolar recruitment Gunakan tekanan jalan napas transmural Pplattm = Pplat IAP Pikirkan untuk menggunakan volumetric preload indices Jika menggunakan PAOP/CVP, gunakan tekanan transmural PAOPtm = PAOP 0.5 * IAP CVPtm = CVP 0.5 * IAP

Terdapat manajemen nonoperatif pada IAH/ACS yang terdiri dari lima intervensi terapi : 1. Evakuasi isi intralumen 2. Evakuasi space-occupying lesion intra-abdomen 3. Memperbaiki komplians dinding abdomen 4. Optimalkan kebutuhan cairan 5. Optimalkan perfusi jaringan regional dan sistemik

Manajemen Pembedahan
Laparotomi dekompresi merupakan gold standard dalam penanganan pasien dengan ACS. Pendekatan dekompresi abdomen sangat beragam. Temporary abdominal closure (TAC) telah banyak digunakan sebagai mekanisme mengembalikan dampak akibat peningkatan IAP. Beberapa penulis menganjurkan penggunaan TAC sebagai profilaksis untuk mengurangi komplikasi post operasi dan mempermudah re-eksplorasi yang telah direncanakan. Setelah laparotomi dekompresi, dilakukan temporer abdominal closure yang dilanjutkan dengan permanen abdominal closure pada hari berikutnya.

Temporary abdominal closure


Beberapa metode dari temporary abdominal closure dapat digunakan. Keputusan pertama yang harus dibuat adalah apakah menutup fascia dengan bahan sintetis atau membiarkannya terbuka. Fascia tidak boleh ditutup primer, ini berkaitan dengan tingginya tingkat rekuren dari ACS. Jika fascia ditutup dengan bahan sintetis, berbagai bahan (absorbable/nonabsorbable; porous/nonporous) bisa digunakan. Berbagai tipe dari mesh dapat digunakan termasuk polyglycolic acid (Vicryl), polypropylene (Marlex), atau polytetrafluoroethylene (PTFE). Bahan yang dapat diserap lebih dipilih. Penutup dengan alat burr artificial (Velcro-like), kantung cairan intravena (Bogot bag), kantung kaset x-ray steril, dan kertas Silastic telah digunakan. Jika fasia dibiarkan terbuka dan abdomen penuh, kulit bisa tertutup atau dibiarkan terbuka. Kulit bisa ditutup menggunakan jahitan, penjepit kain, perban lateks Esmarch atau mesh. Jika mesh dijahit ke kulit, akan ditutup dengan adesif drape yang steril dan drape(Vi-drape or Steri Drape). Menjahit bahan sintetis ke kulit bukan ke fasia, mempersiapkan fasia untuk definitive closure berikutnya. Jika penutupan kulit saja menyebabkan peningkatan IAP, kulit dibiarkan terbuka. Usus ditutupi dengan nonadhesive, nonporous materi (seperti tas atau perekat usus terlipat menggantungkan dirinya sendiri sehingga sisi perekat menempel pada dirinya sendiri).

Tepi bahan nonadhesive, nonporous diselipkan di bawah tepi dinding abdomen anterior untuk mencegah pengeluaran isi dari usus. Selanjutnya, handuk steril ditempatkan, diikuti oleh tirai perekat (Vidrape atau tirai Steri ) yang menempel pada dinding perut dan mencegah lebih lanjut pengeluaran isi, pengeringan dari usus, dan cairan kerugian dari perut yang terbuka. Aplikasi langsung dari tirai perekat ke usus meningkatkan risiko enterocutaneous fistula dan tidak disarankan. Sebuah cairan irigasi urologis tas dijahit ke kulit dan saluran eksternal ditempatkan untuk mengontrol dan kuantifikasi dari kebocoran cairan atau perdarahan.

Permanent abdominal closure.


Penutupan perut permanen dilakukan setelah hipovolemia, hipotermia, coagulapathy, dan asidosis telah diperbaiki; yang biasanya tiga sampai empat hari setelah dekompresi abdomen. Beberapa metode penutupan perut telah dideskripsikan. Primer penutupan fasia dapat dilakukan atau cangkok kulit dapat ditempatkan diikuti oleh dinding perut tertunda rekonstruksi. Setelah mobilisasi signifikan cairan, dimungkinkan untuk menutup fasia tanpa ketegangan yang signifikan. Namun, sebuah pemisahan bagian teknik mungkin diperlukan untuk reapproximate fasia. Jika mesh ditempatkan sebagai perut sementara penutupan (sebaiknya bahan yang diserap), jala dapat dibiarkan in situ selama dua minggu kemudian ditutup dengan kulit ketebalan parsial grafts ke jaringan granulasi yang mendasarinya. Jala biasanya akan dimasukkan ke dalam jaringan granulasi pada titik waktu ini. Jika fasia tidak ditutup dan pasien yang tersisa dengan cacat dinding perut, dinding perut rekonstruksi dapat dilakukan enam hingga dua belas bulan kemudian. Berbagai metode rekonstruksi telah dijelaskan, termasuk medial bilateral kemajuan abdominus rektus otot dan fasia dengan atau tanpa sayatan kulit-relaksasi. Expanders jaringan subkutan diikuti oleh flaps kemajuan myocutaneous bilateral juga telah digunakan. Garis tengah perut flap cacat mungkin memerlukan rekonstruksi atau rekonstruksi dengan nonabsorbable mesh.

Komplikasi
1. Necrosis jaringan abdomen, akibat gagal mengurangi tekanan yang meningkat dan penurunan perfusi kapiler yang menyebabkan hipoksia pada jaringan tersebut. 2. Volkmanns contracture yang mempengaruhi anggota tubuh 3. Rhabdomyolysis 4. Gagal jantung

Prognosis
Tingkat kematian dengan kasus ACS dilaporkan 10-68% dari pasien yang mengalaminya.Prosentase klien yang dapat bertahan hidup dengan kasus ACS sekitar 53%. Jika sudah diketahui ada tanda-tanda mengalami ACS, maka penatalaksanaan yang harus dilakukan adalah dekompresi laparotomi.

Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan adanya peningkatan tekanan intra abdomen yang mengakibatkan iskemik jaringan 2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen yang mengakibatkan penekanan diafragma (penghambatan relaksasi diafragma) 3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan 4. Syok hipovelemik berhubungan dengan defisit volume cairan 5. Gangguan perfusi serebri berhubungan dengan penurunan suplai O2 ke otak 6. Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan oliguri 7. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nafsu makan menurun akibat adanya mual dan muntah

SUMBER
Tanjung AS.; IP Sukarna: Sindroma Kompartemen, Paper Seksi Orthopaedi Lab/UPF. Ilmu Bedah FK Unair/RSD Dari. Soetomo, Surabaya, 1992 Poggi, JJ.: Compartment Syndrome: Orthopaedic Secret, Brown DE; Neumann RD (Ed). Han Ley & Belfus, Philadelphia, 27-29, 1995

Anda mungkin juga menyukai