Anda di halaman 1dari 26

Sultan Mahmud Syah I

(1488 1528) Deskripsi : Selama kunjungan Portugis yang diwakili Laksamana Diogo Lopes de Sequeira ke Malaka dari 1509-1510, sultan berencana untuk membunuhnya. Namun, Sequeira tahu rencana ini dan melarikan diri dari Malaka. Ketika perwira angkatan laut Portugis terkenal Afonso de Albuquerque menerima perintah, ia memulai ekspedisi penaklukan di Asia. Malaka kemudian kemudian diserang oleh Portugis dalam Perang Penaklukkan Malaka (1511). Sultan kemudian mundur ke Muar, Johor, dan kemudian ke Kampar Sumatra. Disitu dia memerintah sampai kematiannya tahun 1528.

Alauddin Riayat Syah II


(1528 1564) Nama lain : Raja Ali, Raja Alauddin Deskripsi : Alauddin Riayat mendirikan ibukota pertamanya di Hujung Tanah atau Pekan Tua (11 km ke hulu dari Kota Tinggi) setelah kematian ayahnya. Dia mendirikan sebuah benteng sungai, yaitu Kota Kara. Tahun 1535, sekitar 400 pasukan Portugis yang dipimpin oleh Estavao da Gama menyerang Johor. Kota Kara dibombardir tetapi dapat bertahan. Beberapa hari kemudian pasukan Portugis mendarat dan membombardir benteng, tetapi mereka juga harus mundur. Keberhasilan awal ini membuat Kerajaan Melayu melancarkan serangan balasan terhadap Portugis. Namun, tentara Melayu tercerai-berai oleh tembakan tentara Portugis. Kematian : Pada tahun 1539, Aru, negara bawahan Johor di Pantai Timur Sumatra, diserang dan diambil alih oleh armada kapal Aceh. Alauddin Riayat mengumpulkan armada dengan bantuan dari sekutunya, Perak dan Siak, dan menyerang Aru tahun 1540. Pada Peperangan Sungei Paneh itu, ia mengalahkan armada kapal Aceh dan membunuh ribuan pasukan. Tahun 1564, Sultan Aceh, Alauddin al-Qahar, mengalahkan Aru dan dan kemudian meluncurkan serangan pada Johor Lama dari Aru. Benteng dan kota diratakan dan Sultan Alauddin Riayat ditangkap dan dibawa ke Aceh, kemudian dibunuh disana.

Dipati Unus
(1480 1521) Nama lain : Pati Unus, Yat Sun, Pangeran Sabrang Lor, Senapati Sarjawala Deskripsi : Pati Unus diangkat sebagai Panglima Gabungan Armada Islam membawahi armada Kesultanan Banten, Demak dan Cirebon, diberkati oleh mertuanya sendiri yang merupakan Pembina umat Islam di tanah Jawa, Syekh Syarif Hidayatullah bergelar Sunan Gunung Jati. Tugas utamanya merebut kembali tanah Malaka yang telah jatuh ke tangan Portugis. Maka tahun 1513 M Pati Unus mengirim armada kecil, ekspedisi Jihad I yang mencoba mendesak masuk benteng Portugis di Malaka tapi gagal dan balik ke tanah Jawa, karena kurang persiapan. Oleh sebab itu direncanakanlah pembangunan armada besar sebanyak 375 kapal perang di tanah Gowa, Sulawesi yang masyarakatnya sudah terkenal dalam pembuatan kapal. Pada tahun 1521 M, ke 375 kapal telah selesai dibangun, maka walaupun baru menjabat Sultan selama 3 tahun, Pati Unus meninggalkan kehidupan keraton bahkan ikut pula 2 putranya. Armada perang Islam diberangkatkan dari pelabuhan Demak dengan mendapat pemberkatan dari Para Wali yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati. Armada perang yang sangat besar untuk ukuran dulu bahkan sekarang dipimpin langsung oleh Pati Unus yang telah menjadi Sultan Demak II. Meninggal : Kapal yang ditumpangi Pati Unus terkena peluru meriam ketika akan menurunkan perahu untuk merapat ke pantai.

Sultan Hairun
(1531 1575) Nama lain : Sultan Khairun Jamil Deskripsi : Pada permulaan pemerintahannya, hubungan dengan orang-orang Portugis agak baik. Tetapi kemudian timbul pertentanganpertentangan karena ulah Portugis yang memulai dengan politik menopoli perdagangan rempah-rempah yang ditentang kerajaan Ternate. Sejak tahun 1515 hubungan baik dengan Portugis terganggu. Gubernur Duarto dEca menuntut penyerahan hasil cengkih dari Pulau Makian tetapi Hairun menolak. Tindakan penghinaan terjadi lagi saat Sultan Hairun dan ibunya ditangkap dan dipenjarakan. Rakyat Ternate bangkit melawan Portugis. Peperangan antara rakyat Ternate dan Portugis pada tahun 1563 1570 menghancurkan usaha-usaha perdagangan Portugis. Setelah kejatuhan Ambon ke tangan, Portugis terpaksa memohon damai kepada sultan Hairun yang kemudian disambut dengan itikad baik. Semua hak-hak istimewa Portugis menyangkut monopoli perdagangan rempah-rempah dihilangkan namun mereka tetap diperbolehkan untuk berdagang dan bersaing dengan pedagang nusantara serta pedagang asing lainnya secara bebas. Rupanya permohonan damai Portugis itu hanya kedok untuk mengulur waktu demi mengkonsolidasikan kembali kekuatan mereka, menunggu waktu yang tepat untuk membalas Ternate. Kematian : Dengan dalih ingin membicarakan dan merayakan hubungan Ternate Portugis yang membaik, gubernur Portugis Lopez De Mesquita mengundang sultan Hairun ke benteng Sao Paulo tanggal 25 Februari 1570 untuk jamuan makan. Sang sultan memenuhi undangan itu dan datang tanpa pengawal, tak dinyana setibanya di benteng ia dibunuh atas perintah De Mesquita.

Sultan Baabullah
(1528 1583) Deskripsi : Sultan Baabullah adalah putra dari Sultan Hairun. Pasca pembunuhan Sultan Khairun, Sultan Baabullah menuntut penyerahan Lopez de Mesquita untuk diadili. Benteng-benteng Portugis di Ternate yakni Tolucco, Santo Lucia dan Santo Pedro jatuh dalam waktu singkat hanya menyisakan Benteng Sao Paulo, kediaman De Mesquita. Atas perintah Baabullah, pasukan Ternate mengepung benteng Sao Paulo dan memutuskan hubungannya dengan dunia luar, suplai makanan dibatasi hanya sekedar agar penghuni benteng bisa bertahan. Karena tertekan Portugis terpaksa memecat Lopez de Mesquita dan menggantinya dengan Alvaro de Ataide, namun langkah ini tidak berhasil meluluhkan Baabullah. Meskipun bersikap lunak terhadap Portugis di Sao Paulo, Sultan Baabullah mencabut segala fasilitas yang diberikan sultan Hairun kepada Portugis terutama menyangkut misi Jesuit. Ia mengobarkan perang Soya-Soya (perang pembebasan negeri), kedudukan Portugis di berbagai tempat digempur habis-habisan. Tahun 1575 seluruh kekuasaan Portugis di Maluku telah jatuh dan hanya tersisa benteng Sao Paulo yang masih dalam pengepungan. Selama lima tahun orang-orang Portugis dan keluarganya hidup menderita dalam benteng, terputus dari dunia luar sebagai balasan atas penghianatan mereka. Sultan Baabullah akhirnya memberi ultimatum agar mereka meninggalkan Ternate dalam waktu 24 jam. Kemenangan rakyat Ternate ini merupakan kemenangan pertama atas kekuatan penjajah.

Fatahillah
(1448 1670) Nama lain : Faletehan Deskripsi : Fatahillah adalah Senopati dari Kerajaan Demak. Fatahillah di tunjuk oleh Sunan Gunung Jati menjadi pemimpin tertinggi dari 3 Kesultanan yang mengusir Portugis dari Selat Malaka. Ia berasal dari Pasai, Aceh. Pada tanggal 22 Juni tahun 1527 Fatahillah memimpin pasukan gabungan antara Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten untuk mengusir Portugis di Kota Pelabuhan Sunda Kelapa (Selat Malaka) yang berakhir dengan keberhasilan, dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Tanggal 22 Juni tersebut di tetapkan sebagai hari jadi Kota Jakarta.

Sultan Agung
(1593 1645) Nama lain : Raden Mas Jatmika, Raden Mas Rangsang, Panembahan Hanyakrakusuma, Prabu Pandita Hanyakrakusuma, Susuhunan Agung Hanyakrakusuma, Sunan Agung Hanyakrakusuma, Sultan Agung Senapatiing-Ngalaga Abdurrahman, Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram Deskripsi : Tanggal 27 Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Bahureksa tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran Mandurareja. Perang besar terjadi di benteng Holandia dengan kehancuran pasukan Mataram karena kurang perbekalan. Menanggapi kekalahan ini Sultan Agung mengirim algojo untuk menghukum mati Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja. Pihak VOC menemukan 744 mayat orang Jawa berserakan dan sebagian tanpa kepala. Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya. Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Kegagalan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbunglumbung beras di Karawang dan Cirebon. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya. Walaupun kembali mengalami kekalahan, serangan kedua Sultan Agung berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.

Sultan Hasanuddin
(1631 1670) Nama lain : I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe, Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, De Haantjes van Het Oosten (Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur) Deskripsi : Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni. Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke. Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Sultan Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.

Sultan Ageng Tirtayasa


(1631 1682) Nama lain : Pangeran Surya, Pangeran Ratu, Pangeran Dipati, Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah Deskripsi : Tirtayasa menolak perjanjian monopoli VOC dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Dia ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan. Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda mengadu-domba diri Sultan Haji dengan ayahnya. Akibatnya, Sultan Haji melakukan perjanjian dengan Belanda dan mengkudeta ayahnya tahun1681. Sultan Ageng Tirtayasa menyusun kekuatan guna mengepung Sultan Haji di Sorosowan (Banten). Karena terdesak akhirnya Sultan Haji meminta bantuan Belanda. Dipimpin Kapiten Tack dan de Saint Martin, Belanda menaklukkan benteng Tirtayasa. Tetapi sebelum Belanda mendudukinya, Sultan Ageng Tirtayasa terlebih dulu membakar seluruh isi benteng dan melarikan diri bersama Pangeran Purbaya. Walau pertahanan terakhirnya sudah jatuh, namun Sultan Ageng Tirtayasa tidak menghentikan perlawanannya. Beliau memimpin perlawanan secara gerilya dari dalam hutan Kranggan bersama para pengikutnya. Sultan Haji akhirnya makin terdesak dan melakukan tipu-muslihat bersama Belanda dengan meminta Sultan Ageng Tirtaya untuk kembali ke keraton. Tanpa curiga, beliau akhirnya kembali ke keraton, namun setibanya disana beliau ditangkap oleh Belanda, kemudian dijebloskan ke penjara di Jakarta. Akhirnya pada tahun 1682, Sultan Ageng Tirtayasa meninggal dunia dan sebelum kematiannya beliau meminta untuk dimakamkan di samping makam Para Sultan di Masjid Agung.

Untung Suropati
(1660 1706) Nama lain : Surawiroaji, Tumenggung Wiranegara Deskripsi : Untung suropati adalah budak belian dari Bali. Karena persoalan asmara dengan putri majikanya yang bernama Suzanne, ia melarikan diri ke Batavia dan menjadi perampok. Korbannya adalah orang-orang Belanda. Karena kesulitan menghadapinya, Belanda mendidik dan mengangkatnya sebagai tentara dengan pangkat letnan. Untung Suropati ditugaskan untuk menangkap Pangeran Purba, putra Sultan Ageng dari Banten yang melarikan diri ke Priangan. Tugas tersebut diselesaikan dengan baik. Saat serah terima tawanan, Kuffeler, seorang letnan Belanda menghina Untung di muka umum. Untung Suropati marah, kemudian membunuhnya beserta separuh anak buahnya. Ia kemudian melarikan diri dan kembali ke pekerjaan lamanya serta memerangi Belanda. Pada sebuah pertempuran di Kertasura tanggal 8 Februari 1686, Untung Suropati membunuh Kapten Tack beserta 70 orang anak buahnya. Agar pengkhianatannya tidak terbongkar, Amangkurat II merestui Surapati merebut Pasuruan dan menjadi bupati Pasuruan. Kematian : Gabungan pasukan VOC dipimpin Mayor Goovert Knole menyerbu Pasuruan. Untung Surapati gugur tanggal 17 Oktober 1706. Namun wasiatnya agar kematiannya dirahasiakan, sehingga makamnya dibuat rata dengan tanah. Perjuangan dilanjutkan putraputranya dengan membawa tandu berisi Surapati palsu. Pada tanggal 18 Juni 1707 Herman de Wilde memimpin ekspedisi mengejar Amangkurat III. Ia menemukan makam Surapati. Kemudian makan itu dibongkar dan jenazahnya dibakar dan abunya dibuang ke laut.

Sultan Iskandar Muda


(1593 1636) Deskripsi : Sultan Iskandar Muda memerintah Kesultanan Aceh tahun 1607-1636. Di bawah kepemimpinannya, Aceh mencapai puncak kejayaannya dengan daerah kekuasaannya yang semakin besar (mulai dari Malaysia, Sumatera barat dan timur, serta Semenanjung Melayu) dan mendapat reputasi internasional sebagai pusat dari perdagangan dan pembelajaran tentang Islam. Portugis telah menguasai Semenanjung Malaka sejak 1511 tetapi tidak pernah dapat menguasai wilayah kekuasaan Aceh. Sultan Iskandar Muda menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1615 dan 1629. Portugis saat itu bisa ditaklukkannya jika tidak mendapat bantuan dari Kerajaan Johor, Pahang, dan Patani.

Pattimura
(1783 1817) Nama lain : Thomas Matulessy, Kapitan Pattimura Deskripsi : Pattimura adalah mantan sersan Militer Inggris. Setelah pihak Inggris menyerahkan daerah kekuasaannya kepada Belanda, maka Belanda membuat kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten). Rakyat Maluku melawan di bawah pimpinan Kapitan Pattimura karena pengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Dia mengkoordinir Rajaraja Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Selain itu dia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa untuk melawan Belanda. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan Laksamana Buykes, seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura. Pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda terjadi di darat dan di laut. Kapitan Pattimura dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda adalah perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan. Kematian : Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon.

Pangeran Diponegoro
(1785 1855) Nama lain : Mustahar, Raden Mas Antawirya Deskripsi : Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yang berasal dari Pacitan. Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Karena kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak. Sikap Diponegoro mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil (perlawanan menghadapi kaum kafir). Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro.

Imam Bonjol
(1772 1864) Nama lain : Muhammad Shahab, Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang Deskripsi : Di Sumatera Barat terdapat dua kelompok masyarakat yang saling bertentangan, yaitu Kaum Paderi dan Kaum Adat. Kaum Paderi adalah pemeluk agama Islam yang tidak terpengaruh oleh adat kebiasaan. Kaum Adat adalah pemeluk agama Islam yang masih terpengaruh oleh adat kebiasaan setempat dan bertentangan dengan ajaran agama Islam (berjudi, minum minuman keras, dan menyabung ayam). Dalam pertempuran antara Kaum Adat dan Kaum Paderi, Kaum Adat terdesak dan meminta bantuan Belanda. Akibatnya meletuslah Perang Paderi dari tahun 1821 sampai 1827. Bantuan Belanda kepada Kaum Adat sebenarnya hanyalah siasat adu domba antara kaum Adat dan Kaum Paderi. Setelah menyadari hal itu, mereka akhirnya bergabung dan bersama-sama melawan Belanda. Setelah bersatu, pasukan Belanda dapat dipukul mundur. Bahkan benteng Belanda di Batu Sangkar dapat dikuasai. Kematian : tahun 1873, pasukan Belanda dibawah pimpinan Kolonel Michiels melakukan serangan besar-besaran. Akhirnya Imam Bonjol ditangkap pada tanggal 25 Oktober 1837, kemudian diasingkan ke Cianjur, lalu dipindahkan ke Ambon, dan terakhir ke Manado. Tanggal 6 November 1864, Imam Binjol wafat dan dimakamkan di Desa Pineleng, Manado.

Sultan Mahmud Badarudin II


(1767 1852) Nama lain : Raden Hasan Pangeran Ratu Deskripsi : Sejak timah ditemukan di Bangka pada pertengahan abad ke-18, Palembang menjadi incaran Britania dan Belanda. Awal mula penjajahan bangsa Eropa ditandai dengan penempatan Loji (kantor dagang pertama Belanda dibangun di Sungai Aur (10 Ulu). Konvensi London membuat Britania menyerahkan kepada Belanda semua koloninya di seberang lautan. Kebijakan ini memaksa Raffles menyerahkan Palembang kepada Belanda tanggal 19 Agustus 1816. Belanda kemudian mengangkat Herman Warner Muntinghe sebagai komisaris di Palembang. Tindakan pertama yang dilakukannya adalah mengembalikan Sultan Mahmud Badarudin II naik tahta kembali pada 7 Juni 1818 setelah 6 tahun diusir dari Palembang setelah dikalahkan oleh Britania. Sekembalinya ke Palembang, Belanda menuntut agar Putra Mahkota diserahkan kepada Belanda sebagai jaminan kesetiaan sultan kepada Belanda. Tetapi sultan melawan dan terjadilah pertempuran melawan Belanda. Pertempuran melawan Belanda yang dikenal sebagai Perang Menteng (dari kata Muntinghe) pecah pada tanggal 12 Juni 1819. Perang ini merupakan perang paling dahsyat pada waktu itu, di mana korban terbanyak ada pada pihak Belanda. Pertempuran berlanjut hingga keesokan hari, tetapi pertahanan Palembang tetap sulit ditembus, sampai akhirnya Muntinghe kembali ke Batavia tanpa membawa kemenangan.

Pangeran Antasari
(1809 1862) Nama lain : Gusti Inu Kartapati, Penembahan Amiruddin Khalifatul Mumin Deskripsi : Perlawanan rakyat banjar terhadap belanda di mulai saat belanda mengangkat Tamijidilah sebagai Sultan Banjar menggantikan Sultan Adam yang wafat. Rakyat Banjar dan keluarga besar kesultanan Banjar, termasuk Pangeran Antasari, menuntut agar Pangeran Hidauattulah, sebagai pewaris sah takhta Kesultanan Banjar, harus menjadi Sultan Banjar. Sejak saat itulah, rakyat Banjar dengan dipimpin oleh Pangeran Hidayattulah, Pangeran Antasari, dan Demang Leman mengangkat senjata melawan Belanda. Pada Perang Banjar, Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron. Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu. Pangeran Antasari dan Tumenggung Surapati berhasil menenggelamkan kapal Onrust beserta pemimpinnya, Letnan Van der Velde dan Letnan Bangert. Kematian : Pada tahun 1861, Pangeran Hidayattulah berhasil ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Cianjur,Jawa Barat. Pangeran Antasari kemudian mengambil alih pimpinan utama. Ia diangkat oleh rakyat sebagai Penembahan Amiruddin Khalifatul Mumin, Sehingga kualitas peperangan menjadi semakin meningkat karena ada unsur agama. Pangeran Antasri akhirnya wafat tanggal 11 Oktober 1862 karena wabah penyakit cacar di Kalimantan Selatan.

I Gusti Ketut Jelantik


(??? 1849) Saat itu terdapat Hukum hak Tawan Karam di Bali, yaitu hak bagi kerajaan untuk menyita dan menguasai kapal-kapal yang terdampar di sepanjang Pantai Pulau Bali. Tahun 1844, kapal dagang mereka terdampar di daerah Prancak (wilayah Jebarana) yang merupakan wilayah Kerajaan Buleleng terkena hukum Tawan Karam ini. Belanda menuntut kapal itu dibebaskan, serta pengakuan Raja Buleleng atas kekuasaan Belanda di Hindia Belanda. Hal inilah yang memicu peperangan antara Belanda dan Kerajaan Buleleng. Pantai Buleleng diblokade dan istana raja ditembaki dengan meriam dari pantai. Raja Buleleng pura-pura menyerah kemudian perlawanan dilanjutkan oleh Patih I Gusti Ketut Jelantik. Perang Buleleng disebut juga pertempuran Jagaraga karena pusat pertahanannya adalah benteng di desa Jagaraga. Perang ini disebut pula Perang Puputan karena dijiwai oleh semangat perang habis-habisan. Benteng Jagaraga berada di atas bukit berbentuk Supit Urang yang dikelilingi dengan parit dan ranjau untuk menghambat gerak musuh. Pertempuran ini juga disebut Perang Bali karena selain laskar Buleleng, raja-raja Karangasam, Mengwi, Gianyar dan Klungkung juga mengirim bala bantuan sehingga jumlah seluruhnya mencapai 15000 orang. Kematian : Setelah kekalahannya merebut Bali, pada tahun 1849 Belanda mendatangkan pasukan yang lebih banyak terdiri dari pasukan infanteri, kavaleri, artileri dan zeni dipimpin oleh Jendral Mayor A.V Michiels dan Van Swieten. Benteng Jagaraga dihujani meriam dengan gencar, tidak ada seorangpun laskar Buleleng yang mundur, mereka semuanya gugur termasuk isteri Patih Jelantik yang bernama Jero Jempiring. Dengan jatuhnya benteng Jagaraga maka Belanda dapat menguasai Bali utara.

Sultan Nuku
(1797 1805) Nama lain : Muhammad Amiruddin, Sri Paduka Maha Tuan Sultan Saidul Jehad el Mabus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan Deskripsi : Tahun 1779, ayahnya (Sultan Jamaluddin) ditangkap dan dibuang oleh Belanda ke Jakarta. Belanda kemudian mengangkat Kaicil Gay Jira, yang kemudian digantikan oleh Putranya Patra Alam sebagai raja Tidore. Pengangkatan Kaicil Gay ini ditentang oleh Nuku dan Kamaluddin karena tidak berdasarkan garis keturunan. Sultan Nuku kemudian menyingkir dan membangun armada kora-kora di Seputar Seram dan Irian Jaya. Sebagai pusat kedudukannya dipilih Seram Timur. Sedangkan adiknya, Kamaluddin, diangkat Belanda sebagai Sultan Tidore menggantikan Patra Alam yang dipecat. Tahun 1787 Belanda berhasil menguasai basis pertahanan Sultan Nuku di Seram Timur. Sultan Nuku berhasil meloloskan diri dan membangun kekuatan baru di Pulau Gorong, kemudian membuat hubungan timbal balik dengan Inggris. Oleh sebab itu Sultan Nuku berhasil mendapat berbagai jenis senjata api sehingga mampu terus melawan Belanda. Belanda semakin terdesak dengan perlawanan Sultan Nuku. Pada tahun 1797 Sultan Nuku berhasil menguasai kembali Tidore. Sultan Kamaluddin akhirnya melarikan diri ke Ternate. Sultan Nuku akhirnya diangkat sebagai Sultan Tidore. Pada Januari 1801 Sultan Nuku berhasil membebaskan Ternate dari kekuasaan Belanda. Tetapi tak lama setelah menguasai seluruh Ternate dan Tidore, Sultan Nuku meninggal dunia pada tahun 1805.

Teuku Umar
(1854 1899) Ketika perang Aceh meletus pada 1873, Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, umurnya baru menginjak 19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri, kemudian dilanjutkan ke Aceh Barat. Pada umur yang masih muda ini, Teuku Umar sudah diangkat sebagai keuchik gampong (kepala desa) di daerah Daya Meulaboh. Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dhien, puteri pamannya Teuku Nanta Setia. Suami Cut Nya Dien, yaitu Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dunia pada Juni 1878 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda. Taktik Penyerahan Diri adalah teknik yang digunakan oleh Teuku Umar untuk mendapatkan senjata dari Belanda. Teuku Umar bergabung dengan Belanda dan menjatuhkan kubu-kubu Aceh untuk mendapatkan kepercayaan dari Belanda. Taktik tersebut berhasil dan sebagai kompensasi atas keberhasilannya, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pang Laot (panglima Laut) sebagai tangan kanannya, dikabulkan. Teuku Umar juga mengganti pemimpinpemimpin pasukan dengan pejuang-pejuang Aceh Setelah mendapat persenjataan dan pasukan yang cukup kuat, Teuku Umar berbalik menyerang Belanda. Pada tanggal 10 Februari 1899, Jenderal Van Heutsz yang mendapat informasi rencana serangan Teuku Umar, kemudian menempatkan prajuritnya untuk mencegatnya di perbatasan Meulaboh. Pada pertempuran melawan sergapan Belanda itu, Teuku Umar gugur.

Cut Nyak Dien


(1848 1908) Pada usia 12 tahun, ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, seorang pejuang dalam Perang Aceh. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah bertempur melawan Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Khler. Belanda mendarat di Pantai Ceureumen dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Tetapi Kesultanan Aceh dapat memenangkan perang pertama. Suaminya, Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan kemenangan, sementara Khler tewas tertembak. Pada perang kedua (1874-1880), di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu lainnya. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali VI Mukim. Tetapi di Gle Tarum, ia tewas. Ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda. Setelah Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar, perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tahun 1899, sehingga Cut Nyak Dien berjuang sendirian bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua dan sakit encok dan rabun, sehingga panglimanya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba.Cut Nyak Dien akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Namun, ia masih berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap. Akibatnya, dia dibuang ke Sumedang dan meninggal pada tanggal 6 November 1908 serta dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.

Teuku Cik Ditiro


(1836 1891) Nama lain : Teungku Muhammad Saman Deskripsi : Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme. Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Muhammad Saman sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Sabil. Dengan perang sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukannya. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Muhammad Saman dapat merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda akhirnya terjepit di sekitar kota Banda Aceh dengan mempergunakan taktik lini konsentrasi (concentratie stelsel) yaitu membuat benteng yang mengelilingi wilayah yang masih dikuasainya. Kematian : Belanda yang merasa kewalahan akhirnya memakai "siasat liuk" dengan mengirim makanan yang sudah dibubuhi racun. Tanpa curiga sedikitpun ia memakannya, dan akhirnya Muhammad Saman meninggal pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong.

Sisimangamaraja XII
(1849 1907) Nama lain : Patuan Bosar Ompu Pulo Batu Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan pemerintah kolonial Belanda. Kemudian mereka sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Sisingamangaraja XII tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba. Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu. Kehadiran tentara kolonial ini memprovokasi Sisingamangaraja XII untuk mengumumkan pulas (perang) dan menyerang pos Belanda di Bahal Batu. Pada tanggal 1 Mei 1878, Bangkara, pusat pemerintahan Sisingamangaraja diserang dan dapat ditaklukkan, namun Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan mengungsi. Sisingamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara gerilya, namun wilayah Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur dapat ditaklukkan oleh pasukan Belanda. Antara tahun 18831884, Sisingamangaraja XII bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif menyerang kedudukan Belanda antaranya Uluan dan Balige pada Mei 1883 serta Tangga Batu di tahun 1884. Kematian : Singamangaraja XII gugur di pertempuran di Dairi pada 17 Juni 1907. Turut gugur putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya Lopian. Sisingamangaraja XII dikebumikan Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak dan dipertontonkan kepada masyarakat Toba. Makamnya kemudian dipindahkan ke Soposurung, Balige sejak 17 Juni 1953, namun terakhir kembali dipindahkan ke Pulau Samosir.

R.A. Kartini
(1879 1904) Kartini adalah anak salah seorang bangsawan yang sangat taat pada adat istiadat. Setelah lulus dari Sekolah Dasar, ia tidak diperbolehkan melanjutkan oleh orangtuanya. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk dinikahkan. Kartini sangat sedih dengan hal tersebut, tetapi dia tidak putus asa. Kartini mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan yang kemudian dibacanya di taman rumah dengan ditemani Simbok (pembantunya). Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya. Dari sinilah Kartini tertarik pada kemajuan berpikir wanita Belanda. Timbul keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia. Dia mulai mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajar tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Meskipun sibuk, Kartini tidak berhenti membaca dan menulis surat dengan temantemannya yang berada di negeri Belanda. Dia juga menulis surat pada Mr.J.H Abendanon untuk diberikan beasiswa belajar di negeri Belanda.Beasiswa itu tidak sempat dimanfaatkan karena dinikahkan dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut suaminya ke daerah Rembang. Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah wanita. Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah Sekolah Kartini. Tanggal 17 september 1904 Kartini meninggal dunia setelah melahirkan putra pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul DOOR DUISTERNIS TOT LICHT yang artinya Habis Gelap Terbitlah Terang.

Dewi Sartika
(1884 1947) Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan dengan materi merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis dan sebagainya. Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama seHindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang : Dewi Sartika dibantu saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid angkatan pertama terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung. Setahun kemudian, 1905, sekolahnya pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau karena bertambah besar. Lulusan pertama tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememenuhi syarat kelengkapan sekolah formal. Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri yang dikelola oleh perempuan Sunda dengan cita-cita sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanan.

Cut Nyak Meutia


(1870 1910) Waktu masih kecil, ia dipertunangkan dengan Teuku Syam Syarif, tetapi ia lebih tertarik kepada Teuku Muhammad. Akhirnya, keduanya menikah. Teuku Muhammad adalah seorang pejuang yang lebih terkenal dengan nama Teuku Cik Tunong. Gerakan pasukan Belanda sudah sampai ke daerah pedalaman Aceh. Cut Nyak Meutia bersama suaminya memimpin perjuangan gerilya di daerah Pasai. Berkali-kali pasukan mereka berhasil mencegat patroli pasukan Belanda, termasuk markas Belanda di Pidie. Melalui pihak keluarga, Belanda berusaha membujuk supaya Meutia menyerahkan diri kepada Pemerintah Belanda, tetapi bujukan itu tidak berhasil. Pada bulan Mei 1905 Teuku Cik Tunong ditangkap Belanda dan kemudian dijatuhi hukuman tembak. Sesuai pesan suaminya, Meutia kemudian kawin dengan Pang Nangru, seorang teman akrab dan kepercayaan Teuku Cik Tunong. Bersama suaminya yang baru itu, ia melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Karena kepungan Belanda semakin ketat, mereka masuk lebih jauh ke rimba Pasai. Pada bulan September 1910 Pang Nangru tewas dalam pertempuran di Paya Cicem. Cut Meutia masih dapat meloloskan diri. Beberapa orang teman Pang Nangru kemudian menyerahkan diri kepada Belanda. Meutia dibujuk supaya menyerah pula, tetapi ia tetap menolak. Dengan seorang anaknya berumur sebelas tahun, bernama Raja Sabil, ia berpindah-pindah di pedalaman rimba Pasai. Tempat persembunyiannya akhirnya diketahui juga oleh pasukan Belanda. Pada tanggal 24 Oktober 1910 tempat itu mereka kepung. Cut Nyak Meutia mengadakan perlawanan dengan mengunakan sebilah rencong. Tiga orang tentara Belanda melepaskan tembakan dan ia gugur pada saat itu juga.

Anak Agung Made


(???? 1894) Dikeluarkannya peraturan oleh kerajaan Mataram (beragama Hindu-Bali) bertujuan untuk memantapkan dan menegakkan kekuasaannya di Lombok, telah membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi rakyat Sasak (beragama Islam). Dalam Pertemuan pemukapemuka Sasak di Kupang tanggal 19 Desember 1891 diputuskan untuk minta bantuan persenjataan ke Belanda, karena kerajaan Mataram mendapatkan suplai persenjataan dari Inggris di Singapura. Menanggapi permintaan ini Gubernur Jenderal Belanda dengan senang hati ikut campur dalam perselisihan itu dengan tujuan menguasai Pulau Lombok. Gubernur Jenderal Van Der Wijck mengajukan tuntutan kepada kerajaan Mataram untuk menyerahkan kekuasaannya kepada Belanda dan Pangeran Anak Agung Made bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan terhadap Belanda dan orang Sasak. Tentu saja tuntutan tersebut ditolak oleh kerajaan Mataram dengan alasan bahwa Belanda tidak berhak ikut campur dalam permasalahan kerajaan Mataram dengan orang Sasak. Oleh sebab itu pada tahun 1894 tentara Belanda dipimpin oleh Jenderal Vetter dan Jenderal Van Ham bertempur melawan pasukan kerajaan Mataram yang dipimpin Anak Agung Made di Puri Cakranegara. Pertempuran ini disebut Perang Lombok, dimana saat itu Jenderal Van Ham tewas. Meskipun demikian, kerajaan Mataram tetap kalah dan Raja Mataram ditangkap serta diasingkan ke Batavia. Perlawanan selanjutnya yang dipimpin oleh Anak Agung Made semakin hari semakin lemah menyusul terbunuhnya kedua panglima utamanya. Pada akhirnya pada bulan November 1894, Anak Agung Made gugur dalam pertempuran, sehingga Lombok, Mataram, dan Cakranegara berhasil diduduki Belanda.

Anda mungkin juga menyukai