Anda di halaman 1dari 27

Presentasi Kasus SEORANG LAKI-LAKI 18 TAHUN DENGAN MITRAL STENOSIS DAN INSUFFISIENSI (MSI), TRIKUSPID REGURGITASI (TR) AKIBAT

PENYAKIT JANTUNG REUMATIK

Oleh: Iput Syahril Gia Noor Pratami Gloria K. Evasari Ratih Puspa Wardani G99122052 G99122053 G99122100

Pembimbing: Triadhy Nugraha YS, dr., Sp.JP, FIHA

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT JANTUNG DAN KEDOKTERAN VASKULAR FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2013

BAB I STATUS PASIEN A. IDENTITAS Nama Umur Jenis kelamin Pekerjaan Alamat No. RM Masuk RS : Sdr. S : 18 th : Laki-laki : Pedagang : Mojorojo 03/06 Temon Baturetno, Kebakkramat, Karanganyar, Jawa Tengah : 00953199 : 20 Juni 2013

Tgl pemeriksaan : 21 Juni 2013 B. DATA DASAR ANAMNESIS 1. Keluhan Utama Sesak napas 2. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan sesak nafas. Sesak nafas dirasakan memberat + dalam 1 minggu SMRS dan tidak berkurang dengan istirahat. Sesak tidak disertai mengi. Pasien merasa nyaman tidur dengan 5-6 bantal. Pasien merupakan pasien PJR dan rutin kontrol ke poli jantung. 3 hari SMRS pasien kontrol dan mendapat obat omeprazole, KI, dan paracetamol. Sesak tidak membaik sehingga pasien dibawa ke RSDM. Pasien juga mengeluh batuk berdahak 1 minggu, dahak berwarna putih kental, mual (+), muntah (+), pusing (+), nafsu makan menurun (+). Pasien memang memiliki penyakit jantung sejak usia 15 tahun. Apabila kecapekan maka sesak kambuh. 3. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat Asma : (-)

Riwayat Alergi Riwayat DM

: (-) : (-)

Riwayat Hipertensi : (-) Riwayat penyakit jantung: (+) sejak usia 15 tahun Riwayat Mondok : (+) 5x karena penyakit jantung, terakhir bulan April 2013 4. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat Asma Riwayat Alergi Riwayat DM : (-) : (-) : (-)

Riwayat Hipertensi : (-) Riwayat penyakit jantung: (-) 5. Riwayat Kebiasaan Riwayat Merokok : (-) 6. Riwayat Sosial dan Ekonomi Pasien adalah seorang laki-laki berusia 19 tahun dengan pekerjaan sebagai pedagang. Pasien dirawat di RSUD Dr. Moewardi dengan fasilitas Jamkesmas. C. ANAMNESA SISTEMIK Keluhan utama Kulit Kepala Mata : Sesak nafas : Sawo matang, kering (-), pucat (-), menebal (-), gatal (-), luka (-), kuning (-). : Sakit kepala (-), pusing (+), rambut mudah dicabut (-), rambut mudah rontok (-) : Pandangan kabur (-/-), pandangan dobel (-/-), pandangan berputar-putar (-/-), berkunang-kunang (-/-). Hidung Telinga : Pilek (-), mimisan (-), hidung tersumbat (-), gatal (-). : Berdenging (-), keluar cairan (-), darah (-).

Mulut

: Terasa kering (-), bibir biru (-), pucat (-), sariawan (-), gusi berdarah (-), gigi berlubang (-), bibir pecahpecah (-), luka pada sudut bibir (-).

Tenggorokan Sistem Respirasi

: Sakit menelan (-), gatal (-). : Sesak nafas (+), batuk (+), dahak (+) warna putih, mengi (-).

Sistem Cardiovaskuler : Nyeri dada (-), terasa tertekan (-), rasa berdebar (-), sesak nafas karena aktivitas (+) Sistem Gastrointestinal : Mual (+), muntah (+), nafsu makan menurun (+), BAB (+) normal, perut sebah (-), nyeri ulu hati (-), mbeseseg (-), kembung (-), tinja warna kuning. Sistem Genitourinaria : Nyeri saat BAK (-), panas (-), darah (-), nanah (-), anyang-anyangan(-), sering menahan kencing (-), BAK warna seperti teh(-). Sistem Muskuloskeletal : Lemas (+), nyeri otot (-), nyeri sendi (-), bengkak sendi (-). Ekstremitas : Atas Kanan/ Kiri: Luka (-), nyeri (-), tremor (-), kesemutan (-), bengkak (-), ujung jari dingin (-). Bawah Kanan/Kiri: Luka (-), nyeri (-), tremor (-), kesemutan (-), bengkak (-), ujung jari dingin (-). Neuropsikiatri : Kejang (-), emosi tidak stabil (-), kesemutan (-), lumpuh (-), gelisah (-), menggigau(-). D. PEMERIKSAAN FISIK Tanggal 21 Juni 2013 1. Keadaan umum 2. Vital Sign : sakit sedang, lemas, compos mentis, GCS E4V5M6 : Tekanan Darah : 110/70 mmHg HR Nadi RR : 64x /menit : 54x /menit : 24x/menit

Suhu 3. Mata 4. Leher 5. Thorax 6. Cor

: 36,8o C

: conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-) : JVP meningkat : retraksi (+/+) : I: ictus cordis tampak di SIC VI LAAS P: ictus cordis kuat angkat di SIC VI LAAS, thrill di apex P: batas jantung melebar ke caudolateral A: bunyi jantung I-II intensitas , irreguler, bising sistolik di LLSB 3/6 dan di apeks 3/6, bising diastolik di apeks 3/6, gallop (-) : I : pengembangan dada kiri=kanan P : fremitus raba kiri = kanan P : sonor/sonor A : SDV (+/+), RBH (+/+) di 1/3 lapang paru : I : dinding perut sejajar dinding dada A : BU (+) N P : Tympani P : Supel, NT (-), hepar dan lien tidak teraba

6. Pulmo

7. Abdomen

8. Ekstremitas

: Akral dingin Oedem -

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium Darah


20/06/2013 Hb Hct 11,7 35 Satuan Gr/dl % nilai rujukan 12,0-15,6 33-45

AE (uL) AL AT PT APTT INR Ureum Kreatinin Na


+

4,17 7,9 170 20,4 37 1,870 31 0,6 129 4,8 99 Non reaktif

106/uL 103/uL 103/Ul detik detik

4,10-5,10 4,5-11 150-450 10.0 15.0 20.0 40.0 -

Mg/Dl Mg/Dl mmol/L mmol/L mmol/L

<50 0,6-1,1 136-145 3,5-5,1 98-106

K+ Cl HbsAg

EKG 20 Juni 2013

Kesimpulan: AF rapid VR, HR 124x/menit, LVH Echocardiography 21 Juni 2013 Dimensi LV dilatasi, IVS dan PW tidak menebal, massa tidak meningkat Fungsi sistolik LV normal rendah (EF 55%) Wall motion: global normokinetik Dimensi LA giant, RA dan RV dilatasi Kontraktilitas LV menurun (TAPSE 1,7 cm) Katup-katup jantung: aorta: dalam batas normal pulmonal: tampak M-mode PH (+) trikuspid: TR severe mitral : MR severe Kesimpulan: Menyokong PJR dengan MR dan TR severe, dilatasi seluruh ruang jantung EF 55% F. DIAGNOSIS KERJA A(x) F(x) E(x) G. TERAPI 1. Bed rest duduk 2. Infus RL 10cc/jam 3. O2 6 lpm kanul nasal 4. Diet jantung 2100 kkal : MSI, TR, LVH : Decomp cordis NYHA IV, AF rapid VR (perbaikan normo VR) : PJR

5. Injeksi furosemid 20mg/12 jam 6. Injeksi ranitidin 50 mg/12 jam 7. Warfarin 2 mg / 0-0-II 8. Spironolacton 25 mg 1-0-0 9. Captopril 3x6,25 mg 10. Injeksi lanoksin ampul/ 8 jam 11. Alprazolam 0,5 mg 0-0-I 12. Antasyd syrup 3xCI H. I. PLAN PROGNOSIS Ad vitam Ad sanam Ad fungsionam : : :

FOLLOW UP Tgl S O 22 Juni 2013 Sesak (+) berkurang, batuk (-) KU : compos mentis, sakit sedang Vital Sign: T N t : 100/70 mmHg : 78x/menit : 36.5oC HR : 78x/menit Rr : 18x/menit Mata : CA (-/-) SI(-/-) Leher : JVP meningkat Cor : I: ictus cordis tampak di SIC VI LAAS thrill di apex P: batas jantung melebar ke caudolateral A: bunyi jantung I-II intensitas , irreguler, bising sistolik di LLSB 3/6 dan di apeks 3/6, bising diastolik di apeks 3/6, gallop (-) Pulmo : I : pengembangan dada kiri=kanan P : fremitus raba kiri = kanan P : sonor/sonor A : SDV (+/+), RBH (-/-) Abdomen : I : dinding perut sejajar dinding dada A : BU (+) N P : Tympani P : Supel, NT (-) Ekstremitas : 23 Juni 2013 Sesak (-), batuk (-) Vital Sign: T N t : : : 36.5oC HR : Rr : Mata : CA (-/-) SI(-/-) Leher : JVP meningkat Cor : I: ictus cordis tampak di SIC VI LAAS P: ictus cordis kuat angkat di SIC VI LAAS, P: batas jantung melebar ke caudolateral A: bunyi jantung I-II intensitas , irreguler, bising sistolik di LLSB 3/6 dan di apeks 3/6, bising diastolik di apeks 3/6, gallop (-) Pulmo : I : pengembangan dada kiri=kanan P : fremitus raba kiri = kanan P : sonor/sonor A : SDV (+/+), RBH (-/-) Abdomen : I : dinding perut sejajar dinding dada A : BU (+) N P : Tympani P : Supel, NT (-) Ekstremitas : -

P: ictus cordis kuat angkat di SIC VI LAAS, thrill di apex

Akral dingin Akral dingin Diagnosa: A (x) : MSI, TR, LVH F (x) : Decomp cordis NYHA IV, AF normo VR E (x) : PJR Oedema Diagnosa: A (x) : MSI, TR, LVH

Oedema

F (x) : Decomp cordis NYHA IV, AF normo VR E (x) : PJR Terapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Penyakit Jantung Rematik 1. Definisi Menurut WHO tahun 2001, Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah cacat jantung akibat karditis rematik. Menurut Afif. A (2008), PJR adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari Demam Rematik (DR), yang ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung. Definisi lain juga mengatakan bahwa PJR adalah hasil dari DR, yang merupakan suatu kondisi yang dapat terjadi 2-3 minggu setelah infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A pada saluran nafas bagian atas (Underwood J.C.E, 2000). 2. Faktor Risiko Faktor risiko yang berpengaruh pada timbulnya PJR dibagi menjadi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik, antara lain : 2.1 Demam Rematik (DR) 2.1.1. Definisi DR Menurut WHO, definisi DR adalah sindrom klinis sebagai salah satu akibat infeksi kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A, yang ditandai oleh satu atau

lebih manisfestasi mayor (karditis, poliartritis, korea, nodul subkutan, dan eritema marginatum) dan mempunyai ciri khas untuk kambuh kembali (Afif, A dkk.) Pendapat lain memberikan definisi DR atau PJR sebagai suatu sindroma klinik penyakit akibat infeksi kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A pada tenggorokan yang terjadi secara akut ataupun berulang dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis, korea, nodul subkutan dan eritema marginatum (Meador R.J. et al, 2009). 2.1.2. Etiologi DR Telah lama diketahui DR mempunyai hubungan dengan infeksi kuman Streptokokus Beta Hemolitik grup A pada saluran nafas atas dan infeksi kuman ini pada kulit mempunyai hubungan untuk terjadinya glomerulonefritis akut. Kuman Streptokokus Beta Hemolitik dapat dibagi atas sejumlah grup serologinya yang didasarkan atas antigen polisakarida yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut. Tercatat saat ini lebih dari 130 serotipe M yang bertanggung jawab pada infeksi pada manusia, tetapi hanya grup A yang mempunyai hubungan dengan etiopatogenesis DR dan PJR. Hubungan kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A sebagai penyebab DR terjadi secara tidak langsung, karena organisme penyebab tidak dapat diperoleh dari lesi, tetapi banyak penelitian klinis, imunologis dan epidemiologis yang membuktikan bahwa penyakit ini mempunyai hubungan dengan infeksi Streptococcus beta hemolitycus grup A, terutama serotipe M1, 3, 5, 6, 14, 18, 19 dan 24 (Afif. A, 2008). Sekurang-kurangnya sepertiga penderita menolak adanya riwayat infeksi saluran nafas karena infeksi streptokokkus sebelumnya dan pada kultur apus tenggorokan terhadap Streptococcus beta hemolitycus grup A sering negatif pada saat serangan DR. Tetapi respons antibodi terhadap produk ekstraseluler streptokokus dapat ditunjukkan pada hampir semua kasus DR dan serangan akut DR sangat berhubungan dengan besarnya respon antibodi. Diperkirakan banyak anak yang mengalami episode faringitis setiap tahunnya dan 15%-20% disebabkan oleh Streptokokus grup A dan 80% lainnya disebabkan infeksi virus. Insidens infeksi Streptococcus beta hemolitycus grup A pada tenggorokan bervariasi di antara berbagai negara dan di daerah didalam satu negara. Insidens tertinggi didapati pada anak usia 5 -15 tahun. Beberapa faktor predisposisi lain yang berperan pada penyakit ini adalah keadaan sosio ekonomi yang rendah, penduduk yang padat, golongan etnik tertentu, faktor

genetik, golongan HLA tertentu, daerah iklim sedang, daerah tropis bercuaca lembab dan perubahan suhu yang mendadak (Park M.K., 1996). 2.1.3. Patogenesis Hubungan antara infeksi infeksi Streptokokkus Beta Hemolitik grup A dengan terjadinya DR telah lama diketahui. Demam rematik merupakan respon autoimun terhadap infeksi Streptococcus beta hemolitycus grup A pada tenggorokan. Respons manifestasi klinis dan derajat penyakit yang timbul ditentukan oleh kepekaaan genetic host, keganasan organisme dan lingkungan yang kondusif. Mekanisme patogenesis yang pasti sampai saat ini tidak diketahui, tetapi peran antigen histokompatibilitas mayor, antigen jaringan spesifik potensial dan antibodi yang berkembang segera setelah infeksi streptokokkus telah diteliti sebagai faktor risiko yang potensial dalam patogenesis penyakit ini. Beberapa penelitian berpendapat bahawa DR yang mengakibatkan PJR terjadi akibat sesitisasi dari antigen Streptococcus beta hemolitycus grup A di faring. Streptococcus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat, berdiameter 0,5-1 mikron dan mempunyai karakteristik dapat membentuk pasangan atau rantai selama pertumbuhannya. Streptococcus beta hemolitycus grup A ini terdiri dari dua jenis, yaitu hemolitik dan non hemolitik. Yang menginfeksi manusia pada umumnya jenis hemolitik. Lebih kurang 95% pasien menunjukkan peninggian titer antistreptolisin O (ASTO), antideoksiribonukleat B (anti DNA-ase B) yang merupakan dua jenis tes yang biasa dilakukan untuk infeksi kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A. DR merupakan manifestasi yang timbul akibat kepekaan tubuh yang berlebihan (hipersentivitas) terhadap beberapa produk yang dihasilkan oleh Streptococcus beta hemolitycus grup A. Kaplan mengemukakan hipotesis tentang adanya reaksi silang antibody terhadap Streptococcus beta hemolitycus grup A dengan otot jantung yang mempunyai susunan antigen mirip antigen Streptococcus beta hemolitycus grup A. Hal inilah yang menyebabkan reaksi autoimun. Dalam keadaan normal,sistem imun dapat membedakan antigen tubuh sendiri dari antigen asing, karena tubuh mempunyai toleransi terhadap self antigen, tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa adakalanya timbul reaksi autoimun. Reaksi

autoimun adalah reaksi sistem imun terhadap antigen sel jaringan sendiri. Antigen tersebut disebut autoantigen, sedang antibody yang dibentuk disebut autoantibodi. Reaksi autoantigen dan autoantibodi yang menimbulkan kerusakan jaringan dan gejala-gejala klinis disebut penyakit autoimun, sedangkan bila tidak disertai gejala klinis disebut fenomena autoimun. Oleh karena itu pada umumnya para ahli sependapat bahwa DR termasuk dalam penyakit autoimun. 2.1.4. Manifestasi Klinis DR Akut terdiri dari sejumlah manifestasi klinis, di antaranya artritis, korea, nodulus subkutan, dan eritema marginatum. Berbagai manifestasi ini cenderung terjadi bersama-sama dan dapat dipandang sebagai sindrom, yaitu manifestasi ini terjadi pada pasien yang sama, pada saat yang sama atau dalam urutan yang berdekatan. Manifestasi klinis ini dapat dibagi menjadi manifestasi mayor dan manifestasi minor, yaitu : Manifestasi Klinis Mayor Manifestasi mayor terdiri dari artritis, karditis, korea, eritema marginatum, dan nodul subkutan. Artritis adalah gejala mayor yang sering ditemukan pada DR Akut. Munculnya tiba-tiba dengan nyeri yang meningkat 12-24 jam yang diikuti dengan reaksi radang. Biasanya mengenai sendi-sendi besar seperti lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Sendi yang terkena menunjukkan gejala-gejala radang seperti bengkak, merah, panas sekitar sendi, nyeri dan terjadi gangguan fungsi sendi. Kelainan pada tiap sendi akan menghilang sendiri tanpa pengobatan dalam beberapa hari sampai 1 minggu dan seluruh gejala sendi biasanya hilang dalam waktu 5 minggu, tanpa gejala sisa apapun. Karditis merupakan proses peradangan aktif yang mengenai endokarditis, miokarditis, dan perikardium. Dapat salah satu saja, seperti endokarditis, miokarditis, dan perikarditis. Endokarditis dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada daun katup yang menyebabkan terdengarnya bising yang berubah-ubah. Ini menandakan bahwa kelainan yang ditimbulkan pada katup belum menetap. Miokarditis ditandai oleh adanya pembesaran jantung dan tanda-tanda gagal jantung. Sedangkan perikarditis adalah nyeri pada perikardial. Bila mengenai ketiga lapisan sekaligus disebut pankarditis.

Karditis ditemukan sekitar 50% pasien DR Akut. Gejala dini karditis adalah rasa lelah, pucat, tidak berghairah, dan anak tampak sakit meskipun belum ada gejalagejala spesifik. Karditis merupakan kelainan yang paling serius pada DR Akut, dan dapat menyebabkan kematian selama stadium akut penyakit. Diagnosis klinis karditis yang pasti dapat dilakukan jika satu atau lebih tanda berikut ini dapat ditemukan, seperti adanya perubahan sifat bunyi jantung organik, ukuran jantung yang bertambah besar, terdapat tanda perikarditis, dan adanya tanda gagal jantung kongestif. Korea merupakan gangguan sistim saraf pusat yang ditandai oleh gerakan tiba-tiba, tanpa tujuan, dan tidak teratur, seringkali disertai kelemahan otot dan emosi yang tidak stabil. Gerakan tanpa disedari akan ditemukan pada wajah dan anggota-anggota gerak tubuh. Gerakan ini akan menghilang pada saat tidur. Korea biasanya muncul setelah periode laten yang panjang, yaitu 2-6 bulan setelah infeksi Streptokokkus dan pada waktu seluruh manifestasi DR lainnya mereda. Korea ini merupakan satusatunya manifestasi klinis yang memilih jenis kelamin, yakni dua kali lebih sering pada anak perempuan dibandingkan pada laki-laki. Eritema marginatum merupakan manifestasi DR pada kulit, berupa bercak-bercak merah muda dengan bagian tengahnya pucat sedangkan tepinya berbatas tegas, berbentuk bulat atau bergelombang, tidak nyeri, dan tidak gatal. Tempatnya dapat berpindah-pindah, di kulit dada dan bagian dalam lengan atas atau paha, tetapi tidak pernah terdapat di kulit muka. Eritema marginatum ini ditemukan kira-kira 5% dari penderita DR dan merupakan manifestasi klinis yang paling sukar didiagnosis. Nodul subkutan merupakan manifestasi mayor DR yang terletak dibawah kulit, keras, tidak terasa sakit, mudah digerakkan, berukuran antara 3-10mm. Kulit diatasnya dapat bergerak bebas. Biasanya terdapat di bagian ekstensor persendian terutama sendi siku, lutut, pergelangan tangan dan kaki. Nodul ini timbul selama 6-10 minggu setelah serangan DR Akut. Manifestasi Klinis Minor Manifestasi klinis minor merupakan manifestasi yang kurang spesifik tetapi diperlukan untuk memperkuat diagnosis DR. Manifestasi klinis minor ini meliputi demam, atralgia, nyeri perut, dan epistaksis. Demam hampir selalu ada pada poliartritis rematik. Suhunya jarang melebihi 39C dan biasanya kembali normal dalam waktu 2 atau 3 minggu, walau tanpa pengobatan.

Atralgia adalah nyeri sendi tanpa tanda objektif pada sendi, seperti nyeri, merah, hangat, yang terjadi selama beberapa hari atau minggu. Rasa sakit akan bertambah bila penderita melakukan latihan fisik. Gejala lain adalah nyeri perut dan epistaksis, nyeri perut membuat penderita kelihatan pucat dan epistaksis berulang merupakan tanda subklinis dari DR. Para ahli lain ada menyatakan manifestasi klinis yang serupa yaitu umumnya dimulai dengan demam remiten yang tidak melebihi 39C atau arthritis yang timbul setelah 23 minggu setelah infeksi. Demam dapat berlangsung berkali-kali dengan tanda umum berupa malaise, astenia, dan penurunan berat badan. Sakit persendian dapat berupa atralgia, yaitu nyeri persendian dengan tanda-tanda panas, merah, bengkak atau nyeri tekan, dan keterbatasan gerak. Artritis pada DR dapat mengenai beberapa sendi secara bergantian. Manifestasi lain berupa pankarditis (endokarditis, miokarditis, dan perikarditis), nodul subkutan, eritema marginatum, korea, dan nyeri abdomen (Mansjoer A. dkk., 2000). Langkah pertama dalam mendiagnosis PJR adalah menetapkan bahwa anak anda baru-baru ini mengalami infeksi streptokokus. Dokter mungkin melakukan tes hapusan tenggorokan, tes darah, atau keduanya untuk memeriksa adanya antibodi Streptokokus. Namun, ada kemungkinan bahwa tandatanda infeksi strep mungkin hilang pada saat anda membawa anak anda ke dokter. Dalam hal ini, dokter akan memerlukan anda untuk mencoba mengingat apakah anak anda baru-baru ini mengalami sakit tenggorokan atau gejala lain dari infeksi streptokokus. Seterusnya dokter akan melakukan pemeriksaan fisik dan memeriksa anak anda untuk tanda-tanda demam rematik, termasuk nyeri sendi dan peradangan. Dokter juga akan mendengarkan jantung anak anda untuk memeriksa irama abnormal atau murmur yang mungkin menandakan bahwa jantung telah tegang. Selain itu, ada beberapa tes yang dapat digunakan untuk memeriksa jantung dan menilai kerusakan, termasuk : * Chest X-ray, untuk memeriksa ukuran jantung dan untuk melihat apakah ada kelebihan cairan di jantung atau paru-paru * Ekokardiogram, sebuah tes non-invasif yang menggunakan gelombang suara untuk menciptakan sebuah gambar bergerak dari jantung dan terpaparnya ukuran dan bentuk 2.1.5. Diagnosis

Sebuah diagnosis PJR dibuat setelah konfirmasi adanya DR. Menurut kriteria Jones (direvisi tahun 1992) menyediakan pedoman untuk diagnosis demam rematik (AHA, 1992). Kriteria Jones menuntut keberadaan 2 mayor atau 1 mayor dan 2 kriteria minor untuk diagnosis demam rematik. o Kriteria diagnostik mayor termasuk karditis, poliarthritis, khorea, nodul subkutan dan eritema marginatum. o Kriteria diagnostik minor termasuk demam, arthralgia, panjang interval PR pada EKG, peningkatan reaktan fase akut (peningkatan tingkat sedimentasi eritrosit [ESR]), kehadiran protein C-reaktif, dan leukositosis. 2.2. Faktor Ekstrinsik Faktor DR tersebut juga sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya faktor genetik, umur, dan jenis kelamin. Faktor genetik mempunyai hubungan dengan kejadian DR yaitu dengan terdapatnya beberapa orang dalam satu keluarga yang menderita penyakit ini, serta fakta bahawa DR lebih sering mengenai saudara kembar monozigotik oleh reaksi dizigotik. (Afif A dkk., 1988) Selain itu, PJR termasuk ke dalam penyakit yang dihasilkan oleh Streptococcus beta hemolitycus grup A. (Tobing , T.C.L, 1998) Konsep genetika ini diperkuat oleh penemuan yang mempergunakan teknologi yang canggih, yaitu bahawa penderita DR ditemukan antigen HLA ( Human Leucocyte Antygen) tertentu (Afif A. dkk., 1988). Umur merupakan faktor predisposisi terpenting tentang timbulnya DR. Penyakit ini sering mengenai anak berumur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun. Distribusi ini sesuai dengan insidens infeksi streptokokkus pada anak usia sekolah. Prevalensi PJR di Indonesia sebesar 0,3-0,8 per 100.000 penduduk usia 5-15 tahun. (Suprihati, dkk, 2006) DR lebih sering didapatkan pada anak perempuan daripada laki-laki. Begitu juga dengan kelainan katup sebagai gejala sisa PJR juga menunjukkan perbedaan jenis kelamin (Afif A, dkk., 2008). Faktor ekstrinsik, antara lain disebabkan : a. Keadaan Sosial Ekonomi yang Buruk Tingkat sosial ekonomi merupakan faktor penting dalam terjadinya DR. Golongan masyarakat masyarakat dengan tingkat pendidikan dan

pendapatan yang rendah dengan manifestasinya, seperti ketidaktahuan, perumahan dan lingkungan yang buruk, tempat tinggal yang berdesakan, dan pelayanan kesehatan yang kurang baik, merupakan golongan yang paling rawan. Pengalaman di negara-negara yang sudah maju menunjukkan bahwa angka kejadian DR akan menurun seiring dengan perbaikan tingkat sosial ekonomi masyarakat negara tersebut. (Brooks, G.F, dkk, 2001) Menurut penelitian Mbeza, masyarakat yang hidup dengan tingkat sosial ekonomi rendah memiliki risiko 2,68 kali menderita DR (RR=2,68). (Mbeza, B.L, 2007) b. Iklim dan Geografi Penyakit DR ini terbanyak didapatkan di daerah beriklim sedang, tetapi daerah tropis juga mempunyai insidens yang tinggi. Di daerah yang letaknya tingi mempunyai insidens DR lebih tinggi daripada di dataran rendah. Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas bagian atas meningkat, sehingga insidens DR juga meningkat. (Sudoyo, A, 2006) Pada musin hujan kemungkinan terjadinya PJR 3,24 kali (RR=3,24). (Mbeza, B.L, 2007) 3. Pencegahan 3.1. Pencegahan Primordial Tahap pencegahan ini bertujuan memelihara kesehatan setiap orang yang sehat supaya tetap sehat dan terhindar dari segala macam penyakit termasuk penyakit jantung. Untuk mengembangkan tubuh maupun jiwa serta memelihara kesehatan dan kekuatan, maka diperlukan bimbingan dan latihan supaya dapat mempergunakan tubuh dan jiwa dengan baik untuk melangsungkan hidupnya sehari-hari. Cara tersebut adalah dengan menganut suatu cara hidup sehat yang mencakup memakan makanan dan minuman yang menyehatkan, gerak badan sesuai dengan pekerjaan sehari-hari dan berolahraga, usaha menghindari dan mencegah terjadinya depresi, dan memelihara lingkungan hidup yang sehat. 3.2. Pencegahan Primer Pencegahan primer ini ditujun kepada penderita DR. Terjadinya DR seringkali disertai pula dengan adanya PJR Akut sekaligus. Maka usaha pencegahan primer

terhadap PJR Akut sebaiknya dimulai terutama pada pasien anak-anak yang menderita penyakit radang oleh streptococcus beta hemolyticus grup A pada pemeriksaan THT (telinga,hidung dan tenggorokan), di antaranya dengan melakukan pemeriksaan radang pada anak-anak yang menderita radang THT, yang biasanya menyebabkan batuk, pilek, dan sering juga disertai panas badan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kuman apa yang meyebabkan radang pada THT tersebut. Selain itu, dapat juga diberikan obat anti infeksi, termasuk golongan sulfa untuk mencegah berlanjutnya radang dan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya DR. Pengobatan antistreptokokkus dan anti rematik perlu dilanjutkan sebagai usaha pencegahan primer terhadap terjadinya PJR Akut. 3.3. Pencegahan Sekunder Pecegahan sekunder ini dilakukan untuk mencegah menetapnya infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A pada bekas pasien DR. Pencegahan tersebut dilakukan dengan cara, diantaranya : 1. Eradikasi kuman Streptococcus beta hemolyticus grup A Pemusnahan kuman Streptococcus harus segera dilakukan setelah diagnosis ditegakkan, yakni dengan pemberian penisilin dengan dosis 1,2 juta unit selama 10 hari. Pada penderita yang alergi pada penisilin, dapat diganti dengan eritromisin dengan dosis maksimum 250mg yang diberikan selama 10 hari. Hal ini harus tetap dilakukan meskipun biakan usap tenggorokan negative, kerana kuman masih ada dalam jumlah sedikit di dalam jaringan faring dan tonsil. 2. Obat anti radang Pengobatan anti radang cukup efektif dalam menekan manifestasi radang akut demam rematik, seperti salasilat dan steroid. Kedua obat tersebut sangat efektif untuk mengurangi gejala demam, kelainan sendi serta fase reaksi akut. Lebih khusus lagi, salisilat digunakan untuk DR tanpa karditis dan steroid digunakan untuk memperbaiki keadaan umum anak, nafsu makan cepat bertambah dan laju endapan darah cepat menurun. Dosis dan lamanya pengobatan disesuaikan dengan beratnya penyakit. 3. Diet Bentuk dan jenis makanan disesuaikan dengan keadaan penderita. Pada sebagian besar kasus diberikan makanan dengan kalori dan protein yang cukup. Selain itu diberikan juga makanan mudah cerna dan tidak menimbulkan gas, dan serat untuk

menghindari konstipasi. Bila kebutuhan gizi tidak dapat dipenuhi melalui makanan dapat diberikan tambahan berupa vitamin atau suplemen gizi. 4. Tirah baring Semua pasien DR Akut harus tirah baring di rumah sakit. Pasien harus diperiksa tiap hari untuk pengobatan bila terdapat gagal jantung. Karditis hampir selalu terjadi dalam 2-3 minggu sejak awal serangan, sehingga pengamatan yang ketat harus dilakukan selama masa tersebut. 3.4. Pencegahan Tertier Pencegahan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi, di mana penderita akan mengalami kelainan jantung pada PJR, seperti stenosis mitral, insufisiensi mitral, stenosis aorta, dan insufisiensi aorta

B. Mitral Regurgitasi 1. Definisi dan Klasifikasi Regurgitasi Katup Mitral (Inkompetensia Mitral, Insufisiensi Mitral), (Mitral Regurgitation) adalah kebocoran aliran balik melalui katup mitral setiap kali ventrikel kiri berkontraksi. Pada saat ventrikel kiri memompa darah dari jantung menuju ke aorta, sebagian darah mengalir kembali ke dalam atrium kiri dan menyebabkan meningkatnya volume dan tekanan di atrium kiri. Terjadi peningkatan tekanan darah di dalam pembuluh yang berasal dari paru-paru, yang mengakibatkan penimbunan cairan (kongesti) di dalam paru-paru. Derajat beratnya MR dapat diukur dalam persentase dari stroke volume ventrikel kiri yang mengalir balik ke atrium kiri (regurgitant fraction) menggunakan ekokardiografi. Adapun derajat-derajatnya antara lain:

2. Etiologi dan Faktor Resiko Penyebab dari kondisi ini dibagi menjadi penyebab primer dan penyebab sekunder. Penyebab primer menyerang katup mitral secara langsung, antara lain: a. b. c. d. e. f. sehingga Degenerasi miksomatosa pada katup mitral Penyakit jantung iskemi, penyakit arteri koroner Endokarditis Penyakit vaskuler kolagen Penyakit jantung rematik Trauma. terjadi pelebaran annulus ring yang menyebabkan

Adapun penyebab sekunder yaitu disebabkan oleh dilatasi ventrikel kiri displacement daun katup mitral. Dilatasi ini dapat disebabkan oleh dilatasi kardiomiopati, termasuk insufisiensi aorta.

3. Patofisiologi Patofisiologi regurgitasi mitral dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu: a. Fase akut MR akut (yang dapat diakibatkan rupture mendadak korda tendinea atau muskulus pappilaris) dapat menyebabkan volume overload dari ventrikel dan atrium kiri. Hai ini karena setiap kali memompa darah, tidak hanya aliran darah ke arah aorta (forward stroke volume) saja yang dipompa, melainkan aliran regurgitasi ke arah atrium (regurgitant volume) juga dipompa. Total stroke volume ventrikel kiri merupakan kombinasi forward stroke volume dan regurgitant volume. Pada keadaan akut stroke cardiac volume ventrikel kiri meningkat yang tetapiforward Frank-Starling output menurun. Regurgitant Mekanisme

menyebabkan total stroke volume meningkat dinamakan dengan Mechanism. volume menyebabkan overload volume dan tekanan pada atrium kiri. Kenaikan tekanan ini akan mengakibatkan kongestif paru, karena drainase darah dari paruparu terhambat. b. Fase kronik terkompensasi Apabila MR timbulnya lama atau fase akut dapat teratasi dengan obat. Maka individu ini akan masuk ke dalam fase kronik terkompensasi. Pada fase ini, ventrikel kiri mengalami hipertrofi yang eksentrik sebagai kompensasi peningkatan stroke volume. Individu dengan fase ini biasanya tidak ada keluhan dan dapat melakukan aktivitas seperti biasa. c. Fase kronik dekompensasi Fase ini ditandai dengan overload kalsium pada miosit. Pada fase ini miokard ventrikel tidak dapat lagi berkontraksi secara kuat sebagai kompensasi overload volume pada MR, dan stroke volume ventrikel kiri akan menurun. Dengan keadaan ini akan terjadi kongesti vena pulmonalis. Pada fase ini akan terjadi dilatasi ventrikel kiri, yang

berakibat dilatasi annulus fibrosus yang akan memperburuk derajat RM

Gambar 1 regurgitasi mitral 4. Gambaran Klinis Regurgitasi katup mitral yang ringan bisa tidak menunjukkan gejala. Kelainannya bisa dikenali hanya jika dokter melakukan pemeriksaan dengan stetoskop, dimana terdengar murmur yang khas, yang disebabkan pengaliran kembali darah ke dalam atrium kiri ketika ventrikel kanan berkontraksi. Secara bertahap, ventrikel kiri akan membesar untuk meningkatkan kekuatan denyut jantung, karena ventrikel kiri harus memompa darah lebih banyak untuk mengimbangi kebocoran balik ke atrium kiri. Ventrikel yang membesar dapat menyebabkan palpitasi (jantung berdebar keras), terutama jika penderita berbaring miring ke kiri. Atrium kiri juga cenderung membesar untuk menampung darah tambahan yang mengalir kembali dari ventrikel kiri. Atrium yang sangat membesar sering berdenyut sangat cepat dalam pola yang kacau dan tidak teratur (fibrilasi atrium), yang menyebabkan berkurangnya efisiensi pemompaan jantung. Pada keadaan ini atrium betul-betul hanya bergetar dan tidak memompa; berkurangnya aliran darah yang melalui atrium, memungkinkan terbentuknya bekuan darah. Jika suatu bekuan darah terlepas, ia akan

terpompa keluar dari jantung dan dapat menyumbat arteri yang lebih kecil sehingga terjadi stroke atau kerusakan lainnya. Gejala yang timbul pada MR tergantung pada fase mana dari penyakit ini. Pada fase akut gejala yang timbul seperti decompensated congestive heart failure yaitu: sesak nafas, oedem pulmo, orthopnea, paroksimal nocturnal, dispnoe, sampai syok kardiogenik. Pada fase kronik terkompensasi mungkin tidak ada keluhan tetapi individu ini sensitive terhadap perubahan volume intravaskuler. 5. Pemeriksaan Diagnsotik Regurgitasi katup mitral biasanya diketahui melalui murmur yang khas, yang bisa terdengar pada pemeriksaan dengan stetoskop ketika ventrikel kiri berkontraksi. Elektrokardiogram (EKG) dan rontgen dada bisa menunjukkan adanya pembesaran ventrikel kiri. Pemeriksaan yang paling informatif adalah ekokardiografi, yaitu suatu tehnik penggambaran yang menggunakan gelombang ultrasonik. Pemeriksaan ini dapat menggambarkan katup yang rusak dan menentukan beratnya penyakit. Jika penyakitnya berat, katup perlu diperbaiki atau diganti sebelum ventrikel kiri menjadi sangat tidak normal sehingga kelainannya tidak dapat diatasi. Mungkin perlu dilakukan pembedahan untuk memperbaiki katup (valvuloplasti) atau menggantinya dengan katup mekanik maupun katup yang sebagian dibuat dari katup babi. Memperbaiki katup bisa menghilangkan regurgitasi atau menguranginya sehingga gejala dapat ditolerir dan kerusakan jantung dapat dicegah. Setiap jenis penggantian katup memiliki keuntungan dan kerugian. Katup mekanik biasanya efektif, tetapi menyebabkan meningkatnya resiko pembentukan bekuan darah, sehingga biasanya untuk mengurangi resiko tersebut diberikan antikoagulan. Katup babi bekerja dengan baik dan tidak memiliki resiko terbentuknya bekuan darah, tetapi tidak mampu bertahan selama katup mekanik. Jika katup pengganti gagal, harus segera diganti.

Fibrilasi atrium juga membutuhkan terapi. Obat-obatan seperti beta-blocker, digoxin dan verapamil dapat memperlambat denyut jantung dan membantu mengendalikan fibrilasi. Permukaan katup jantung yang rusak mudah terkena infeksi serius (endokarditis infeksius). Karena itu untuk mencegah terjadinya infeksi, seseorang dengan katup yang rusak atau katup buatan harus mengkonsumsi antibiotik sebelum menjalani tindakan pencabutan gigi atau pembedahan. C. Trikuspid Regurgitasi 1. Pendahuluan Regurgitasi katup trikuspidalis biasanya muncul akibat pembesaran ventrikel kanan dan bukan karena penyakit katup primer. Beberapa penyebab dari regurgitasikatup trikuspidalis yaitu: a. Demam rheumatic; 80% pasien demam rheumatic memiliki TR fungsional akibat hipertensi pulmonal dengan pembesaran ventrikel kanan, sedangkan 20%nya memiliki TR organik karena kelainan pada katup trikuspid akibat inflamasi dari rheumatic tersebut b. Sindrom karsinoid, merupakan tipe tumor yang biasanya terdapat pada usus kecil atau apendiks dan bermetastasis hingga ke liver. Tumor ini melepaskan metabolit serotonin yang dapat membentuk plak endokardial di bagian kanan jantung. Jika plak tersebut mengenai katup trikuspid, dapat terjadi imobilisasi katup, dan dapat berujung pada TR atau stenosis tricuspid. Umumnya, regurgitasi katup trikuspidalis bersifat fungsional dan sekunder terhadap dilatasi dari annullus trikuspid. TR yang bersifat fungsional dapat menyebabkan pembesaran ventrikel kanan. TR biasanya terdapat pada fase akhir gagal jantung akibat demam rheumatik atau penyakit jantung kongenital yang disertai hipertensi pulmonal. Demam rheumatik dapat menyebabkan TR primer/organik dan berhubungan dengan stenosis trikuspid. Selain itu, keadaan yang menyebabkan TR yaitu infark otot papilaris ventrikel kanan, prolaps katup trikuspid, penyakit jantung karsinoid, fibrosis endomyocardial,

endokarditis infektif, dan trauma. Penyakit malformasi Ebstein yang menunjukkan adanya defekpada kanal atrioventrikularis juga dapat menyebabkan TR walaupun tidak sering.Gejala klinis pada TR biasanya merupakan akibat dari kongesti vena sistemik danreduksi curah jantung. Terdapat pulsasi ventrikel kanan pada daerah parasternalkiri dan terdapat murmur holosistolik sepanjang garis sternal kiri, yang menjadilebih jelas saat inspirasi dan berkurang selama ekspirasi.

Gambar 2 regurgitasi trikuspidalis 2. Pemeriksaan fisik Berdasarkan pemeriksaan TR yang dilakukan, dapat ditemukan beberapa hasil yaitu: a. Tekanan tinggi pada vena jugularis b. Liver yang teraba pulsasinya karena regurgitasi darah dari ventrikel kanan menyebabkan peningkatan tekanan di vena sistemik c. Murmur sistolik yang terdengar pada batas sternal kiri bawah, biasanya terdengar pelan tapi menjadi keras ketika inspirasi d. EKG menunjukkan perubahan akibat pembesaran ventrikel kanan, seperti infark myokard dinding inferior, yang dapat menyebabkan TR e. Ekokardiografi dapat menunjukkan adanya dilatasi ventrikel kanan dan katup trikuspid yang mengalami prolaps, scarring , atau abnormalitas letak katup. Ekokardiografi Doppler dapat digunakan untuk menentukan derajat TR

3. Tatalaksansana Terapi untuk menangani TR bertujuan untuk menangani kondisi peningkatan ukuran atau tekanan ventrikel kanan, yang dapat diatasi dengan pemberian obat diuretic. Penanganan dengna pembedahan dilakukan pada keadaan yang berat. TR yang tidak memiliki hipertensi pulmonal, seperti yang terjadi pada endokardtis infektif atau trauma, biasanya dapat sembuh tanpa pembedahan. Pada pasien dengan penyakit katup mitral dan TR akibat adanya hipertensi pulmonal dan pembesaran ventrikel kanan, penanganan dengna pembedahan pada katup mitral dapat mengurangi tekanan pulmonal dan mengurangi terjadinya TR. Pada TR yagn berat dengan adanya kelainan primer pada katup, dapat dilakukan annuloplasti trikuspidalis (teknik memasukkan cincin plastic ke dalam katup), perbaikan katup tricuspid terbuka atau penggantian katup tricuspid.

DAFTAR PUSTAKA Edwards MM., OGara PT, Lilly LS. 2007. Valvular Heart Desase. Dalam Lilly LS( editor). Patophysiology of Heart Disease. Ed ke-4. Philadelphia : Lippincott. Kurt, Eugene, et al. 2000. Harrisons: Principles of Internal Medicine. Singapore: Graw Hill Green and Chiaramida. 2006. EKG-12 sadapan terpercaya. Jakarta : EGC. pp: 2025,31 Guyton AC and Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran,edisi 11. Jakarta : EGC. pp: 111-113, 120-124 Price, Sylvia A.Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis ProsesProses Penyakit, Jakarta:ECG Sloane, E. 2003. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta : EGC. pp: 228-234

Anda mungkin juga menyukai