Anda di halaman 1dari 58

22

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Tipe Kepribadian Ekstrovert-Introvert 1. Struktur Kepribadian H. J. Eyesenck Eysenck (dalam Suryabrata, 2003: 291) berpendapat bahwa kepribadian tersusun atas tindakan-tindakan, disposisi disposisi yang terorganisasi dalam susunan hierarkis berdasarkan atas keumuman dan kepentingannya. Diurut dari yang paling tinggi dan paling mencakup ke paling rendah dan paling umum, serta isinya masing-masing adalah sebagai berikut : a. Type, merupakan gambaran dari adanya suatu organisasi dalam diri individu dan menunjukkan adanya sistem saling berkaitan antara trait yang ada pada individu tersebut. b. Trait, merupakan habitual response yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya dan cenderung ada pada individu tertentu pula. Traits sering disebut juga an observed constellation of individual action tendencies atau suatu yang cenderung tetap terlihat sebagai hal yang melatarbelakangi suatu tingkah laku.

23

c. habitual response, merupakan corak respon yang sifatnya lebih umum dari spesific response, yaitu respon-respon yang berulangulang terjadi jika individu menghadapi kondisi atau situasi yang sama. d. spesific response, merupakan tingkatan yang paling rendah. Disini tingkah laku individu belum menunjukkan karakter, respon yang diperlihatkan khusus sekali karena terjadi pada suatu keadaan atau kejadian tertentu. Berdasarkan penjelasan mengenai struktur kepribadian di atas, Eysenck lebih banyak memfokuskan terhadap pengertian traits dan type. Ia menetapkan bahwa struktur kepribadian didominasi oleh sejumlah kecil tipe kepribadian. Dimensi-dimensi dasar dari tipe kepribadian mempunyai pengaruh yang kuat terhadap tingkah laku. Tipe-tipe kepribadian tersebut tersusun atas traits yang diliputi pula oleh banyak respon habitual. Pada akhirnya, terdapat sejumlah besar respon-respon yang merupakan elemen dari suatu habit. 2. Definisi Kepribadian Kepribadian merupakan salah satu topik utama dalam psikologi sebagai suatu ilmu pengetahuan. Masing-masing orang memiliki karakteristik kepribadian yang berbeda-beda yang

mempengaruhi perilakunya. Meskipun banyak ahli psikologi yang menjelaskan mengenai kepribadian, namun belum ada kesepakatan

24

mengenai pengertian dan faktor-faktor pembentuk kepribadian. Yang menjadi sesuatu yang telah disepakati adalah bahwa kepribadian merupakan dasar dari seseorang bertingkah laku. Carl Jung (dalam Calvin S. Hall dan Garder Lindzey, 1983: 109) mendefinisikan kepribadian sebagai berikut: Personality is the supreme realization of the innate idiosyncrasy of a living being, it is an act of high courage flung in the face of life, the absolute affirmation of all that constitutes the individual, the most successful adaptation to the universal conditions of existence couple with the greatest possible freedom for self-determination.

Carl Jung mendefinisikan kepribadian sebagai realisasi tertinggi dari penggabungan antara keistimewaan yang dibawa sejak lahir, keberanian dalam menghadapi kehidupan, penguatan dari konstitusi tubuh, keberhasilan beradaptasi terhadap kondisi

lingkungan, dan tekad diri yang besar. Suryabrata (2003: 156) menyatakan bahwa Jung tidak berbicara tentang kepribadian melainkan tentang psyche, yaitu totalitas segala peristiwa psikis baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Cattell (dalam Sumandi Suryabrata 2003: 298) memberikan definisi kepribadian yang sangat umum, yaitu Personality is that which permits a prediction of what a person will do in a given situation.

25

Cattell berpendapat bahwa kepribadian merupakan jalan untuk memprediksikan apa yang akan dilakukan seseorang pada situasi yang biasanya. Cattel menambahkan, kepribadian adalah persoalan mengenai segala aktivitas individu, baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Eysenck yang dikutip Calvin S. Hall dan Garder Lindzey (1985: 437) mengemukakan bahwa: Personality is the sum-total of actual or potential behavior pattenrs of the organism as determined by heredity an environment: it originates and develops throuht the functional interaction of the four main sectors into which these behavior pattenrs are or the conative sector (character), the affective sector (temperament), and the somatic sector (constitusion). Eyesenck mendefinisikan kepribadian sebagai gabungan dari fungsi secara nyata atau fungsi potensial pola organism yang ditentukan oleh faktor keturunan dan penguatan dari lingkungan. Kepribadian awal akan tumbuh melalui interaksi empat macam fungsional, yaitu sektor kognitif (intelegensi), sektor konatif (karakter) (konstitusi). 3. Tipe Kepribadian Ekstrovert-Introvert Menurut Eysenck (1970: 15) tipe kepribadian ekstrovertintrovert didasarkan pada perbedaan respon-respon, kebiasaankebiasaan, dan sifat-sifat yang ditampilkan oleh individu dalam sektor afektif (temperamen), dan sektor somatik

26

melakukan relasi interpersonal. Tipe kepribadian menjelaskan posisi kecenderungan individu sehubungan dengan reaksi atau tingkah lakunya. Pembagian ekstrovert-introvert dipandang sebagai dua kutub yang membentuk skala sikap kontinum. Eyesenck (1970: 20) membedakan kedua kecenderungan tipe kepribadian ekstrovertintrovert berdasarkan komponen-komponen sebagai berikut : a. Social Activity. Banyaknya energy yang dikeluarkan dan intensitas seseorang dalam konteks sosial, waktu yang digunakan untuk pergaulan sosial, dan banyak sedikitnya ia berbicara. b. Social Facility. Keterampilan sosial dan interpersonal, kualitas kepemimpinan, dominasi, dan keterampilan berbicara yang dimiliki individu. c. Impulsiveness (risk talking and adventure someness). Spontanitas dan fleksibilitas dalam perilaku sosial, perbedaan hambatan sosial, dan pengendalian diri. d. Non introspective tendencies. Prefensi dalam bertindak objektif dan reflektiveness intropeksi diri dan pengungkapan diri. Secara umum, individu yang tergolong introvert akan lebih berorientasi pada stimulus internal dibandingkan dengan individu yang tergolong ekstrovert. Individu yang tergolong introvert akan lebih memperhatikan pikiran, suasana hati dan reaksi-reaksi yang terjadi dalam diri mereka. Hal ini membuat individu yang tergolong introvert

27

cenderung lebih pemalu, memiliki control diri yang kuat, dan memiliki keterpakuan terhadap hal-hal yang terjadi dalam diri mereka. Selain itu individu introvert ini selalu berusaha untuk mawas diri, tampak pendiam, tidak ramah, lebih suka menyendiri, dan mengalami hambatan pada kualitas tingkah laku yang ditampilkan. Perbedaan yang mencolok terdapat pada individu yang tergolong ekstrovert. Individu yang tergolong ekstrovert cenderung tampak lebih bersemangat, mudah bergaul bahkan terkesan impulsif dalam menampilkan tingkah laku mereka. Individu yang tergolong ekstrovert sering kali berani melanggar aturan, memiliki rasa toleransi yang lebih tinggi terhadap rasa sakit, dan lebih mudah terlibat dalam suatu relasi. Individu ekstrovert sering kali lebih berada pada kategori tough-minded dibandingkan individu introvert yang berada dalam kategori tender-minded. Secara fisiologis, perbedaaan antara individu ekstrovert dengan introvert dapat dilihat pada anatomi otak dan susunan syaraf pusat. Oleh sebab itu, keduanya akan berbeda pula dalam level

keterbangkitan otak. Individu yang tergolong introvert akan cenderung untuk menghindar dari sumber stimulus eksternal, yang selalu dicari oleh individu yang tergolong ekstrovert. Setelah mengetahui tipe dan struktur kepribadian ekstrovert-introvert yang dikemukakan oleh

28

Eyesenck maka dapat diprediksi bagaimana kecenderungan seseorang dalam menanggapi suatu stimulus. 4. Traits dalam Tipe Kepribadian Ekstrovert-Introvert Eyesenc menjelaskan bahwa suatu traits dapat ada pada seriap manusia. Traits ini tidak aktif setiap waktu tetapi selalu ada dan mempunyai ambang yang rendah sehingga dapat muncul bila terdapat suatu stimulus tertentu. Tipe kepribadian ekstrovert-introvert masingmasing dibagi kedalam tujuh sub-aspek/faktor (Eysenc & Wilson, 1975; 35). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ketujuh sub aspek yang termasuk ke dalam tipe kepribadian ekstrovert-introvert. a. Tipe Kepribadian Ekstrovert 1) Activity, yaitu menyukai segala bentuk aktivitas fisik termasuk bekerja keras dan berolah raga, sering bangun pagi, bergerak cepat dari satu aktivitas ke aktivitas yang lainnya, serta memiliki minat yang luas tentang berbagai hal. 2) Sociability, yaitu membutuhkan kehadiran orang lain,

menyukai pesta dan bersenang-senang, cepat akrab, merasa nyaman dalam situasi-situasi sosial. 3) Risk talking, yaitu menyukai hal-hal yang berbahaya, mencari kesenangan atau tantangan tanpa memikirkan akibat negative yang mungkin akan diterimanya.

29

4) Impulsiveness, yaitu dalam bertindak tergesa-gesa, kurang pertimbangan, kurang berhati-hati dalam membuat keputusan, mudah berubah, dan sulit diduga tindakannya. 5) Expresiveness, yaitu memperlihatkan emosi secara terbuka, baik emosi sedih, marah, takut, cinta atau benci, sentimental, mudah simpati, mudah berubah pendirian, lincah, dan bebas. 6) Practicality, yaitu tertarik untuk mempraktekkan hal daripada menganalisisnya, cenderung kurang sabar terhadap hal-hal yang bersifat teoritik. 7) Irresponsibility, yaitu kurang teliti, kurang memperhatikan aturan, kurang bisa menepati janji, tidak dapat diduga, dan kurang bertanggung jawab secara sosial. b. Tipe Kepribadian Introvert 1) Inactivity, yaitu kurang giat, cepat lelah, santai dalam beraktivitas, lebih menyukai situasi yang tenang dan senang bermalas-malasan. 2) Unsociability, yaitu lebih suka memiliki sedikit teman, menyukai aktivitas individual seperti membaca, memiliki kesulitan untuk memulai pembicaraan dengan orang lain, cenderung menghindari kontak sosial.

30

3) Carefulness, yaitu lebih menyukai hal-hal yang familiar, aman dan tidak berbahaya, walaupun hal tersebut kurang membawa kebahagiaan. 4) Control, yaitu sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan, sistematik dan terarah, kehidupannya terencana, berpikir sebelum berbicara, dan mengamati sebelum melakukan sesuatu. 5) Inhibition, yaitu sangat berhati-hati dalam memperlihatkan emosi, tenang, pandai menguasai diri, objektif, mengontrol ekspresi, pikiran dan perasaan. 6) Reflectiveness, yaitu tertarik akan ide-ide, abtraksi, pertanyaanpertanyaan filosofi, diskusi dan ilmu pengetahuan, bersifat mawas diri dan bijaksana. 7) Responsibility, yaitu teliti, dapat dipercaya, dapat diandalkan, serius dan sedikit kompulsif. Kepribadian bukanlah merupakan sesuatu yang diturunkan begitu saja, namun dengan dasar adanya pengkondisian respon maka proses terbentuknya kepribadian berlangsung dalam diri individu. 5. Ciri-Ciri Kepribadian Ekstrovert-Introvert Ekstrovert dan introvert digambarkan oleh Eysenck (dalam Aiken, 1993 : 86-87) sebagai berikut :

31

Yang khas dari ekstrovert adalah mudah bergaul, suka pesta, mempunyai banyak teman, membutuhkan teman untuk bicara, dan tidak suka membaca atau belajar sendirian, sangat membutuhkan kegembiraan, mengambil tantangan, sering menentang bahaya, berperilaku tanpa berpikir terlebih dahulu, dan biasanya suka menurutkan kata hatinya, gemar akan guraugurauan, selalu siap menjawab, dan biasanya suka akan perubahan, riang, tidak banyak pertimbangan (easy going), optimis, serta suka tertawa dan gembira, lebih suka untuk tetap bergerak dalam melakukan aktivitas, cenderung menjadi agresif dan cepat hilang kemarahannya, semua perasaannya tidak disimpan dibawah kontrol, dan tidak selalu dapat dipercaya. Eysenck (dalam Aiken, 1993 : 87) mengambarkan cirri khas dari introvert sebagai berikut : Pendiam, pemalu, mawas diri, gemar membaca, suka menyendiri dan menjaga jarak kecuali dengan teman yang sudah akrab, cenderung merencanakan lebih dahulu melihat dahulu sebelum melangkah, dan curiga, tidak suka kegembiraan, menjalani kehidupan sehari-hari dengan keseriusan, dan menyukai gaya hidup yang teratur dengan baik, menjaga perasaannya secara tertutup, jarang berperilaku agresif, tidak menghilangkan kemarahannya, dapat dipercaya, dalam beberapa hal pesimis, dan mempunyai nilai standar etika yang tinggi. 6. Karakteristik Kepribadian Ekstrovert-Introvert Menurut Jung (dalam Lefrancus, 1979 : 421) terdapat dua dimensi utama kepribadian, yaitu ekstrovert dan introvert. Ekstrovert ditandai dengan mudah bergaul, terbuka, dan mudah mengadakan hubungan dengan orang lain. Introvert ditandai dengan sukar bergaul, tertutup, dan sukar mengadakan hubungan dengan orang lain.

32

Dikemukakan oleh Eysenck (dalam Fransella, 1981 : 84) karakteristik ekstroversi ditandai oleh sosiabilitas, bersahabat, aktif berbicara, impulsif, menyenangkan, aktif dan spontan, sedangkan introversi ditandai dengan hal-hal kebalikannya. Lebih jelasnya lagi Eysenck (1980: 9) menjabarkan komponen ekstrovert adalah kurangnya tanggung jawab, kurangnya refleksi, pernyataan perasaan, penurutan kata hati, pengambilan resiko, kemampuan sosial, dan aktivitas. 7. Pengaruh Kepribadian Terhadap Narkoba Sudah menjadi anggapan umum bahwa pola kepribadian seseorang besar peranannya dalam penyalahgunaan obat. Beberapa literature dan laporan penelitian mengungkapkan bahwa mayoritas pemakai mempunyai kepribadian yang lebih tertutup dan

kecenderungan neurotis dibandingkan yang bukan pemakai (Danny, 1986: 11). Pengalaman menunjukkan bahwa sebagian besar penyalahguna obat, sebelumnya sudah merupakan individu yang memiliki problema dalam kepribadiannya. Oleh karena itu, kita tidak dapat melepaskan diri dari riwayat perkembangan individu tersebut mulai masa kanakkanak hingga masa remajanya. Berbagai teori telah berusaha menerangkan sebab-sebab seseorang menggunakan obat dan kemudian menyalahgunakannya.

33

Dari hasil pengamatan maupun penelitian tersebut kemudian diperoleh gambaran mengenai cirri-ciri atau karakteristik yang dapat dianggap sebagai faktor pendahulu dari riwayat penyalahgunaan obat pada seseorang (Danny, 1986: 18). Gambaran karakteristik tersebut antara lain : a. Sifat mudah kecewa Gambaran yang sering kita jumpai pada kelompok pemakai obat ialah adanya toleransi yang rendah terhadap suatu kegagalan. Keadaan ini seringkali menimbulkan kecenderungan pada individu tersebut untuk cepat menjadi agresif. Cara ini dipakai untuk mengatasi kekecewaannya. Kellan dalam (Danny, 1986: 18) menyatakan terdapat korelasi yang positif antara agresifitas dan penyalahgunaan obat. Selanjutnya Kellan menambahkan bahwa tingkah laku tersebut telah Nampak pada seseorang sebelum dia terlibat dalam masalah penyalahgunaan obat. b. Sifat tidak dapat menunggu atau tidak sabar Pada kelompok pemakai seringkali terlihat pola-pola tingkah laku ketaksabaran untuk mencapai suatu keinginan. Usaha untuk menunda melakukan keinginan yang timbul hampir-hampir tidak pernah berhasil dilakukan. Seringkali terlihat penyalahguna obat tidak dapat mengontrol keinginan-keinginannya sehingga seakan-

34

akan mereka lebih mencintai diri sendiri. Kemampuan untuk mengontrol diri sendiri umunya rendah sekali. c. Sifat memberontak Pada pemakai obat terdapat kecenderungan untuk selalu menolak cara atau prosedur yang telah diakui oleh masyarakat atau keluarga. Ini dilakukannya semata-mata untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Penolakan ini memang nampak jelas pada mereka karena pada dasarnya mereka memiliki perasaan-perasaan permusuhan yang besar sekali terhadap segala bentuk otoritas yang ada. Reaksi-reaksi terhadap lingkungan sosialnya terkadang mencerminkan sikap kekanak-kanakan. Mereka tidak pernah belajar berusaha bekerja sama dengan segala bentuk otoritas padahal orang lain umunya melakukan hal itu. d. Suka mengambil resiko berlebihan Ada kecenderungan kelompok pemakai memperlihatkan tingkah laku yang memiliki resiko tinggi, dengan melakukan cara-cara yang tidak tepat. Pola-pola semacam ini dilakukan semata-mata untuk mendapatkan perasaan bahwa dirinya dapat diterima atau diakui. e. Mudah bosan atau jenuh Sifat sepat bosan atau jenuh seringkali mendatangkan perasaan murung dan ketaksanggupan untuk berfungsi. Keadaan ini

35

sebetulnya merupakan manifestasi kekurangmampuan individu tersebut untuk melihat atau mencari kegiatan alternative lain yang dapat dilakukan. Masalah penyalahgunaan obat merupakan masalah kepribadian. Dengan demikian, usaha-usaha untuk mnegatasi hal ini seharusnya sudah dapat dicegah sejak masa-masa perkembangan hidup seseorang. Beberapa penelitian para ahli memang menunjukkan bahwa tingkah laku seseorang yang memperlihatkan gejala ber-resiko tinggi untuk penyalahgunaan obat, sebetulnya sudah dapat dilihat pada masa awal perkembangan individu. Antara lain tingkah laku antisocial yang diperlihatkan pada masa kanak-kanak seseorang. Berdasarkan berbagai telaah tentang pola kepribadian pecandu obat selama tahun-tahun masa remaja, Gulas dan King (dalam Hurlock, 1980) menyimpulkan bahwa ada ciri-ciri kepribadian tertentu yang membedakan antara keduanya. Remaja yang menggunakan obat memiliki ciri kurang bertanggung jawab dan lebih suka bersosialisasi dibandingkan remaja yang bukan pengguna obat. Jika dikaitkan dengan tipe kepribadian dari Eysenck (1975), maka sebagian besar sifat remaja yang mudah terlibat penyalahgunaan heroin, tampaknya lebih sejalan dengan sub-sub faktor tipe kepribadian ekstravert dari pada sub-sub faktor tipe kepribadian intravert.

36

B. Self Esteem 1. Pengertian Self Esteem Dalam bukunya yang berjudul The Antecedents of Self Esteem pada tahun 1967, Coopersmith (1967 : 4-5) mendefinisikan self esteem sebagai berikut : By self-esteem we refer to the evaluation which the individual makes and customarily maintains with regard to himself: it expresses an attitude of approval or disapproval, and indicates the extent to which the individual believes himself to be capable, significant, successful, and worthy.

Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa self esteem adalah penilaian pribadi tentang keberhargaan yang diekspresikan kedalam tingkah laku yang ditunjukkan oleh seorang individu kepada dirinya sendiri. Penilaian menunjukkan tingkah laku menerima atau menolak, dan mengindikasikan sejauh mana orang tersebut mempercayai, kemampuannya (capable), keberartiannya (significant), kesuksesannya (success) dan keberhargaan (worthy). (Coopersmith, 1967) Menurut Santrock (1999) self esteem merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara positif atau negatif. Evaluasi memperlihatkan bagaimana individu menilai dirinya sendiri dan diakui atau tidaknya kemampuan dan keberhasilan yang diperolehnya. Penilaian terlihat dari penghargaan individu terhadap keberadaan dan

37

keberartian dirinya. Individu yang memiliki self esteem positif akan menerima dan menghargai dirinya sendiri apa adanya. Menurut James (dalam Baron dan Byrne, 2004) self esteem adalah evaluasi yang dibuat oleh individu. Sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dalam rentang dimensi positif dan negatif. Self esteem sebagai evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya, yang mengekspresikan suatu sikap setuju atau tidak setuju dan menunjukkan tingkat dimana individu itu meyakinkan diri sendiri bahwa individu mampu, penting, berhasil, dan berharga. Dengan kata lain self esteem merupakan suatu penilaian pribadi terhadap perasaan berharga yang diekspresikan di dalam sikapsikap yang dipegang oleh individu tersebut Coopersmith (dalam Dariyo dan Ling, 2002). Menurut Tambunan (2001) self esteem mengandung arti suatu penilaian individu terhadap diri diungkapkan dalam sikap-sikap yang dapat bersikap negatif dan positif. Berbeda dengan pendapat Santrock, James dan tambunan, Klass dan Hodge (dalam Nuryoto dan Tjahjaningsih, 1994) mengemukakan self esteem adalah evaluasi yang dibuat dan dipertahankan oleh individu, yang diperoleh dari hasil interaksi individu dengan lingkungan, serta penerimaan, penghargaan dan perlakukan orang lain terhadap individu. Self esteem dapat juga

38

diartikan sebagai dimensi evaluatif yang menyeluruh dari dirinya (Santrock, 2003). Menurut Branden (2001) self esteem adalah apa yang individu pikirkan dan rasakan tentang dirinya, bukan apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain tentang siapa dirinya sebenarnya. Berdasarkan uraian maka dapat disimpulkan self esteem adalah penilaian individu terhadap dirinya sendiri baik secara positif maupun negatif. 2. Sumber-Sumber Self Esteem Selanjutnya Coopersmith (1967: 38) dalam bukunya The Antecedents of Self Esteem menyebutkan bahwa sumber self esteem adalah sebagai berikut : a. Kekuasaan (power) Kekuasaan menunjukkan kemampuan untuk bisa mengatur dan mengontrol tingkah laku orang lain. Kemampuan ini ditandai dengan adanya pengakuan dan rasa hormat yang diterima individu dari orang lain dan besarnya sumbangan dari pikiran atau pendapat dan kebenarannya. b. Keberartian (significance) Keberartian menunjukkan adanya kepedulian, perhatian dan afeksi yang diterima individu dari orang lain. Ekspresi penghargaan dan minat dari orang lain menandakan adanya penerimaan dan

39

popularitas individu di lingkungan sosialnya. Penerimaan ditandai dengan kehangatan, keikutsertaan, perhatian, kesukaan orang lain terhadapnya. c. Kebajikan (virtue) Kebajikan menunjukkan adanya suatu ketaatan atau mengikuti standar moral dan etika. Ditandai dengan ketaatan untuk menjauhi tingkah laku yang harus dihindari dan melakukan tingkah laku yang diperbolehkan atau diharuskan oleh moral, etika dan agama. d. Kemampuan (competence) Kemampuan untuk sukses memenuhi tuntutan prestasi. Ditandai dengan keberhasilan individu dalam mengerjakan bermacammacam tugas dengan baik sesuai dengan tingkat usia dan tugas perkembangannya saat itu. Coopersmith (1967) menyatakan bahwa self esteem individu tidak ditentukan oleh tingginya pencapaian kemampuan individu dalam empat sumber self esteem. Tetapi lebih ditentukan oleh kriteria yang individu gunakan untuk menilai dirinya dan tingkat

pencapaiannya. Sehingga mungkin saja seorang individu memiliki self esteem yang tinggi ketika dapat memenuhi kriteria yang ditentukannya sendiri pada salah satu sumber self esteem (Coopersmith dalam Widiastuti 2008: 14).

40

3. Komponen-Komponen Self Esteem Felker (dalam Churaisin, 2004) mengemukakan komponen self esteem terdiri dari: a. Perasaan diterima (Felling Of Belonging) Perasaan individu merupakan bagian dari suatu kelompok dan dirinya diterima seperti dihargai oleh anggota kelompoknya. Kelompok yang dimaksud dapat berupa keluarga kelompok teman sebaya, atau kelompok apapun. Individu akan memiliki penilaian yang positif tentang diri apabila individu merasa diterima dan menjadi bagian dalam kelompoknya. Individu akan memiliki penilaian negative tentang dirinya apabila mengalami perasaan tidak diterima, misalnya perasaan seseorang pada saat menjadi anggota kelompok suatu kelompok tertentu. b. Perasaan Mampu (Felling Of Competence ) Perasaan dan keyakinan individu akan kemampuan yang ada pada dirinya sendiri dalam mencapai suatu hasil yang diharapkan, misalnya perasaan seseorang pada saat mengalami keberhasilan atau kegagalan. c. Perasaan Berharga ( Felling Of Worth ) Perasaan dimana individu merasa dirinya berharga atau tidak, dimana perasaan banyak dipengaruhi oleh pengalaman yang lalu. Perasaan yang dimiliki individu yang sering kali ditampilkan dan

41

berasal dari pernyataan-pernyataan yang sifatnya pribadi seperti pintar, sopan dan baik. 4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Esteem Faktor-faktor yang mempengaruhi self esteem menurut Wirawan dan Widyastuti (dalam Rombe, 1997) adalah faktor fisik, psikologis, lingkungan, tingkat intelegensi, status sosial, ekonomi, ras, dan kebangsaan. Sebagaimana yang telah disebutkan, dijelaskan lebih lanjut, yaitu : a. Faktor Fisik Seperti ciri fisik dan penampilan wajah manusia. Misalnya: beberapa orang cenderung memiliki self esteem yang tinggi apabila memiliki wajah yang menarik. b. Faktor Psikologis Seperti kepuasan kerja, persahabatan, kehidupan romantis. Misalnya: seorang laki-laki memperlakukan pasangannya dengan sangat romantis, maka akan meningkatkan self esteem-nya. c. Faktor Lingkungan Sosial Seperti orang tua dan teman sebaya. Misalnya: kalau orang tua mampu menerima kemampuan anaknya sebagaimana yang ada, maka anak menerima dirinya sendiri. Tetapi, kalau orang tua menuntut lebih tinggi dari apa yang ada pada diri anak sehingga anak tidak menerima sebagaimana adanya. Semakin dewasa

42

seseorang, semakin banyak pula orang-orang di lingkungan sosialnya yang mempengaruhi pembentukan self esteemnya. d. Faktor Tingkat Intelegensi Semakin tinggi tingkat intelegensi seseorang, semakin tinggi pula self esteem-nya. Tingkat intelegensi mempengaruhi self esteem seseorang dan terlihat adanya hubungan positif diantara keduanya. e. Faktor Status Sosial Ekonomi Secara umum seseorang yang berasal dari status sosial ekonomi rendah memiliki self esteem yang lebih rendah daripada yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi tinggi. f. Faktor Ras dan Kebangsaan Seseorang yang berkulit hitam dan bersekolah disekolah-sekolah orang yang berkulit putih memiliki self esteem yang lebih tinggi. g. Faktor Urutan Keluarga Anak tunggal cenderung memiliki self esteem yang lebih tinggi daripada anak-anak yang memiliki saudara sekandung. Anak lakilaki sulung yang memiliki adik kandung perempuan cenderung memiliki self esteem yang lebih tinggi. Menurut beberapa ahli dikemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi self esteem, yaitu (Salsabila, 2003: 3) :

43

a. Perkembangan Individu Faktor predisposisi dapat dimulai sejak masih bayi, seperti penolakan orang tua menyebabkan anak merasa tidak dicintai dan mengakibatkan anak gagal mencintai dirinya dan akan gagal untuk mencintai orang lain. Pada saat anak berkembang lebih besar, anak mengalami kurangnya pengakuan dan pujian dari orang tua dan orang yang dekat atau penting baginya. Ia merasa tidak adekuat karena selalu tidak dipercaya untuk mandiri, memutuskan sendiri akan bertanggung jawab terhadap prilakunya. Sikap orang tua yang telalu mengatur dan mengontrol, membuat anak merasa tidak tidak berguna. b. Ideal Diri Tidak Realistis Individu yang selalu dituntut untuk berhasil akan merasa tidak punya hak untuk gagal dan berbuat kesalahan. Ia membuat standar yang tidak dapat dicapai, seperti cita-cita yang terlalu tinggi dan tidak realistis. Yang pada kenyataan tidak sapat dicapai membuat individu menghukum diri sendiri dan akhirnya percaya diri akan hilang. c. Gangguan Fisik dan Mental Gangguan ini dapat membuat individu dan keluarga merasa rendah diri.

44

d. Sistim Keluarga yang Tidak Berfungsi Orang tua yang mempunyai harga diri yang rendah tidak mampu membangun harga diri anak dengan baik. Orang tua member umpan balik yang negative dan berulang-ulang akan merusak harga diri anak. Harga diri anak akan terganggu jika kemampuan menyelesaikan masalah tidak adekuat. Akhirnya anak memandang negative terhadap pengalaman dan kemampuan dilingkungannya. e. Pengalaman Traumaik yang Berulang-ulang Misalnya akibat aniaya fisik, emosi, peperangan, bencana alam, kecelakaan atau perampok. Individu merasa tidak mampu mengontrol lingkungan. Respon atau strategi untuk menghadapi trauma umumnya mengingkari trauma, mengubah arti trauma, respon yang biasa efektif terganggu. Akibat kopling yang bisa berkembang adalah depresi dan denial pada trauma. 5. Karakteristik Individu dengan Self Esteem Berbeda Tingkat self esteem antar satu individu dengan individu lainnya berbeda, hal ini tergantung pada sejauhmana individu menganggap dan menilai dirinya berharga. Coopersmith (1967: 237) membedakan self esteem berdasarkan dua hal, yaitu realistik atau tidaknya individu dalam mencapai tujuan yang diinginkan dan bagaimana individu berpikir tentang diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

45

Coopersmith (1967: 238) menggolongkan karakteristik umum yang tampak pada individu dengan berbagai tingkat self esteem yaitu : a. Tingkat Self Esteem Tinggi Individu yang memiliki self esteem tinggi, puas dengan karakter dan kemampuan diri. Adanya penerimaan dan

penghargaan diri yang positif, ini memberikan rasa aman dalam menyesuaikan diri/bereaksi terhadap stimulus dari lingkungan sosial. Individu yang memiliki self esteem tinggi, mempercayai persepsi diri sehingga tidak terpaku pada kesukaran-kesukaran personal. Pendekatan terhadap orang lain menunjukkan harapanharapan yang secara positif dapat diterima. Individu yang memiliki self esteem tinggi tidak sensitif terhadap kritik dari lingkungannya, tapi menerima dan mengharapkan masukan verbal/nonverbal dari orang lain untuk menilai dirinya. Individu yang memiliki self esteem tinggi mempertimbangkan diri sebagai seseorang yang bernilai, penting dan berharga. Individu yang memiliki self esteem tinggi mempercayai pandangan serta pengalaman diri sebagai nyata (real) dan benar (true), terdapat kekonsistenan akan persepsi dan pandangan yang dimiliki serta mampu mengendalikan pengaruh dari orang lain.

46

Dalam suatu diskusi, Individu yang memiliki self esteem tinggi lebih aktif dalam mengekspresikan pendapat-pendapatnya dan tidak berpuas diri hanya sebagai pendengar saja. Individu memiliki tujuan yang tinggi, mengharapkan banyak hal dari dirinya yang berusaha dipenuhi dilingkungan sos ial. Juga merupakan individu yang aktif dan berhasil, dalam masyarakat dan dalam bidang akademis, selain tugas-tugas yang baru dan menantang dicari dan dinikmati dengan cara yang optimis dan mengharapkan

keberhasilan. b. Tingkat Self Esteem Sedang Menurut Coopersmith (1967) individu dengan self esteem sedang pada dasarnya memiliki kesamaan dengan individu yang memiliki self esteem tinggi, dalam hal penerimaan diri. Individu tersebut adalah orang yang cenderung optimis, ekspresif, dan mampu menangani kritik, tetapi cenderung tergantung pada penerimaan sosial untuk menghilangkan ketidakpastian yang mereka rasakan dalam penilaian pribadi (personal worth) pada suatu saat. Karenanya, individu tampak lebih aktif dibandingkan individu dengan self esteem tinggi dalam mencari pengalaman sosial yang akan meningkatkan penerimaan diri di lingkungan sosial (Coopersmith, 1967)

47

c. Tingkat Self Esteem Rendah Individu memiliki lack of confidence dalam menilai kemampuan dan atribut-atribut dalam dirinya. Adanya

penghargaan diri yang buruk membuat individu tidak mampu untuk mengekspresikan diri dalam lingkungan sosialnya. Individu yang memiliki self esteem rendah tidak puas dengan karakteristik dan kemampuan-kemampuan dirinya sehingga

ketidakpastiaan dan ketidakyakinan diri menumbuhkan rasa tidak aman terhadap keberadaan diri di lingkungannya. Kondisi mempengaruhi penyesuaian diri Individu yang memiliki self esteem rendah di lingkungan sosialnya. Individu yang memiliki self esteem rendah merupakan individu yang pesimis, yang perasaannya dikendalikan oleh peristiwaperistiwa eksternal, merasa tidak mampu dalam menghadapi sesuatu yang menuntut kemampuannya sehingga individu

cenderung dependen, pasif dan tidak mau berpartisipasi dan bersikap conform terhadap lingkungannya. Individu merasa terasing, tidak disayangi, tidak mampu untuk

mengekspresikan/mempertahankan diri dan terlalu lemah untuk mengatasi kekurangan, peka terhadap kritik, terbenam didalam masalah-masalahnya menyembunyikan diri dari interaksi sosial

48

yang mungkin akan memberikan konformitas lebih lanjut tentang ketidakkompetenan yang dibayangkan. Perbedaan gaya berespon terhadap diri sendiri dan orang lain menyatakan kondisi self esteem yang tinggi, sedang dan rendah. Individu mungkin mengalami peristiwa yang sama namun dengan perbedaan tingkat self esteem akan signifikan berhubungan dengan pola-pola dan gaya berespon seseorang dalam beradaptsi dengan tuntutan lingkungan. 6. Pengaruh Self Esteem Terhadap Penyalagunaan Narkoba Segala peran serta mulai dari orang tua, seluruh warga sekolah, sampai masyarakat luas dalam mengatasi masalah narkoba adalah menumbuhkan rasa percaya diri dan penanaman kasih sayang bagi setiap individu yang harus dimulai sejak individu tersebut masih dalam usia muda. Saat seseorang memiliki rasa percaya diri dan penanaman kasih sayang bagi setiap individu yang harus dimulai sejak individu tersebut masih dalam usia muda. Saat seseorang memiliki rasa percaya diri dan hidup dalam lingkup kasih sayang yang benar, maka orang tersebut akan tumbuh menjadi pribadi yang baik dan berkarakter. Rasa percaya diri dan kasih sayang akan menjadikan setiap anak hidup tanpa rasa minder, tidak mudah putus asa, dan percaya bahwa segala permasalahan memiliki jalan keluar. Dengan rasa percaya diri dan kasih sayang itulah akan tumbuh sikap asertif, yaitu keberanian untuk

49

menyampaikan pandangan/prinsip, yang dalam hal ini adalah berani menyampaikan prinsip menolak terhadap narkoba, dengan berbagai cara disesuaikan dengan situasi. Sikap asertif adalah pengungkapan perasaan dan pengaduan secara terus terang tanpa merendahkan harga diri / self esteem dan menyakitkan orang lain. Orang yang asertif dapat mencapai tujuannya karena dirinya sendiri yang menetapkannya dan menimbulkan perasaan senang, dan puas terhadap diri sendiri. Orang ingin tampil dengan keyakinan diri yang sehat dan dapat meningkatkan harga diri / self esteem orang lain. Individu yang memiliki sikap asertif biasanya mampu : a. Mempertahankan hak-hak pribadi tanpa merugikan orang lain. b. Menghargai diri sendiri dan orang lain. c. Percaya diri. d. Mau mendengarkan orang lain.

C. Perceived Social Support 1. Dukungan Sosial / Social Support Dukungan sosial atau social support menurut Cobb, 1976; Gentry and Kobasa, 1984; Wallston, et.al., 1983; Wills, 1984 (dalam Sarafino, 2002: ) adalah perceived comfort, caring, esteem, or help a person receives from other people or groups. (kenyamanan,

50

perhatian, penghargaan, dan bantuan yang dirasakan seseorang, yang diterima dari orang lain atau sekelompok orang lain). Adanya dukungan sosial dapat mengendalikan dampak dari tekanan yang dirasakan seseorang, serta dapat membantu penerima menyesuaikan diri. Menurut peneliti Sidney Cobb (1976, dalam Sarafino, 2002), seseorang yang menerima dukungan sosial akan meyakini bahwa dirinya dicintai, diperhatikan, berharga dan bernilai, serta merupakan bagian dari jaringan sosial tertentu, seperti keluarga atau organisasi masyarakat. Jaringan sosial tersebut akan menyediakan barang-barang jasa, serta perlindungan saat ia sedang membutuhkan atau dalam bahaya. Pernyatan ini diperkuat oleh Sarason (1983, dalam Farinduany 2008: 38), yang menyatakan bahwa inti dari dukungan sosial adalah keberadaan orang-orang yang dapat diandalkan dan menunjukkan bahwa mereka peduli, menghargai, dan mencintai penerima dukungan. 2. Pengertian Perceived Social Support Penelitian mengenai social support pada dua dasawarsa terakhir mencakup dua isi social support, yakni dukungan yang diterima (Received Support) dan dukungan yang dirasakan (Perceived Support). Dukungan yang diterima mengacu pada perilaku menolong yang terjadi dan diberikan oleh orang lain sedangkan dukungan yang

51

dirasa mengacu pada kepercayaan perilaku menolong akan tersedia ketika dibutuhkan, secara sederhana dapat dikatakan Received Support adalah perilaku menolong yang telah terjadi sedangkan Perceived Support adalah perilaku menolong yang dirasakan atau kemungkinan akan terjadi (Barrena dalam Norris & Kaniasty, 1996). Dukungan yang dirasakan secara lebih konsisten mampu meningkatkan kesehatan psikis dan melindungi psikis dalam stress (Cassel & Cobb dalam Norris & Kaniasty, 1996). Perceived social support atau available support atau functional support adalah persepsi mengenai berbagai jenis social support yang tersedia apabila dibutuhkan (Manne, 2003). Pengertian perceived social support sesuai dengan konsep social support yang diajukan oleh Cobb dan Cassel (Sarason et all, 1990). Cobb (Sarafino, 1990:124) mengatakan social support adalah ..the perceived comfort, caring, esteem, or help a person receives from other people or group.

Artinya yaitu kenyamanan, perhatian, penghargaan, dan bantuan yang dirasakan sesesorang, yang diterima dari orang lain atau sekelompok orang. Cobb juga mengemukakan peran utama social support adalah memberikan informasi kepada individu bahwa orang lain memperhatikan dan menghargainya.

52

Berbagai penelitian mengenai social support telah tergabung ke dalam suatu aktivitas keilmuan dengan dipublikasikannya penelitian Cobb (Moreno, 2004) dan Cassel (Moreno, 2004). Para peneliti mempertahankan eksistensi berbagai proses lingkungan yang

memberikan tanda-tanda atas kesehatan mental individu lingkungan yang membentuk sebuah peran yang bersifat protektif. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, social support merupakan sebuah proses yang memiliki efek positif bagi individu yang tengah menghadapi suatu stressor. Cobb (Moreno, 2004) dan Cassel (Moreno, 2004) menyatakan social support merupakan perangkat kelompok yang memiliki peran utama untuk melindungi seseorang dari dampak stress. Pada perkembangan keilmuan psikologi, social support menjadi sebuah subjek yang semakin sering mendapatkan sorotan karena peran protektifnya terhadap stress sebagaimana telah dijelaskan. Salah seorang ilmuan psikologi yang secara konsisten mengkaji mengenai social support adalah Sheldon Cohen dari Carnigie-Mellon University. Secara ringkas, Cohen & Syme (dalam Cohen et al., 1985) menyatakan social support adalah berbagai sumber daya yang disediakan untuk seseorang oleh pihak lain. Cohen & Wills (1985) mendefinisikan social support sebagai perceived

availability of social resources

53

Social support merupakan sumber-sumber saling memberi antara paling sedikit dirasakan oleh dua orang individu sebagai penerima. Sumber-sumber disini antara lain berbentuk tingkah laku, umpan balik, informasi dan keakraban (Shumaker dan Brownell dalam Vaux, 1988) 3. Bentuk-Bentuk Dasar Social Support Cobb (Moreno, 2004), Cassel (Moreno, 2004) dan Cohen & Wills (Ross et al., 1994) memberikan empat macam tipe dasar dari social support, yaitu : a. Emotional Support (dukungan emosi). Kondisi dimana individu merasa mempunyai orang lain yang dapat memberi rasa aman dan nyaman pada saat menghadapi masa-masa sulit. Atau dapat juga dikatakan bahwa dukungan emosi meliputi ekspresi dari empati, kepedulian dan rasa perhatian yang penuh pada seseorang agar merasa nyaman, aman, dicintai, dan merasa menjadi bagian dari kelompok pada saat seseorang mengalami stress b. Instrumental Support (dukungan yang dapat dilihat atau

instrumental). Kondisi di mana individu merasa mendapatkan bantuan yang nyata atau langsung ketika mengalami stress. Bantuan ini dapat berupa memberikan atau meminjamkan uang, alat, atau memantau seseorang menyelesaikan tugas-tugasnya

54

dengan menjadi asisten pada saat mereka berada dalam kondisi stress. c. Informational Support (dukungan informasi). Kondisi dimana seseorang merasa dapat bergantung pada lingkungan untuk mendapatkan petunjuk berupa pemberian arahan, nasehat, saran, ataupun umpan balik mengenai apa yang sebaiknya mereka lakukan. d. Companionship Support (dukungan persahabatan). Ketersediaan orang-orang dengan siapa seseorang dapat berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan rekreasi seperti pergi ke bioskop atau museum, atau kegiatan rekreasi seperti olahraga atau hiking. 4. Hal-hal yang Menentukan Penerimaan Dukungan Sosial / Social Support Tidak semua orang memperoleh dukungan sosial yang mereka butuhkan. Banyak faktor yang menentukan apakah seseorang menerima dukungan sosial atau tidak (Broadhead et al., 1983; Connell & DAugelli, 1990; Wortman & Dunkel-Schetter, 1987 dalam Sarafino 1998: 99). Faktor-faktor tersebut adalah : a. Faktor yang berkaitan dengan potensi penerimaan dukungan, seperti : 1) Senang atau tidak senang menerima dukungan

55

2) Kemampuan membiarkan orang lain tahu apa yang mereka butuhkan 3) Keasertifan untuk menerima bantuan 4) Perasaan nyaman atau tidak dalam menceritakan rahasia kepada orang lain 5) Tahu atau tidak mengenai siapa yang akan ditanya b. Faktor-faktor yang berkaitan dengan potensi pemberi dukungan, misalnya : 1) Ada tidaknya sumber-sumber yang diperlukan 2) Apakah pemberi dukungan juga sedang mengalami stress sehingga membutuhkan dukungan juga 3) Ada atau tidaknya sensitifitas akan kebutuhan orang lain c. Komposisi dan struktur dari jaringan sosial Komposisi dan struktur dari jaringan sosial merupakan pertalian yang dimiliki dalam keluarga dan masyarakat (Mitchell, 1969; Schaefer, Coyne & Lazarus, 1981 dalam Sarafino, 1998: 99). Pertalian ini bervariasi dalam kualitas dan kuantitasnya, yaitu: 1) Ukuran : jumlah individu yang berhubungan dengannya. 2) Frekuensi : seberapa sering ia berhubunga dengan orangorang tersebut. 3) Komposisi : apakah orang-orang tersebut adalah keluarga, teman, rekan kerja dan sebagainya.

56

4) Keintiman : kedekatan individual dan keinginan untuk berinteraksi dengan orang-orang tersebut. Kebutuhan dan kemampuan manusia untuk menerima dan memberikan dukungan sosial berubah sesuai perkembangan usia (Antonucci, 1985; Broadhead et al., 1983; Bruhn & Phillips, 1987; Sarafino & Amstrong, 1986 dalam Sarafino, 1998: 99). Pada masa anak-anak, kontak sosial berkembang keluar keluarga, teman merupakan sumber yang penting dalam mrnghadapi stress dan meminta dukungan sosial. Hal ini lebih khusus lagi terjadi pada masa remaja. Pada akhir masa remaja, seseorang memiliki kemampuan kognitif dan kemampuan sosial yang baik dan dapat memberikan dukungan yang efektif namun banyak remaja yang tidak mau meminta pertolongan kepada orang lain. Usia dewasa merupakan masa peningkatan tanggung jawab dalam keluarga, pekerjaan dan

masyarakat. Perubahan ini mengakibatkan stress baru namun juga dapat merasakan kesempatan untuk memberikan dukungan sosial. Kedekatan dan hubungan kasih sayang, misalnya dalam pernikahan memberikan orang dewasa dukungan. Usia tua merupakan masa saat dukungan sosial kadang-kadang menurun. Walaupun hubungan sosial pada masa tua tidak berkurang, namun penuaan mengurangi dukungan. Hal ini mungkin disebabkan oleh kehilangan pasangan atau karena

57

merasa tidak berharga jika harus meminta perolongan tanpa mampu memberikan pertolongan kembali. Adapun hal-hal yang membuat dukungan tidak selalu membantu, yaitu : a. Individu tidak mempersepsikan sesuatu sebagai dukungan

walaupun dukungan telah diberikan dan tersedia bagi individu tersebut. Hal ini dikarenakan merasa tidak pantas, tidak ingin bantuan, dan terlalu emosional sehingga kurang memperhatikan b. Jenis dukungan tidak sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan. Sarason (1983) mengemukakan individu dengan dukungan sosial tinggi, pada umumnya memiliki karakteristik lebih atraktif, lebih sosial dan lebih optimis dalam menghadapi kehidupan. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa individu dengan dukungan sosial tinggi akan memperoleh keahlian dan lebih percaya diri dalam menghadapi situasi baru dan dapat menangani tantangan secara lebih efektif. Sebaliknya individu dengan dukungan sosial yang rendah terlihat kurang percaya diri dalam menghadapi situasi yang dihadapi serta cenderung kurang atraktif dan pesimis dalam menghadapi kehidupan. 5. Aspek-Aspek Perceived Social Support Weiss (dalam Cutrona & Russell, 1987) menyatakan bahwa ada enam kebutuhan (provisions) yang harus dipenuhi agar seseorang

58

dapat merasa didukung secara cukup. Berikut ini adalah penjabaran dari masing-masing kebutuhan tersebut : a. Guidance (bimbingan), yaitu adanya seseorang yang memberikan nasehat atau informasi. Biasanya pemenuhan aspek ini didapatkan dari guru, mentor, atau figure orang tua. b. Reliable alliance (keberadaan teman yang dapat diandalkan), yaitu adanya keyakinan bahwa ada orang lain yang dapat diandalkan untuk membantu penyelesaian masalah yang bersifat terlihat atau tangible. Biasanya pemenuhan aspek ini bersumber dari anggota keluarga. c. Reassurance of worth (meyakinkan keberhargaan diri), yaitu adanya pengakuan dari orang lain terhadap kompetensi,

keterampilan dan nilai yang dimiliki seseorang. d. Opportunity for nurturance (kesempatan memberikan perhatian pada orang lain), yaitu adanya perasaan bahwa orang lain bergantung pada dirinya untuk mendapatkan kesejahteraan diri. Pemenuhan aspek inibiasanya didapatkan dari anak dan juga pasangan. Walaupun dalam kebutuhan ini seseorang memberikan dukungan sosial dan bukannya menerima dukungan sosial, memberikan dukungan sosial kepada orang lain juga dikaitkan dengan kesehatan yang lebih baik. Selain itu, memberikan dan

59

mendapatkan bantuan juga melewati mekanisme kognitif yang sama. e. Attachment, yaitu adanya perasaan kedekatan secara emosional kepada orang lain yang memberikan rasa aman, biasanya didapatkan dari pasangan, teman dekat, atau hubungan keluarga. f. Social integration (integrasi sosial) merunjuk pada adanya perasaan memiliki minat, kepedulian, dan aktifitas rekresional yang sama. Fungsi ini biasanya didapatkan dari teman dan dapat memberikan kenyamanan, rasa aman, kepuasan dan identitas. 6. Pengaruh Dukungan Sosial / Social Support Terhadap Narkoba Banyak remaja menyalahgunakan obat karena ingin menambah dukungan sosial kelompok, untuk berpetualang, karena rasa bosan, dan karena rasa ingin tahu (Hurlock, 1980). Menurut Morris (1979) individu yang memiliki kesenangan dan kebutuhan bergaul dengan orang lain, dapat menjadi rentan terhadap pengaruh lingkungan sosial terutama kelompok anti sosial. Sifat-sifat individu yang lebih mudah untuk menyalahgunakan NAZA, adalah sebagai berikut: kurang bertanggung jawab, suka bersosialisasi/ bergaul, membutuhkan dukungan kelompok/ orang lain, suka berpetualang, memiliki rasa ingin tahu, cepat bosan, immature, impulsive, dan self-centered. Sebagai remaja, yang tidak asing dengan hal-hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan NAZA, khususnya

60

heroin, sebagai salah satu symbol status dewasa dan kelompok. Jika memiliki sifat-sifat di atas, maka remaja akan lebih mudah untuk terlibat dalam penyalahgunaan heroin dibandingkan remaja yang memiliki sifat-sifat yang berlawanan dengan sifat-sifat tersebut diatas.

D. Narkotika Dan Zat Adiktif Lainnya (NAZA) 1. Pengertian dan Jenis Narkoba atau NAZA Narkoba (narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya) yakni zat-zat kimiawi yang jika dimasukan dalam tubuh manusia (baik secara oral, dihirup maupun intravena, suntik) dapat mengubah pikiran, suasana hati, atau perasaan dan perilaku seseorang. Narkoba yang popular di kalangan masyarakat terdiri dari 3 (tiga) golongan yakni narkotika, psikotropika, obat/zat berbahaya. Ketiga golongan narkoba ini ditetapkan dalam Undang-Undang (Catio, 2005: 10) a. Narkotika Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilang rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, (Undang-Undang No. 22 tahun 1997) tentang Narkotika dan Zat Adiktif lainnya. Narkotika

61

alamiah berasal dari tumbuh-tumbuhan yang dalam jumlah relatif kecil diperoleh melalui proses yang sederhana, sedangkan narkotika sintetis maupun semi sintetis muncul karena alasan sangat terbatasnya narkotika alamiah yang tersedia. Yang termasuk jenis narkotika alamiad adalah: a. Candu (opium) yang diperoleh dari tanaman bernama Papaver Somniferum atau yang lebih dikenal sebagai bunga Poppy. b. Morphine (morfin) yang adalah suatu unsur aktif yang berasal dari candu setelah mengalami proses kimiawi. c. Heroin yang berasal dari bahan pokok morfin. d. Cocain yang merupakan narkotika golongan stimulant, terbuat dari daun tanaman Ekstraxylon Coca yang banyak tumbuh di daerah pegunugan Andes, ganja (Cannabis Sativa), dan lain-lain. Jenis narkotika sintetis antara lain adalah : 1) Propoxyphene (Darvon) 2) Methadone (Dolophine), dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk jenis narkotika semi sintetis antara lain yaitu : 1) Hydromorphone (Dimorphone) 2) Oxycodone (Dyhidrone)

62

3) Etorphine Adapun jenis narkotika yang sering disalahgunakan antara lain opium, morfin, heroin, opiate, mariyuana dan lain-lain. b. Psikotropika Psikotropika adalah zat adiktif yang dapat mempengaruhi psikis melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat otak menyebabkan perubahan yang khas pada aktivitas mental dan perilaku. Di dalam Undang-Undang No.5 tahun 1997 diuraikan bahwa psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintesis bukan narkoba yang bersifat psikoaktif melalui pengaruh seleksi pada susunan syaraf pusat menyebabkan perubahan khas pada mental dan perilaku. Kedua rumusan psikotropika tersebut menyatakan bahwa psikotropika adalah jenis-jenis obat yang diproduksi untuk tujuan penyembuhan maupun pemulihan kesehatan bagi penderita penyakit tertentu tetapi apabila

disalahgunakan atau tidak mengikuti petunjuk dokter, dapat mengakibatkan ketergantungan obat yang selanjutnya

mengakibatkan terganggunya mekanisme susunan syaraf pusat (otak). Jenis obat yang termasuk golongan psikotropika adalah : 1) Obat Penenang 2) Ecstasy 3) Methamphetamine

63

c. Zat Adiktif adalah bahan-bahan aktif atau obat yang dalam organism hidup menimbulkan kerja biologi yang apabila disalahgunakan dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi), yakni keinginan

menggunakan kembali secara terus menerus. Pengunaan zat adiktif antara lain akan berefek pada problem kesehatan terutama merusak otak, lever, ginjal, dan paru-paru, memperlambat kerja sistem syaraf pusat, memperlambat refleks motorik, serta dapat

menyebabkan kematian akibat berhentinya pernafasan dan gangguan pada jantung. Efek putus zat akan menimbulkan diantaranya rasa sakit dan lelah yang luar biasa. Berdasarkan Undang-Undang No 22 tahun 1997 tentang narkotika, zat adiktif yang digunakan untuk tujuan penelitian dari pengembangan ilmu pengetahuan antara lain : 1) Codein 2) Etil Morfin 3) Dihidrokodein, dan 4) Garam-garamnya Di dalam Undang-Undang No.5 tahun 1997 tentang psikotropika, jenis obat yang memiliki zat adiktif antara lain sebagai berikut : 1) Amfetamin 2) Amobarbital, Flunitrazetpam

64

3) Diahepam, bromazepan, fenobarbital 4) Minuman berakohol 5) Tembakau 6) Halusinogen 7) Bahan pelarut (solvent, bensin, tener, cairan lem, dan cat). 2. Faktor - Faktor yang Mendorong Penyalahgunaan Narkoba Bila dicari penyebab atau alasan seseorang ikut terlibat penyalahgunaan narkoba, maka akan ditemukan beberapa penyebab atau pendorong seseorang untuk memakai narkoba, yang antara lain adalah : 1) Rasa ingin tahu / coba-coba 2) Ikut-ikutan teman yang memakai narkoba 3) Solidaritas kelompok (gang/group) 4) Biar terlihat gaya (terpengaruh gaya hidup modern yang salah) 5) Mencari kegairahan atau excitement 6) Menghilangkan rasa kebosanan 7) Agar merasa lebih enak 8) Melupakan masalah stress 9) Menunjukan kehebatan/kekuasaan 10) Ingin tampil menonjol 11) Merasa sudah dewasa 12) Menunjukan sikap berontak

65

13) Mengurangi rasa sakit 14) Ikut tokoh idola 3. Faktor Pendukung Terjadinya Gangguan Penggunaan NAZA a. Faktor Biologis 1) Genetik (tendensi keturunan) 2) Metabolik: Etil alcohol bila dimetabolisme lebih lama lebih efisien untuk mengurangi individu menjadi ketergantungan. 3) Infeksi pada organ otak: intelegensi menjadi rendah (retardasi mental, misalnya ensefhalitis, meningitis) 4) Penyakit kronis: kanker, Asthma bronchiale, penyakit menahun lainnya. b. Faktor Psikologis 1) Tipe kepribadian (dependen, ansietas, depresi, antisosial) 2) Harga diri yang rendah: depresi terutama karena kondisi sosial ekonomi, pada penyalahgunaan alcohol, sedatif hipnotik yang mencapai tingkat ketergantungan diikuti rasa bersalah. 3) Disfungsi keluarga: kondisi keluarga yang tidak stabil, role model (ketauladanan) yang negative, tidak terbina saling percaya antaranggota keluarga, keluarga yang tidak mampu memberikan pendidikan yang sehat pada anggota, orangtua dengan gangguan penggunaan zat adiktif, perceraian.

66

4) Individu yang mempunyai perasaan tidak aman. 5) Cara pemecahan masalah individu yang menyimpang. 6) Individu yang mengalami krisis identitas dan

kecenderungan untuk mempraktikan homoseksual, krisis identitas. 7) Rasa bermusuhan dengan keluarga atau dengan orangtua. c. Faktor Sosial Kultural 1) Masyarakat yang ambivalensi tentang penggunaan zat seperti tembakau, nikotin, ganja dan alcohol. 2) Norma kebudayaan pada suku bangsa tertentu,

menggunakan halusinogen atau alkohol untuk upacara adat dan keagamaan. 3) Lingkungan tempat tinggal, sekolah, teman sebaya banyak mengedarkan dan menggunakan zat adiktif. 4) Persepsi dan penerimaan masyarakat terhadap penggunaan zat adiktif. 5) Remaja yang lari dari rumah. 6) Penyimpangan seksual pada usia dini. 7) Perilaku tindak kriminal pada usia dini, misalnya mencuri, merampok dalam komunitas. 8) Kehidupan beragama yang kurang.

67

4. Pengaruh NAZA Terhadap Tubuh Manusia (Fisik) Pertama kali narkotika digunakan oleh bidang medis untuk pengoatan, namun lambat laun narkotika disalahgunakan secara faktor untuk mendapatkan uang misalnya : keadaan gembira (faktor) yang bersifat sementara, keyakinan diri (self confidence) bertambah, disertai perasaan santai yang menyenangkan, seperti lupa segala permasalahan yang ada dan sering timbul perasaan melayang atau rayuan. Efek-efek inilah yang terus dipertahankan penderita untuk mendapatkan rasa aman dan senang, bebas dari permasalahan yang dihadapinya pada saat itu. Penggunaan narkotika dan obat-obatan berbahaya secara berlebihan dapat menimbulkan gangguan-gangguan pada fisik manusia. Contohnya pada sel-sel otak dan urat saraf, hati, hidung, telinga, tenggorokan, keturunan (bagi ibu yang sedang hamil) dan organ-organ lainya dalam tubuh. 5. Pengaruh NAZA terhadap kesehatan psikis (Psikologi) Ketergantungan NAZA dapat mengakibatkan gangguan mental atau jiwa yang disebut sebagai gangguan mental organik, disebut organik karena bila masuk ke dalam tubuh langsung bereaksi dengan sel-sel saraf pusat (otak) dan menimbulkan gangguan pada alam pikir, perasaan dan perilaku. Menurut Rita L. Atkinson, ketergantungan psikologis mengacu pada kebutuhan yang berkembang melalui belajar. Orang yang terbiasa

68

menggunakan obat untuk meredakan kecemasannya dapat menjadi tergantung pada obat tersebut, walaupun tidak terdapat kebutuhan fisik. Ketergantungan psikologis dapat berubah menjadi

ketergantungan fisik bila makin banyak obat-obatan yang dikonsumsi. Kecanduan NAZA secara psikologislah yang membuat masalah kecanduan narkotika menjadi sangat kompleks. Contohnya walaupun penderita sudah bebas dari narkoba secara fisik namun secara psikis belum sembuh karena pada umumnya emosi penderita belum stabil seperti orang normal, misalnya terjadi gangguan mood, paranoid, agresif, hiperaktif, kecenderungan bunuh diri atau

membunuh, dan dipersonalisasi. Apabila ketegantungan pada obatobatan sudah parah maka pengobatannya memerlukan terapi perawatan, pengawasan dan pembinaan mental yang cukup intensif dari para ahli, sehingga membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk mengembalikanya seperti keadaan semula. Para penderita yang telah mengkonsumsi narkoba dalam jangka waktu tertentu akan mengalami pemikiran - pemikiran yang adiktif, contohnya : a. Corak pemikiran yang tidak normatif Tidak memperdulikan hal-hal lain selain bagaimana menggunakan dan mendapatkan NAZA, sehingga dalam jangka waktu tertentu, corak pemikiran itu tertanam dalam diri, dan akan mempengaruhi tingkah laku, serta mendorong penderita membuat keputusan dan

69

memilih kegiatan hidup yang bertentangan dengan nilai-nilai umum. b. Corak pemikiran yang tidak sempurna 1) Cenderung mempunyai pola pikir negatif 2) Suka berbohong, bertindak agresif, tidak percaya, melakukan tindak kriminal, seperti mencuri dan merampok. c. Corak pemikiran yang tidak fokus Ide dan pemikiran tidak rasional, suka berkhayal. 6. Pengaruh NAZA Terhadap Aspek Sosial Individu yang mengalami ketergantungan NAZA akan selalu berusaha untuk mendapatkan NAZA tersebut, melalui berbagai macam cara, bahkan jika korban sudah tidak memiliki uang untuk membeli barang-barang terlarang tersebut, maka penderita tidak segan-segan untuk menjual seluruh barang pribadinya, mencuri, memeras, merampok dan berbuat kriminalitas yang lain. Tentu saja hal ini menimbulkan kerawanan faktor dibidang keamanan, karena terbuka kemungkinan terjadi tindak pidana di lingkungan masyarakat. Masyarakat menjadi resah dan ketakutan, jika dilingkungannya menjadi pusat pengedaran NAZA.

70

7. Faktor-Faktor Penyebab Penyalahgunaan dan Ketergantungan atau Kecanduan Narkoba atau NAZA Masalah penyalahgunaan/ketergantungan NAZA mempunyai dimensi yang luas dan sangat kompleks, dengan berbagai faktor yang melatar belakanginya (Hawari, 2006). Apabila dilihat dari faktor penyebab terjadinya, penyalahgunaan/ketergantungan NAZA dapat disebabkan oleh banyak faktor yang saling mempengaruhi satu sama lainnya (Suryani, 2008). Faktor-faktor dapat berasal dari lingkungan (Yanny,2001) a. Faktor dari dalam diri individu Faktor menyangkut hal-hal yang berasal dari dalam diri individu. Hal-hal dapat berasal dari kepribadian individu, yaitu adanya gangguan kepribadian, dan juga ketidaktahuan individu atau keyakinan yang salah mengenai NAZA. 1) Kepribadian individu Pada penyalahgunaan dan ketergantungan NAZA, faktor kepribadian juga memiliki peranan terhadap penggunaan dan penyalahgunaan NAZA. Sharoff dalam penelitiannya

mengemukakan individu yang dengan kepribadian tertentu atau kondisi kejiwaan tertentu akan cenderung menggunakan NAZA jenis tertentu pula daripada zat lainnya (Hawari, 2006). Hasil penelitian yang dilakukan Erwin dkk (Yongky, 2003) di RSKO

71

Jakarta menyimpulkan ketergantungan obat terlarang mudah terjadi pada individu dengan ciri-ciri kepribadian: mudah kecewa, cepat emosi, pembosan, lebih mengutamakan kenikmatan sesaat tanpa memikirkan akibatnya di kemudian hari atau pemuasan segera. 2) Gangguan kepribadian Individu yang terlibat penyalahgunaan/ketergantungan NAZA seringkali menunjukkan indikasi gangguan kepribadian dalam dirinya, baik gangguan dalam cara berpikir berupa cara berpikir yang salah dan semaunya, gangguan emosional berupa kondisi emosi yang lain, mudah cemas, apatis depresi, dan kurang mampu menghadapi stress (Hawari dalam Damayanti, 2009) 3) Kurangnya pengetahuan tentang bahaya NAZA Kurangnya pengetahuan individu NAZA tentang bahaya

penyalahgunaan/ketergantungan

dapat

menyebabkan

individu tertarik untuk menggunakan NAZA (Unita dalam Damayanti, 2009). Jika individu mengetahui mengenai bahaya penyalahgunaan NAZA maka mungkin akan memperkecil harapan dan keyakinan individu menangani kenikmatan dari penggunaan NAZA itu sendiri.

72

b. Faktor lingkungan Faktor lingkungan memiliki peranan yang sangat besar terhadap keterlibatan seseorang dalam penyalahgunaan

/ketergantungan NAZA. Faktor-faktor lingkungan yang mungkin mengakibatkan seseorang menggunakan NAZA, yaitu (Hawari, 2006) : 1) Lingkungan keluarga Keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting dalam media pendidikan dan pembentukan kepribadian dari seorang anak. Peranan orang tua dalam kondisi keluarga mempengaruhi perkembangan kepribadian anak. Gerber (Hawari, 2006) dalam penelitiannya menyatakan berkaitan penyalagunaan/ketergantungan kelainan dalam sistem NAZA keluarga, sering yang

dengan

mencerminkan adanya kelainan (psikopatologis) dari satu atau lebih anggota keluarga. Suasana rumah yang tidak nyaman, hubungan keluarga yang tidak harmonis, dan terjadinya perceraian pada orang tua dapat memberikan pengaruh yang besar dalam diri individu untuk menggunakan NAZA (Hawari dalam Damayanti, 2009)

73

2) Lingkungan tempat tinggal Lingkungan yang rawan dengan penyediaan NAZA akan menjadi sarana yang paling berbahaya bagi keterlibatan seseorang dalam penyalahgunaan/ketergantungan NAZA (Suryani, 2008). Orang akan lebih mudah terlibat jika difasilitasi oleh lingkungan, sehingga lingkungan dan pergaulan yang demikian akan mempermudah seseorang untuk terlibat dalam

penyalahgunaan/ketergantungan NAZA (Amin dalam Damayanti, 2009). 3) Pengaruh teman sebaya Pada proses terjadinya penyalahgunaan /ketergantungan NAZA, teman sebaya (peer group) mempunyai pengaruh cukup besar yang dapat mendorong atau mencetuskan

penyalahgunaan/ketergantungan NAZA pada diri seseorang (Hawari dalam Damayanti, 2009). Pengaruh teman sebaya bukan hanya pada saat perkenalan pertama kali dengan NAZA, melainkan juga yang menyebabkan pada seseorang NAZA, dan tetap juga

menyalahgunakan/ketergantungan

menyebabkan kekambuhan (relapse) pada individu yang telah menghentikan pemakaian (Hawari dalam Damayanti, 2009).

74

8. Proses Penyembuhan dan Rehabilitasi Proses penyembuhan seseorang bukanlah suatu proses

sederhana. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa proses pelepasan seseorang dari ketergantungan obat akan melalui tiga tahap yang sinambung, yaitu tahap penyembuhan, tahap rehabilitasi sosial dan tahap after care. Metode atau pendekatan yang digunakan pada setiap tahap tidaklah sama dan bahkan bisa digunakan beberapa metode atau pendekatan sekaligus. Berikut tiga tahap proses penyembuhan yaitu : a. Tahap Penyembuhan Tahap ini merupakan langkah pertama untuk membantu seseorang melepaskan diri dari ketergantungan obat, terutama yang bersifat fisik. Tahap ini relatif singkat karena tujuan utamanya adalah menghilangkan kebiasaan memakai obat, meniadakan akibat-akibat fisik, serta menghilangkan gangguan psikologis yang mungkin menyertainya. Ada beberapa macam pendekatan atau pandangan dalam tahap penyembuhan ini. Salah satunya adalah dengan melalui

pendekatan medis. Pendekatan medis dibagi menjadi 2, yaitu : 1) Detoksifikasi Secara harfiah dapat dikatakan bahwa detoksifikasi adalah pengurangan racun/peracunan dalam tubuh seseorang. Secara terkontrol seseorang berada di bawah pengawasan tim medis.

75

a) Kalkun Dingin Dalam metode ini dilakukan penghilangan pemakaian obat secara total. Oleh karena itu, pasien tidak diberikan obat sama sekali. Lama kelamaan keinginan untuk

menggunakan obat berkurang dan hilang. Pendekatan ini mulai ditinggalkan karena dianggap kurang manusiawi. Pada saat si penyalahguna obat dilepaskan dari obat, timbul gejala putus obat yang membuat orang tersebut menderita. Terutama mereka yang sudah ketagihan obat-obatan yang menimbulkan ketergantungan fisik (opiat).
b) Detoksifikasi dengan obat

Karena seseorang membutuhkan obat secara fisik, maka dalam pendekatan ini obat tetap diberikan dengan takaran yang sedikit demi sedikit dikurangi sampai akhirnya tidak lagi diberikan. Lama proses detosifikasi ini relatif singkat, yakni sekitar 3 minggu. 2) Mempertahankan obat Pandangan dalam pendekatan ini adalah bahwa

mengharapkan seseorang yang sudah tergantung obat (terutama opiat) untuk melepaskan diri merupakan hal yang tidak realistis dalam jangka waktu pendek. Maka pemakaian obat tetap diberikan di bawah pengawasan medis.

76

Filosofi di balik pandangan ini lebih bersifat sosial, yakni bahwa dengan diperolehnya obat secara tetap dan cuma-Cuma, kecenderungan untuk mencuri berkurang. Si penderita diberi kesempatan memperbaiki kehidupan sosialnya dengan memakai obat secara sah (tidak secara gelap). b. Tahap Rehabilitasi Sosial Tujuan tahap ini adalah untuk memudahkan yang telah sembuh, untuk memasuki masyarakat kembali dengan suatu penyesuaian sosial yang baik. Penyesuaian sosial ini terbentuk melalui keterampilan/kejuruan dan bimbingan kelompok. Keterampilan ini tidak hanya berfungsi sebagai bekal untuk bekerja, melainkan juga sebagai latihan kedisiplinan (adanya jadwal kerja, pergaulan dengan rekan sekerja, adanya hierarki penggurus panti, adanya aturan, adanya instruksi, dan sebagainya). Dengan berdiam dalam suatu panti rehabilitasi sosial, bekas penyalah guna obat dapat mengembalikan rasa percaya dirinya dan sekaligus berada di bawah bimbingan para ahli. Bimbingan juga meliputi bidang kerohanian, penalaran, bakat dan minat serta rekreasi. Lamanya tahap ini belum baku, tetapi yang ideal adalah satu tahun.

77

c. Tahap Resosialisasi / After Care Tahap ini sering disebut tahap bimbingan lanjut (after care) dan justru tahap ini yang paling kritis. Pada tahap ini orang tersebut sudah tidak tergantung secara fisik, dan secara sosial sudah direhabilitasi, dan sudah kembali ke tengah masyarakat. Untuk hidup sebagaimana layaknya orang biasa. Dan justru disini akan muncul berbagai dorongan yang memungkinkan seseorang kembali memakai obat, baik itu dorongan dari luar (pergaulan) maupun dari dalam (keinginan yang kuat). Biasa dalam proses ini ada petugas sosial khusus dari lembaga. Orang tersebut bertugas mengikuti perkembangan eks klien lembaga bersangkutan.

E. Penelitian Sebelumnya Penelitian yang berhubungan dengan tipe kepribadian ekstrovert-introvert sebelumnya telah dilakukan oleh Marina (2000) berjudul Hubungan antara tipe kepribadian introvert-ekstravert dan tingkah laku penyalahgunaan heroin pada remaja. Penelitian dilakukan pada 32 remaja yang sedang menjalani program penyembuhan di pusat rehabilitasi yayasan TR 3. Hasil penelitian remaja yang memiliki tipe kepribadian ekstrovert lebih banyak yang menunjukkan tingkah

78

laku penyalahgunaan heroin dibandingkan remaja yang memiliki tipe kepribadian introvert. Penelitian yang berhubungan dengan self esteem sebelumnya telah dilakukan antara lain oleh Pradana (2008) berjudul Hubungan antara self esteem dengan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan berbahaya pada siswa SMK Negri 2 Malang. Populasi penelitian adalah siswa kelas I dan II SMK Negeri 2 Malang sejumlah 535 orang, sedangkan yang dijadikan sampel dalam penelitian sejumlah 134 orang. Hasil penelitian menunjukkan (1) tingkat self-esteem siswa SMK Negeri 2 Malang tergolong dalam kriteria tinggi sebanyak 38,06%, kriteria sedang 56,72%, dan kriteria rendah 5,22%. (2) penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan berbahaya di SMK Negeri 2 Malang tergolong dalam kriteria tinggi 17,16%, kriteria sedang 14,18%, kriteria rendah 65,67%, dan kriteria sangat rendah 2,99%. (3) pengujian analisis korelasi product moment menunjukkan koefisien korelasi rxy = 0,957 pada taraf signifikan 0,05. Berarti ada hubungan atau korelasi yang positif signifikan antara self-esteem dengan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan berbahaya. Penelitian yang berhubungan dengan social support sebelumnya telah dilakukan antara lain oleh Devi Cahyaning Wulan (2010) berjudul Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Self Efficacy Pada Pecandu Narkoba Dalam Menjalani Pemulihan. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah sebanyak 32 orang, yang semuanya berjenis kelamin laki-laki. Analisis data dilakukan dengan

79

teknik statistik nonparametrik dengan Spearmant Rank, dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 14 for windows. Dari hasil analisis data penelitian disimpulkan ada korelasi atau hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan self efficacy pada pecandu narkoba dalam menjalani pemulihan.

Anda mungkin juga menyukai