Anda di halaman 1dari 6

Ki Ageng Mangir Wanabaya

AWAL kisah Mangir bermula dari terjadinya perubahan kekuasaan di tanah Jawa. Tenggelamnya kekuasaan Sultan Hadiwijaya di Kerajaan Pajang dan digantikan cahaya kekuasaan Panembahan Senopati di Kraton Mataram menerbitkan cita-cita besar, Mataram Raya seperti halnya Nusantara Jaya di jaman Majapahit dibawah Hayamwuruk-Gadjah Mada. Cita-cita Mataram Raya pada benak Panembahan Senopati sebagai pemula Kerajaan Mataram Islam mengharuskan banyak tokoh bupati di wilayah Jawa Tengah hingga Jawa Timur seperti Bupati Pati, Jepara, Kudus, Tuban hingga Blambangan di ujung timur Jawa ini haruslah tunduk dibawah panji Mataram. Begitu pula tanah perdikan di Desa Mangir dengan pimpinan tokoh lokal yang sangat berpengaruh dan sakti yang oleh masyarakatnya disebut Ki Ageng Mangir. Tanah Perdikan Mangir sendiri bukan wilayah yang baru saja muncul, tanah perdikan yang merupakan wilayah yang dibebaskan membayar pajak telah ada sejak pemerintahan Majapahit. Perdikan Mangir saat itu dibawah Ki Ageng Wanabaya I yang kemudian dikenal dengan Ki Ageng Mangir I. Setelah Pemanahan bersama Danang Sutowijaya berhasil mengalahkan Aryo Penangsang dari Kadipaten Jipang-Panolan, Sultan Hadiwijaya berkenan memberikan alas mentaok yang juga menjadi tanah perdikan dibawah pimpinan Ki Ageng Pemanahan yang kemudian dikenal dengan Mataram. Kadipaten Mataram inilah yang kemudian menjadi Kerajaan Mataram setelah kerajaan Pajang surut dengan meninggalnya Sultan Hadiwijaya. Bersmaan dengan cita-cita Mataram Raya dibawah Panembahan Senopati, tidak jauh dari ibukota Mataram yang pada waktu itu berada di Kota Gede (berjarak 30 km ke arah selatan), Kadipaten Mangir masih bersifat istimewa sebagai daerah perdikan, daerah merdeka. Tentu saja ini tidak bisa dibiarkan untuk terwujudnya Mataram Raya. Mangir harus tunduk dibawah Senopati. Dengan niat penguasai seluruhnya tanah Mataram dan janji pada Jaka Tingkir, Ki Ageng Pemanahan ingin menaklukkan Mangir yang diteruskan oleh

keturunannya yaitu Sutawijaya atau Panembahan Senopati yang selanjutnya mendirikan Kraton di Kota Gede. Akibatnya pertempuran demi pertempuran pun tak terelakkan lagi, namun Panembahan Senopati tak kunjung berhasil melumpuhkan Ki Ageng Wanabaya yang mempunyai senjata sangat sakti, yakni Tombak Baruklinting dan Baru Kuping yang terbuat dari lidah seekor ular naga yang sakti mandaguna, sehingga pusaka andalan Mataram yang disebut Kyai Pleret pun tak mampu mengalahkannya. Meski kekuasaan perdikan Mangir telah beralih pada turunan Ki Ageng Wanabaya I sampai dengan Ki Ageng Wabaya IV, prinsip merdeka dan tak mau tunduk pada Senopati tetap kukuh tertanam di darah Ki Ageng Mangir IV. Akhirnya Panembahan Senopati beserta jajarannya segera melakukan strategi untuk mengatasi gerakan separatis itu. Dengan menggunakan pendekatan intelijen yang cukup canggih, maka ditemukan metode jebakan yang disebut Apus Krama yaitu mengumpankan putri panembahan Senopati yang berparas cantik untuk memikat hati Ki Ageng Mangir muda, Ki Ageng Mangir. Operasi pemulihan keamanan pun dilakukan dengan cara menjadikan Rara Pembayun seorang penari tayub dan berkeliling dari desa ke desa, namun sebelum Pembayun berkeliling desa menjadi penari ia melakukan ritual,yaitu mandi di Sendang Kasihan yang sekarang berada di wilayah Kecamatan Kasihan-Bantul, karena menurut legenda jika seseorang mandi di sendang ini maka akan semakin cantik dan awet muda. Singkat cerita sampailah Rara Pembayun ke daerah kekuasaan Ki Ageng Mangir. Karena kecantikan Rara Pembayun, Ki Ageng Mangirpun jatuh hati dan akhirnya mempersunting Rara Pembayun yang pada mulanya Ki Ageng Mangir tidak mengetahui bahwa Pembayun adalah putri dari Panembahan Senopati, lalu lambat laun akhirnya terbongkarlah penyamaran Pembayu, namun karena kecintaannya pada sang istri akhirnya Ki Ageng Mangir pun tetap mempertahankan rumah tangganya dengan Pembayun. Kemudian dikisahkan bahwa pada suatu saat Ki Ageng Mangir harus menghadap Panembahan Senopati sebagai baktinya kepada sang ayah mertua, dan

dalam adap keratin bahwa apabila akan menghadap mertua semua jenis senjata haruslah ditanggalkan, lalu menghadaplah Ki Ageng Mangir ke hadapan Panempahan Senopati Tanya sebuah senjatapun dan akhirnya beliau tewas di tangan ayah mertuanya sendiri dengan bercucuran darah akibat dibenturkannya kepala Ki Ageng Mangir di sebuah batu yang disebut watu gilang. Dan hingga saat ini, masih dapat dijumpai beberapa peninggalan sejarah dari keraton Ki Ageng Mangir, antara lain batu persegi dengan ukuran 11 meter yang dipercaya sebagai tempat duduk Ki Ageng Mangir, arca lembu atau yang dikenal sebagai kendaraan Dewa Siwa, beberapa fragmen arca.dan onggokan batu bata dalam ukuran lebih besar dari rata-rata ukuran batu bata di zaman sekarang, onggokan batu bata yang hampir tersebar di seluruh Dusun Mangir ini diperkirakan merupakan sisa-sisa bangunan keraton Ki Ageng Mangir di masa lalu. Serta ada pula peninggalan yang berkaitan dengan sejarah keraton Mangir yaitu Watu Gilang yang menjadi alat Panembahan Senopati untuk membunuh Ki Ageng Mangir yang sekarang terletak di Kota Gede.

KESIMPULAN dan AMANAH Dari cerita rakyat yang berkembang di masyarakat Yogyakarta khususnya masyarakat Bantul tentang kisah hidup Ki Ageng Mangir Wanabaya kita dapat menyimpulkan bahwa seseorang dapat melakukan apa pun demi kekuasaan, berbagai siasat ditempuh demi mencapai apa yang diinginkan bahkan hingga membunuh nyawa orang lain, terlebih-lebih sesungguhnya Ki Ageng Mangir adalah menantu dari Panembahan Senopati, suami yang sangat dicintai oleh putrinya Rara Pembayun. Namun di sisi lain kita juga dapat melihat sosok Rara Pembayun yang begitu patuh pada ayahnya, rasa kasih dan hormat Pembayun pada ayahnya membuat Pembayun rela menjadi umpan untuk memperdaya Ki Ageng Mangir, walaupun pada akhirnya Pembayun benar-benar jatuh hati pada sosok Ki Ageng Mangir. Dan kita pun dapat melihat sosok yang sangat bijaksana dan pembela kebenaran dari seorang Ki Ageng Mangir, beliau membela hak-hak masyarakat yang menginginkan kemerdekaan,bebas dari pajak dan dapat hidup dengan aman sejahtera, serta sikap kesatria yang penuh dengan keberanian menghadap Panembahan Senopati yang telah menjadi ayah mertua Ki Ageng Mangir, beliau rela melepaskan semua senjata yang biasanya beliau bawa kemanapun beliau pergi demi menghormati ayah dari istri yang sangat beliau cintai, meski akhirnya beliau harus meregang nyawa di tangan ayah mertuanya sendiri.

CERITA RAKYAT
PENDIDIKAN PANCASILA

Disusun oleh Nama Prawesti NIM : Laksitha Ajeng : 12320062 : 59 : A

Nomer Absen Kelas

Universitas Islam Indonesia Jalan Kaliurang km 14,4 Sleman Yogyakarta

2012/2013

Anda mungkin juga menyukai