Anda di halaman 1dari 3

Cairan pra bedah Status cairan harus dinilai dan dikoreksi sebelum dilakukannya induksi anestesi untuk mengurangi

perubahan kardiovaskuler dekompensasi akut. Penilaian status cairan ini didapat dari :7 Anamnesa : Apakah ada perdarahan, muntah, diare, rasa haus. Kencing terakhir, jumlah dan warnya. Pemeriksaan fisik. Dari pemeriksaan fisik ini didapat tanda-tanda obyektif dari status cairan, seperti tekanan darah, nadi, berat badan, kulit, abdomen, mata dan mukosa. Laboratorium meliputi pemeriksaan elektrolit, BUN, hematokrit, hemoglobin dan protein. Defisit cairan dapat diperkirakan dari berat-ringannya dehidrasi yang terjadi.8 Pada fase awal pasien yang sadar akan mengeluh haus, nadi biasanya meningkat sedikit, belum ada gangguan cairan dan komposisinya secara serius. Dehidrasi pada fase ini terjadi jika kehilangan kira-kira 2% BB (1500 ml air). Fase moderat, ditandai rasa haus. Mukosa kering otot lemah, nadi cepat dan lemah. Terjadi pada kehilangan cairan 6% BB. Fase lanjut/dehidrasi berat, ditandai adanya tanda shock cardiosirkulasi, terjadi pada kehilangan cairan 7-15 % BB. Kegagalan penggantian cairan dan elektrolit biasanya menyebabkan kematian jika kehilangan cairan 15 % BB atau lebih. Cairan preoperatif diberikan dalam bentuk cairan pemeliharaan, ada dewasa 2 ml/kgBB/jam. Atau 60 ml ditambah 1 ml/kgBB untuk berat badan lebih dari 20 kg.10 Pada anak-anak 4 ml/kg pada 10 kg BB I, ditambah 2 ml/kg untuk 10 kgBB II, dan ditambah 1 ml/kg untuk berat badan sisanya.2,3,7 Kecuali penilaian terhadap keadaan umum dan kardiovaskuler, tanda rehidrasi tercapai ialah dengan adanya produksi urine 0,5-1 ml/kgBB.2 A. Macam cairan intravena yang digunakan Berdasarkan fungsinya cairan dapat dikelompokkan menjadi :2 1. Cairan pemeliharaan : ditujukan untuk mengganti air yang hilang lewat urine, tinja, paru dan kulit (mengganti puasa). Cairan yang diberikan adalah cairan hipotonik, seperti D5 NaCl 0,45 atau D5W. 2. Cairan pengganti : ditujukan untuk mengganti kehilangan air tubuh akibat sekuestrasi atau proses patologi lain seperti fistula, efusi pleura asites, drainase lambung. Cairan yang diberikan bersifat isotonik, seperti RL, NaCl 0,9 %, D5RL, D5NaCl. 3. Cairan khusus : ditujukan untuk keadaan khusus misalnya asidosis. Cairan yang dipakai seperti Natrium bikarbonat, NaCl 3%. Cairan juga dibagi menjadi : 1. Kristaloid Larutan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau dextroa, tidak mengandung molekul besar. Kristaloid dalam waktu singkat sebagian besar akan keluar dari intravaskular, sehingga volume yang diberikan harus lebih banyak (2,5-4 kali) dari volume darah yang hilang. Kristaloid mempunyai waktu paruh intravaskuler 20-30 menit. Ekspansi cairan dari ruang intravaskuler ke

interstital berlangsung selama 30-60 menit sesudah infus dan akan keluar dalam 24-48 jam sebagai urine.3,7 Secara umum kristaloid digunakan untuk meningkatkan volume ekstrasel dengan atau tanpa peningkatan volume intrasel.4 2. Kolloid Kolloid mengandung molekul-molekul besar berfungsi seperti albumin dalam plasma tinggal dalam intravaskular cukup lama (waktu parah koloid intravaskuler 3-6 jam), sehingga volume yang diberikan sama dengan volume darah yang hilang. Contoh cairan koloid antara lain dekstran, haemacel, albumin, plasma dan darah.2,7 Secara umum koloid dipergunakan untuk :3 1. Resusitasi cairan pada penderita dengan defisit cairan berat (shock hemoragik) sebelum transfusi tersedia. 2. Resusitasi cairan pada hipoalbuminemia berat, misalnya pada luka bakar.

DAFTAR PUSTAKA 1. Sunatrio, 1997, Terapi Cairan untuk Resusitasi Pasien Traumatik, dalam Symposium of Fluid and Nutrition Therapy in Traumatic Patients, Bagian Anestesiologi FK UI/RSCM, Jakarta. 2. Suntoro, A, Terapi Cairan Perioperatif, dalam Muhiman, M. dkk., Anestesiologi, CV. Infomedika, Jakarta. 3. Ngurah, N., 1999, Terapi Cairan Perioperatif, Workshop Cairan, FK UGM, RSUP Dr. Sardjito. 4. Mulyono, I., Jenis-jenis Cairan, dalam Symposium of Fluid and Nutrition Therapy in Traumatic Patients, Bagian Anestesiologi FK UI/RSCM, Jakarta. 5. Setiabudi, M., 1986, Fisiologi Cairan Tubuh, dalam Simposium Terapi cairan pada Penderita Gawat. 6. Sutjahjo, RA., Sulistyono, H, Sunartomo, T., 1986, Terapi Cairan Paska Bedah, dalam Simposium Terapi Cairan pada Penderita Gawat. 7. Tonessen AS., 1990, Crystalloids and Colloid, in Miller, RD., Anesthesia, Ed 3rd, Vol. 2. Churchill Livingstone, p : 1439-1465. 8. Collins, VI., 1996, Fluids and Electrolytes, in Physicologic and Pharmachologic Bases of Anesthesia, Williams & Wilkins, USA, p : 165-187. 9. Sunatrio, 1998, Terapi Cairan Resusitasi, dalam Simposium dan Diskusi Panel Aspek Klinis Pengguna Koloid, IDSAI & IDI Cab. Sleman, Yogyakarta. 10. Lennon, P., 1993, Administration of General Anesthesia, in Davison, MD., et all, Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital, Ed 4th, Dept. of Anesthesia, Massachusetts Hospital, USA, p : 188-197. 11. Hansel, AC., 1993, Transfusion Therapy, in Davison, MD., et all, Clinical Anesthesia, Massachusetts Hospital, USA, p : 511-526. 12. Baskett, PJF., 1990, Management of Hypovolenic Shock, British Medical Journal (BMJ), Vol. 300 : 1453-1457.

13. Wirjo Atmadja, K., Megwae, HH., Rahardjo, E., 1986, Patofisiologi Cairan Tubuh pada Trauma dan Perdarahan, dalam Simposium Terapi Cairan pada Penderita Gawat.

Anda mungkin juga menyukai