Anda di halaman 1dari 14

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Permasalahan terkait kesehatan mata di Indonesia cukup banyak dimulai dari kelai nan kongenital pada mata, infeksi/peradangan pada mata hingga tingginya angka ke butaan di Indonesia. Keratitis atau peradangan pada kornea adalah permasalahan m ata yang cukup sering dijumpai mengingat lapisan kornea merupakan lapisan yang b erhubungan langsung dengan lingkungan luar sehingga rentan terjadinya trauma at aupun infeksi. Hampir seluruh kasus keratitis akan mengganggu kemampuan pengliha tan seseorang yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup seseorang. Kare na itu penting sebagai dokter umum untuk dapat mengenali dan menanggulangi kasus keratitis (sejauh kemampuan dokter umum) yang terjadi di masyarakat baik sebaga i dokter keluarga ataupun dokter yang bekerja di strata pelayanan primer. Oleh k arena itu, pada kesempatan ini, penulis membuat pembahasan kasus referat ini men genai keratitis khusunya yang disebabkan oleh bakteri, virus dan jamur. 1.2 1.2.1 1.2.2 1.2.3 eri? 1.2.4 ? 1.2.5 1.3 1.3.1 1.3.2 1.3.3 teri 1.3.4 us 1.3.5 gi. Rumusan Masalah Bagaimana anatomi serta histology kornea Bagaimana fisiologi kornea? Bagaimana gambaran klinis, diagnosa serta penatalaksanaan keratitis bakt Bagaimana gambran klinis, diagnose serta penatalaksanaan keratitis fungi Bagaimana gambaran klinis, diagnose dan penatalaksanaan keratitis virus? Tujuan Mengetahui anatomi dan histology kornea Mengetahui fisiologi kotnea Mengetahui gambaran klinis, diagnose serta penatalaksanaan keratitis bak Mengetahui gambaran klinis, diagnose serta penatalaksanaan keratitis vir Mengetahui gambaran klinis, diagnose serta penatalaksanaan keratitis fun

1.4 Manfaat 1.4.1 Menambah wawasan mengenai ilmu kedokteran pada umumnya, dan ilmu penyaki t mata pada khususnya. I.4.2 Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepan iteraan klinik bagian ilmu penyakit mata.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Histologi Kornea

Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran 11-12 m m horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Kornea juga merupakan sumber astigmatisme pada s istem optik. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai tambahan, ko rnea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah salah satu or gan tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva. Kornea dipersarafi oleh b anyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar , saraf ke V, saraf siliar longus yang berjalan suprakoroid, masuk ke dalam str oma kornea, menembus membran Bowman melepas selubung Schwannya. Seluruh lapis ep itel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan. Sensasi dingin oleh Bulbus Kr ause ditemukan pada daerah limbus (Ilyas, 2005). Kornea dalam bahasa latin cornum artinya seperti tanduk, merupakan selaput bening mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan lapis dari jaringa n yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas : 1. Epitel Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng. Teba l lapisan epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea. Epit el dan film air mata merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada se l basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikat an erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melal ui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Sedangkan epitel berasal dari ektoderem permukaan. Epitel memiliki daya regenerasi (Ilyas, 2005). 2. Membran bowman Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal dari epitel. M erupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya generasi (Ily as, 2005). 3. Stroma Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan lapisan tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen dengan lebar s ekitar 1 m yang saling menjalin yang hampir mencakup seluruh diameter kornea, pad a permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolage n ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama, dan kada

ng sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibrobl as terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan das ar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma (Ilyas, 2005) . 4. Membran Descemet Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea yang diha silkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang tampak amorf pada p emeriksaan mikroskop elektron, membran ini berkembang terus seumur hidup dan mem punyai tebal + 40 mm. Lebih kompak dan elastis daripada membran Bowman. Juga leb ih resisten terhadap trauma dan proses patologik lainnya dibandingkan dengan bag ian-bagian kornea yang lain (Ilyas, 2005). 5. Endotel Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal, tebal antara 20-40 mm melekat erat pada membran descemet melalui taut. Endotel dari k ornea ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda dengan lapisan ep itel karena tidak mempunyai daya regenerasi, sebaliknya endotel mengkompe nsasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh endotel dan memberik an dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi dapat menjaga keseimbang an cairan yang tepat akibat gangguan sistem pompa endotel, stroma bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan kemudian hilangnya transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh epitel dan endotel yan g merupakan membrane semipermeabel, kedua lapisan ini mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan ini maka akan terjadi edem a kornea dan kekeruhan pada kornea (Ilyas, 2005). 2.2 Fisiologi Kornea Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang uniform , avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif jaring an kornea, dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih pent ing daripada epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak jau h lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebab kan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, kerusakan pada epit el hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang akan meghilang bila s el-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan lapisan air mata tersebut, yang mungkin meru pakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea superfisial dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi (Vaughan, 2009). Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat me lalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh. Karena nya agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligu s. Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kor nea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan membran bowman mu dah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti bakteri, virus, amuba , dan jamur (Vaughan, 2009). Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, d alam perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terj adi di permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kor nea, segera mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang h ebat terutama bila letaknya di daerah pupil (Vaughan, 2009). 2.3 Keratitis 2.3.1 Definisi Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut lapi san kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan e pitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma (Ilyas, 2006).

2.3.2 Etiologi dan faktor pencetus Penyebab keratitis bermacam-macam. Bakteri, virus dan jamur dapat menyebabkan ke ratitis. Penyebab paling sering adalah virus herpes simplex tipe 1. Selain itu p enyebab lain adalah kekeringan pada mata, pajanan terhadap cahaya yang sangat te rang, benda asing yang masuk ke mata, reaksi alergi atau mata yang terlalu sensi tif terhadap kosmetik mata, debu, polusi atau bahan iritatif lain, kekurangan vi tamin A dan penggunaan lensa kontak yang kurang baik (Mansjoer, 2001). 2.3.3 Tanda dan Gejala Umum Tanda patognomik dari keratitis ialah terdapatnya infiltrat di kornea. Infiltrat dapat ada di seluruh lapisan kornea, dan menetapkan diagnosis dan pengobatan ke ratitis. Pada peradangan yang dalam, penyembuhan berakhir dengan pembentukan jar ingan parut (sikatrik), yang dapat berupa nebula, makula, dan leukoma. Adapun ge jala umum adalah : Keluar air mata yang berlebihan Nyeri Penurunan tajam penglihatan Radang pada kelopak mata (bengkak, merah) Mata merah Sensitif terhadap cahaya (Mansjoer, 2001). 2.3.4 Klasifikasi Keratitis biasanya diklasifikasikan berdasarkan lapisan kornea yang terkena : ya itu keratitis superfisialis apabila mengenai lapisan epitel dan bowman dan kerat itis profunda apabila mengenai lapisan stroma. Bentuk-bentuk klinik keratitis superfisialis antara lain adalah (Ilyas, 2006): 1. Keratitis punctata superfisialis Berupa bintik-bintik putih pada permukaan kornea yang dapat disebabkan oleh sind rom dry eye, blefaritis, keratopati logaftalmus, keracunan obat topical, sinar u ltraviolet, trauma kimia ringan dan pemakaian lensa kontak. 2. Keratitis flikten Benjolan putih yang yang bermula di limbus tetapi mempunyai kecenderungan untuk menyerang kornea. 3. Keratitis sika Suatu bentuk keratitis yang disebabkan oleh kurangnya sekresi kelenjar lakrimale atau sel goblet yang berada di konjungtiva. 4. Keratitis lepra Suatu bentuk keratitis yang diakibatkan oleh gangguan trofik saraf, disebut juga keratitis neuroparalitik. 5. Keratitis nummularis Bercak putih berbentuk bulat pada permukaan kornea biasanya multiple dan banyak didapatkan pada petani. Bentuk-bentuk klinik keratitis profunda antara lain adalah : 1. Keratitis interstisialis luetik atau keratitis sifilis congenital 2. Keratitis sklerotikans. 2.3.5 Patofisiologi Gejala Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak seg era datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Mak a badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kor nea, segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pemb uluh darah yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudah nya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit polim orfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai b ercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak li cin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbulah ulkus kornea (Vaughan, 2009). Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea b aik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa

sakit juga diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra superi or) pada kornea dan menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang meradang dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada ujung saraf kornea merupakan fenomena reflek yang berhubungan dengan timbu lnya dilatasi pada pembuluh iris. Fotofobia, yang berat pada kebanyakan penyakit kornea, minimal pada keratitis herpes karena hipestesi terjadi pada penyakit ini , yang juga merupakan tanda diagnostik berharga. Meskipun berair mata dan fotofo bia umumnya menyertai penyakit kornea, umumnya tidak ada tahi mata kecuali pada u lkus bakteri purulen (Vaughan, 2009). Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas cahaya, l esi kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan, terutama kalau letaknya di pusat (Vaughan, 2009). 2.3.6 Diagnosa Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea. Sering dapat diungkapkan adanya r iwayat trauma---kenyataannya, benda asing dan abrasi merupakan dua lesi yang umu m pada kornea. Adanya riwayat penyakit kornea juga bermanfaat. Keratitis akibat infeksi herpes simpleks sering kambuh, namun karena erosi kambuh sangat sakit da n keratitis herpetik tidak, penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari gejalanya . Hendaknya pula ditanyakan pemakaian obat lokal oleh pasien, karena mungkin tel ah memakai kortikosteroid, yang dapat merupakan predisposisi bagi penyakit bakte ri, fungi, atau oleh virus, terutama keratitis herpes simpleks. Juga mungkin ter jadi imunosupresi akibat penyakit-penyakit sistemik, seperti diabetes, AIDS, dan penyakit ganas, selain oleh terapi imunosupresi khusus (Vaughan, 2009). Dokter memeriksa di bawah cahaya yang memadai. Pemeriksaan sering lebih mudah de ngan meneteskan anestesi lokal. Pemulusan fluorescein dapat memperjelas lesi epi tel superfisialis yang tidak mungkin tidak telihat bila tidak dipulas. Pemakaian biomikroskop (slitlamp) penting untuk pemeriksaan kornea dengan benar; jika tid ak tersedia, dapat dipakai kaca pembesar dan pencahayaan terang. Harus diperhati kan perjalanan pantulan cahaya saat menggerakkan cahaya di atas kornea. Daerah k asar yang menandakan defek pada epitel terlihat dengan cara ini (Vaughan, 2009). Mayoritas kasus keratitis bakteri pada komunitas diselesaikan dengan terapi empi ris dan dikelola tanpa hapusan atau kultur.Hapusan dan kultur sering membantu da lam kasus dengan riwayat penyakit yang tidak jelas. Hipopion yang terjadi di mat a dengan keratitis bakteri biasanya steril, dan pungsi akuos atau vitreous tidak perlu dilakukan kecuali ada kecurigaan yang tinggi oleh mikroba endophthalmitis . Kultur adalah cara untuk mengidentifikasi organisme kausatif dan satu-satunya ca ra untuk menentukan kepekaan terhadap antibiotik. Kultur sangat membantu sebagai panduan modifikasi terapi pada pasien dengan respon klinis yang tidak bagus dan untuk mengurangi toksisitas dengan mengelakkan obat-obatan yang tidak perlu. Da lam perawatan mata secara empiris tanpa kultur dimana respon klinisnya tidak bag us, kultur dapat membantu meskipun keterlambatan dalam pemulihan patogen dapat t erjadi. Sampel kornea diperoleh dengan memakai agen anestesi topikal dan menggunakan ins trumen steril untuk mendapatkan atau mengorek sampel dari daerah yang terinfeksi pada kornea. Kapas steril juga dapat digunakan untuk mendapatkan sampel. Ini pa ling mudah dilakukan dengan perbesaran Slit Lamp. Biopsi kornea dapat diindikasikan jika terjadi respon yang minimal terhadap peng obatan atau jika kultur telah negatif lebih dari satu kali dengan gambaran klini s yang sangat mendukung suatu proses infeksi. Hal ini juga dapat diindikasikan j ika infiltrat terletak di pertengahan atau dalam stroma dengan jaringan atasnya tidak terlibat. Pada pasien kooperatif, biopsi kornea dapat dilakukan dengan bantuan Slit Lamp a tau mikroskop operasi. Setelah anestesi topikal, gunakan sebuah pisau untuk meng ambil sepotong kecil jaringan stroma, yang cukup besar untuk memungkinkan pembel ahan sehingga satu porsi dapat dikirim untuk kultur dan yang lainnya untuk histo patologi. Spesimen biopsi harus disampaikanke laboratorium secara tepat waktu. 2.4 Keratitis Bakterialis Keratitis bakteri adalah gangguan penglihatan yang mengancam. Ciri-ciri khusus k eratitis bakteri adalah perjalanannya yang cepat. Destruksi corneal lengkap bisa

terjadi dalam 24 48 jam oleh beberapa agen bakteri yang virulen. Ulkus kornea, pembentukan abses stroma, edema kornea dan inflamasi segmen anterior adalah kara kteristik dari penyakit ini. 2.4.1 Patogen Grup bakteri yang paling banyak menyebabkan keratitis bakteri adalah Streptococc us, Pseudomonas, Enterobacteriaceae (meliputi Klebsiella, Enterobacter, Serratia , and Proteus) dan golongan Staphylococcus. Lebih dari 20 kasus keratitis jamur (terutama candidiasis) terjadi komplikasi koinfeksi bakteri. Banyak jenis ulkus kornea bakteri mirip satu sama lain dan hanya bervariasi dala m beratnya penyakit. Ini terutama berlaku untuk ulkus yang disebabkan bakteri opo r-tunistik (mis., Streptococcus alfa-hemolyticus, Staphylococcus aureus, Staphylo coccus epidermidis, Nocardia, dan M fortuitum-chelonei), yang menimbulkan ulkus k ornea indolen yang cenderung menyebar perlahan dan superficial (Vaughan, 2009). 2.4.2 Patofisiologi Awal dari keratitis bakteri adalah adanya gangguan dari epitel kornea yang intak dan atau masuknya mikroorganisme abnormal ke stroma kornea, dimana akan terjadi proliferasi dan menyebabkan ulkus. Faktor virulensi dapat menyebabkan invasi mi kroba atau molekul efektor sekunder yang membantu proses infeksi. Beberapa bakte ri memperlihatkan sifat adhesi pada struktur fimbriasi dan struktur non fimbrias i yang membantu penempelan ke sel kornea. Selama stadium inisiasi, epitel dan st roma pada area yang terluka dan infeksi dapat terjadi nekrosis. Sel inflamasi ak ut (terutama neutrofil) mengelilingi ulkus awal dan menyebabkan nekrosis lamella stroma. Difusi produk-produk inflamasi (meliputi cytokines) di bilik posterior, menyalur kan sel-sel inflamasi ke bilik anterior dan menyebabkan adanya hypopyon. Toksin bakteri yang lain dan enzim (meliputi elastase dan alkalin protease) dapat dipro duksi selama infeksi kornea yang nantinya dapat menyebabkan destruksi substansi kornea. 2.4.3 Temuan Klinis a. Keratitis Pneumokokus Ulkus kornea pneumokokus biasanya muncul 24-48 jam setelah inokulasi pada kornea yang lecet. Infeksi ini secara khas menimbulkan sebuah ulkus berbatas tegas war na kelabu yang cenderung menyebar secara tak teratur dari tempat infeksi ke sent ral kornea. Batas yang maju menampakkan ulserasi aktif dan infiltrasi sementara batas yang ditinggalkan mulai sembuh. (Efek merambat ini menimbulkan istilah "ul kus serpiginosa akut".) Lapis superfisial kornea adalah yang pertama terlibat, k emudian parenkim bagian dalam. Kornea sekitar ulkus sering bening. Biasanya ada hipopion. Kerokan dari tepian depan ulkus kornea pneumokokus mengandung diplokoku s berbentuk-lancet gram-positif (Vaughan, 2009).

b. Keratitis Pseudomonas Ulkus kornea pseudomonas berawal sebagai infiltrat kelabu atau kuning di tempat e pitel kornea yang retak. Nyeri yang sangat biasanya menyertainya. Lesi ini cende rung cepat menyebar ke segala arah karena pengaruh enzim protcolitik yang dihasi lkan organisme ini. Meskipun pada awalnya superfisial, ulkus ini dapat mengenai seluruh kornea. Umumnya terdapat hipopion besar yang cenderung membesar dengan b erkembangnya ulkus. Infiltrat dan eksudat mungkin berwarna hijau kebiruan. Ini aki bat pigmen yang dihasilkan organisme dan patognomonik untuk infeksi P aeruginosa . Pseudomonas adalah penyebab umum ulkus kornea bakteri. Kasus ulkus kornea Pseudo monas dapat terjadi pada abrasi kornea minor atau penggunaan lensa kontak lunak, terutama yang dipakai agak lama. Ulkus kornea yang disebabkan organisme ini ber variasi dari yang sangat jinak sampai yang menghancurkan. Organisme itu ditemukan melekat pada permukaan lensa kontak lunak. Beberapa kasus dilaporkan setelah pe nggunaan larutan florescein atau obat tetes mata yang terkontaminasi (Vaughan, 2

009). c. Keratitis Streptokokus Khas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi ke arah tengah kornea (serpinginous). Ulkus bewarna kuning keabu-abuan berbentuk cakram dengan tepi ulkus yang mengga ung. Ulkus cepat menjalar ke dalam dan menyebabkan perforasi kornea, karena ekso toksin yang dihasilkan oleh streptokok pneumonia. 2.4.4 Terapi a. Terapi antibiotika Tetes mata antibiotik mampu mencapai tingkat jaringan yang tinggi dan merupakan metode yang banyak dipakai dalam pengobatan banyak kasus. Salep pada mata bergun a sewaktu tidur pada kasus yang kurang berat dan juga berguna sebagai terapi tam bahan. Antibiotik subkonjungtiva dapat membantu pada keadaan ada penyebaran sege ra ke sclera atau perforasi atau dalam kasus di mana kepatuhan terhadap rejimen pengobatan diragukan. Antibiotik topikal spektrum luas empiris digunakan pada pengobatan awal dari ker atitis bakteri. Untuk keratitis yang parah (melibatan stroma atau dengan defek y ang lebih besar dari 2 mm dengan nanah yang luas), diberikan dosis loading setia p 5 sampai 15 menit untuk jam pertama, diikuti oleh aplikasi setiap 15 menit sam pai 1 jam pada jam berikutnya. Pada keratitis yang kurang parah, rejimen terapi dengan dosis yang kurang frekuen terbukti efektif. Agen Cycloplegic dapat diguna kan untuk mengurangi pembentukan sinekhia dan untuk mengurangi nyeri pada kasus yang lebih parah pada keratitis bakteri dan ketika adanya peradangan bilik anter ior mata. Terapi single-drug dengan menggunakan fluoroquinolone (misalnya ciprofloksasin, ofloksasin) menunjukkan efektiftivitas yang sama seperti terapi kombinasi. Tetap i beberapa patogen (misalnya Streptococcus, anaerob) dilaporkan mempunyai kerent anan bervariasi terhadap golongan fluoroquinolone dan prevalensi resistensi terh adap golongan fluoroquinolones tampaknya semakin meningkat. Gatifloksasin dan mo ksifloksasin (generasi keempat fluoroquinolone) telah dilaporkan memiliki cakupa n yang lebih baik terhadap bakteri gram-positif dari fluoroquinolone generasi se belumnya pada uji in-vitro. Namun, fluoroquinolone generasi keempat belum disetu jui FDA untuk pengobatan keratitis bakteri. Terapi kombinasi antibiotika digunakan dalam kasus infeksi berat dan mata yang t idak responsif terhadap pengobatan. Pengobatan dengan lebih dari satu agen mungk in diperlukan untuk kasus-kasus penyebab mikobakteri non-tuberkulos. Antibiotik sistemik jarang dibutuhkan, tetapi dapat diipertimbangkan pada kasus-kasus yang parah di mana proses infeksi telah meluas ke jaringan sekitarnya (misalnya, scle ra) atau ketika adanya ancaman perforasi dari kornea. Terapi sistemik juga diper lukan dalam kasus-kasus keratitis gonokokal. b. Terapi kortikosteroid Terapi topikal kortikosteroid memiliki peran bermanfaat dalam mengobati beberapa kasus menular keratitis. Keuntungan potensial adalah penekanan peradangan dan p engurangan pembentukan jaringan parut pada kornea, yang dapat menyebabkan kehila ngan penglihatan. Antara kerugiannya pula termasuk timbulnya aktivitas infeksi b aru, imunosupresi lokal, penghambatan sintesis kolagen dan peningkatan tekanan i ntraokular. Meskipun berisiko, banyak ahli percaya bahwa penggunaan kortikostero id topikal dalam pengobatan keratitis bakteri dapat mengurangi morbiditas. Terap i kortikosteroid pada pasien yang sedang diobati dengan kortikosteroid topikal p ada saat adanya curiganya keratitis bakteri hendaklah diberhentikan dahulu sampa i infeksi telah dikendalikan. Prinsip pada terapi kortikosteroid topikal adalah menggunakan dosis minimal kort ikosteroid yang bisa memberikan efek kontrol peradangan. Keberhasilan pengobatan membutuhkan perkiraan yang optimal, regulasi dosis secara teratur, penggunaan o bat antibiotika yang memadai secara bersamaan, dan follow-up. Kepatuhan dari pas ien sangat penting, dan tekanan intraokular harus sering dipantau. Pasien harus diperiksa dalam 1 sampai 2 hari setelah terapi kortikosteroid topikal dimulai. 2.4.5 Komplikasi Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis bakteri ini adalah penipisan korn ea, dan akhirnya perforasi kornea yang dapat mengakibatkan endophthalmitis dan h ilangnya penglihatan.

2.4.6 Prognosis Prognosis visual tergantung pada beberapa faktor, seperti diuraikan di bawah ini , dan dapat mengakibatkan penurunan visus derajat ringan sampai berat. - Virulensi organisme yang bertanggung jawab atas keratitis - Luas dan lokasi ulkus kornea - Hasil vaskularisasi dan / atau deposisi kolagen 2.5 Keratitis Virus 2.5.1 Keratitis Herpes Simplek Keratitis herpes simpleks merupakan salah satu infeksi kornea yang paling sering ditemukan dalam praktek. Disebabkan oleh virus herpes simpleks, ditandai dengan adanya infiltrasi sel radang & edema pada lapisan kornea manapun. Pada mata, vi rus herpes simplek dapat diisolasi dari kerokan epitel kornea penderita keratiti s herpes simpleks. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan jari ngan mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus (Ilyas, 2006 ). a. Temuan klinis Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan kambuhan. lnfeksi primer herpes simplek primer pada mata jarang ditemukan ditandai oleh a danya demam, malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis folikutans, ble paritis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kira-kira 94-99% kasus bersi fat unilateral, walaupun pada 40% atau lebih dapat terjadi bilateral khususnya p ada pasien-pasien atopic (Vaughan, 2009). Bentuk ini umumnya dapat sembuh sendir i, tanpa menimbulkan kerusakan pada mata yang berarti. Terapi antivirus topikal dapat dipakai unutk profilaksis agar kornea tidak terkena dan sebagai terapi unt uk penyakit kornea. Infeksi primer dapat terjadi pada setiap umur, tetapi biasan ya antara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25 tahun. Keratitis herpes simpleks didom inir oleh kelompok laki-laki pada umur 40 tahun ke atas (American academy, 2006) . Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi primer. D engan mekanisme yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik at au ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion n.trige minus, dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan virus. Namun akhir-akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan sebagai tempat berlindung virus herpes simpleks. Beberapa kondisi yang berperan terjadinya infeksi kambuh an antara lain: demam, infeksi saluran nafas bagian atas, stres emosional, pema paran sinar matahari atau angin, haid, renjatan anafilaksis, dan kondisi imunosupresi (Vaughan, 2009). Walaupun diobati, kira-kira 25% pasien akan kambuh pada tahun pertama, dan meningkat menjadi 33% pada tahun kedua. Peneliti lain bahkan melaporkan ang ka yang lebih besar yaitu 46,57% keratitis herpes simpleks kambuh dalam kurun wa ktu 4 bulan setelah infeksi primer. Penelitian di Yogyakarta mendapatkan angka k ekambuhan hanya 11,5% dalam kurun waktu 6 bulan pengamatan setelah penyembu han. Perbedaan angka-angka tersebut dimungkinkan oleh perbedaan cara pengobat an (American academy, 2007). Kebanyakan infeksi HSV pada kornea disebabkan HSV tipe 1 namun beberapa kasus pa da bayi dan dewasa dilaporkan disebabkan HSV tipe 2. Lesi kornea kedua jenis ini tidak dapat dibedakan. b. Gejala Klinis Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian pusat y ang terkena terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena anestesi kornea umumnya timbul pada awal infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin tidak datan g berobat. Sering ada riwayat lepuh lepuh, demam atau infeksi herpes lain, namun ulserasi kornea kadang kadang merupakan satu satunya gejala infeksi herpes reku rens (Vaughan, 2009). Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel , berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus diw aspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster oftalmikus,keratitis akibat pemaparan dan mata kering, peng guna lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada

keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak adanya foto-fobia (Ilyas, 2000). c. Lesi Keratitis herpes simplek juga dapat dibedakan atas bentuk superfisial, profunda, dan bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis. Keratitis superfisial dapat berupa pungtata, dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika merupaka n proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang diakibatkan oleh perbanyakan vi rus dan menyebar sambil menimbulka kematian sel serta membentuk defek dengan gamb aran bercabang. Lesi bentuk dendritik merupakan gambaran yang khas pada kornea, memiliki percabangan linear khas dengan tepian kabur, memiliki bulbus terminalis pada ujungnya. Pemulasan fluoresein memudahkan melihat dendrit, namun sayangnya keratitis herpes dapat juga menyerupai banyak infeksi kornea yang lain dan haru s dimasukkan dalam diagnosis diferensial (Vaughan, 2009). Ada juga bentuk lain yaitu bentuk ulserasi geografik yaitu sebentuk penyakit den dritik menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih lebar hat ini terjadi akib at bentukan ulkus bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan dem ikian gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang mengelilin gi ulkus. Tepian ulkus tidak kabur. Sensasi kornea, seperti halnya penyakit dend ritik, menurun. Lesi epitel kornea lain yang dapat ditimbulkan HSV adalah kerati tis epitelial blotchy, keratitis epitelial stelata, dan keratitis filamentosa. Nam un semua ini umumnya bersifat sementara dan sering menjadi dendritik khas dalam satu dua hari (Vaughan, 2009).

Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis herpes zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel yang dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil (Ilyas , 2006). Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling umum pada infeksi HSV . Stroma didaerah pusat yang edema berbentuk cakram, tanpa infiltrasi berarti, d an umumnya tanpa vaskularisasi. Edemanya mungkin cukup berat untuk membentuk lip atan-lipatan dimembran descement. Mungkin terdapat endapan keratik tepat dibawah lesi diskiformis itu, namun dapat pula diseluruh endotel karena sering bersamaa n dengan uveitis anterior. Seperti kebanyakan lesi herpes pada orang imunokompet en, keratitis disciformis normalnya sembuh sendiri, setelah berlangsung beberapa minggu sampai bulan. Edema adalah tanda terpenting, dan penyembuhan dapat terja di dengan parut dan vaskularisasi minimal (Vaughan, 2009). Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal yang sering diserta i vaskularisasi, agaknya terutama disebabkan replikasi virus. Kadang-kadang diju mpai adanya infiltrat marginal atau lebih dikenal sebagai Wessely ring, diduga sebagai infiltrat polimorfonuklear disertai reaksi antigen antibodi virus herpes simpleks. Penipisan dan perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat, apalagi ji ka dipakai kortikosteroid topikal. Jika terdapat penyakit stroma dengan ulkus ep itel, akan sulit dibedakan superinfeksi bakteri atau fungi pada penyakit herpes. Pada penyakit epitelial harus diteliti benar adanya tanda tanda khas herpes, na mun unsur bakteri atau fungi dapat saja ada dan dapat pula disebabkan oleh reaks i imun akut, yang sekali lagi harus mempertimbangkan adanya penyakit virus aktif . Mungkin terlihat hipopion dengan nekrosis, selain infeksi bakteri atau fungi s ekunder (Vaughan, 2009).

d. Patogenesa Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal Kerus akan terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan sel ep itelial dan membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi ya ng menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteoli tik untuk merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma disekitarnya. H al ini penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang epitelial ditujuk an terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk menyerang virus da n reaksi radangnya. Perjalanan klinik keratitis dapat berlangsung lama kaena str oma kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke tempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes imunokompeten biasanya sembuh sendi ri, namun pada hospes yang secara imunologik tidak kompeten, perjalanannya mungk in menahun dan dapat merusak (Vaughan, 2009). e. Terapi Bertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea, sambil memperkecil efek m erusak akibat respon radang. 1. Debridement Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena virus berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik vir us pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun epitel terin feksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas kh usus. Yodium atau eter topikal tidak banyak manfaat dan dapat menimbulkan kerati tis kimiawi. Obat siklopegik seperti atropi 1 % atau homatropin5% diteteskan ked alam sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiks a setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh umumny adalah 72 jam. Pengobatan tambahan dengan anti virus topikal mempercepat pemulihan epi tel. Terapi obat topikal tanpa debridement epitel pada keratitis epitel memberi keuntungan karena tidak perlu ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi b erbagai keracunan obat (Vaughan, 2009). 2. Terapi obat Agen anti virus topikal yang di pakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine, trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclovir jauh lebih e fektif untuk penyakit stroma dari pada yang lain. Idoxuridine dan trifluridine s ering kali menimbulkan reaksi toxik. Acyclovir oral ada mamfaatnya untuk pengoba tan penyakit herpes mata berat, khususnya pada orang atopik yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif (eczema herpeticum). Study multicenter t erhadap efektivitas acyclovir untuk pengobatan kerato uveitis herpes simpleks da n pencegahan penyakit rekurens kini sedang dilaksanakan ( herpes eye disease stu dy) (Vaughan, 2009). Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada epitel kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal. Dalam hal ini peng gunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpotensi sangat merusak. Kor tikosteroid topikal dapat juga mempermudah perlunakan kornea, yang meningkatkan risiko perforasi kornea. Jika memang perlu memakai kortikosteroid topikal karena hebatnya respon peradangan, penting sekali ditambahkan obat anti virus secukupn ya untuk mengendalikan replikasi virus (Vaughan, 2009). 3. Bedah Keratolasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi penglihatan pas

ien yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi herpes rekurens dapat ti mbul karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang diperlukan untuk menceg ah penolakan transplantasi kornea. Juga sulit dibedakan penolakan transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens (Vaughan, 2009). Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri atau fu ngi mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan sianokri lat dapat dipakai secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft petak lamel ar berhasil baik pada kasus tertentu. Keratoplasi lamelar memiliki keuntungan di banding keratoplasti penetrans karena lebih kecil kemungkinan terjadi penolakan transparant. Lensa kontak lunak untuk terapi atau tarsorafi mungkin diperlukan u ntuk pemulihan defek epitel yang terdapat padakeratitis herpes simplek (Vaughan, 2009). 4. Pengendalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira kira sepertiga kasus dalam 2 tahun serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme pemicunya. Setelah den ga teliti mewawancarai pasien. Begitu ditemukan, pemicu itu dapat dihindari. Asp irin dapat dipakai untuk mencegah demam, pajanan berlebihan terhadap sinar matah ari atau sinar UV dapat dihindari. Keadaan keadaan yang dapat menimbulkan strea psikis dapat dikurangi. Dan aspirin dapat diminum sebelum menstruasi (Vaughan, 2 009). f. Prognosis Prognosis akhirnya baik karena tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada korne a. Bila tidak diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun dengan meninggalkan ge jala sisa. 2.3.7 Keratitis Virus Varisela Zoster Infeksi virus varicella zoster terjadi dalam 2 bentuk: primer (varicella) dan re kuren (zoster). Manifestasi pada mata jarang terjadi pada varicella namun sering pada zoster ophthalmic. Pada varicella, lesi mata umumnya pada kelopak dan tepi an kelopak. Jarang ada keratitis (khas lesi stroma perifer dengan vaskularisasi) , dan lebih jarang lagi keratitis epithelial dengan atau tanpa pseudodendrite. P ernah dilaporkan keratitis disciformis, dengan uveitis yang lamanya bervariasi ( Vaughan, 2009). Berbeda dari lesi kornea varicella, yang jarang dan jinak, zoster ophthalmic rel atif banyak dijumpa, kerap kali disertai keratouveitis yang bervariasi beratnya sesuai dengan status kekebalan pasien. Komplikasi kornea pada zoster ophthalmic dapat diperkirakan timbul jika terdapat erupsi kulit di daerah yang dipersarafi cabang-cabang Nervus Nasosiliaris (Vaughan, 2009).

Berbeda dari keratitis HSV rekuren, yang umumnya hanya mengenai epithel, keratit is VZV mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya. Lesi epitelnya keruh dan amorf, kecuali kadang-kadang pada pseudodendrite linear yang sedikit mirip dendr ite pada keratitis HSV. Keluhan stroma disebabkan oleh edema dan sedikit infiltr ate sel yang pada awalnya hanya subepitel. Keadaan ini dapat diikuti penyakit st roma dalam dengan nekrosis dan vaskularisasi. Kadang-kadang timbul keratitis dis ciformis dan mirip keratitis disciformis HSV. Kehilangan sensasi kornea selalu m erupakan ciri mencolok dan sering berlangsung berbulan-bulan setelah lesi kornea tampak sudah sembuh. Uveitis yang timbul cenderung menetap beberapa minggu samp ai bulan, namun akhirnya sembuh. Skleritis dapat menjadi masalah berat pada peny akit VZV mata (Vaughan, 2009). Acyclovir intravena dan oral telah dipakai dengan hasil baik untuk mengobati her pes zoster ophthalmic, khususnya pada pasien yang kekebalannya terganggu. Dosis

oralnya adalah 800mg, 5 kali sehari untuk 10-14 hari. Terapi hendaknya dimulai 7 2 jam setelah timbulnya kemerahan. Peranan antivirus topikal kurang meyakinkan. Kortikosteroid topikal mungkin diperlukan untuk mengobati keratitis berat, uveit is, dan glaukoma sekunder. Penggunaan kortikosteroid sistemik masih kontroversia l. Terapi ini mungkin diindikasikan untuk mengurangi insidensi dan hebatnya neur algia paska herpes. Namun demikian keadaan ini sembuh sendiri (Vaughan, 2009). 2.6 Keratitis Fungi Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi jamur yang serius pada kornea dan berd asarkan sejumlah laporan, jamur telah ditemukan menyebabkan 6%-53% kasus keratit is ulseratif. Lebih dari 70 spesies jamur telah dilaporkan menyebabkan keratitis jamur (Grayson, 1983). 2.6.1 Etiologi Secara ringkas dapat dibedakan : 1. Jamur berfilamen (filamentous fungi) : bersifat multiseluler dengan caba ng-cabang hifa. a) Jamur bersepta : Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp, Cladosporiu m sp, Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora sp, Curvularia sp, Altenaria sp. b) Jamur tidak bersepta : Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp. 2. Jamur ragi (yeast) yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas : Candida albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp. 2.6.2 Manifestasi Klinik Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi jamur dalam bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang larut. Agen-a gen ini dapat menyebabkan nekrosis pada lamella kornea, peradangan akut , respon antigenik dengan formasi cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat. Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat menunjukkan infiltrasi abu-abu sampai putih dengan permukaan kasar, dan bagian kornea yang tidak merada ng tampak elevasi keatas. Lesi satelit yang timbul terpisah dengan lesi utama da n berhubungan dengan mikroabses stroma. Plak endotel dapat terlihat paralel terh adap ulkus. Cincin imun dapat mengelilingi lesi utama, yang merupakan reaksi ant ara antigen jamur dan respon antibodi tubuh. Sebagai tambahan, hipopion dan sekr et yang purulen dapat juga timbul. Reaksi injeksi konjungtiva dan kamera okuli a nterior dapat cukup parah. Pada keratitis candida biasaya ditandai dengan lesi b erwarna putih kekuningan. Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut : 1. Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama. 2. Lesi satelit. 3. Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti hifa di bawah endotel utuh. 4. Plak endotel. 5. Hypopyon, kadang-kadang rekuren. 6. Formasi cincin sekeliling ulkus. 7. Lesi kornea yang indolen (Duane, 1987).

2.6.3 Diagnosa Laboratorik Sangat membantu diagnosis pasti, walaupun bila negatif belum menyingkirkan diagn osis keratomikosis. Yang utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea (seba iknya dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop . Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan ang ka keberhasilan masing-masing 20-30%, 50-60%, 60-75% dan 80%. Lebih baik lagi me lakukan biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan Periodic Acid Schiff atau Meth enamine Silver, tapi sayang perlu biaya yang besar. Akhir-akhir ini dikembangkan

Nomarski differential interference contrast microscope untuk melihat morfologi jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang dilaporkan cukup memuaskan. Sel anjutnya dilakukan kultur dengan agar Sabouraud atau agar ekstrak maltosa (Srina van, 2006). 2.6.4 Terapi Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat komersial yang tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas dalam improvisasi pengadaan obat , yang utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis yang dihadapi bisa dibagi: 1. Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya. 2. Jamur berfilamen. 3. Ragi (yeast). 4. Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati. Untuk golongan I : Topikal Amphotericin B 1,02,5 mg/ml, Thiomerosal (10 mg/ml), N atamycin > 10 mg/ml, golongan Imidazole. Untuk golongan II : Topikal Amphotericin B 0,15%, Miconazole 1%, Natamycin 5% (o bat terpilih), econazole 1% (obat terpilih). Untuk golongan III : Econazole 1%, Amphoterisin B 0,15 %, Natamycin 5%, Clotrima zole 1%, fluoconazol 2 % (Jack, 2009). Untuk golongan IV : Golongan Sulfa, berbagai jenis Antibiotik. Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi awal. Diberika n juga obat sikloplegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior untuk menguran gi uveitis anterior. Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria penyembuhan ant ara lain adalah adanya penumpulan (blunting atau rounding-up) dari lesi-lesi ire guler pada tepi ulkus, menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya infiltrasi di stroma di sentral dan juga daerah sekitar tepi ulkus. Perbaikan klinik biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus. Adanya defek epitel yang sulit menutup belum tentu menyatakan bahwa terapi tidak berhasil, bahkan kadang-kadang terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi keratomikosis diperlukan ke sabaran, ketekunan dan ketelitian dari kita semua (Grayson, 1983).

BAB III PENUTUP 1.1 Kesimpulan Keratitis adalah suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh bakteri, virus, da n jamur. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lapis kornea yang terkena seperti keratitis superficial dan profunda, atau berdasarkan penyebabnya yaitu k eratitis karena berkurangnya sekresi air mata, keratitis karena keracunan obat, keratitis reaksi alergi, infeksi, reaksi kekebalan, reaksi terhadap konjungtivit is menahun. Pada Keratitis sering timbul rasa sakit yang berat oleh karena kornea bergesekan dengan palpebra, karena kornea berfungsi sebagai media untuk refraksi sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang yang masuk ke mata maka lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama apabila lesi terletak sent ral dari kornea. Fotofobia terutama disebabkan oleh iris yang meradang Keratiti s dapat memberikan gejala mata merah, rasa silau dan merasa ada yang mengganjal atau kelilipan. Manajemen yang tepat dapat mengurangi insidensi kehilangan penglihatan dan memba tasi kerusakan kornea. Keterlambatan diagnosis infeksi adalah salah satu faktor yang berperan terhadap terapi awal yang tidak tepat. Kebanyakan gangguan pengli hatan ini dapat dicegah, namun hanya bila di diagnosis penyebabnya ditetapkan se cara dini dan diobati secara memadai. 4.2 Saran 1. Dilakukan penelitian epidemiologi tentang penatalaksanaan secara empiris pada kasus keratitis bakteri, virus dan jamur di Indonesia khususnya di tiap-ti

ap daerah 2. Dilakukan penelitian terkait faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasila n terapi keratitis bakteri, virus serta jamur DAFTAR PUSTAKA 1. American Academy of Ophthalmology. Externa disease and cornea. San Frans isco 2007 2. Duane, D Thomas : Clinical Ophthalmology, Volume 4, Philadelphia, Harper & Row Publisher, 1987. 3. Grayson, Merrill : Diseases of The Cornea, Second Edition, London, The C . V. Mosby Company, 1983. 4. Ilyas, Sidarta. 2000.Sari Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit FKUI Jakart a :52. 5. Ilyas, Sidarta. 2005. Ilmu penyakit Mata. Edisi ketiga. FKUI. Jakarta. H al (118-120) (147-167) 6. Ilyas, Sidarta. 2006. Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3. Balai Penerbit FKUI J akarta. 7. Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media A esculapius FKUI. Hal: 56 8. Srinivasan M, et al. Distinguishing infectious versus non infectious ker atitis. INDIAN Journal of Opthalmology 2006 56:3;50-56 9. Vaughan, Daniel. Oftalmologi Umum. Edisi 14 Cetakan Pertama. Widya Medik a Jakarta, 2009

Anda mungkin juga menyukai