Anda di halaman 1dari 14

Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan hidayahnya penulis dapat menyelesaikan Tugas Kriminologi tentang Prostitusi. Dalam penulisan makalah ini, penulis tidak lepas dari hambatan dan kesulitan. Namun berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Orang Tua penulis, yang memberikan materiil sehingga dapat menyelesaikan tugas ini, dan kepada teman penulis yang memberikan banyak masukan untuk penulisan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang menunjang kearah kesempurnaan sangat penulis harapkan. Semoga makalah ini sangat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Medan, 08 Oktober 2013

Yessy Anggreni

Daftar Isi

Kata Pengantar Daftar Isi Bab I Pendahuluan 1.1 1.2 Latar Belakang Rumusan Masalah

Bab II Pembahasan 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 Defenisi Prostitusi atau Pelacuran Sejarah awalnya Prostitusi di Indonesi Factor-factor penyebab terjadinya pelacuran Motif-motif yang melatarbelakangi Pelacuran Akibat-akibat Pelacuran Penanggulangan Prostitusi

Bab III Penutup Kesimpulan Daftar Pustaka

Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Prostitusi dalam arti terangnya adalah pelacur atau pelayan seks atau pekerja seks komersial atau disebut juga penjual jasa seksual. Sedangkan menurut istilah prostitusi itu sendiri disebut sebagai suatu pekerjaan dengan cara menyerahkan diri atau menjual jasa seksual dengan harapan mendapatkan upah atau imbalan dari orang yang memakai jasa saksualnya tersebut. Prostitusi atau pelacuran ini merupakan penyakit masyarakat yang tidak bisa dihapus atau dimusnahkan dari kehidupan kita. Karena banyak faktor pendukung untuk terjadinya prostitusi mulai dari factor keluarga yang bisa dikatakan keluarga gagal, maksud gagal disini adalah Broken Home dimana ada banyak permasalahan yang timbul dari Broken Home tersebut mulai dari cacat mental, cacat adab prilaku, sehingga seseorang yang mengalami masalah ini merasa ingin melakukan segala sesuatu sesuai kehendak hatinya sebagai luapan emosi atau hanya sekedar ingin memuaskan dirinya. Atau ada juga akibat factor lingkungan, disini lingkungan memegang andil sangat penting dalam pembentukan kepribadian seseorang, walaupun keluarga merupakan factor pembentuk kepribadian yang utama tetapi tidak menutup kemungkinan lingkungan juga bertindak sama dalam pembentukan kepribadian seseorang, Selain itu juga ada factor pengaruh ekonomi dimana seorang yang berprostitusi merasa bahwa hanya itu yang bisa dilakukan untuk mendapatkan sesuap nasi, dan masih banyak lagi factor- factor yang mendukung terjadinya prostitusi atau pelacuran itu tercipta. Walaupun kecaman dari segala aspek terhadap prostitusi telah cukup untuk memberikan peringatan keras terhadap para pelaku prostitusi, namun nampaknya hal tersebut tidak ada respon sedikitpun dari para pelaku prostitusi yang ada prostitusi semakin marak dalam kehidupan kita sekarang tidak mengenal kota ataupun desa sepertinya hal tersebut bukanlah hal tabu lagi untuk di bicarakan. Dan bahkan permasalahan ini menjadi hal yang sangat mendapat perhatian khusus dimana penyakit HIV/ AIDS banyak menyerang masyarakat karena akibat dari prostitusi ini, namun pertanyaannya apakah hal tersebut bisa menjadikan contoh agar para pelaku prostitusi itu jera ? tentu jawabannya tidak. Inilah yang menjadi PR kita selaku generasi penerus bangsa.

1.2

Rumusan Masalah
1) Apa yang dimaksud dengan prostitusi atau pelacuran? 2) Bagaimana Sejarah awal mula Prostitusi di Indonesia? 3) Apa sajakah yang menjadi factor Prostitusi? 4) Apa yang menjadi motif terjadinya Prostitusi? 5) Bagaimana akibat Prostitusi itu sendiri? 6) Bagaimana cara penanggulangan Prostitusi?

Bab II Pembahasan
2.1 Defenisi Prostitusi atau pelacuran
Prostitusi adalah berasal dari bahasa Latin yaitu pro-stituere atau pro-stauree, yang artinya membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, pencabulan, dan pergendakan.Sedangkan prostitute adalah pelacur atau sundal dikenal pula dengan istilah WTS atau wanita tunasusila. Dan pelacuran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang celaka atau perihal menjual diri (persundalan) atau orang sundal. Menurut istilah, prostitusi di artikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan upah sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya. Pelacuran atau prostitusi adalah penjualan jasa seksual, seperti seks oral atau hubungan seks, untuk uang. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut dengan istilah pekerja seks komersial (PSK). Profesor W.A. Bonger dalam tulisannya Maatschappelijke Oorzaken der Prostituiemenyebutkan definisi prostitusi adalah gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri melakukan perbuatan- perbuatan seksual sebagai mata pencaharian. Menurut Sarjana P.J de Bruine van Amstel menyatakan prostitusi adalah penyerahan diri dari wanita kepada laki- laki banyak dengan permbayaran. Peraturan Pemerintahan Daerah DKI Jakarta Raya tahun 1967 mengenai penanggulangan masalah pelacuran, menyatakan bahwa pelacuran adalah wanita yang mempunyai kebiasaan melakukan hubungan kelamin di luar perkawinan, baik dengan imbalan jasa maupun tidak. Sedang Peraturan Pemerintahan Daerah Tingkat 1 Jawa Barat untuk melaksanakan pembatasan dan penertiban masalah pelacuran, menyatakan bahwa pelacur, selanjutnya disingkat P, adalah mereka yang biasa melakukan hubungan kelamin di luar pernikahan yang sah. Sedang Pasal 296 KUHP mengenai prostitusi tersebut menyatakan sebagai berikut : Barang siapa yang pekerjaannya atau kebiasaannya, dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain, dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak- banyaknya seribu rupiah. Pengertian ini sama dengan definisi yang dinyatakan oleh T.S.G. Mulia dengan temanteman dalam Ensiklopedia Indonesia. Jelasnya, pelacuran itu bisa dilakukan baik oleh kaum wanita atupun kaum laki- laki. Jadi, ada persamaan predikat lacur antara laki- laki dan wanita yang bersama- sama melakukan perbuatan hubungan kelamin di luar perkawinan. Dalam hal ini, perbuatan cabul tidak hanya berupa hubungan kelamin di luar nikah saja, akan tetapi termasuk pula peristiwa homoseksual dan permainan- permainan seksual lainnya.

2.2

Sejarah awal Prostitusi di Indonesia Raja mempunyai kekuasaan penuh. Seluruh yang ada di atas Jawa, bumi dan seluruh

kehidupannya, termasuk air, rumput, daun, dan segala sesuatunya adalah milik raja. Tugas raja pada saat itu adalah menetapkan hukum dan menegakkan keadilan; dan semua orang diharuskan mematuhinya tanpa terkecuali. Kekuasaan raja yang tak terbatas ini juga tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya. Beberapa orang selir tersebut adalah puteri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan. Sebagian lagi merupakan persembahan dari kerajaan lain, ada juga selir yang berasal dari lingkungan keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana. Sebagian selir raja ini dapat meningkat statusnya karena melahirkan anak-anak raja. Perempuan yang dijadikan selir tersebut berasal dari daerah tertentu yang terkenal banyak mempunyai perempuan cantik dan memikat. Reputasi daerah seperti ini masih merupakan legenda sampai saat ini. Koentjoro (1989:3) mengidentifikasi 11 kabupaten di Jawa yang dalam sejarah terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan; dan sampai sekarang daerah tersebut masih terkenal sebagai sumber wanita pelacur untuk daerah kota. Daerah-daerah tersebut adalah Kabupaten Indramayu, Karawang, dan Kuningan di Jawa Barat; Pati, Jepara, Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah; serta Blitar, Malang, Banyuwangi dan Lamongan di Jawa Timur. Kecamatan Gabus Wetan di Indramayu terkenal sebagai sumber pelacur; dan menurut sejarah daerah ini merupakan salah satu sumber perempuan muda untuk dikirim ke istana Sultan Cirebon sebagai selir. (Hull, at al. 1997:2). Makin banyaknya selir yang dipelihara, menurut Hull, at al. (1997:2) bertambah kuat posisi raja di mata masyarakat. Dari sisi ketangguhan fisik, mengambil banyak selir berarti mempercepat proses reproduksi kekuasaan para raja dan membuktikan adanya kejayaan spiritual. Hanya raja dan kaum bangsawan dalam masyarakat yang mempunyai selir. Mempersembahkan saudara atau anak perempuan kepada bupati atau pejabat tinggi merupakan tindakan yang didorong oleh hasrat untuk memperbesar dan memperluas kekuasaan, seperti tercermin dari tindakan untuk memperbanyak selir. Tindakan ini mencerminkan dukungan politik dan keagungan serta kekuasaan raja. Oleh karena itu, status perempuan pada zaman kerajaan Mataram adalah sebagai upeti (barang antaran) dan sebagai selir. Perlakuan terhadap perempuan sebagai barang dagangan tidak terbatas hanya di Jawa, kenyataan juga terjadi di seluruh Asia, di mana perbudakan, sistem perhambaan dan pengabdian seumur hidup merupakan hal yang biasa dijumpai dalam sistem feodal. Di Bali misalnya, seorang janda dari kasta rendah tanpa adanya dukungan yang kuat dari keluarga, secara otomatis menjadi milik raja. Jika raja memutuskan tidak mengambil dan memasukkan dalam lingkungan istana, maka dia akan dikirim ke luar kota untuk menjadi pelacur. Sebagian dari penghasilannya harus diserahkan kepada raja secara teratur (ENI, dalam Hull; 1997:3). Bentuk industri seks yang lebih terorganisasi berkembang pesat pada periode penjajahan Belanda (Hull; 1997:3). Kondisi tersebut terlihat dengan adanya sistem perbudakan tradisional dan perseliran yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan seks masyarakat Eropa. Umumnya, aktivitas ini berkembang di daerah-daerah sekitar pelabuhan di Nusantara. Pemuasan

seks untuk para serdadu, pedagang, dan para utusan menjadi isu utama dalam pembentukan budaya asing yang masuk ke Nusantara. Dari semula, isu tersebut telah menimbulkan banyak dilema bagi penduduk pribumi dan non-pribumi. Dari satu sisi, banyaknya lelaki bujangan yang dibawa pengusaha atau dikirim oleh pemerintah kolonial untuk datang ke Indonesia, telah menyebabkan adanya permintaan pelayanan seks ini. Kondisi tersebut ditunjang pula oleh masyarakat yang menjadikan aktivitas memang tersedia, terutama karena banyak keluarga pribumi yang menjual anak perempuannya untuk mendapatkan imbalan materi dari para pelanggan baru (para lelaki bujangan) tersebut. Pada sisi lain, baik penduduk pribumi maupun masyarakat kolonial menganggap berbahaya mempunyai hubungan antar ras yang tidak menentu. Perkawinan antar ras umumnya ditentang atau dilarang, dan perseliran antar ras juga tidak diperkenankan. Akibatnya hubungan antar ras ini biasanya dilaksanakan secara diam-diam. Dalam hal ini, hubungan gelap (sebagai suami-istri tapi tidak resmi) dan hubungan yang hanya dilandasi dengan motivasi komersil merupakan pilihan yang tersedia bagi para lelaki Eropa. Perilaku kehidupan seperti ini tampaknya tidak mengganggu nilai-nilai sosial pada saat itu dan dibiarkan saja oleh para pemimpin mereka. (Hull; 1997:4). Situasi pada masa kolonial tersebut membuat sakit hati para perempuan Indonesia, karena telah menempatkan mereka pada posisi yang tidak menguntungkan secara hukum, tidak diterima secara baik dalam masyarakat, dan dirugikan dari segi kesejahteraan individu dan sosial. Maka sekitar tahun 1600-an, pemerintah mengeluarkan peraturan yang melarang keluarga pemeluk agama Kristen mempekerjakan wanita pribumi sebagai pembantu rumah tangga dan melarang setiap orang mengundang perempuan baik-baik untuk berzinah. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apa dan mana yang dimaksud dengan perempuan baik-baik. Pada tahun 1650, panti perbaikan perempuan (house of correction for women) didirikan dengan maksud untuk merehabilitasi para perempuan yang bekerja sebagai pemuas kebutuhan seks orang-orang Eropa dan melindungi mereka dari kecaman masyarakat. Seratus enam belas tahun kemudian, peraturan yang melarang perempuan penghibur memasuki pelabuhan tanpa izin menunjukkan kegagalan pelaksanaan rehabilitasi dan juga sifat toleransi komersialisasi seks pada saat itu (ENOI, dalam Hull; 1997:5). Tahun 1852, pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang menyetujui komersialisasi industri seks tetapi dengana serangkaian aturan untuk menghindari tindakan kejahatan yang timbul akibat aktivitas prostitusi ini. Kerangka hukum tersebut masih berlaku hingga sekarang. Meskipun istilah-istilah yang digunakan berbeda, tetapi hal itu telah memberikan kontribusi bagi penelaahan industri seks yang berkaitan dengan karakteristik dan dialek yang digunakan saat ini. Apa yang dikenal dengan wanita tuna susila (WTS) sekarang ini, pada waktu itu disebut sebagai wanita publik menurut peraturan yang dikeluarkan tahun 1852. Dalam peraturan tersebut, wanita publik diawasi secara langsung dan secara ketat oleh polisi (pasal 2). Semua wanita publik yang terdaftar diwajibkan memiliki kartu kesehatan dan secara rutin (setiap minggu) menjalani pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi adanya penyakit syphilis atau penyakit kelamin lainnya (pasal 8, 9, 10, 11). Jika seorang perempuan ternyata berpenyakit kelamin, perempuan tersebut harus segera menghentikan praktiknya dan harus diasingkan dalam suatu lembaga (inrigting voor zieke

publieke vrouwen) yang didirikan khusus untuk menangani perempuan berpenyakit tersebut. Untuk memudahkan polisi dalam menangani industri seks, para wanita publik tersebut dianjurkan sedapat mungkin melakukan aktivitasnya di rumah bordil. Sayangnya peraturan perundangan yang dikeluarkan tersebut membingungkan banyak kalangan pelaku di industri seks, termasuk juga membingungkan pemerintah. Untuk itu pada tahun 1858 disusun penjelasan berkaitan dengan peraturan tersebut dengan maksud untuk menegaskan bahwa peraturan tahun 1852 tidak diartikan sebagai pengakuan bordil sebagai lembaga komersil. Sebaliknya rumah pelacuran diidentifikasikan sebagai tempat konsultasi medis untuk membatasi dampak negatif adanya pelacuran. Meskipun perbedaan antara pengakuan dan persetujuan sangat jelas bagi aparat pemerintah, tapi tidak cukup jelas bagi masyarakat umum dan wanita publik itu sendiri. (Hull; 1997:5-6). Dua dekade kemudian tanggung jawab pengawasan rumah bordil dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Peraturan pemerintah tahun 1852 secara efektif dicabut digantikan dengan peraturan penguasa daerah setempat. Berkaitan dengan aktivitas industri seks ini, penyakit kelamin merupakan persoalan serius yang paling mengkhawatirkan pemerintah daerah. Tetapi terbatasnya tenaga medis dan terbatasnya alternatif cara pencegahan membuat upaya mengurangi penyebaran penyakit tersebut menjadi sia-sia (ENOI dalam Hull; 1997:6). Pengalihan tanggung jawab pengawasan rumah bordil ini menghendaki upaya tertentu agar setiap lingkungan permukiman membuat sendiri peraturan untuk mengendalikan aktivitas prostitusi setempat. Di Surabaya misalnya, pemerintah daerah menetapkan tiga daerah lokalisasi di tiga desa sebagai upaya untuk mengendalikan aktivitas pelacuran dan penyebaran penyakit kelamin. Selain itu, para pelacur dilarang beroperasi di luar lokalisasi tersebut. Semua pelacur di lokalisasi ini terdaftar dan diharuskan mengikuti pemeriksaan kesehatan secara berkala (Ingleson dalam Hull; 1997:6). Tahun 1875, pemerintah Batavia (kini Jakarta), mengeluarkan peraturan berkenaan dengan pemeriksaan kesehatan. Peraturan tersebut menyebutkan, antara lain bahwa para petugas kesehatan bertanggung jawab untuk memeriksa kesehatan para wanita publik. Para petugas kesehatan ini pada peringkat kerja ketiga (tidak setara dengan eselon III zaman sekarang yaitu kepala biro pada organisasi pemerintahan) mempunyai kewajiban untuk mengunjungi dan memeriksa wanita publik pada setiap hari Sabtu pagi. Sedangkan para petugas pada peringkat lebih tinggi (peringkat II) bertanggung jawab untuk mengatur wadah yang diperuntukkan bagi wanita umumnya yang sakit dan perawatan lebih lanjut. Berdasarkan laporan pada umumnya meskipun telah dikeluarkan banyak peraturan, aktivitas pelacuran tetap saja meningkat secara drastis pada abad ke-19, terutama setelah diadakannya pembenahan hukum agraria tahun 1870, di mana pada saat itu perekonomian negara jajahan terbuka bagi para penanam modal swasta (Ingleson dalam Hull; 1997:6). Perluasan areal perkebunan terutama di Jawa Barat, pertumbuhan industri gula di Jawa Timur dan Jawa Tengah, pendirian perkebunan-perkebunan di Sumatera dan pembangunan jalan raya serta jalur kereta api telah merangsang terjadinya migrasi tenaga kerja laki-laki secara besar-besaran. Sebagian besar dari pekerja tersebut adalah bujangan yang akan menciptakan permintaan terhada aktivitas prostitusi. Selama pembanguna kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Cilacap, Yogyarakta dan Surabaya

tahun 1884, tak hanya aktivitas pelacuran yang timbul untuk melayani para pekerja bangunan di setiap kota yang dilalui kereta api, tapi juga pembangunan tempat-tempat penginapan dan fasilitas lainnya meningkat bersamaan dengan meningkatnya aktivitas pembangunan konstruksi jalan kereta api. Oleh sebab itu dapat dimengerti mengapa banyak kompleks pelacuran tumbuh di sekitar stasiun kereta api hampir di setiap kota. Contohnya di Bandung, kompleks pelacuran berkembang di beberapa lokasi di sekitar stasiun kereta api termasuk Kebonjeruk, Kebontangkil, Sukamanah, dan Saritem. Hull juga menambahkan, (1997:7) di Yogyakarta, kompleks pelacuran didirikan di daerah Pasarkembang, Balongan, dan Sosrowijayan. Di Surabaya, kawasan pelacuran pertama adalah di dekat Stasiun Semut dan di dekat pelabuhan di daerah Kremil, Tandes, dan Bangunsari. Sebagian besar dari kompleks pelacuran ini masih beroperasi sampai sekarang, meskipun peranan kereta api sebagai angkutan umum telah menurun dan keberadaan tempattempat penginapan atau hotel-hotel di sekitar stasiun kereta api juga telah berubah.

2.3

Faktor-faktor penyebab terjadinya pelacuran?


Factor petugas dan factor masyarakat sangat berperan dalam mempengaruhi sulitnya

penegakan hukum terkait khususnya menyangkut praktek Prostitusi. Bila dilihat dari factor hukum dan factor kebudayaan sebagimana teori hukum tersebut, dari sudut pandang hukum/factor Hukum, kepastian akan adanya hukum positif yang mengatur tentang praktek prostitusi dan sangksi pidananya telah jelas dan tegas sebagai mana tercantum dalam pasal Pasal 506 KUHP dan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 tahun 1988,sehingga seharusnya factor hukum tidak dapat dijadikan sebagai alasan yang dapat menghambat penindakan terhadap praktek prostitusi tersebut. sedangkan dari sudut pandang factor kebudayaan, budaya dan norma masyarakat Indonesia pada umumnya tidak ada yang menghalalkan terjadinya praktek prostitusi tersebut, sehingga factor kebudayaan tidak dapat dijadikan sebagai argumen sebagai factor yang mempengaruhi sulitnya penegakan hukum khususnya menyangkut praktek Prostitusi. Pelacuran bila kita lihat dalam kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maka tidak ada satu pasalpun yang mengatur secara khusus, sehingga secara kriminologis sulit untuk mengatakan bahwa pelacuran itu sebagai suatu kejahatan, sebab tidak menimbulkan korban. begitupula apabila dilihat delik-delik kesusilaan dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Pasal 281 sampai pasal 303 ) khususnya pasal 296 dan pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ditunjukan pada Wanita Tuna Susila. melainkan ditujukan kepada pemilik rumah-rumah bordil yaitu para germo/muckari dan para calo. para germo dan calo dapat dihukum pidana bila karena perbuatan mereka sudah memenuh unsur-unsur pasal 296 yang berbunyi Barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain, dan menjadikanya sebagai pencurian atau kebiasaan diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.Ini berarti bahwa palacuran apakah dia laki-laki atau perempuan bukan seorang penjahat dalam kualifikasi yuridis. akan tetapi hal ini bertentangan dengan sosiologi dari kejahatan (Sociological Difinition of crime) yakni, apa yang disebut dengan perbuatan jahat menurut norma-norrma sosial yang masih hidup dalam masyarakat,

maka yang tidak dicantumkannya perbuatan melacur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pihak kepolisian sering menemukan kesulitan dalam menghadapi persoalan Wanita Tuna Susila. melihat ayat demi ayat ini, maka menjadi jelas bahwa untuk Wanita Tuna Susila atau pelacuran dapat ditetapkan pasal 55 Jo pasal 296 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ), yaitu dilarang dan diancam oleh Undang-Undang ( Pasal 296 KUHP ) sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan (Medepleger) atau membujuk melakukan perbuatan ( uitlokker ) atau kebiasaan. Menerapkan Pasal 296 Kitab Undang-Undang hukum Pidana ( KUHP ) melalui pasal 55 yang disebutkan diatas tidak tepat, karena pasal 296 hanya ditujukan kepada para germo saja, dengan tujuan untuk memberantas rumah-rumah bordil atau tempat-tempat pelacuran. dalam kenyataanya bahwa para pelacur bukan pemilik rumah-rumah bordil. melihat pasal 296, 297, 506 yang dapat dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ), yang berhubungan dengan prostitusi. ternyata mengenai si pelacur itu sendiri tidak tegas dinyatakan dalam hukum pidana. Sedangkan sebagaimana halnya dengan wanita pelacur, tamu yang mendatang Wanita Tuna Susila belum juga diatur secara tegas dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). melihat delik delik kesusilaan yang diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), yakni pasal 281 sampai pasal 303, amat sulit diterapkan pada wanita pelacur dan tamu yang datang mengunjunginya. bila hal tersebut akan dikenakan pada mereka, tentunya dalam kasus yang sangat khusus.

Faktor Petugas Tumbuh suburnya praktek prostitusi di jakarta adalah karena adanya beking/ perlindungan dari aparat penegak hukum terhadap lokasi prostitusi tersebut sehingga seolah-olah pelaku bisnis haram tersebut kebal akan hukum, disamping itu, adanya kolusi (setoran uang secara rutin) dari para pelaku bisnis prostitusi terhadap aparat hukum, mulai dari petugas lapangan, kapolsek, dinas pol PP, dll sampai jenjang diatasnya turut memperburam penegakan hukum terhadap bisnis pelacuran tersebut. Dari uraian diatas dapat kita ketahui bahwa Factor petugas sangat berperan besar dalam menentukan berhasil / tidaknya penegakan hukum di bidang praktek prostitusi tersebut. Faktor Masyarakat Sikap acuh dari sebagian masyarakat terhadap adanya praktek prostitusi disekitar lingkungannya sangat berperan dalam berkembangnya praktek prostitusi tersebut, hal tersebut dikarnakan tidak adanya penolakan/gejolak menentang dari masyarakat terhadap bisnis pelacuran, diterjemahkan oleh para pebisnis praktek asusila tersebut sebagai suatu restu dari masyarakat sekitar tempat prostitusi atas boleh beroprasinya bisnis haram tersebut. Selain hal diatas, terdapat beberapa kelompok masyarakat disekitar tempat prostitusi tersebut yang mendukung adanya bisnis praktek prostitusi tersebut berada di daerahnya, hal tersebut dikarnakan para kelompok masyarakat tersebut merasa diuntungkan dengan adanya bisnis haram tersebut, dimana bila dilihat secara empiris, dengan adanya praktek prostitusi di suatu lokasi, maka keadaan roda ekonomi masyarakat sekitar lokasi tersebut lebih berjalan secara dinamis,karena banyak masyarakat yang mengambil kesempatan dengan mengais rejeki/bermata pencaharian

(membuka warung, jual rokok, menjadi tukang parkir, atau bekerja di tempat prostitusi sebagai petugas kebersihan, dll) di tempat lokasi bisnis prostitusi tersebut. Sehingga secara umum masyarakat sekitar tempat lokasi praktek prostitusi tersebut merasa diuntungkan dengan adanya praktek prostitusi tersebut diwilayahnya, sehingga penerapan hukum positif akan sulit dipaksakan dikarnakan dimungkinkannya terjadinya penolakan dari masyarakat yang merasa diuntungkan dari praktek prostitusi tersebut atas diberlakukannya penerapan hukum tersebut.

2.4

Motif-motif yang melatarbelakangi Pelacuran


Motif- motif yang melatarbelakangi pelacuran pada wanita itu beraneka ragam, antara

lain sebagai berikut : 1. Adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk menghindarkan diri dari kesulitan hidup, dan mendapatkan kesenangan melalui jalan pendek. Kurang pengertian, kurang pendidikan, dan buta huruf, sehingga menghalalkan pelacuran. 2. Ada nafsu- nafsu yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian, dan keroyalan seks. Histeris dan hyperseks, sehingga mereka tidak merasa puas mengadakan relasi seks dengan satu pria/ suami. 3. Tekanan ekonomi, factor kemiskinan, ada pertimbangan- pertimbangan ekonomis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, khususnya dalam usaha mendapatkan status social yang lebih baik. 4. Aspirasi materil yang tinggi pada diri wanita dan kesenangan ketamakan terhadap pakaianpakaian indah dan perhiasan mewah. 5. Komensasi terhadap perasaan-perasaan inferior. Ada adjustment yang negative, terutama sekali terjadi pada masa puber dan adolesens. Ada keinginan untuk melebihi kakak, ibu sendiri, teman putri, tante-tante atau wanita-wanita modern lainnya. 6. Rasa ingin tahu gadis- gadis cilik dan anak-anak puber pada masalah seks, yang kemudian tercebur dalam dunia pelacuran oleh bujukan-bujukan bandit-bandit seks. 7. Banyaknya simulasi seksual dalam bentuk : film- film biru, gambar- gambar porno, bacaan cabul, geng-geng anak muda yang menpraktikan relasi seksual. Sebab- sebab timbulnya pelacuran pada pria antara lain ialah sebagai berikut : a. Nafsu kelamin laki-laki untuk menyalurkan kebutuhan seks tanpa satu ikatan.

b. Rasa iseng dan ingin mendapatkan pengalaman relasi seks diluar ikatan perkawinan. c. Istri sedang berhalangan haid, mengandung tua atau lama sekali mengidap penyakit,

sehingga tidak mampu melakukan relasi seks dengan suaminya. d. Istri menjadi gila. e. Ditugaskan di tempat jauh, pindah kerja atau didetasir di tempat lain, dan belum sempat atau

tidak dapat memboyong keluarga. f. Cacat jasmani, sehingga merasa malu untuk menikah, lalu menyalurkan kebutuhan-

kebutuhan seksnya dengan wanita- wanita pelacur. g. Karena profesinya sebagai penjahat, sehingga tidak termungkinkan untuk membina keluarga. h. Tidak mendapat kepuasan dalam penyaluran kebutuhan seks, dengan partner atas istrinya. i. Tidak perlu bertanggung jawab atau akibat relasi seks dan dirasakan sebagai lebih ekonomis.

2.5

Akibat-akibat Pelacuran
Beberapa akibat yang di timbulkan oleh pelacuran ialah sebagai berikut :

1. Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit. Penyakit yang paling banyak terdapat ialah syphilis dan gonorrhoe (kencing nanah). 2. Merusak sendi- sendi kehidupan keluarga. Suami-suami yang tergoda oleh pelacur biasanya melupakan fungsinya sebagai kepala keluarga. 3. Mendemoralisasi atau memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan khususnya anak-anak muda remaja pada masa puber dan adolensi. 4. Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika (ganja, morfin, heroin, dan lain-lain). 5. Merusak sendi- sendi moral, susila, hukum dan agama. 6. Adanya pengeksploitasian manusia oleh manusia lain. 7. Bisa menyebabkan terjadinya disfungsi seksual.

2.6

Penanggulangan Prostitusi
Prostitusi merupakan masalah dan patologi sosial sejak sejarah kehidupan manusia

sampai sekarang. Usaha penanggulangannya sangat sukar sebab harus melalui proses dan waktu yang panjang serta biaya yang besar. Usaha mengatasi tuna susila pada umumnya dilakukan secara preventif dan represif kuratif. Usaha yang bersifat preventif diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan untuk mencegah terjadinya pelacuran. Kegiatan yang dimaksud berupa :
a.

Penyempurnaan undang-undang tentang larangan atau pengaturan

penyelenggaraan pelacuran.
b.

Intensifikasi pendidikan keagamaan dan kerohanian, untuk menginsafkan kembali

dan memperkuat iman terhadap nilai religius serta norma kesusilaan.


c.

Bagi anak puber dan remaja ditingkatkan kegiatan seperti olahraga dan rekreasi,

agar mendapatkan kesibukan, sehingga mereka dapat menyalurkan kelebihan energi.


d.

Memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita disesuaikan dengan kodratnya dan

bakatnya, serta memberikan gaji yang memadahi dan dapat untuk membiayai kebutuhan hidup.
e.

Diadakan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam kehidupan

keluarga.
f.

Pembentukan team koordinasi yang terdiri dari beberapa instansi dan

mengikutsertakan masyarakat lokal dalam rangka penanggulangan prostitusi.


g.

Penyitaan, buku, majalah, film, dan gambar porno sarana lain yang merangsang

nafsu seks.
h.

Meningkatkan kesejahteraan seks.

Sedangkan usaha-usaha yang bersifat represif kuratif dengan tujuan untuk menekan, menghapus dan menindas, serta usaha penyembuhan para wanita tuna susila, untuk kemudian dibawa kejalan yang benar. Usaha tersebut antara lain sebagai berikut :
a.

Melakukan kontrol yang ketat terhadap kesehatan dan keamanan para pelacur

dilokalisasi.
b.

Mengadakan rehabilitasi dan resosialisasi, agar mereka dapat dikembalikan

sebagai anggota masyarakat yang susila. Rehabilitasi dan resosialisasi dilakukan melalui pendidikan moral dan agama, latihan kerja, pendidikan ketrampilan dengan tujuan agar mereka menjadi kreatif dan produktif.
c. d.

Pembinaan kepada para WTS sesuai dengan bakat minat masing-masing. Pemberian pengobatan (suntiakan) paa interval waktu yang tetap untuk menjamin

kesehatan dan mencegah penularan penyakit.


e.

Menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yangbersedia meninggalkan

profesi pelacur, dan yang mau memulai hidup susila.


f.

Mengadakan pendekatan kepada pihak keluarga dan masyarakat asal pelacur agar

mereka mau menerima kembali mantan wanita tuna susila untuk mengawali hidup barunya.
g.

Mencarikan pasangan hidup yang permanen (suami) bagi para wanita tuna susila

untuk membawa mereka ke jalan yang benar.


h.

Mengikutsertakan para wanita WTS untuk berpratisipasi dalam rangka

pemerataan penduduk di tanah air dan perluasan kesempatan bagi kaum wanita.

Bab III Penutup


Kesimpulan
Prostitusi diartikan sebagai pelacur atau penjual jasa seksual atau disebut juga dengan pekerja seks komersial. Menurut istilah, prostitusi di artikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan upah sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya. Prostitusi merupakan permasalahan yang sangat sulit untuk dihapus mulai dari awal kehidupan sampai sekarang prostitusi tidak ada perubahan kearah positif, tetapi sebaliknya. Semakin maraknya prostitusi dalam segala kalangan dan corak kehidupan masyarakat dunia. Walaupun akibat dari prostitusi itu sendiri terlihat sangat kontras namun tetap itu bukanlah hal yang bisa di jadikan dasar untuk pencegahan prostitusi. Melihat dari sejarah awal mula adanya protitusi di Indonesia bisa di jadikan landasan kuat kenapa prostitusi itu begitu sulitnya untuk di musnahkan ?prostitusi yang dulu di anggap tabu untuk di perbincangkan tentu beda dengan sekarang, prostitusi yang seakan sangat mudah dikenal oleh masyarakat baik itu dikalangan orang-orang dewasa bahkan remaja dan anak-anak sekalipun sudah mengetahui apa itu prostitusi atau pelacuran? Perubahan- perubahan dan perkembangan social bisa dijadikan factor penyebabnya. Dan salah satu factor penyebabnya ialah antara lain : 1. Adanya dorongan dan keinginan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks, khususnya di luar pernikahan. 2. Semakin besarnya penghinaan orang terhadap martabat kaum wanita dan harkat manusia. 3. Kebudayaan eksploitasi pada zaman modern. 4. Ekonomi, kemiskinan, kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Semakin maraknya simulasi yang berbentuk gambar cabul, film- film biru, dan cerita- cerita seks.

Daftar Pustaka
Kartono, Kartini. 2007. Patologi Sosial. Jakarta : PT RajaGrapindo Persada kitab undang undang hukum pidana Soedikno Mertokusumo, 1991,Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, Hal.10 http://www.gudangmateri.com/2011/03/kehidupan-prostitusi-dari-segi.html

Anda mungkin juga menyukai