Anda di halaman 1dari 0

BAB II

TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Ganguan sensori persepsi merupakan gejala umum dari skizofernia
terdapat dua jenis utama masalah perseptual yaitu : halusinasi dan ilusi yang
didefinisikan sebagai pengalaman atau kesan sensori yang salah terhadap stimulus
sensori. (Rasmun, 2001 : hal 23 )
Halusinasi merupakan salah satu gangguan persepsi dimana terjadi
pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan (cook & Fotaine, 1997 dalam
Dalami, 2009 : hal 19)
Beberapa klien mengalami halusinasi (persepsi sensori yang salah, atau
pengalaman persepsi yang sebenarnya tidak ada). Halusinasi dapat melibatkan
kelima indra dan sensasi pada tubuh. Halusinasi pendengaran (mendengarkan
suara-suara) adalah halusinasi yang paling banyak ditemukan dan halusinasi
penglihatan (melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada) merupakan jenis
halusinasi kedua yang paling sering ditemukan. Klien pada awalnya
mempersepsikan halusinasi sebagai pengalaman yang nyata, tetapi pada tahap
sakit yang selanjutnya, mereka mengenalinya sebagai halusinasi (Sheila L.
Videbeck, 2001 : hal 204)
B. Psikodinamika
Menurut ( Nurjanah, 2005 : hal 1)
Ada beberapa penyebab seseorang yang mengalami halusinasi sebagai
berikut Penurunan sensori persepsi, ketidak seimbangan biokimia, kurangnya
stimulus lingkungan, stress psikologi penurunan /hambatan neurotransmitter,
kurangnya rangsangan saat perkembangan, keseimbangan biokimia untuk sensori
yang keluar, keseimbangan elektrolit.
Halusinasi mungkin disebabkan oleh banyak faktor, tetapi kemungkinan
penyebab terjadinya halusinasi pada klien dengan masalah psikiatrik adalah
karena adanya stres psikologi (psychological stress) atau kurangnya stimulus dari
lingkungan (insufficient environmental stimull). Pada klien dengan masalah
psikiatrik, stress psikologi bisa menyebabkan klien berhalusinasi. Stress ini
mungkin berasal dari dalam dirinya sendiri misalnya klien berfikir negatif atau
menyalahkan dirinya sendiri, atau stress yang didapatkan dari luar yang bisa
berasal dari hubungan yang tidak menyenangkan dengan keluarga,teman atau
bahkan petugas kesehatan. Apabila klien berada dirumah sakit tentunya klien
berinteraksi dengan petugas kesehatan. Sikap verbal dan nonverbal petugas yang
tidak terapeutik bisa menyebabkan klien merasa terancam dan menyebabkan
halusinasi semakin kuat dan sering muncul.lingkungan dirumah sakit yang baru
dan asing juga bisa memicu klien untuk merasa cemas dan tertekan, dan apabila
hal ini tidak diantisipasi oleh petugas kesehatan maka mungkin akan memicu
halusinasi menjadi semakin kuat.
Kurangnya stimulus lingkungan juga akan menjadi penyebab terjadinya
halusinasi. Pada umumnya klien dengan masalah halusinasi diawali dengan
perasaan sedih/stress karena masalah tertentu dan kemudian klien menyendiri
dalam waktu yang cukup lama. Pada saat ini klien berada dalam kondisi dimana
stimulus dari lingkungan sangat kurang sementara stimulus dalam dirinya semakin
kuat. Apabila hal ini terjadi dalam waktu lama maka klien akan mulai
berhalusinasi.
1. Komplikasi
Adapun komplikasi yang dapat terjadi atau muncul karena halusinasi,
diantaranya adalah :
Munculnya perilaku untuk mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
yang diakibatkan dari persepsi sensori palsu tanpa adanya stimulus eksternal.
Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan ganguan sensori persepsi
halusinasi penglihatan dan pendengaran, Hambatan komunikasi yang
berhubungan dengan ganguan sensori persepsi halusinasi pendengaran,
Perubahan nutrisi yang berhubungan dengan ganguan sensori persepsi
halusinasi : pengecapan dan penciuman
( Judith m, wilkinson, 2007 : hal 448 )
C. Rentang Respon
Rentang Respon Neurobiologis
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Pikiran logis
Persepsi akurat
Emosi konsisten
Perilaku sosial
Hubungan sosial
Pikiran kadang
menyimpang
Ilusi
Emosional berlebih
dengan pengalaman
kurang
Perilaku ganjil
Menarik diri
Kelainan pikiran
Halusinasi
Tidak mampu
mengatur emosi
Ketidakteraturan
Isolasi sosial
(Stuart and Laraia, hal. 21-7)
Keterangan Gambar :
1. Respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma
sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain, individu tersebut dalam batas
normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah
tersebut.
Respon adaptif berupa :
a. Pikiran logis adalah pikiran yang mengarah pada kenyataan.
b. Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
c. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari hati
sesuai dengan pengalaman.
d. Perilaku sesuai adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran.
e. Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan.
2. Psikososial
Respon psikososial, antara lain :
a. Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan
kekacauan/mengalami gangguan.
b. Ilusi adalah interprestasi atau penilaian yang salah tentang penerapan yang
sungguh terjadi (objek nyata), karena rangsangan panca indera.
c. Emosi berlebihan atau berkurang.
d. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas
kewajaran.
e. Menarik diri yaitu percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang
lain atau hubungan dengan orang lain.
3. Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang
menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungannya. Respon
maladaptif yang sering ditemukan meliputi :
a. Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan
kenyataan sosial.
b. Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal
yang tidak realita atau tidak ada.
c. Kerusakan proses emosi ialah perubahan sesuatu yang timbul dari hati.
d. Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak teratur.
e. Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan di
terima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu keadaan yang
negatif mengancam.
D. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Pada Gangguan Sensori Persepsi
Halusinasi
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses
keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan
kebutuhan atau permasalahan klien.
Selain data demografi yang meliputi nama, umur, jenis kelamin,
pendidikan, agama dan status perkawinan. Pengelompokkan data pengkajian
kesehatan jiwa dapat pula berupa faktor predisposisi, presipitasi, mekanisme
koping dan manifestasi klinis yang dimiliki klien, cara ini dapat diuraikan
sebagai berikut :
a. Faktor Predisposisi (Stuart and Laraia, 2001 : hal. 396 397)
Faktor predisposisi yang mungkin mengakibatkan gangguan orientasi realita
adalah Aspek Biologis, Psikologis dan Sosial :
1) Biologis
Gangguan perkembangan dan fungsi otak atau susunan saraf pusat
dapat menimbulkan gangguan orientasi realitas (halusinasi) seperti
hambatan perkembangan otak khususnya kortek frontal, temporal dan
limbik. Gejala yang mungkin muncul adalah hambatan dalam belajar,
bicara, daya ingat dan mungkin muncul perilaku menarik diri atau
kekerasan.
2) Psikologis
Keluarga, pengasuh dari lingkungan klien sangat mempengaruhi
respon psikologis dari klien. Sikap atau keadaan yang dapat
mempengaruhi gangguan orientasi realita adalah penolakan dan
kekerasan dalam kehidupan klien. Penolakan dapat dirasakan dari ibu,
pengasuh atau teman yang bersikap cemas, tidak sensitif atau bahkan
terlalu melindungi. Pola asuh pada usia kanak-kanak yang tidak
adekuat misalnya, tidak ada kasih sayang, diwarnai kekerasan, ada
kekerasan emosi, konflik dan kekerasan dalam keluarga (pertengkaran
rumah tangga) merupakan lingkungan resiko gangguan orientasi
realitas.
3) Sosial Budaya
Kehidupan sosial budaya dapat pula mempengaruhi gangguan orientasi
realitas, seperti kemiskinan, konflik sosial budaya (peperangan,
kerusakan, kerawanan) kehidupan yang terisolasi disertai stress yang
menumpuk.
b. Faktor Presipitasi (Stuart and Laraia, 2001 : hal. 400)
Faktor presipitasi dapat berasal dari klien, lingkungan atau interaksi
dengan orang lain, stressor juga bisa menjadi salah satu penyebab.
Gangguan orientasi realita halusinasi yang meliputi biologis dan stressor
lingkungan.
1) Biologis
Stressor Biologis yang berhubungan dengan respon neurobiologik
yang maladaptis termasuk gangguan dalam putaran umpan balik otak
yang mengatur proses informasi dan abnormalitas pada mekanisme
pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk
secara selektif menanggapi rangsangan.
2) Stressor Lingkungan
Secara biologis menetapkan ambang toleransi terhadap stress yang
berinteraksi dengan stressor lingkungan untuk menetapkan terjadinya
gangguan perilaku.
c. Manifestasi Klinis
Menurut tahap-tahap halusinasi karakteristik dan perilaku yang
ditampilkan oleh klien yang mengalami halusinasi sebagai berikut :
1) Halusinasi pengelihatan
a) Melirikkan mata kekiri dan kekanan seperti mencari siapa atau apa
yang sedang dibicarakan.
b) Mendengarkan dengan penuh perhatian pada orang lain yang
sedang tidak berbicara atau pada benda seperti mebel.
c) Terlihat percakapan dengan benda mati atau dengan seseorang
yang tidak tampak.
d) Menggerak-gerakan mulut seperti sedang berbicara atau sedang
menjawab suara.
2) Halusinasi pendengaran
Adapun perilaku yang dapat teramati :
a) Tiba-tiba tampak tanggap, ketakutan atau ditakuti oleh orang lain,
benda mati atau stimulus yang tidak tampak.
b) Tiba-tiba berlari keruangan lain.
3) Halusinasi penciuman
Perilaku yang dapat diamati pada klien gangguan halusinasi penciuman
adalah :
a) Hidung yang dikerutkan seperti, mencium bau yang tidak enak.
b) Mencium bau tubuh.
c) Mencium bau udara ketika sedang berjalan kearah orang lain.
d) Merespon terhadap bau dengan panik seperti mencium bau api atau
darah.
e) Melempar selimut atau menuang air pada orang lain seakan sedang
memadamkan api.
4) Halusinasi pengecapan
Adapun perilaku yang terlihat pada klien yang mengalami gangguan
halusinasi perabaan adalah :
a) Meludahkan makanan atau minuman
b) Menolak untuk makan, minum atau minum obat
c) Tiba-tiba meninggalkan meja makan
d. Fase Halusinasi (Stuart dan Laraia, 2001 : hal 424)
1) Fase I
Pada fase ini individu mengalami rasa cemas (ansietas, stress,
perasaan terpisah dan kesepian). Klien mungkin melamun dan
memfokuskan pada hal-hal yang menyenangkan untuk menghilangkan
kecemasan dan stress, cara ini menolong untuk sementara. Klien masih
dapat mengontrol kesadarannya dan mengenal pemikiran ini sebagai
bagian dari dirinya meskipun intensitas resepsi meningkat.
2) Fase II
Ansetas meningkat berhubungan dengan penglaman eksternal dan
internal klien berada pada tingkat pendengaran halusinasinya
(listening). Pemikiran eksternal jadi lebih menonjol, gambaran
halusinasi berupa suara dan sensasi berupa bisikan yang tidak jelas,
akan tetapi klien merasa takut apabila ada orang lain yang mendengar
atau memperhatikannya. Perasaan klien tidak efektif untuk mengontrol
pemikiran tersebut. Klien berusaha untuk membuat jarak antara dirinya
dengan halusinasinya dengan memproyeksikan pengalamannya,
sehingga seolah-olah halusinasinya datang dari orang lain atau tempat
lain.
3) Fase III
Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol pemikiran
klien, klioen menjadi terbiasa oleh halusinasinya dan tidak berdaya
akan halusinasinya tersebut. Atau halusinasinya tersebut menjadi
kesenangan dan keamanan yang bersifat sementara.
4) Fase IV
fase ini tidak berdaya melepaskan diri dari kontrol halusinasinya.
Halusinasi yang terjadi menyenangkan berubah menjadi mengancam,
memerintah, memarahi, menyerang. Klin tidak mampu berhubungan
dengan orang lain karena sibuk dengan khayalannya. Klien mungkin
berada pada dunia yang menakutkan dalam beberapa waktu yang
singkat, beberapa jam atau selamanya. Proses ini akan menjadi kronik
jika tidak dilakukan intervensi secepatnya.
e. Mekanisme Koping (Dalami 2009 : hal 27).
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri dari pengalaman
yang menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologis termasuk :
1) Regresi berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya
untuk penanggulangan ansietas, hanya mempunyai sedikit energi yang
tertinggi untuk aktivitas hidup sehri-hari.
2) Proyeksi
Keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan emosi pada
orang lain karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri (sebagai upaya
untuk menjelaskan kerancuan persepsi)
3) Menarik diri.
Reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun psikologis,
reaksi fisik yaitu individu pergi atau lari menghindar sumber stressor
misalnya menjauhi polusi, sumber infeksi, gas beracun, dll. Sedangkan
reaksi psikologis individu menunjukkan perilaku apatis, mengisolasi
diri, tidak berminat, sering disertai rasa takut dan bermusuhan.
f. Sumber Koping ( Majalah Bina Sehat, 1999 : hal 19)
mechanic mengemukakan 5 sumber koping yaitu : aset ekonomi,
kemampuan dan keterampilan individu, tehnik-tehnik pertahaan, dukungan
sosial dan dorongan motivasi.
Lazarus & Folkman, menambahkan sumber-sumber sebagai berikut :
keyakinan positif, keterampilan pemecahan masalah dan sosial serta
sumber-sumber sosial dan material.
g. Pohon Masalah (Dalami 2009 : hal 27)
Berdasarkan pengkajian diatas maka dapat disusun pohon masalahnya
sebagai berikut:
Pohon Masalah
Resiko Perilaku Kekerasan
Gangguan Sensori Persepsi : Halusinasi
Isolasi Sosial
h. Masalah Keperawatan
Dari pohon masalah diatas dapat disimpulakn bahwa masalah keperawatan
yang terdapat pada klien dengan gangguan persepsl sensori haluslnasi
adalah sebagal berikut :
1) Perubahan sensori Persepsi : Halusinasi
2) Isolasi sosial
3) Resiko prilaku kekerasan
2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan sensori Persepsi : Halusinasi
b. Isolasi sosial
c. Resiko prilaku kekerasan
3. Rencana Tindakan Keperawatan
a. Perencanaan tindakan keperawatan
Adalah perencanaan dimana perawat akan menyusun rencana yang akan
di lakukan pada klien untuk mengatasi maslahnya, perencanaan disusun
berdasarkan diagnosa keperawatan diagnosa satu atau masalah utamanya
adalah :
Diagnosa Keperawatan : gangguan sensori persepsi halusinasi
Tujuan Umum : klien dapat mengontrol halusinasi yang dialaminya
Tujuan khusus : TUK 1 : Klien dapat membina hubungan saling
percaya, Kriteria Evaluasi : Selama interaksi klien menunjukan tanda
tanda percaya kepada perawat : ekspresi wajah bersahabat, meenunjukan
rasa senang, ada kontak mata, mau berjabat tangan, mau menyebutkan
nama, mau menjawab salam, mau duduk berdampingan dengan perawat,
bersedia mengungkapkan masalah yang di hadapi. Rencan Tindakan
Keperawatan : Bina hubungan saling percaya dengan mengungkappkan
prinsip komunikasi terapeutik : sapa klien dengan ramah baik verbal mau
pun non verbal, pekenalkan nama, nama panggilan, dan tujuan perawat
berkenalan, tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang di
sukai klien buat kontrak yang jelas, tunjukan sikap jujur dan menepati
janji setiap kali berinteraksi, tunjukan sikap empati dan menerima klien
apa adanya, beri perhatian pada klien dan perhatian kebutuhan dasar klien,
tanyakan perasaan klien dan masalah yang dihadapi klien, dengarkan
dengan penuh perhatian ekspresi perasaan klien. TUK 2 : klien dapat
mengenal halusinasinya. Kriteria Evaluasi : klien menyebutkan : isi,
waktu, frekuensi, situasi dan kondisi yang menimbulkan halusinasi.
Rencana Tindakan Keperawatan : adakan kontak seringa dan singkat
secara bertahap, observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya
: ( dengar, lihat, penghidu, raba, kecap ) jika menemukan klien yang
sedang halusinasi : tnyakan apakah klien mengalami sesuatu ( halusinasi,
dengar, lihat, pnghidup, raba, kecap ), jika klien menjawab ya, tanyakan
apa yang sedang di alaminnya, katakan bahwa perawat percaya klien
mengalami hal tersebut, namun perawat sendiri tidak mengalaminya (
dengan nada bershabat tanpamenuduh atau menghakimi ), katakan bahwa
ada klien yang mengalami hal yang sama, katakan bahwa perwat akan
membantu klien jika klien tidak sedang berhalusinasi klarifikasi tentang
adanya pengalaman halusinasi, diskusi dengan klien : isi, waktu, frekuensi
terjadinya halusinasi ( pagi, siaang, sore, dan malam atau sering dan
kadang kadang situasi dan kondisi yang menimbulkan / tidak
menimbulkan halusinasin, Kriteria Evaluasi : klien menyatakan perasaan
dan responnya saat mengalami halusinasi : marah, takut, sedih, senang,
cemas, jengkel. Rencana Tindakan Kepeerawatan : diskusikan dengan
klien apa yang dirsakan jika terjadi haalusinasi dan beri kesempatan
mengungkapkan perasaannya, diskusikan dengan klien apa yang
dilakukan untuk mengatasi perasaan tersebut, diskusi tentang dampak
yang di akan alaminnya bila klien menikmati halusinasinya. TUK 3 :
klien dapat mengontrol halusinasinya. Kriteria Evaluasi : klien
menyebutkan tindakan yang biasanya dilakukan untuk mengendalikan
halusinasinya, klien menyebutkan cara baru mengontrol halusinasi, klien
dapat memilih dan memperagakan cara mengatasi halusinasi ( dengar,
lihat, penghidu, raba, kecap) , klien melaksanakan cara yang telah di pilih
untuk mengendalikan halusinasinya, pertemuan klien mengikuti terapi
aktivitas kelompok, Rencan tindakan keperawatan : identifikasi
bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasinya (
tidur, marah, menyibukan diri dll ), diskusi cara yang digunakan klien,
jika cara yang digunakan adaptif beri pujian, jika cara yang digunakan
maladptif, diskusikan kerugian cara tersebut, diskusi cara baru untuk
memutus / mengontrol timbulnya halusinasi : katakan pada diri sendiri
bahwa ini tidak nyata ( saya tidak mau dengar, lihat, penghidu, raba,
kecap saat halusinasi terjadi ). Menemui orang lain ( perawat, teman,
anggota keluarga ) untuk menceritakan tentang halusinasinya, membuat
dan melaksanakan jadwal kegiatan sehari hari yang telah disusun,
meminta keluarga, teman, perawat, menyapa jika sedang berhalusinasi,
bantu klien memilih cara yang sudah dianjurkan dan dilatih untuk
mencobanya, beri kesempatan untuk melakukan cara yang di pilih dan
dilatih, pantau pelaksanaan yang telah dipilih dan di latih, bila berhasil
beri pujian, anjurkan klien mengikuti terapi aktivitas kelompok, orientasi
realita, stimulasi persepsi. TUK 4 : Klien dapat dukungan dari keluarga
dalam menontrol halusinasinya. Kriteria Evaluasi : pertemuan keluarga,
keluarga menyatakan setuju untuk mengikuti pertemuan dengan perawat,
keluarga menyebutkan pengertian, tanda, dan gejala proses terjadinya
halusinasi dan tindakan untuk mengendalikan halusinasinya. Rencana
Tindakan Keperawatan : buat kontrak dengan keluarga untuk pertemuan
( waktu, tempat dan topik ), diskusi dengan keluarga ( pada saat
pertemuan keluarga / kunjungan rumah ), pengertian halusinasi, tanda dan
gejala halusinasi, proses terjadinya halusinasi, cara yang dapat dilakukan
klien dan keluarga untuk memutuskan halusinasi, obat obatan
halusinasi, cara merawat anggota keluarga yang halusinasi di rumah ( beri
kegiatan, jangan biarkan sendiri, makan bersama, berpergian bersama,
memantau obat obatan dan cara pemberiannya untuk mengatasi
halusinasi ), beri informasi waktu kontrol ke rumah sakit dan bagaimana
cara mencari bantuan jika halusinasi tidak dapat di atasi di rumah. TUK 5
: Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik. Kriteria Evaluasi : klien
menyebutkan, manfaat minum obat, kerugian tidak minum obat, nama,
warna, dosis, efek terapi dan efek samping obat, klien mendemonstrasikan
pengunaan obat yang benar, menyebutkan akibat berhenti minum obat
tanpa konsultasi dokter, Rencana Tindakan Keperawatan : diskusi
dengan klien tantang manfaat dan kerugian tidak minum obat, warna,
dosis, cara, efek terapi dan efek samping pengunaan obat, pantau klien
saat pengunaan obat, beri pujian jika klien menggunakan obat dengan
benar
b. Penatalaksanaan Medis
Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi termasuk dalam kelompok
penyakit Skizoprenia, maka jenis penatalaksanaan yang bisa dilakukan
adalah :
1) Psikofarmaka
Psikofarmaka adalah therapi dengan menggunakan obat, tujuannya
untuk menghilangkan gejala gangguan jiwa, adapun yang tergolong
dalam pengobatan psikofarmaka adalah :
a) Clorpromazine (CPZ)
Aturan pakai : 3 x 25 mg/hr kemudian dinaikan sampai batas
normal.
Indikasi : Untuk pengobatan psikosa.
Efek samping : Hipotensi, Aritmia, Takikardi, Penglihatan kabur,
dan Sindrom Parkinson.
b) Trifluoperasin (Stelazine)
Aturan pakai : 3 x 1 sampai 5 mg/hr dosis tertinggi 50 mg/hr.
Indikasi : Di berikan kepada klien dengan gangguan mental
organik dan gejala psikotik yang menarik diri.
Efek samping : Efek Ekstrapiramidal.
c) Tiosidiasin (Melleril)
Aturan pakai : Tergantung pada berat ringannya gejala,
gangguan yang ringan 50-70 mg/hr.
Indikasi : Untuk keadaan psikosis, kecemasan, dan refleksi
cemas.
Efek samping : Hipotensi dan gangguan fungsi lever.
d) Diazepam (Valium)
Aturan pakai : Dosis 5 atau 10 mg akan mengatasi gejala ansietas
akut dalam 1 jam dalam dosis teratur 2 sampai 20
mg/hr.
Indikasi : Psikoneurosis Ansietas.
Efek samping : Pada awalnya timbul rasa ngantuk tetapi toleransi
timbul setelah beberapa hari.
e) Halloperidol (Haldol, Serenec)
Aturan pakai : 5 sampai 10 mg secara Intra Muskular dan dapat di
ulang 2 sampai 4 jam. Dosis oral 5 sampai 20 mg/hr.
Indikasi : Bukan saja untuk Mania tetapi juga pada
Skizoprenia.
f) Thrihexyfenidil (THP)
Aturan pakai : Hari pertama diberi 1 mg, hari kedua menjadi 7
mg/hr minggu selanjutnya 6 sampai 10 mg/hr
yang diberikan 3 sampai 4 kali sesudah makan.
Indikasi : Untuk berbagai bentuk Parkinson dan untuk
menghilangkan ekstrapiramidal akibat obat.
Efek samping : Mulut kering, pandangan kabur, takikardi.
2) Therapy Somatik
Therapy Somatik merupakan suatu therapy yang dilakukan langsung
mengenai tubuh. Adapun yang termasuk therapy somatik adalah :
a) Elektro Convulsif Therapy
Merupakan pengobatan secara fisik menggunakan arus listrik
dengan kekuatan 75-100 volt. Cara kerja ini belum diketahui secara
jelas, namun dapat dikatakan bahwa therapy ini dapat
memperpendek lamanya serangan Skizofrenia dan dapat
mempermudah kontak dengan orang lain.
b) Pengekangan atau pengikatan
Pengekangan fisik menggunakan pengekangan mekanik, seperti
manset untuk pergelangan tangan dan pergelangan kaki serta sprei
pengekangan dimana klien dapat di imobilisasi dengan
membalutnya. Cara ini dilakukan pada klien halusinasi yang mulai
menunjukkan perilaku kekerasan diantaranya : marah-marah,
mengamuk
c) Isolasi
Isolasi dapat menempatkan klien dalam suatu ruangan dimana klien
tidak dapat keluar dari ruangan tersebut sesuai kehendaknya. Cara
ini dilakukan pada klien halusinasi yang telah melakukan perilaku
kekerasan seperti memukul orang lain/ teman, merusak lingkungan
dan memecahkan barang-barang yang ada didekatnya.
3) Therapy Okupasi
Therapy Okupasi merupakan suatu ilmu dan seni untuk mencurahkan
partisipasi seseorang dalam melaksanakan aktivitas atau tugas yang
sengaja dipilih dengan maksud untuk memperbaiki, memperkuat dan
meningkatkan harga diri seseorang. Therapy Okupasi menggunakan
pekerjaan atau kegiatan sebagai media pelaksana.
(Rasmun, 2000 hal 20)
4. Pelaksanaan Keperawatan
Pelaksanaan tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana
tindakan keperawatan. Pada situasi nyata sering kali pelaksanaan jauh bebeda
dengan rencana. Hal yang terjadi karna perawat belum terbiasa menggunakan
rencana tertulis dalam melaksanakan keperawatan.
Sebelum melaksanakan tindakan yang sudah direncanakan, perawat
perlu memvalidasi dengan singkat apakah rencana tindakan masih sesuai dan
dibutuhkan klien sesuai dengan kondisi saat ini (Hear and Now) perawat juga
menilai diri sendiri, apakah mempunyai interpersonal serta dinilai kembali
apakah aman bagi klien.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawtan pada klien, evaluasi dilakukan terus menerus pada
respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan, hal yang
di harapkan dari klien dengan gangguan sensori persepsi halusinasi harus di
sesuaikan dengan tujuan asuhan keperawatan yang di harapkan,
Mengidentifikasi jenis halunisasi pasien, mengidentifikasi isi halunisasi,
mengidentifikasi waktu halunisasi pasien, mengidentifikasi frekuensi
halusinasi pasien, mengidentifikasi situasi yang menimbulkan halusinasi,
mengidentifikasi respon pasien terhadap halusinasi, melatih pasien
mengendalikan halusinasi dengan cara bercakap cakap dengan orang lain, ,
melatih pasien mengendalikan halusinasi dengan melakukan kegiatan (
kegiatan yang biasa dilakukan pasien di rumah ), memberikan pendidikan
kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur, menganjurkan pasien
memasukan kedalam jadwal kegiatan harian, Evaluasi dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan SOAP dengan penjelasan sebagai berikut :
S : Respon subyektif klien terhadap tindakan,dapat diukur dengan
menanyakan, pertanyaan sederhana terkait dengan tindakan
keperawatan.
O : Respon obyek terhadap tindakan keperawatan yang di berikan dapat
diukur dengan mengobservasi prilaku klien padasaat tidakan dilakukan.
A : Analisa ulang atas data subyektif dan obyektif untuk menyimpelkan
apakah apakah masalah masih tetap muncul masalah baru atau ada data
yang kontra diksi dengan masalah yang ada dapat pula membandingkan
hasil dan tujuan
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon
klien yang terdiri dari tindak lanjut .
( Dalami, 2009 : hal 33 )

Anda mungkin juga menyukai

  • Pathway HNP
    Pathway HNP
    Dokumen1 halaman
    Pathway HNP
    Gabriella Elsa Anastasia
    Belum ada peringkat
  • CVD
    CVD
    Dokumen8 halaman
    CVD
    Gabriella Elsa Anastasia
    Belum ada peringkat
  • Patoflow DHF
    Patoflow DHF
    Dokumen1 halaman
    Patoflow DHF
    Gabriella Elsa Anastasia
    Belum ada peringkat
  • Mual Pada Kemoterapi
    Mual Pada Kemoterapi
    Dokumen25 halaman
    Mual Pada Kemoterapi
    Gabriella Elsa Anastasia
    Belum ada peringkat