(1488 1528) Deskripsi : Selama kunjungan Portugis yang diwakili Laksamana Diogo Lopes de Sequeira ke Malaka dari 1509-1510, sultan berencana untuk membunuhnya. Namun, Sequeira tahu rencana ini dan melarikan diri dari Malaka. Ketika perwira angkatan laut Portugis terkenal Afonso de Albuquerque menerima perintah, ia memulai ekspedisi penaklukan di Asia. Malaka kemudian kemudian diserang oleh Portugis dalam Perang Penaklukkan Malaka (1511). Sultan kemudian mundur ke Muar, Johor, dan kemudian ke Kampar Sumatra. Disitu dia memerintah sampai kematiannya tahun 1528.
Dipati Unus
(1480 1521) Nama lain : Pati Unus, Yat Sun, Pangeran Sabrang Lor, Senapati Sarjawala Deskripsi : Pati Unus diangkat sebagai Panglima Gabungan Armada Islam membawahi armada Kesultanan Banten, Demak dan Cirebon, diberkati oleh mertuanya sendiri yang merupakan Pembina umat Islam di tanah Jawa, Syekh Syarif Hidayatullah bergelar Sunan Gunung Jati. Tugas utamanya merebut kembali tanah Malaka yang telah jatuh ke tangan Portugis. Maka tahun 1513 M Pati Unus mengirim armada kecil, ekspedisi Jihad I yang mencoba mendesak masuk benteng Portugis di Malaka tapi gagal dan balik ke tanah Jawa, karena kurang persiapan. Oleh sebab itu direncanakanlah pembangunan armada besar sebanyak 375 kapal perang di tanah Gowa, Sulawesi yang masyarakatnya sudah terkenal dalam pembuatan kapal. Pada tahun 1521 M, ke 375 kapal telah selesai dibangun, maka walaupun baru menjabat Sultan selama 3 tahun, Pati Unus meninggalkan kehidupan keraton bahkan ikut pula 2 putranya. Armada perang Islam diberangkatkan dari pelabuhan Demak dengan mendapat pemberkatan dari Para Wali yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati. Armada perang yang sangat besar untuk ukuran dulu bahkan sekarang dipimpin langsung oleh Pati Unus yang telah menjadi Sultan Demak II. Meninggal : Kapal yang ditumpangi Pati Unus terkena peluru meriam ketika akan menurunkan perahu untuk merapat ke pantai.
Sultan Hairun
(1531 1575) Nama lain : Sultan Khairun Jamil Deskripsi : Pada permulaan pemerintahannya, hubungan dengan orang-orang Portugis agak baik. Tetapi kemudian timbul pertentanganpertentangan karena ulah Portugis yang memulai dengan politik menopoli perdagangan rempah-rempah yang ditentang kerajaan Ternate. Sejak tahun 1515 hubungan baik dengan Portugis terganggu. Gubernur Duarto dEca menuntut penyerahan hasil cengkih dari Pulau Makian tetapi Hairun menolak. Tindakan penghinaan terjadi lagi saat Sultan Hairun dan ibunya ditangkap dan dipenjarakan. Rakyat Ternate bangkit melawan Portugis. Peperangan antara rakyat Ternate dan Portugis pada tahun 1563 1570 menghancurkan usaha-usaha perdagangan Portugis. Setelah kejatuhan Ambon ke tangan, Portugis terpaksa memohon damai kepada sultan Hairun yang kemudian disambut dengan itikad baik. Semua hak-hak istimewa Portugis menyangkut monopoli perdagangan rempah-rempah dihilangkan namun mereka tetap diperbolehkan untuk berdagang dan bersaing dengan pedagang nusantara serta pedagang asing lainnya secara bebas. Rupanya permohonan damai Portugis itu hanya kedok untuk mengulur waktu demi mengkonsolidasikan kembali kekuatan mereka, menunggu waktu yang tepat untuk membalas Ternate. Kematian : Dengan dalih ingin membicarakan dan merayakan hubungan Ternate Portugis yang membaik, gubernur Portugis Lopez De Mesquita mengundang sultan Hairun ke benteng Sao Paulo tanggal 25 Februari 1570 untuk jamuan makan. Sang sultan memenuhi undangan itu dan datang tanpa pengawal, tak dinyana setibanya di benteng ia dibunuh atas perintah De Mesquita.
Sultan Baabullah
(1528 1583) Deskripsi : Sultan Baabullah adalah putra dari Sultan Hairun. Pasca pembunuhan Sultan Khairun, Sultan Baabullah menuntut penyerahan Lopez de Mesquita untuk diadili. Benteng-benteng Portugis di Ternate yakni Tolucco, Santo Lucia dan Santo Pedro jatuh dalam waktu singkat hanya menyisakan Benteng Sao Paulo, kediaman De Mesquita. Atas perintah Baabullah, pasukan Ternate mengepung benteng Sao Paulo dan memutuskan hubungannya dengan dunia luar, suplai makanan dibatasi hanya sekedar agar penghuni benteng bisa bertahan. Karena tertekan Portugis terpaksa memecat Lopez de Mesquita dan menggantinya dengan Alvaro de Ataide, namun langkah ini tidak berhasil meluluhkan Baabullah. Meskipun bersikap lunak terhadap Portugis di Sao Paulo, Sultan Baabullah mencabut segala fasilitas yang diberikan sultan Hairun kepada Portugis terutama menyangkut misi Jesuit. Ia mengobarkan perang Soya-Soya (perang pembebasan negeri), kedudukan Portugis di berbagai tempat digempur habis-habisan. Tahun 1575 seluruh kekuasaan Portugis di Maluku telah jatuh dan hanya tersisa benteng Sao Paulo yang masih dalam pengepungan. Selama lima tahun orang-orang Portugis dan keluarganya hidup menderita dalam benteng, terputus dari dunia luar sebagai balasan atas penghianatan mereka. Sultan Baabullah akhirnya memberi ultimatum agar mereka meninggalkan Ternate dalam waktu 24 jam. Kemenangan rakyat Ternate ini merupakan kemenangan pertama atas kekuatan penjajah.
Fatahillah
(1448 1670) Nama lain : Faletehan Deskripsi : Fatahillah adalah Senopati dari Kerajaan Demak. Fatahillah di tunjuk oleh Sunan Gunung Jati menjadi pemimpin tertinggi dari 3 Kesultanan yang mengusir Portugis dari Selat Malaka. Ia berasal dari Pasai, Aceh. Pada tanggal 22 Juni tahun 1527 Fatahillah memimpin pasukan gabungan antara Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten untuk mengusir Portugis di Kota Pelabuhan Sunda Kelapa (Selat Malaka) yang berakhir dengan keberhasilan, dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Tanggal 22 Juni tersebut di tetapkan sebagai hari jadi Kota Jakarta.
Sultan Agung
(1593 1645) Nama lain : Raden Mas Jatmika, Raden Mas Rangsang, Panembahan Hanyakrakusuma, Prabu Pandita Hanyakrakusuma, Susuhunan Agung Hanyakrakusuma, Sunan Agung Hanyakrakusuma, Sultan Agung Senapatiing-Ngalaga Abdurrahman, Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram Deskripsi : Tanggal 27 Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Bahureksa tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran Mandurareja. Perang besar terjadi di benteng Holandia dengan kehancuran pasukan Mataram karena kurang perbekalan. Menanggapi kekalahan ini Sultan Agung mengirim algojo untuk menghukum mati Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja. Pihak VOC menemukan 744 mayat orang Jawa berserakan dan sebagian tanpa kepala. Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya. Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Kegagalan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbunglumbung beras di Karawang dan Cirebon. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya. Walaupun kembali mengalami kekalahan, serangan kedua Sultan Agung berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.
Sultan Hasanuddin
(1631 1670) Nama lain : I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe, Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, De Haantjes van Het Oosten (Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur) Deskripsi : Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni. Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke. Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Sultan Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.
Untung Suropati
(1660 1706) Nama lain : Surawiroaji, Tumenggung Wiranegara Deskripsi : Untung suropati adalah budak belian dari Bali. Karena persoalan asmara dengan putri majikanya yang bernama Suzanne, ia melarikan diri ke Batavia dan menjadi perampok. Korbannya adalah orang-orang Belanda. Karena kesulitan menghadapinya, Belanda mendidik dan mengangkatnya sebagai tentara dengan pangkat letnan. Untung Suropati ditugaskan untuk menangkap Pangeran Purba, putra Sultan Ageng dari Banten yang melarikan diri ke Priangan. Tugas tersebut diselesaikan dengan baik. Saat serah terima tawanan, Kuffeler, seorang letnan Belanda menghina Untung di muka umum. Untung Suropati marah, kemudian membunuhnya beserta separuh anak buahnya. Ia kemudian melarikan diri dan kembali ke pekerjaan lamanya serta memerangi Belanda. Pada sebuah pertempuran di Kertasura tanggal 8 Februari 1686, Untung Suropati membunuh Kapten Tack beserta 70 orang anak buahnya. Agar pengkhianatannya tidak terbongkar, Amangkurat II merestui Surapati merebut Pasuruan dan menjadi bupati Pasuruan. Kematian : Gabungan pasukan VOC dipimpin Mayor Goovert Knole menyerbu Pasuruan. Untung Surapati gugur tanggal 17 Oktober 1706. Namun wasiatnya agar kematiannya dirahasiakan, sehingga makamnya dibuat rata dengan tanah. Perjuangan dilanjutkan putraputranya dengan membawa tandu berisi Surapati palsu. Pada tanggal 18 Juni 1707 Herman de Wilde memimpin ekspedisi mengejar Amangkurat III. Ia menemukan makam Surapati. Kemudian makan itu dibongkar dan jenazahnya dibakar dan abunya dibuang ke laut.
Pattimura
(1783 1817) Nama lain : Thomas Matulessy, Kapitan Pattimura Deskripsi : Pattimura adalah mantan sersan Militer Inggris. Setelah pihak Inggris menyerahkan daerah kekuasaannya kepada Belanda, maka Belanda membuat kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten). Rakyat Maluku melawan di bawah pimpinan Kapitan Pattimura karena pengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Dia mengkoordinir Rajaraja Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Selain itu dia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa untuk melawan Belanda. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan Laksamana Buykes, seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura. Pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda terjadi di darat dan di laut. Kapitan Pattimura dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda adalah perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan. Kematian : Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon.
Pangeran Diponegoro
(1785 1855) Nama lain : Mustahar, Raden Mas Antawirya Deskripsi : Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yang berasal dari Pacitan. Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Karena kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak. Sikap Diponegoro mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil (perlawanan menghadapi kaum kafir). Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro.
Imam Bonjol
(1772 1864) Nama lain : Muhammad Shahab, Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang Deskripsi : Di Sumatera Barat terdapat dua kelompok masyarakat yang saling bertentangan, yaitu Kaum Paderi dan Kaum Adat. Kaum Paderi adalah pemeluk agama Islam yang tidak terpengaruh oleh adat kebiasaan. Kaum Adat adalah pemeluk agama Islam yang masih terpengaruh oleh adat kebiasaan setempat dan bertentangan dengan ajaran agama Islam (berjudi, minum minuman keras, dan menyabung ayam). Dalam pertempuran antara Kaum Adat dan Kaum Paderi, Kaum Adat terdesak dan meminta bantuan Belanda. Akibatnya meletuslah Perang Paderi dari tahun 1821 sampai 1827. Bantuan Belanda kepada Kaum Adat sebenarnya hanyalah siasat adu domba antara kaum Adat dan Kaum Paderi. Setelah menyadari hal itu, mereka akhirnya bergabung dan bersama-sama melawan Belanda. Setelah bersatu, pasukan Belanda dapat dipukul mundur. Bahkan benteng Belanda di Batu Sangkar dapat dikuasai. Kematian : tahun 1873, pasukan Belanda dibawah pimpinan Kolonel Michiels melakukan serangan besar-besaran. Akhirnya Imam Bonjol ditangkap pada tanggal 25 Oktober 1837, kemudian diasingkan ke Cianjur, lalu dipindahkan ke Ambon, dan terakhir ke Manado. Tanggal 6 November 1864, Imam Binjol wafat dan dimakamkan di Desa Pineleng, Manado.
Pangeran Antasari
(1809 1862) Nama lain : Gusti Inu Kartapati, Penembahan Amiruddin Khalifatul Mumin Deskripsi : Perlawanan rakyat banjar terhadap belanda di mulai saat belanda mengangkat Tamijidilah sebagai Sultan Banjar menggantikan Sultan Adam yang wafat. Rakyat Banjar dan keluarga besar kesultanan Banjar, termasuk Pangeran Antasari, menuntut agar Pangeran Hidauattulah, sebagai pewaris sah takhta Kesultanan Banjar, harus menjadi Sultan Banjar. Sejak saat itulah, rakyat Banjar dengan dipimpin oleh Pangeran Hidayattulah, Pangeran Antasari, dan Demang Leman mengangkat senjata melawan Belanda. Pada Perang Banjar, Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron. Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu. Pangeran Antasari dan Tumenggung Surapati berhasil menenggelamkan kapal Onrust beserta pemimpinnya, Letnan Van der Velde dan Letnan Bangert. Kematian : Pada tahun 1861, Pangeran Hidayattulah berhasil ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Cianjur,Jawa Barat. Pangeran Antasari kemudian mengambil alih pimpinan utama. Ia diangkat oleh rakyat sebagai Penembahan Amiruddin Khalifatul Mumin, Sehingga kualitas peperangan menjadi semakin meningkat karena ada unsur agama. Pangeran Antasri akhirnya wafat tanggal 11 Oktober 1862 karena wabah penyakit cacar di Kalimantan Selatan.
Sultan Nuku
(1797 1805) Nama lain : Muhammad Amiruddin, Sri Paduka Maha Tuan Sultan Saidul Jehad el Mabus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan Deskripsi : Tahun 1779, ayahnya (Sultan Jamaluddin) ditangkap dan dibuang oleh Belanda ke Jakarta. Belanda kemudian mengangkat Kaicil Gay Jira, yang kemudian digantikan oleh Putranya Patra Alam sebagai raja Tidore. Pengangkatan Kaicil Gay ini ditentang oleh Nuku dan Kamaluddin karena tidak berdasarkan garis keturunan. Sultan Nuku kemudian menyingkir dan membangun armada kora-kora di Seputar Seram dan Irian Jaya. Sebagai pusat kedudukannya dipilih Seram Timur. Sedangkan adiknya, Kamaluddin, diangkat Belanda sebagai Sultan Tidore menggantikan Patra Alam yang dipecat. Tahun 1787 Belanda berhasil menguasai basis pertahanan Sultan Nuku di Seram Timur. Sultan Nuku berhasil meloloskan diri dan membangun kekuatan baru di Pulau Gorong, kemudian membuat hubungan timbal balik dengan Inggris. Oleh sebab itu Sultan Nuku berhasil mendapat berbagai jenis senjata api sehingga mampu terus melawan Belanda. Belanda semakin terdesak dengan perlawanan Sultan Nuku. Pada tahun 1797 Sultan Nuku berhasil menguasai kembali Tidore. Sultan Kamaluddin akhirnya melarikan diri ke Ternate. Sultan Nuku akhirnya diangkat sebagai Sultan Tidore. Pada Januari 1801 Sultan Nuku berhasil membebaskan Ternate dari kekuasaan Belanda. Tetapi tak lama setelah menguasai seluruh Ternate dan Tidore, Sultan Nuku meninggal dunia pada tahun 1805.
Teuku Umar
(1854 1899) Ketika perang Aceh meletus pada 1873, Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, umurnya baru menginjak 19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri, kemudian dilanjutkan ke Aceh Barat. Pada umur yang masih muda ini, Teuku Umar sudah diangkat sebagai keuchik gampong (kepala desa) di daerah Daya Meulaboh. Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dhien, puteri pamannya Teuku Nanta Setia. Suami Cut Nya Dien, yaitu Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dunia pada Juni 1878 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda. Taktik Penyerahan Diri adalah teknik yang digunakan oleh Teuku Umar untuk mendapatkan senjata dari Belanda. Teuku Umar bergabung dengan Belanda dan menjatuhkan kubu-kubu Aceh untuk mendapatkan kepercayaan dari Belanda. Taktik tersebut berhasil dan sebagai kompensasi atas keberhasilannya, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pang Laot (panglima Laut) sebagai tangan kanannya, dikabulkan. Teuku Umar juga mengganti pemimpinpemimpin pasukan dengan pejuang-pejuang Aceh Setelah mendapat persenjataan dan pasukan yang cukup kuat, Teuku Umar berbalik menyerang Belanda. Pada tanggal 10 Februari 1899, Jenderal Van Heutsz yang mendapat informasi rencana serangan Teuku Umar, kemudian menempatkan prajuritnya untuk mencegatnya di perbatasan Meulaboh. Pada pertempuran melawan sergapan Belanda itu, Teuku Umar gugur.
Sisimangamaraja XII
(1849 1907) Nama lain : Patuan Bosar Ompu Pulo Batu Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan pemerintah kolonial Belanda. Kemudian mereka sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Sisingamangaraja XII tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba. Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu. Kehadiran tentara kolonial ini memprovokasi Sisingamangaraja XII untuk mengumumkan pulas (perang) dan menyerang pos Belanda di Bahal Batu. Pada tanggal 1 Mei 1878, Bangkara, pusat pemerintahan Sisingamangaraja diserang dan dapat ditaklukkan, namun Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan mengungsi. Sisingamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara gerilya, namun wilayah Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur dapat ditaklukkan oleh pasukan Belanda. Antara tahun 18831884, Sisingamangaraja XII bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif menyerang kedudukan Belanda antaranya Uluan dan Balige pada Mei 1883 serta Tangga Batu di tahun 1884. Kematian : Singamangaraja XII gugur di pertempuran di Dairi pada 17 Juni 1907. Turut gugur putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya Lopian. Sisingamangaraja XII dikebumikan Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak dan dipertontonkan kepada masyarakat Toba. Makamnya kemudian dipindahkan ke Soposurung, Balige sejak 17 Juni 1953, namun terakhir kembali dipindahkan ke Pulau Samosir.
R.A. Kartini
(1879 1904) Kartini adalah anak salah seorang bangsawan yang sangat taat pada adat istiadat. Setelah lulus dari Sekolah Dasar, ia tidak diperbolehkan melanjutkan oleh orangtuanya. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk dinikahkan. Kartini sangat sedih dengan hal tersebut, tetapi dia tidak putus asa. Kartini mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan yang kemudian dibacanya di taman rumah dengan ditemani Simbok (pembantunya). Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya. Dari sinilah Kartini tertarik pada kemajuan berpikir wanita Belanda. Timbul keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia. Dia mulai mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajar tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Meskipun sibuk, Kartini tidak berhenti membaca dan menulis surat dengan temantemannya yang berada di negeri Belanda. Dia juga menulis surat pada Mr.J.H Abendanon untuk diberikan beasiswa belajar di negeri Belanda.Beasiswa itu tidak sempat dimanfaatkan karena dinikahkan dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut suaminya ke daerah Rembang. Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah wanita. Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah Sekolah Kartini. Tanggal 17 september 1904 Kartini meninggal dunia setelah melahirkan putra pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul DOOR DUISTERNIS TOT LICHT yang artinya Habis Gelap Terbitlah Terang.
Dewi Sartika
(1884 1947) Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan dengan materi merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis dan sebagainya. Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama seHindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang : Dewi Sartika dibantu saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid angkatan pertama terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung. Setahun kemudian, 1905, sekolahnya pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau karena bertambah besar. Lulusan pertama tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememenuhi syarat kelengkapan sekolah formal. Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri yang dikelola oleh perempuan Sunda dengan cita-cita sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanan.