Anda di halaman 1dari 14

BAB I PENDAHULUAN a.

Latar Belakang Masalah Tulisan ini bertujuan untuk mengangkat isu-isu poligami dan pergeseran wacana di dalamnya. Tulisan ini akan mensoroti poligami pada masa pra-Islam, masa Islam dan masa kemodernan. Sebab-sebab terjadinya pergerseran dan yang mengakibatkam poligami menjadi sebuah wacana yang polemik akan penulis bahas dalam tulisan ini. Tulisan ini menggunakan pendekatan sejarah atau historis yang ekletik.

b.

Abstrak Sejarah peradaban Islam mencatat paling tidak tiga masalah krusial,

berkaitan dengan relasi seksual laki-laki dan perempuan. Masing-masing menyimpan problematikanya sendiri-sendiri dalam skala yang cukup rumit dan menyulut perdebatan yang tak pernah selesai. Ketiga-tiganya sama-sama muncul ke permukaan sebagai warisan kebudayaan pra-Islam yang sangat akut dan mengakar. Dalam perjalanannya kemudian masing-masing mengalami proses sosio-kultural politik yang berbeda. Ada yang hilang, ditolak secara luas, dan diterima secara luas. Tiga masalah tersebut adalah relasi seksual milik al-Yamn (perbudakan), relasi seksual mutah atau kawin kontrak, dan al-Taaddud al-Zaujt atau poligami. Isu yang pertama (perbudakan) hilang tanpa ada kejelasan status hukumnya dalam dalam betuk eksplisit. Isu yang kedua (mutah) ditolak oleh mayoritas ulama Sunni. Isu ketiga (taaddud al-Zaujt ) diterima secara luas.1 Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk mensoroti poligami atau secara lebih mendalam dan kritis. Hal ini penting karena penulis melihat adanya suatu kejanggalan mengenai fenomena poligami. Fenomena poligami sebenarnya adalah

Faqihuddin Abdul Qadir, Memilih Monogami Pembacaan Atas al-Quran dan Hadits Nabi, (Yogyakarta: Pustaka Pesanten, 2005), h. IX.

hal yang lumrah terjadi bukan hanya pada masa Rasulullah Saw., dan bangsa Arab, tetapi diseluruh pelosok dunia. Islam bukanlah agama pertama yang memperkenalkan poligami. Poligami telah dikenal oleh masyarakat manusia, dengan jumlah yang tidak sedikit dari perempuan yang berhak digauli. Sebenarnya sistem poligami sudah meluas berlaku pada banyak bangsa sebelum Islam sendiri datang. Diantara bangsabangsa yang menjalankan poligami, yaitu: Ibrani, Arab Jahiliyah dan Cisilia, yang kemudian melahirkan sebagian besar penduduk yang menghuni negaranegara: Rusia, Lithuania, Cekoslovakia, dan Yugoslavia, dan sebagian besar penduduk yang menghuni negara-negara Jerman, Swiss, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia, dan Inggris.2 Berbicara mengenai latar belakang sejarah poligami, Ameer Ali seperti dikutip Abdul Qadir Djaelani3 menyatakan bahwa pada semua bangsa-bangsa Barat di masa purbakala, poligami dianggap sebagai suatu kebiasaan yang dibolehkan. Karena dilakukan oleh raja-raja yang melambangkan Ketuhanan, banyak orang menganggapnya sebagai perbuatan suci. Pada orang Hindu, poligami dilakukan dengan meluas sejak zaman Bahari. Seperti juga pada orang Median dahulu kala, orang Babilonia, Assiria, dan bangsa Persi pun tidak membatasi mengenai jumlah wanita yang boleh dikawini oleh seorang laki-laki. Seorang Brahmana berkasta tinggi, bahkan juga di zaman modern ini, boleh mengawini wanita sebanyak ia sukai. Poligami dialami orang Israel sebelum zaman Nabi Musa AS yang meneruskan kebiasaan itu tanpa mengadakan pembatasan mengenai jumlah perkawinan yang boleh dilakukan oleh seorang suami bangsa Ibrani. Pada zaman kemudian, Talmud di Yerussalem membatasi jumlah itu menurut kemampuan si suami untuk memelihara isteri-isterinya dengan baik. Meski rahib-rahib menasihatkan supaya seorang laki-laki jangan mempunyai lebih dari empat orang isteri, kaum Karait (Ibrani) berbeda pendapat dengan mereka dan tidak mengakui pembatasan. Bagi orang Parsi, agama memberikan hadiah kepada orang yang mempunyai isteri banyak. Pada bangsa-bangsa Sirria, Tunisia, yang digantikan, dikalahkan, atau dibinasakan oleh orang Israel, poligami turun derajatnya menjadi kebinatangan.
2 3

Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1983) Jilid 2, h. 109. Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT Bina ilmu, 1995), cet. Ke-1, h. 169.

Sementara itu, agama-agama sebelum kedatangan Islam, poligami juga sudah dipraktikkan oleh para pengikutnya. Bila orang menelaah kitab suci agama Yahudi dan Nasrani, maka dia akan mendapatkan bahwa poligami telah merupakan jalan hidup yang diterima. Semua nabi yang disebutkan dalam Talmud, Perjanjian Lama, dan al-Quran, beristeri lebih dari seorang, kecuali Yesus/Nabi Isa AS yang kalau dia berusia lebih panjang mungkin juga akan melakukannya, menerima cara yang sama seperti nenek moyangnya.4 Bahkan di Arab sebelum Islam, telah dipraktikkan poligami yang tanpa batas. Seperti halnya agama Yahudi membolehkan berpoligami tanpa batas, dalam kitab Taurat terdapat, bahwa Nabi Sulaiman AS mempunyai isteri 700 orang perempuan merdeka dan 300 orang hamba. Adapun agama Nasrani, tidak terdapat dalam teks konkrit yang melarang pengikutnya kawin dengan dua orang perempuan atau lebih, kiranya mereka mau, maka poligami bagi pemimpin mereka di zaman dulu menemukan bahwa kawin dengan seorang perempuan saja lebih mudah untuk memelihara sistem dan kesatuan keluarga.5 Adanya pergeseran paradigma terkait poligami menjadi sebuah isu yang seolah-olah menjadi sebuah bentuk ketidakadilan, penindasan, ketidaksetaraan wanita terhadap laki-laki, bahkan hingga isu perampasan hak asasi manusia adalah merupakan isu yang baru terangkat. Poligami juga merupakan isu yang sering diangkat dalam diskusi tentang feminisme. Ada tuduhan klasik yang masih sering diajukan sebagian orang, bahwa al-Quran memperlakukan perempuan secara tidak adil, karena memperbolehkan poligami. Tuduhan semacam ini juga sering dikaitkan dengan Nabi Muhammad Saw., yang berpoligami, bahkan lebih dari empat.6 Pertama, penulis akan berusaha mengungkap sejarah poligami dan prakteknya dalam masa Rasulullah Saw. Kedua, penulis akan mencoba untuk menelusuri sebab-sebab terjadinya pergeseran paradigma tersebut.

4 5

Abdur Rahmani, Inilah Syariat Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991), cet.1 h. 207. Said Abd.Aziz al-Jandul, Wanita di Bawah Naungan Islam, (Jakarta: CV Firdaus, 1991), set ke-1, h. Riffat Hassan, Feminisme dan al-Quran dalam Jurnal Ulumul Quran, Vol: II 1990, h. 88.

70.
6

BAB II POLEMIK POLIGAMI RASULULLAH SAW a. Sejarah Seperti juga problem perempuan yang lain, isu poligami juga lahir sebagai keniscayaan peradaban patriarki, peradaban yang merendahkan perempuan. Jauh sebelum Islam datang peradaban ini telah lama bercokol di wilayah Jazirah Arabia, melainkan juga dalam banyak peradaban kuno lainnya seperti di Mesopotamia dan Mediterania, bahkan hampir seluruh dunia lainnya. Budaya poligami ini merupakan bagian yang tak lepas dari perhatian al-Quran. Pada saat Islam hadir di tengah-tengah masyarakat Arab, masalah poligami kemudian dipandang sebagai problem sosial serius yang harus dipecahkan secara ekstra hati-hati. Dengan al-Quran ditangan, Nabi Muhammad Saw., kemudian berusaha untuk mengatasi problem kultural yang secara evolutif dan gradual menuju bentuknya yang lebih baik. Al-Quran melihat realitas tersebut sebagai keniscayaan kultural yang tidak mungkin dihapuskan secara sekaligus, karena penghapusan seketika dapat dipastikan akan mengakibatkan kegoncangan sistem sosial yang telah mapan demikian mengakar. Seperti yang terungkap dalam kasus Ghilan bin Salamah al-Tsaqafi, Wahb al-Asady, dan Qais bin al-Harits,
4


Dari Ibn Umar r.a berkata: Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi masuk Islam dan memiliki sepuluh orang istri pada masa Jahiliyah (sebelum masuk Islam), bersamanya mereka juga masuk Islam, lalu Nabi menyuruhnya untuk memilih empat orang saja dari mereka.7 Berdasarkan hadis diatas membuktikan bahwa masyarakat pra-Islam terbiasa dengan praktik-praktik poligami yang tanpa aturan dan perlindungan terhadap perempuan. Umat Islam pun pada awalnya, seperti yang diceritakan para ulama-ulama tafsir generasi awal Islam, masih terpengaruh dengan tradisi tersebut. Mereka merasa takut tidak berbuat adil terhadap anak-anak yatim, tetapi tidak merasa takut tidak berbuat adil terhadap istri-istri yang dinikahi secara poligami. Kebiasaan ini dan ketidakhawatiran ini yang di kritik Allah SWT, dengan menurunkan surat al-Nisa untuk menghentikan kebiasaan buruk berpoligami tanpa perhatian terhadap perempuan.


Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.8

Ibn al-Atsir, Jami al-Ushul, (Beirut: Dar al-Hadits, 1990), juz XII, h. 164, no. hadis. 9031. 8 Surat al-Nisa ayat 4

Di dalam tafsirnya Imam Ibnu Jarir al-Thabari, dijelaskan asbab al-Nuzul ayat ini, Muhammad al-Mustanna menceritakan kepada kami, ia berkata: Muhammad bin Jafar menceritakan kepada kami, ia berkata: Syubah menceritakan kepada kami dari Simak, ia berkata: Aku mendengar Ikrimah berkata tentang ayat ini, (

),

Seorang lelaki Quraisy mempunyai istri sepuluh orang, dan dia memiliki beberapa orang anak yatim. (ketika) hartanya habis, dia cenderung kepada harta anak-anak yatim. Lalu turunlah ayat ini.9 Menurut Riffat Hassan, ayat tersebut sering ditafsirkan secara tidak tepat oleh kebanyakan orang, bahkan disalahpahami oleh kebanyakan orang, sehingga seakan-akan seseorang diperbolehkan begitu saja memperlakukan poligami, tanpa memperhatikan bagaimana konteks ketika turunnya ayat tersebut dan apa sesungguhnya ideal moral dari poligami.10 Menurutnya, di dalam al-Quran maupun keseharian Nabi Saw., memelihara anak yatim atau anak yang terlantar selalu mendapatkan perhatian yang besar dan dianggap sangat penting. Dengan demikian, apa yang dikemukakan Riffat, fokus utama ayat poligami adalah masalah penyantunan anak yatim, yaitu dengan cara menikahi ibu dari anak yatim tersebut. Penafsiran ini menurut Riffat, tidak bisa diragukan lagi, karena ayat itu turun dalam kondisi ketika banyak terjadi perang, sehingga banyak laki-laki yang meninggal dunia, akibatnya terjadi banyak janda, dan anak-anak yatim. 11 Dengan demikian, ideal moral dari al-Quran tentang masalah ini adalah Pertama, agar anak-anak yatim terpelihara dan disantuni. Kedua, ayat tersebut berbicara tentang keadilan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa poligami dalam Islam hanya diperbolehkan dalam kondisi darurat seperti itu dan pelaku poligami harus mampu berbuat adil. Al-Quran memberikan persyaratan yang cukup ketat bagi mereka yang akan berpoligami, yaitu sifat adil, sehingga semestinya bagi mereka yang tidak dapat berbuat adil kepada istri-istrinya, mereka tidak berpoligami. Ketika Allah memberikan izin poligami, kemudian
9

Ibnu Jarir al-Thabari, Jami al-Bayan an Tawil al- Quran , (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), jilid 3, h.

282. Riffat Hassan, Feminisme dan al-Quran dalam Jurnal Ulumul Quran, Vol: II 1990. Riffat Hassan, Women in the Context of Marrage, Divorce and Polygamy in Islam, dalam Womens Rigth in Islam, sebuah paper yang dipersiapkan untuk mengisi seminar di Tunisia bulan Juli 1995, h. 55.
11 10

Allah menyatakan Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka kawinilah seorang saja. Dengan kata lain, sebenarnya prinsip yang dikehendaki al-Quran adalah monogami, bukan poligami. Kalaupun poligami itu dilakukan, karena dalam kondisi darurat dan si pelaku harus dapat bersikap adil kepada istri-istrinya.12 Hal senada juga dinyatakan oleh Muhammad Syahrur 13 seorang pemikir Islam kontemporer dari Syria yang cukup kontroversial. Tentang poligami, beliau menyatakan sesungguhnya poligami itu terkait dengan konteks yang sangat darurat dan pada dasarnya Islam menganut prinspi monogami. Meskipun poligami itu boleh, tapi ada syarat yang sangat penting untuk dipenuhi yaitu sifat adil. Demikian pula tujuan poligami yang diidealkan al-Quran adalah li ialah alAramil wa al-Aitam, yaitu untuk menyantuni para janda dan anak yatim.14 Bangsa Arab pada masa kelahiran Islam juga tidak berbeda dengan bangsa lain dalam hal poligami. Bagi mereka, praktik poligami dipraktikkan pada konteks sosial dimana masyarakat Arab, pada saat itu, adalah masyarakat kabilah yang menggantungkan pada jumlah anak dan keluarga. Anak-anak dianggap perhiasan dan penopang hidup. Melahirkan anak merupakan kebanggaan yang tiada kira bagi keluarga, sebanyak perempuan yang bisa melahirkan, sebanyak itu penghargaan keluarga terhadap pasangan suami istri. Monogami bahkan tidak terkenal dan terbiasa. Ia hanya dipraktikkan karena alasan esoterik tertentu, oleh beberapa orang dengan jumlah yang sangat terbatas dan sedikit.15 Masyarakat Muslim awal mempraktikkan poligami lebih karena pengaruh sosial dan budaya yang berlaku saat itu. Ketika mendengar beberapa sahabat mempraktikkan poligami, mereka sebenarnya tidak sedang memenuhi anjuran alQuran. Mereka tidak mempraktikkan poligami begitu mereka mendengarkan ayat al-Nisa diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw,. Akan tetapi, lebih karena budaya pada saat itu yang memandang lumrah terhadap poligami, bahkan membanggakannya. Seperti dikatakan Umar bin Khattab r.a, mereka terbiasa tidak
Abdul Mustaqiem, Paradigma Tafsir Feminis, Membaca al-Quran dengan Optik Perempuan, (Yogyakarta: Logung Pustaka, t. th), h. 204.
13 12

Muhammad Syahrur, al-Quran wa al-Kitab: Qiraah Muashirah (Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer), 1992. 15 Aisyah Abdurrahman Bint al-Syathi, Istri-Istri Nabi: Fenomena Poligami di Mata Seseorang Tokoh Wanita, (terjemah), (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 28-29.

14

menganggap perempuan sebagai seseorang yang perlu diperhitungkan. Umar r.a berkata:


Dulu kami pada masa Jahiliyah sama sekali tidak memperhitungkan kaum perempuan, kemudian ketika datang Islam dan Allah SWT menyebutkan mereka di dalam kitab-Nya, kami tahu bahwa mereka juga memiliki hak terhadap kami.16 Dalam banyak catatan, Nabi Saw., seringkali memuji kehidupannya bersama Khadijah r.a yang dinikahinya ketika berumur 25 tahun, sedangkan dia berumur 40 tahun. Sampai akhir hayatnya Khadijah r.a, Nabi Saw., tidak terpikir sama sekali untuk menikah dengan perempuan lain. Ini mengherankan karena Nabi Saw., pada saat itu sedang dalam kondisi yag sangat prima dan Khadijah r.a sendiri tidak memberikan anak laki-laki. Jika tradisi Arab saat itu menjadi rujukan, Nabi Saw., memiliki segudang alasan dan legitimasi sosial untuk melakukan poligami. Akan tetapi, Nabi Saw., memilih setia monogami sampai berumur 53 tahun. Perbandingan kehidupan monogami dan poligami Nabi Saw., adalah 25 tahun berbanding 8 tahun. Perbandingan yang cukup signifikan untuk menyatakan bahwa sunnah Nabi Saw., lebih berat kepada perkawinan monogami dibandingkan poligami. Nabi Saw., setia monogami, justru pada saat segala kondisi kesehatan, sosial, dan politik sangat memungkinkan. Seperti dalam penjelasan al-Samarqandi, al-Baihawi dan al-Zamakhsyari, bahwa ayat al-Nisa keempat ini turun pada saat kebanyakan masyarakat hanya takut tidak berbuat adil terhadap anak yatim, tetapi tidak takut terhadap praktik poligami. Mereka pun merasa tidak bermasalah untuk berpoligami sesuka keinginan mereka. Menurut al-Samarqandi, semestinya mereka juga khawatir terhadap perilaku poligami, sama dengan kekhawatiran mereka terhadap anak yatim. Dalam ungkapan al-Zamakhsyari,17 ketidakadilan terhadap anak yatim maupun terhadap istri adalah dosa, yang sama-sama berakibat buruk dan nista.
16

Bukhari, Hadis Bukhari, kitab 77, bab 31, no. 5843. Lihat, Ibn Hajar al-Asqallani, Fath al-Bari, juz

XI, h. 484.
17

Dengan demikian, bukan al-Quran yang menginspirasikan mereka terhadap poligami, sebaliknya al-Quranlah yang justru datang mengkritik poligami.18 Setelah Khadijah wafat, baru dua tahun kemudian Nabi Saw., menikah lagi dengan Saudah binti Zamah.19 Nabi menikah dikala usia Saudah sudah agak lanjut, bahkan sebagian riwayat menyatakan ia sudah menapouse. Nabi Muhammad Saw., melakukan poligami usianya diatas 54 tahun.20 Hal lain yang perlu dilihat di dalam poligami Nabi Muhammad Saw., adalah jumlah istri. Banyak penulis kontemporer yang berusaha membidik masalah ini. Untuk mempermudah melihat nama-nama istri Nabi Muhammad dan waktu pernikahan.21 Dinikahi berstatus janda; seorang saudagar Dinikahi berstatus janda pada bulan Ramadhan di tahun kesepuluh kenabian Dinikahi berstatus janda Dinikahi berstatus janda

1 Khadijah

Khuwailid

Mekkah

2 Saudah 3 Aisyah 4 Hafshah Ummu 5 Salamah 6 Juwairiyah 7 Zainab 8 Zainab binti Khuzaimah

Zumah Abu bakar Umar bin Khatab Putri Abu Umayyah bin Mughirah Harits bin Abi Dirar dari bani Mustaliq Zaid bin Haritsah (suami) Tufail bin Harits bin Muthalib

Mekkah

Madinah 3 H (2 bulan Madinah pra perang Uhud Madinah Madinah Akhir bulan Syawal 4 H Akhir bulan Syawal 4 H

Bulan Madinah Dzulqadah 5 H Madinah -

Faqihuddin Abdul Qadir, Memilih Monogami Pembacaan Atas Al-Quran dan Hadits Nabi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005). 19 Istri kedua Nabi Muhammad Saw., yang dinikahi Nabi setelah Khadijah meninggal dunia. Ia adalah seorang janda dari seorang imigran ke Abyssinia dan kembali ke Arabia setelah suaminya yang pertama meninggal. Lihat Crrill Glasse, Ensiklopedia Islam Ringkas, vol. 4, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Jakarta, 1999), h. 356. 20 Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, hlm. 60. 21 Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, hlm. 65.

18

9 Rayhanah

Hakam dari Bani Nadir (suami) Putri Abu Sufyan bin Harb Huyay bin Khatab Abu Ruhm bin Abdul Uzza Amiri -

Madinah 5 H

1 Ummu 0 Habibah 1 Safiyah 1 Maimunah 1 binti Harits 2 Hilaliyah Fathimah binti 1 Dakhlah bin 3 Kilabiyah 1 Asma binti 4 Numan

Madinah Madinah 7 H Madinah 7 H Bulan Madinah Dzulqadah 8 H Rabi al-Awal Madinah 9H

Dinikahi berstatus janda (suami wafat); tawanan perang ;wafat sewaktu Nabi masih hidup Wafat sebagai Kristen setelah sebelumnya muslim sewaktu menikah Dinikahi berstatus janda (cerai) Dinikahi berstatus janda (mati) Dinikahi berstatus janda (cerai) -

Kemudian setelah masa ini terjadilah pergeseran-pergeseran paradigma mengenai poligami. Wacana poligami tidaklah muncul begitu saja, ia muncul karena dipengaruhi oleh banyak faktor. Diantaranya adalah faktor:: a. Wacana dibentuk oleh kekuasaan. Kaum Victorian misalnya, masyarakat yang dipengaruhi oleh pengendalian tingkah laku kawulanya, dan pengaruhnya terasa sampai seberang Selat Chanel. Bagi kaum Victorian, termasuk di dalamnya Penduduk Eropa Daratan, kesantunan puritan sangat penting, sehingga tindakan seksual dan poligami tidak hanya dikekang tapi juga ditolak, dibungkam. Namun, karena tidak mungkin dilarang sepenuhnya tindak yang dianggap ilegal itu, disediakan tempat khusus, yaitu rumah pelacuran dan rumah sakit jiwa.22 Kisah perempuan di ruang kuasa terus dicatat sebagai mozaik sejarah dan peradaban manusia. Zaman Victoria jadi bab penting untuk menggali tafsir relasi perempuan, seksualitas, dan kuasa. Perempuan sebagai subjek memberi standar norma untuk diperagakan manusia. Ratu Victoria membersihkan ruang
Michael Foucault, La Volonte de Savoir: Ingin Tahu Sejarah Seksualitas, terjemah. La Volonte de Savoir (Histoire de Sexualite, tome I), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia bekerja sama dengan FIB Universitas Indonesia dan Forum Jakarta Paris, t. th)
22

10

npublik dari wacana seksualitas. Politik menganggap isu seksual dan poligami sebagai persoalan tabu. Orang tabu untuk membicarakan seksualitas, karena masalah seks dan hubungan badan hanya pantas dibicarakan di tempat tidur, bukan di tempat umum. Dari paragraf diatas terlihat jelas bahwa kekuasaan

menghasilkan dan memproduksi wacana tertentu dimana masyarakat digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan melalui normalisasi dan regulasi (peraturan). Publik dikontrol melalui wacana yang dibentuk oleh kekuasaan yang disalurkan melalui hubungan sosial dimana kategorisasi perilaku sebagai suatu yang baik atau buruk ditentukan. b. Wacana dibentuk oleh keagamaan. Perkembangan Kristen pada masa Yunani Romawi berfungsi sebagai sebuah institusi yang mengontrol dan mengarahkan segala aspek kehidupan termasuk seks. Dalam perspektif Kristen masa ini, seks dianggap bukan bagian dari ajaran Yesus. Oleh karena itu, seks dianggap sesuatu yang buruk untuk diadopsi dalam pemikiran Kristen. Penurunan citra seks Gnostik 23, karena dianggap sebagai penjara jiwa, karena bagi gnostik keselamatan hanya bisa dicapai dengan membebaskan jiwa dari tubuh. Sesuatu yang cabul seperti seks hanya akan menjebak jiwa di dalam tubuh. Berkembangnya paham kebiarawanan mengakibatkan stigma terhadap seks sebagai sesuatu yang keji. Pembolehan menikah bagi orang Kristen hanyalah sebuah izin karena lemahnya naluri kemanusiaan yang menginginkan anak.

b. Kesimpulan Poligami pada masa pra-Islam merupakan suatu hal yang lumrah dilakukan. Hal ini terbukti dengan banyaknya catatan-catatan yang menyatakan bahwa praktik poligami ini dikonsumsi di seluruh dunia. Pembatasan poligami
Gnostik adalah pandangan yang bertolak bahwa dunia ini adalah sebuah penjara. Tujuan Gnostik gadalah membebaskan manusia dari keterpenjaraan mereka yang berpusat pada tubuh. Lihat dalam Leo D Lefebure, Penyataan Allah, Agama, dan Kekerasan, terjemah: Bambang Subandrijo, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), h. 130.
23

11

pada masa Rasulullah Saw., merupakan sebuah hukum yang mengangkat derajat wanita. Setelah pasca revolusi industri, terjadinya pergeseran paradigma poligami menjadi sesuatu yang merampas, menindas, dan memberdayakan wanita, sangat terkait dengan isu-isu feminis dan gender yang berupaya untuk mendapatkan kesetaraan dimata Negara dan Tuhan.

12

DAFTAR PUSTAKA Abdul Qadir, Faqihuddin. Memilih Monogami Pembacaan Atas al-Quran dan Hadits Nabi, Yogyakarta: Pustaka Pesanten, 2005. Abdur Rahmani. Inilah Syariat Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991. Asqallani, Ibn Hajar, Fath al-Bari, Beirut: Dar al-Fikr, 2005. Atsir, Ibn. Jami al-Ushul, Juz XII, hlm. 164, no. Hadis. 9031. Bint al-Syathi, Aisyah Abdurrahman, Istri-Istri Nabi: Fenomena Poligami di Mata Seseorang Tokoh Wanita, (terjemah), Bandung: Pustaka Hidayah, 2001. Bukhari, Hadis Bukhari, Beirut: Dar al-Hadits, 2006. Djaelani, Abdul Qadir. Keluarga Sakinah, Surabaya: PT Bina ilmu, 1995. Foucault, Michael. La Volonte de Savoir: Ingin Tahu Sejarah Seksualitas, terjemah. La Volonte de Savoir (Histoire de Sexualite, tome I), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia bekerja sama dengan FIB Universitas Indonesia dan Forum Jakarta Paris, t. th. Glasse, Crill. Ensiklopedia Islam Ringkas, Jakarta: PT. Raja Grafindo Jakarta, 1999. Hassan, Riffat. Feminisme dan al-Quran dalam Jurnal Ulumul Quran. ____________. Women in the Context of Marrage, Divorce and Polygamy in Islam, dalam Womens Rigth in Islam, sebuah paper yang dipersiapkan untuk mengisi seminar di Tunisia bulan Juli 1995. Jandul, Said Abdul Aziz. Wanita di Bawah Naungan Islam, Jakarta: CV Firdaus, 1991. Mulia, Siti Musdah. Islam Menggugat Poligami. Mustaqim, Abdul. Paradigma Tafsir Feminis, Membaca al-Quran dengan Optik Perempuan, Yogyakarta: Logung Pustaka, t. th.

13

Sabiq, al-Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar Al-Fikr, 1983. Syahrur, Muhammad. Al-Quran wa al-Kitab: Qiraah Muashirah (Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer), 1992. Thabari, Ibnu Jarir, Jamiul Bayan an Tawil al- Quran , Dar al-Fikr, 2005.

14

Anda mungkin juga menyukai