Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi rasional tentang ati dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan maut menimbulkan relegi dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agama para tasauf. Bukti-bukti itu sampai pada pendapat bahwaagama merupakan tempat mencari makna hidup yang final dan ultimate. Agama yang diyakini, merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali pada konsep hubungan agama dengan masyarakat, di mana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial dan invidu dengan masyarakat yang seharusnya tidak bersifat antagonis. Peraturan agama dalam masyarakat penuh dengan hidup, menekankan pada hal-hal yang normative atau menunjuk kepada hal-hal yang sebaiknya dan seharusnya dilakukan. Contoh kasus akibat tidak terlembaganya agama adalah anomi, yaitu keadaan disorganisasi sosial di mana bentuk sosial dan kultur yang mapan jadi ambruk. Hal ini, pertama, disebabkan oleh hilangnya solidaritas apabila kelompok lama di mana individu merasa aman dan responsive dengan kelompoknya menjadi hilang. Kedua, karena hilangnya consensus atau tumbangnya persetujuan terhadap nilai-nilai dan norma yang bersumber dari agama yang telah memberikan arah dan makna bagi kehidupan kelompok.
1. Fungsi Agama
Ada tiga aspek penting yang selalu dipelajari dalam mendiskusikan fungsi agama dalam masyarakat, yaitu kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian. Ketiga aspek itu merupakan kompleks fenomena sosial terpadu yang pengaruhnya dapat diamati dalam perilaku manusia, sehingga timbul pertanyaan sejauh mana fungsi lembaga agama memelihara sistem, apakah lembaga agama terhadap kebudayaan adalah suatu sistem, atau sejauh mana agama dapat mempertahankan keseimbangan pribadi melakukan fungsinya. Pertanyaan tersebut timbul karena sejak dulu hingga sekarang, agama masih ada dan mempunyai fungsi, bahkan memerankan sejumlah fungsi. Manusia yang berbudaya, menganut berbagai nilai, gagasan, dan orientasi yang terpola mempengaruhi perilaku, bertindak dalam konteks terlembaga dalam lembaga situasi di mana peranan dipaksa oleh sanksi positif dan negatif serta penolakan penampilan, tapi yang bertindak, berpikir dan merasa adalah individu itu sendiri. Teori fungsionalisme melihat agama sebagai penyebab sosial agama terbentuknya lapisan sosial, perasaan agama, sampai konflik sosial. Agama dipandang sebagai lembaga sosial yang menjawab kebutuhan dasar yang dapat
dipenuhi oleh nilai-nilai duniawi, tapi tidak menguntik hakikat apa yang ada di luar atau referensi transdental. Aksioma teori di atas adalah, segala sesuatu yang tidak berfungsi akan hilang dengan sendirinya. Teori tersebut juga memandang kebutuhan sesuatu yang mentransendensikan pengalaman sebagai dasar dari karakteristik eksistensi manusia. Hali itu meliputi, Pertama, manusia hidup dalam kondisi ketidakpastian juga hal penting bagi keamanan dan kesejahteraannnya berada di luar jangkauan manusia itu sendiri. Kedua, kesanggupan manusia untuk mengendalikan dan mempengaruhi kondisi hidupnya adalah terbatas, dan pada titik tertentu akan timbul konflik antara kondisi lingkungan dan keinginan yang ditandai oleh ketidakberdayaan. Ketiga, manusia harus hidup bermasyarakat di mana ada alokasi yang teratur dari berbagai fungsi, fasilitas, dan ganjaran. Jadi, seorang fungsionalis memandang agama sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengatasi diri dari ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan; dan agama dipandang sebagai mekanisme penyesuaian yang paling dasar terhadap unsur-unsur tersebut. Fungsi agama terhadap pemeliharaan masyarakat ialah memenuhi sebagian kebutuhan masyarakat. Contohnya adalaha sistem kredit dalam masalah ekonomi, di mana sirkulasi sumber kebudayaan suatu sistem ekonomi bergantung pada kepercayaan yang terjalin antar manusia, bahwa mereka akan memenuhi kewajiban bersama dengan jenji sosial mereka untuk membayar. Dalam hal ini, agama membantu mendorong terciptanya persetujuan dan kewajiban sosial dan memberikan kekuatan memaksa, memperkuat, atau mempengaruhi adat-istiadat. Fungsi agama dalam pengukuhan nilai-nilai bersumber pada kerangka acuan yang bersifat sakral, maka norma pun dikukuhkan dengan sanksi sakral. Sanski sakral itu mempunyai kekuatan memaksa istimewa karena ganjaran dan hukumannya bersifat duniawi, supramanusiawi, dan ukhrowi. Fungsi agama di sosial adalah fungsi penentu, di mana agama menciptakan suatu ikatan bersama baik antara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang mempersatukan mereka. Fungsi agama sebagai sosialisasi individu adalah, saat individu tumbuh dewasa, maka dia akan membutuhkan suatu sistem nilai sebagai tuntunan umum untuk mengarahkan aktifitasnya dalam masyarakat. Agama juga berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya. Orang tua tidak akan mengabaikan upaya moralisasi anak-anaknya, seperti pendidikan agama mengajarkan bahwa hidup adalah untuk memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya. Karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut harus beribadah secara teratur dan kontinu. Masalah fungsionalisme agama dapat dianalisis lebih mudah pada komitmen agama. Menurut Roland Robertson (1984), dimensikomitmen agama diklasifikasikan menjadi :
Dimensi keyakinan mengandug perkiraan atau harapan bahwa orang yang religius akan menganut pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran tertentu. Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secra nyata. Ini menyangkut hal yang berkaitan dengan seperangkat upacara keagamaan, perbuatan religius formal, perbuatan mulia, berbakti tidak bersifat formal, tidak bersifat publik dan relatif spontan. Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu orang yang benar-benar religius pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang langsung dan subjektif tentang realitas tertinggi, mampu berhubungan dengan suatu perantara yang supernatural meskipun dalam waktu yang singkat. Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan bahwa orang-orang yang bersikap religius akan memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan, kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka. Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan citra pribadinya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki konsekuensi paling penting bagi agama. Akibatnya adalah masyarakat makin terbiasa menggunakan metode empiris berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi masalh kemanusiaan, sehingga lingkungan yang bersifat sekular semakin meluas dan sering kali dengan pengorbanan lingkungan yang sakral. Menurut Roland Robertson, watak masyarakat sekular tidak terlalu memberikan tanggapan langsung terhadap agama. Misalnya, sediktnya peranan dalam pemikiran agama, praktek agama, dan kebiasaan-kebiasaan agama. Umumnya, Kecenderungan sekularisasi mempersempit ruang gerak kepercayaan-kepercayaan dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang terbatas pada aspek yang lebih kecil dan bersifat khusus dalam kehidupan masyarakat dan anggota-anggotanya. Hal itu menimbulkan pertanyaan apakahan masyarakat sekuler mampu mempertahankan ketertiban umum secara efektif tanpa adanya kekerasan institusional apabila pengaruh agama sudah berkurang.
2. Pelembagaan Agama
Agama sangat universal, permanen, dan mengatur dalam kehidupan, sehingga bila tidak memahami agama, maka akan sulit memahami masyarakat. Hal yang harus diketahui dalam memahami lembaga agama adalah apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan struktur dari agama.
Dimensi ini mengidentifikasikan pengaruh-pengaruh kepercayaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi-dimensi ini dapat diterima sebagai dalil atau dasar analitis, tapi hubungan antara empat dimensi itu tidak dapat diungkapkan tanpa data empiris. Menurut Elizabeth K. Nottingham (1954), kaitan agama dalam masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan keseluruhannya secara utuh. a.Masyarakat yang Terbelakang dan Nilai-nilai Sakral Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Sebab itu, keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya: 1. Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem masyarakat secara mutlak. 2. Nilai agama sering meningkatkan konservatisme dan menghalangi perubahan dalam masyarakat dan agama menjadi fokus utama pengintegrasian dan persatuan masyarakat secra keseluruhan yang berasal dari keluarga yang belum berkembang. b.Mayarakat-masyarakat Praindustri yang Sedang Berkembang Masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi. Agama memberi arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tiap masyarakat, pada saat yang sama, lingkungan yang sakral dan yang sekular masih dapat dibedakan. Fase kehidupan sosial diisi dengan upacara-upacara tertentu. Di pihak lain, agama tidak memberikan dukungan sempurna terhadap aktivitas sehari-hari, agama hanya memberikan dukungan terhadap adat-istiadat. Pendekatan rasional terhadap agama dengan penjelasan ilmiah biasanya akan mengacu dan berpedoman pada tingkah laku yang sifatnya ekonomis dan teknologis dan tentu akan kurang baik. Karena adlam tingkah laku, tentu unsur rasional akan lebih banyak, dan bila dikaitkan dengan agama yang melibatkan unsur-unsur pengetahuan di luar jangkauan manusia (transdental), seperangkat symbol dan keyakinan yang kuat, dan hal ini adalah keliru. Karena justru sebenarnya, tingkah laku agama yang sifatnya tidak rasional memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Agama melalui wahyu atau kitab sucinya memberikan petunjuk kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu selamat di dunia dan akhirat. Dalam perjuangannya, tentu tidak boleh lalai. Untuk kepentingan tersebut, perlu jaminan yang memberikan rasa aman bagi pemeluknya. Maka agama masuk dalam sistem kelembagaan dan menjadi sesuatu yang rutin. Agama menjadi salah satu aspek kehiduapan semua kelompok sosial, merupakan fenomena yang menyebar mulai dari bentuk perkumpulan manusia, keluarga, kelompok kerja, yang dalam beberapa hal penting bersifat keagamaan.
Adanya organisasi keagamaan, akan meningkatkan pembagian kerja dan spesifikasi fungsi,juga memberikan kesempatan untuk memuaskankebutuhan ekspresif dan adatif. Pengalaman tokoh agama yang merupakan pengalaman kharismatik, akan melahirkan suatu bentuk perkumpulan keagamaan yang akan menjadi organisasi keagamaan terlembaga. Pengunduran diri atau kematian figure kharismatik akan melahirkan krisis kesinambungan. Analisis yang perlu adalah mencoba memasukkan struktur dan pengalaman agama, sebab pengalaman agama, apabila dibicarakan, akan terbatas pada orang yang mengalaminya. Hal yang penting untuk dipelajari adalah memahami wahyu atau kitab suci, sebab lembaga keagamaan itu sendiri merupakan refleksi dari pengalaman ajaran wahyunya. Lembaga keagamaan pada puncaknya berupa peribadatan, pola ide-ide dan keyakinan-keyakinan, dan tampil pula sebagai asosiasi atau organisasi. Misalnya pada kewajiban ibadah haji dan munculnya organisasi keagamaan. Lembaga ibadah haji dimulai dari terlibatnya berbagai peristiwa. Ada namanama penting seperti Adam a.s, Ibrahim a.s, Siti Hajar, dan juga syetan; tempatnya adalah Masjidil-Haram, Masa, Arafah, Masyar, Mina, serta Kabah yang merupakan symbol penting; ada peristiwa kurban, pakaian ihram, tawaf, saI, dan sebagainya. Adam dan Hawa dalam keadaan terpisah, kemudian keduanya berdoa : Ya, Tuhan kami, kami telah menganiaya diri sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscayalah kami termasuk orang-orang yang merugi. (Q.S al-Araf : 23). Setelah itu Allah SWT memerintahkan Adam untuk ibadah haji (pergi ke sesuatu untuk mengunjunginya). Saat sampai di suatu tempat (Arafah= tahu, kenal), maka bertemulah ia dengan Hawa setelah diusir dari surge. Sebab itu dalam pelaksanaan ibadah haji, ada ketentuan wukuf (singgah). Nama nabi Ibrahim a.s selalu dikaitkan dengan Kabah sebagai pusat rohani agama Islam (Kiblatnya Islam). Pada suatu peristiwa Allah memerintahkan Jibril membawa Ibrahim a.s, Siti Hajar dan Ismail a.s putranya yang masih kecil ke Makkah dari Palestina. Di suatu tempat, Ibrahim a.s atas perintah Allah SWT supaya meninggalkan istri dan putranya. Kemudian Ismail menangis meminta air, tentu saja Siti Hajar menjadi khawatir dan gelisah, maka ia pun berlari mencari air ke bukit Shafa dan Marwa sebanyak tujuh kali. Setelah itu dengan kuasa Tuhan, memancarlah air dari dekat kaki Ismail (sekarang sumur air Zam-zam). Sebab itu, dalam rukun Haji ada SaI (berlari kecil) sebanyak tujuh kali di bukit Shafa dan Marwa. Siti Hajar merupak lambang yang bertanggung jawab, tidak pasrah, perjuangan fisik dan meniadakan diri tenggelam ke dalam samudera cinta. Kurban dikaitkan resmi dengan ibadah haji. Lembaga ini berhubungan dengan sejarah rohani Ibrahim a.s yang diperintahkan oleh Alla SWT untuk menyembelih putranya Ismail a.s, untuk menguji kesempurnaan tauhidnya.
Sewaktu penyembelihan akan dilaksanakan, syetan sempat menggoda Ibrahim a.s agar tidak melaksanakan perintah Allah tersebut. Kemudian Ibrahim dan Ismail melemparkan batu ke arah suara syetan itu berasal. Untuk mengenang peristiwa itu, dalam pelaksanaan ibadah haji diwajibkan melempar jumrah (batu). Sewaktu Ismail akan disembelih oleh Ibrahim a.s, ternyta Allah menggantinya dengan seekor gibas (domba) jantan. Firman Allah : Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan pergi kesana. Barang siapa yang kafir (terhadap kewajiban haji), maka bahwasanya Allah Mahakuasa (tidak memerlukan sesuatu dari alam semesta) (Q.S 3:97). Jadi, kewajiban tersebut, esensinya adalah evolusi manusia menuju Allah dengan pengalaman agama yang penting. Mengandung simbolis dari filsafat pencptaan Adam, sejarah, keesaan, ideology islam, dan ummah. Organisasi keagamaan yang tumbuh secara khusus, bermula dari pengalaman agama tokoh kharismatik pendiri organisasi keagamaan yang terlembaga. Muhammadiyah, sebuah organisasi sosial Islam yang dipelopori oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan yang menyebarkan pemikiran Muhammad Abduh dari Tafsir AlManar. Ayat suci Al-Quran telah memberi inspirasi kepada Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah. Salah satu mottonya adalah, Muhammadiyah diapandang sebagai segolongan dari kaum mengajak pada kebaikan dan mencegah perbuatan jahat (amar maruf, nahi anil munkar) Dari contoh sosial di atas, lembaga keagamaan berkembang sebagai pola ibadah, pola ide-ide, ketentuan (keyakinan), dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi. Pelembagaan agama puncaknya terjadi pada tingkat intelektual, tingkat pemujaan (ibadat), dan tingkat organisasi. Tampilnya organisasi agama adalah akibat adanya perubahan batin atau kedalaman beragama, mengimbangi perkembangan masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi, pendidikan, dan sebagainya. Agama menuju ke pengkhususan fungsional. Pengaitan agama tersebut mengambil bentuk dalam berbagai corak organisasi keagamaan.
terhadap tuhan dalam kehidupannya. Berikut ini akan dikemukakan beberapa defenisi tentang agama : Agama adalah gejala yang begitu sering terdapat dimana-mana. Agama berkaitan dengan usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta. Menurutnya agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna, dan juga perasaan takut dan ngeri, meskipun agama tertuju sepenuhnya kepada suatu dunia yang tidak dapat dilihat (akhirat) namun agama juga melibatkan dirinya pada masalah-masalah sehari-hari di dunia ini.
agama merupakan sumber gambaran-gambaran tentang dunia ini yang seharusnya; gambarangambaran yang berulang kali dapat ditafsirkan kembali untuk mengevaluasi pola-pola sosial yang baru malahan tak terduga. Kelanggengan agama berkaitan dengan kemampuannya untuk terus menerus menyesuaikan gambaran-gambaran taraf tertingginya terhadap situasi-situasi serta bentuk-bentuk kritik baru. Suatu agama secara generik dapat dapat didefenisikan sebagai sebuah sistem simbol (misalnya kata-kata dan isyarat, cerita dan praktek, benda dan tempat) yang berfungsi agamis, yaitu suatu yang terus menerus dipakai partisipan untuk mendekat dan menjalin hubungan yang benar atau tepat dengan sesuatu yang diyakini sebagai realitas mutlak. Dari defenisi diatas jelas terlihat bahwa agama mempunyai pengertian yang cukup luas dan menyangkut berbagai aspek dalam kehidupan, berbagai defenisi diatas merupakan sebagian kecil dari begitu banyak defenisi tentang agama. Nottingham menyatakan bahwa tidak ada defenisi agama yang benar-benar memuaskan. Karena satu hal, agama dalam keaneka ragamannya hampir tidak dapat dibayangkan itu, memerlukan deskripsi (penggambaran) dan bukan defenisi (batasan). Dalam agama Islam, agama dikenal dengan kata Dien yaitu ajaran-ajaran atau pedoman yang ditetapkan oleh Allah SWT kepada umatnya melalui para utusannya (baca: rasul), untuk dilaksanakan dan bertujuan untuk keselamatan dan kesejahteraan umat Islam baik didunia maupun dialam akhirat kelak. Banyak lagi defenisi-defenisi lainnya mengenai agama yang dengan sendirinya dapat memperluas makna dan cakupan-cakupan agama itu sendiri. 3.Bentuk-Bentuk Kepercayaan dan Agama Selanjutnya timbul pertanyaan, bagaimana dengan kepercayaan? Apakah kepercayaan itu sama dengan agama, kalau berbeda, manakah yang duluan muncul? Kepercayaan ataukah agama? Mengapa agama dan kepercayaan dapat timbul dalam kehidupan manusia ? pertanyaan yang bermacam-macam ini tentunya tidak mudah dijawab karena memerlukan berbagai macam jawaban juga. Munculnya agama dan kepercayaan menurut mustopo bahwa : Setiap orang merasa lemah menghadapi masalahmasalah tertentu, untuk itu dia membutuhkan kekuatan baru. Kekuatan baru itu tidak muncul dari
dirinya. Muncullah harapan yang bermuara pada kepercayaan. Dengan demikian agama dan kepercayaan adalah kebutuhan-kebutuhan mendasar setiap orang. Rudolf Otto, Ahli sejarah agama berkebangsaan Jerman yang menulis buku penting The Idea of Holy pada tahun 1917 percaya bahwa rasa tentang suatu yang gaib ini (numinous) adalah dasar-dasar dari agama : perasaan itu mendahului setiap hasrat untuk menjelaskan asalusul dunia atau menemukan landasan bagi perilaku beretika : Kekuatan gaib dirasakan oleh manusia dengan cara yang berbeda-beda. Terkadang ia menginspirasikan kegirangan liar dan memabukkan, terkadang ketenteraman mendalam, terkadang orang merasa kecut, kagum dan hina dihadapan kehadiran kekuatan misterius yang melekat dalam setiap aspek kehidupan. Terlihat disini bahwa manusia sebenarnya makhluk yang lemah, penakut dan bahkan cenderung membutuhkan sesuatu yang lebih kuat dari dirinya. Dengan keadaan demikian muncullah suatu keyakinan-keyakinan atau kepercayaan dengan sesuatu yang dianggap misterius dan diyakini jauh lebih kuat dan hebat dari manusia. Untuk mewujudkan keyakinan dan ketundukan manusia tersebut, timbullah suatu kegiatan-kegiatan atau upacara-upacara yang berbentuk pemujaan (cult) dan ibadat. Semua ibadat itu dilakukan manusia dalam bentuk-bentuk yang beragam sesuai dengan kepercayaannya. Dalam mengamati kegiatan-kegiatan agama atau upacara-upacara dalam suatu kepercayaan, maka Kontjaraningrat mengatakan: pabah-pabah khususnya dalam ilmu gaib pada lahirnya sering tampak sama dengan sistem religius, baik bacaannya, tempat upacaranya, pemimpinnya dan waktunya, jadi agak sukar membatasi agama dan kepercayaan. Sedikit perbedaannya adalah pada saat melakukan keagamaan, manusia secara sadar menyerahkan diri kepada tuhannya. Sedangkan dalam kepercayaan, sering dilakukan secara tidak sadar. Sementara itu Nottingham tidak menganggap bahwa kepercayaan itu berbeda dengan agama, jadi ada kepercayaan-kepercayaan yang terdiri dari syahadat-syahadat dan mitos-mitos (dongeng-dongeng) dan pengamalan-pengamalan (ibadat) yang terdiri dari upacara-upacara keagamaan dan peribadatan. Pernyataan ini sepertinya dapat memberikan gambaran bahwa dalam agama ada kepercayaan dan sebaliknya dalam konsep kepercayaan itu ada agama. Tetapi agama itu muncul berawal dari kepercayaan-kepercayaan terhadap sesuatu yang dianggap suci dan sakral. Disini kemudian kepercayaan-kepercayaan tersebut menjadi terorganisir dengan munculnya agama. Setelah muncul dan berkembangnya agama, maka untuk mempertahankan eksistensinya. Selanjutnya agama mewujudkan suatu pelembagaan yang terdiri dari : pemujaan (Cult) Yaitu hubungan yang dilakukakan dengan objek suci, baik secara sadar atau tidaksadar.Pola-pola kepercayaan yang berkaitan dengan tingkat keyakinan atau tingkat intelektualRasionalisasi pola-pola kepercayaan, rasionalisasi ini membawa kepada pemahaman yang mendalam bagi penganut suatu agama.
Tampilnya organisasi keagamaan, diantaranya gereja, sekte-sekte dan lain sebagainya. Dengan berkembangnya kebudayaan dan peradaban manusia, kepercayaan berkembang dan berevolusi sesuai dengan tingkat perkembangan manusia. Semakin rasional manusia, kepercayaan yang dimilikinya semakin tipis. Disini, kepercayaan selanjutnya digantikan oleh agama. Dalam memilih agama terkadang manusia semakin selektif karena agama yang timbul dari kepercayaan-kepercayaan tadi ternyata memberikan gambaran-gambaran yang berbeda, sehingga manusia kepercayaannya. 4.Pengaruh Dan Fungsi Agama Dalam Masyarakat Agama mengambil peranan penting dalam keberadaan suatu masyarakat atau komunitas. Karena suatu agama atau kepercayaan akan tetap langgeng jika terus diamalkan oleh masyarakat secara kontiniu. Masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruh mempengaruhi satu sama lain. Dalam hal ini, melihat kepada kondisi masyarakat maka agama dapat dibedakan dalam dua tipe, yaitu : agama yang hidup dalam masyarakat sakral dan agama yang hidup dalam masyarakat sekuler. Sumbangan atau fungsi agama dalam masyarakat adalah sumbangan untuk mempertahankan nilai-nilai dalam masyarakat. Sebagai usaha-usaha aktif yang berjalan terus menerus, maka dengan adanya agama maka stabilitas suatu masyarakat akan tetap terjaga. Sehingga agama atau kepercayaan mengambil peranan yang penting dan menempati fungsi-fungsi yang ada dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini fungsi-fungsi agama dalam masyarakat ialah : Fungsi edukatif, penyelamat, perdamaian, kreatifitas, penumbuh rasa solidaritas, tranformatif, sublimatif, kontrol. Beberapa fungsi agama bagi masyarakat, misalnya dalam fungsi edukatif, agama memberikan sebuah peluang kepada seseorang untuk dapat berperilaku baik sesuai dengan ajaran-ajaran agamanya. Karena pada dasarnya setiap agama mengandung nilai-nilai edukatif yang dianggap baik dan benar dalam sebuah agama atau dalam pandangan suatu masyarakat. Nilai-nilai pendidikan yang diajarkan oleh suatu agama dipegang oleh setiap pemeluknya untuk dapat diamalkan secara terus menerus, sehingga nilai-nilai pendidikan tersebut dapat diwariskan secara turun Temurun dalam suatu masyarakat.Sebagai fungsi penyelamat, agama memberikan pelayanan bagi pemeluknya untuk dapat menikmati kebahagiaan hidup didunia dan keselamatan bagi alam sesudahnya (alam Akhirat). Keabadian bagi kehidupan yang lain sesudah alam dunia sebenarnya menjadi tujuan beberapa agama, karena itu. Untuk menyelamatkan kehidupan manusia, maka agama memberikan suatu jalan keluar, yaitu berupa upacara-upacara keagamaan, perintah, peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan oleh pemeluk suatu agama. Begitu juga dengan larangan-larangan yang harus ditinggalkan. dalam fungsi ini, sarana peribadatan (mesjid, gereja, pura, dan lain-lain) menjadi hal-hal yang sangat vital bagi terwujudnya upacara-upacara keagamaan dalam suatu masyarakat. Misalnya ritus, ibadah, kebaktian dan doa yang dipimpin oleh seorang pemimpin keagamaan. Agama juga berperan untuk menciptakan suatu perdamaian bagi masyarakat dan sebagai alat dituntut untuk benar-benar memilih agama yang sesuai dengan
yang dapat dijadikan sebagai penumbuh rasa solidaritas. Untuk menciptakan iklim damai tersebut, perlu dibentuk pranata-pranata sosial yang menjadi infrastruktur bagi tegaknya suatu perdamaian dalam masyarakat. Dalam hal ini peranan pemimpin keagamaan, seperti ulama, pendeta, kyai dan para jemaah agama, adalah sangat penting bagi terwujudnya suasana damai dankondusif.
Mengenai hubungan agama atau kepercayaan dengan kreatifitas bahwa : kepercayaan / agama memberikan harapan bagi para penganutnya. Dengan harapan, orang berusaha membuat yang terbaik untuk membujuk yang dipercayai. Maka muncullah seni patung, seni lukis, seni musik dan sebagainya. Sebagai contoh bahwa beberapa agama atau kepercayaan ditemukan bentukbentuk kreatifitas yang berupa patung-patung dewa yang diukir dan dipahat pada sebuah batu atau tanah liat, dan ukuiran-ukuran yang terdapat dalam dinding goa, serta nyanyian-nyanyian yang gunakan untuk memanggil roh-roh dan sebagainya.
Proses tranformatif dan sublimatif agama dalam masyarakat sebenarnya termasuk kepada pengembangan dan pendalaman mengenai makna ajaran-ajaran keagamaan tersebut. Proses ini terjadi dalam sosialisasi dan transvaluasi doktrin-doktrin agama yang terdapat disekolahsekolah, pesantren, mesjid, gereja dan sebagainya. Karena dalam suatu komunitas atau masyarakat agama, doktrin-doktrin keagamaan sangat penting bagi kehidupan agama sebagai penangkal terhadap nilai-nilai baru atau budaya yang datang dari luar. Dalam agama Islam misalnya, fungsi pesantren bagi tranvaluasi nilai-nilai ajaran agama Islam sangat berpengaruh sekali, sehingga produk-produk pesantren dalam hal ini para santri. Diharapkan dapat menjadi pengembang ajaran Islam dimasa depan, sekaligus dapat membendung nilai-nilai atau budayabudaya yang dapat merusak ajaran Islam sendiri. Perubahan sosial yang terjadi secara cepat, berpengaruh pada tatanan kepercayaan masyarakat. Dalam masyarakat, mudah sekali terjadi benturan-benturan antara satu agama dengan agama yang lain, sehingga sebuah konflik dalam masyarakat akan sangat berpotensi terjadi. Dalam hal ini Pengaruh nilai-nilai agama dan kepercayaan terhadap pengendalian konflik cukup penting. Hal ini dimungkinkan jika penganut agama dan kepercayaan itu konsen dengan ajaran dan anutannya. Untuk itu, dalam masyarakat heterogen, perlu adanya kesadarankesadaran untuk selalu menjaga ketenteraman dan menghilangkan konflik-konflik yang sifatnya agamis. Hal ini sudah dipraktekkan pada masyarakat modern, namun konflik-konflik masih sering terjadiantarpemelukagama.
5.Kesimpulan Agama merupakan suatu kebutuhan dasar setiap manusia, munculnya berbagai perasaan dalam diri manusia yang bersifat khayali dan imajiner, menjadi modal dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan suatu agama atau kepercayaaan. Agama muncul dari adanya kepercayaankepercayaan terhadap sesuatu yang dianggap suci dan menempati berbagai aspek dalam kehidupan manusia yang akhirnya suatu agama atau kepercayaan dapat melekat dan mengambil peranan penting pada seorang individu atau masyarakat.
Sebuah masyarakat yang mempunyai konsep-konsep kepercayaan, akan membentuk sebuah sistem baru, dimana ada norma-norma dan aturan-aturan agama yang melekat dan menjadi ciri khas dalam masyarakat tersebut. Begitu pentingnya peranan agama dalam masyarakat sehingga ada yang disebut dengan masyarakat agamis dan ada juga yang dikatakan sebagai masyarakat sekuler. Masyarakat sekuler memisahkan urusan-urusan dunia dengan nilai-nilai keagamaan, sedangkan masyarakat agamis adalah masyarakat yang meletakkan nilai-nilai yang disepakati oleh masyarakat tersebut berdasarkan tuntunan dan aturan agama yang dianut dalam masyarakat itu.
Bhinneka Tunggal Ika: Agama dan Masyarakat Sebagai negara majemuk, Indonesia dituntut untuk maju secara konsisten dalam mengembangkan bangsanya. Meskipun demikian, kemajemukan yang seyogianya berfungsi sebagai landasan kekayaan dan pengembangan bangsa dan, kerap menjadi batu sandungan dengan banyaknya konflik. Konflik antarsuku hingga konflik agama dan masyarakat. Sebagai salah satu negara dengan penduduk muslim yang menjadi mayoritasnya, Indonesia diharapkan menjadi contoh bagi bangsa lain dalam hal kerukunan antarumat beragama. Dengan masuknya agama dan kepercayaan Kong Hu Chu sebagai agama yang telah disahkan oleh negara, keimanan antar umat semakin diuji. Hal ini dibuktikan dengan dituntutnya warga masyarakat Indonesia untuk saling toleransi antarumat beragama. Baik toleransi tentang keagamaannya hingga perayaan hari raya keagamaan. Masyarakat Indonesia yang masih menyimpan mental kedaerahan, dikhawatirkan membangun mental tersebut dalam kehidupan keberagamaan. Dengan demikian, bukan tidak mungkin, akan memicu terjadi konflik antarumat beragama dengan saling mencemooh dan menjelek-jelekkan agama lain serta menganggap agamanyalah yang paling benar, seperti yang sempat terjadi beberapa tahun silam hingga terjadi pertumpahan darah.
Bhinneka Tunggal Ika Bhinneka Tunggal Ika yang memiliki arti berbeda-beda tetapi tetap satu jua merupakan semboyan yang luhur. Semboyan ini pula yang diucapkan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama dalam pidatonya di Universitas Indonesia beberapa waktu silam. Ia pun mengamini bahwa semboyan tersebut memiliki makna yang dalam serta memiliki tujuan yang luhur, yaitu mempersatukan kemajemukan bangsa. Tidak sekadar semboyan belaka, Bhinneka Tunggal Ika sebaiknya menjadi semangat pemersatu bangsa karena keberagaman tiada artinya jika tidak memiliki satu tekad dan tujuan yang sama. Maka dari itu, semangat keberagaman yang satu inilah yang patut ditanam dan ditumbuhkembangkan secara berkesinambungan dan bersama-sama agar dapat meredam, bahkan menghilangkan konflik keberagamaan yang seringkali terjadi di Indonesia. Untuk menghindari hal tersebut, masyarakat Indonesia sebaiknya mendalami kembali pemaknaan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan yang telah disadari oleh para leluhur bangsa beratus-ratus tahun silam. Semboyan yang mampu mempersatukan keberagaman agama dan masyarakat dari Sabang hingga Merauke agar bangsa ini tidak lagi berjalan pincang dengan selalu berkonflik di dalam negerinya sendiri sehingga tidak mampu bersaing ke pentas internasional. Mari kita bersama-sama eratkan genggaman tangan. Satukan visi, misi, dan hati. Mengenyahkan segala perbedaan yang ada agar kita semakin tangguh dan menjadi barometer dunia internasional. Tidak lagi menjadi bangsa tingkat ketiga
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dilihat dari segi Agama dan Budaya yang masing masing memiliki keeratan satu sama lain, sering kali banyak di salah artikan oleh orang orang yang belum memahami bagaimana menempatkan posisi Agama dan posisi Budaya pada suatu kehidupan. Penulis masih sering menyaksikan adanya segelintir masyarakat yang mencampur adukkan nilai nilai Agama dengan nilai nilai Budaya yang padahal kedua hal tersebut tentu saja tidak dapat seratus persen disamakan, bahkan mungkin berlawanan. Demi terjaganya esistensi dan kesucian nilai nilai agama sekaligus memberi pengertian, disini penulis hendak mengulas mengenai Apa itu Agama dan Apa itu Budaya, yang tersusun berbentuk makalah dengan judul Agama dan Budaya. Penulis berharap apa yang diulas, nanti dapat menjadi paduan pembaca dalam mengaplikasikan serta dapat membandingkan antara Agama dan Budaya. 1.2 Tujuan Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tangung jawab sebagai mahasiswa STKIP Dharma Wacana Metro dalam mata kuliah Agama Islam. Namun, seiring dalam proses pembuatan makalah ini saya menyadari bahwa betapa pentingnya mengetahui hubungan antara Agama dan masyarakat.
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Agama Dan Masyarakat Masyarakat adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan (Soerjono Soekanto, 1983). Sedangkan agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajibankewajiban yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut. Sedangkan Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Di tahun 2000, kira-kira 86,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 5,7% Protestan, 3% Katolik, 1,8% Hindu, dan 3,4% kepercayaan lainnya. Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya dan menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya. Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.
Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia. Berdasar sejarah, kaum pendatang telah menjadi pendorong utama keanekaragaman agama dan kultur di dalam negeri dengan pendatang dari India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda. Bagaimanapun, hal ini sudah berubah sejak beberapa perubahan telah dibuat untuk menyesuaikan kultur di Indonesia. Berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, Agama -agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). Islam : Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, dengan 88% dari jumlah penduduk adalah penganut ajaran Islam. Mayoritas Muslim dapat dijumpai di wilayah barat Indonesia seperti di Jawa dan Sumatera. Masuknya agama islam ke Indonesia melalui perdagangan. Hindu : Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi, bersamaan waktunya dengan kedatangan agama Buddha, yang kemudian menghasilkan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram dan Majapahit. Budha : Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba pada sekitar abad keenam masehi. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan erat dengan sejarah Hindu. Kristen Katolik : Agama Katolik untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada bagian pertama abad ketujuh di Sumatera Utara. Dan pada abad ke-14 dan ke-15 telah ada umat Katolik di Sumatera Selatan. Kristen Katolik tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa Portugis, yang kemudian diikuti bangsa Spanyol yang berdagang rempah-rempah. Kristen Protestan : Kristen Protestan berkembang di Indonesia selama masa kolonial Belanda (VOC), pada sekitar abad ke-16. Kebijakan VOC yang mengutuk paham Katolik dengan sukses berhasil meningkatkan jumlah penganut paham Protestan di Indonesia. Agama ini berkembang dengan sangat pesat di abad ke-20, yang ditandai oleh kedatangan para misionaris dari Eopa ke beberapa wilayah di Indonesia, seperti di wilayah barat Papua dan lebih sedikit di kepulauan Sunda. Konghucu : Agama Konghucu berasal dari Cina daratan dan yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa dan imigran. Diperkirakan pada abad ketiga Masehi, orang Tionghoa tiba di kepulauan Nusantara. Berbeda dengan agama yang lain, Konghucu lebih menitik beratkan pada kepercayaan dan praktik yang individual.
B. Fungsi-Fungsi Agama Agama bukanlah suatu entitas independen yang berdiri sendiri. Agama terdiri dari berbagai dimensi yang merupakan satu kesatuan. Masing-masingnya tidak dapat berdiri tanpa yang lain. seorang ilmuwan barat menguraikan agama ke dalam lima dimensi komitmen. Seseorang kemudian dapat diklasifikasikan menjadi seorang penganut agama tertentu dengan adanya perilaku dan keyakinan yang merupakan wujud komitmennya. Ketidakutuhan seseorang dalam menjalankan lima dimensi komitmen ini menjadikannya religiusitasnya tidak dapat diakui secara utuh. Kelimanya terdiri dari perbuatan, perkataan, keyakinan, dan sikap yang melambangkan (lambang=simbol) kepatuhan (=komitmen) pada ajaran agama. Agama mengajarkan tentang apa yang benar dan yang salah, serta apa yang baik dan yang buruk. Agama berasal dari Supra Ultimate Being, bukan dari kebudayaan yang diciptakan oleh seorang atau sejumlah orang. Agama yang benar tidak dirumuskan oleh manusia. Manusia hanya dapat merumuskan kebajikan atau kebijakan, bukan kebenaran. Kebenaran hanyalah berasal dari yang benar yang mengetahui segala sesuatu yang tercipta, yaitu Sang Pencipta itu sendiri. Dan apa yang ada dalam agama selalu berujung pada tujuan yang ideal. Ajaran agama berhulu pada kebenaran dan bermuara pada keselamatan. Ajaran yang ada dalam agama memuat berbagai hal yang harus dilakukan oleh manusia dan tentang hal-hal yang harus dihindarkan. Kepatuhan pada ajaran agama ini akan menghasilkan kondisi ideal. Mengapa ada yang Takut pada Agama? Mereka yang sekuler berusaha untuk memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari. Mereka yang marxis sama sekali melarang agama. Mengapa mereka melakukan hal-hal tersebut? Kemungkinan besarnya adalah karena kebanyakan dari mereka sama sekali kehilangan petunjuk tentang tuntunan apa yang datang dari Tuhan. Entah mereka dibutakan oleh minimnya informasi yang mereka dapatkan, atau mreka memang menutup diri dari segala hal yang berhubungan dengan Tuhan. Alasan yang seringkali mereka kemukakan adalah agama memicu perbedaan. Perbedaan tersebut menimbulkan konflik. Mereka memiliki orientasi yang terlalu besar pada pemenuhan kebutuhan untuk bersenang-senang, sehingga mereka tidak mau mematuhi ajaran agama yang melarang mereka melakukan hal yang menurutnya menghalangi kesenangan mereka, dan mereka merasionalisasikan perbuatan irasional mereka itu dengan justifikasi sosialintelektual. Mereka menganggap segi intelektual ataupun sosial memiliki nilai keberhargaan yang lebih. Akibatnya, mereka menutup indera penangkap informasi yang mereka miliki dan hanya mengandalkan intelektualitas yang serba terbatas. Mereka memahami dunia dalam batas rasio saja. Logika yang mereka miliki begitu terbatasnya, hingga abstraksi realita yang bersifat supra-rasional tidak mereka akui. Dan hasilnya, mereka terpenjara dalam realitas yang serba empiri. Semua harus terukur dan terhitung. Walaupun mereka sampai sekarang masih belum memahami banyaknya fungsi alam yang bekerja dalam mekanisme supra rasional, keterbatasan
kerangka berpikir yang mereka miliki menegasikan semua hal yang tidak dapat ditangkap secara inderawi. Padahal, pembatasan diri dalam realita yang hanya bersifat empiri hanya akan membatasi potensi manusia itu sendiri. Dan hal ini menegasikan tujuan hidup yang selama ini diagungkan para penganut realita rasio-saja, yaitu aktualisasi diri dan segala potensinya. Agama, dengan sandaran yang kuat pada realitas supra rasional, membebaskan manusia untuk mengambil segala hal yang terbaik yang dapat dihasilkannya dalam hidup. Semua-apakah hal itu bersifat empiri-terukur, maupun yang belum dapat diukur. Empirisme bukanlah suatu hal yang ditolak agama. Agama yang benar, yang bersifat universal, mencakup segi intelektual yang luas, yang diantaranya adalah empirisme. Agama tidak mereduksi intelektualitas manusia dengan membatasi kuantitas maupun kualitas suatu idea. Agama yang benar, memberi petunjuk pada manusia tentang bagaimana potensi manusia dapat dikembangkan dengan sebesar-besarnya. Dan sejarah telah membuktikan hal tersebut.
Kesalahan yang dibuat para penilai agama-lah yang kemudian menyebabkan realita ajaran ideal ini menjadi terlihat buruk. Beberapa peristiwa sejarah yang menonjol mereka identikan sebagai kesalahan karena agama. Karena keyakinan pada ajaran agama. Padahal, kerusakan yang ditimbulkan adalah justru karena jauhnya orang dari ajaran agama. Kerusakan itu timbul saat agama-yang mengajarkan kemuliaan- disalahgunakan oleh manusia pelaksananya untuk mencapai tujuan yang terlepas dari ajaran agama itu sendiri, terlepas dari pelaksanaan keseluruhan dimensinya.
C. Pelembagaan Agama Sebenarnya apa yang dimaksud dengan agama? Kami mengurapamakan sebagai sebuah telepon. Jika manusia adalah suatu pesawat telepon, maka agama adalah media perantara seperti kabel telepon untuk dapat menghubungkan pesawat telepon kita dengan Telkom atau dalam hal ini Tuhan. Lembaga agama adalah suatu organisasi, yang disahkan oleh pemerintah dan berjalan menurut keyakinan yang dianut oleh masing-masing agama. Penduduk Indonesia pada umumnya telah menjadi penganut formal salah satu dari lima agama resmi yang diakui pemerintah. Lembaga-lembaga keagamaan patut bersyukur atas kenyataan itu. Namun nampaknya belum bisa berbangga. Perpindahan penganut agama suku ke salah satu agama resmi itu banyak yang tidak murni.
Sejarah mencatat bahwa tidak jarang terjadi peralihan sebab terpaksa. Pemaksaan terjadi melalui perselingkuhan antara lembaga agama dengan lembaga kekuasaan. Keduanya mempunyai kepentingan. Pemerintah butuh ketentraman sedangkan lembaga agama membutuhkan penganut atau pengikut. Kerjasama (atau lebih tepat disebut saling memanfaatkan) itu terjadi sejak dahulu kala. Para penyiar agama sering membonceng pada suatu kekuasaan (kebetulan menjadi penganut agama tersebut) yang mengadakan invansi ke daerah lain. Penduduk daerah atau negara yang baru ditaklukkan itu dipaksa (suka atau tidak suka) menjadi penganut agama penguasa baru. Kasus-kasus itu tidak hanya terjadi di Indonesia atau Asia dan Afrika pada umumnya tetapi juga terjadi di Eropa pada saat agama monoteis mulai diperkenalkan. Di Indonesia tradisi saling memanfaatkan berlanjut pada zaman orde Baru.Pemerintah orde baru tidak mengenal penganut di luar lima agama resmi. Inilah pemaksaan tahap kedua. Penganut di luar lima agama resmi, termasuk penganut agama suku, terpaksa memilih salah satu dari lima agama resmi versi pemerintah. Namun ternyata masalah belum selesai. Kenyataannya banyak orang yang menjadi penganut suatu agama tetapi hanya sebagai formalitas belaka. Dampak keadaan demikian terhadap kehidupan keberagaan di Indonesia sangat besar. Para penganut yang formalitas itu, dalam kehidupan kesehariannya lebih banyak mempraktekkan ajaran agam suku, yang dianut sebelumnya, daripada agama barunya. Pra rohaniwan agama monoteis, umumnya mempunyai sikap bersebrangan dengan prak keagamaan demikian. Lagi pula pengangut agama suku umumnya telah dicap sebagai kekafiran. Berbagai cara telah dilakukan supaya praktek agama suku ditinggalkan, misalnya pemberlakukan siasat/disiplin gerejawi. Namun nampaknya tidak terlalu efektif. Upacara-upacara yang bernuansa agama suku bukannya semakin berkurang tetapi kelihatannya semakin marak di manamana terutama di desadesa. Demi pariwisata yang mendatangkan banyak uang bagi para pelaku pariwisata, maka upacarav-upacara adat yang notabene adalah upacara agama suku mulai dihidupkan di daerah-daerah. Upacara-upacara agama sukuyang selama ini ditekan dan dimarjinalisasikan tumbuh sangat subur bagaikan tumbuhan yang mendapat siraman air dan pupuk yang segar. Anehnya sebab bukan hanya orang yang masih tinggal di kampung yang menyambut angin segar itu dengan antusias tetapi ternyata orang yang lama tinggal di kotapun menyambutnya dengan semangat membara. Bahkan di kota-kotapun sering ditemukan praktek hidup yang sebenarnya berakar dalam agama suku. Misalnya pemilihan hari-hari tertentu yang diklaim sebagai hari baik untuk melaksanakan suatu upacara. Hal ini semakin menarik sebab mereka itu pada umumnya merupakan pemeluk yang fanatik dari salah satu agama monoteis bahkan pejabat atau pimpinan agama.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan maut menimbulkan relegi, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agamanya para tasauf. Bukti di atas sampai pada pendapat bahwa agama merupakan tempat mencari makna hidup yang final dan ultimate. Kemudian, pada urutannya agama yang diyakininya merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali kepada konsep hubungan agama dengan masyarakat, di mana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial, dan individu dengan masyarakat seharusnyalah tidak bersifat antagonis. Saran Dengan dibuat nya makalah ini kami mengharapkan kepada pembaca agar bisa memahami dan dapat menerangkan hubungan antara agama dan masyarakat.
B.