Kota Bandung
at e S g n u Ged
2
D
2.1 Kedudukan Kota Bandung dalam Kebijakan Nasional dan Propinsi alam konteks nasional, Kota Bandung mempunyai kedudukan dan peran yang strategis. Dalam Peraturan Pemerintah No.47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Kota Bandung ditetapkan sebagai salah satu Pusat Kegiatan Nasional (PKN) bersama sama dengan 14 kota lainnya (lihat Gambar 2.1). Selain itu dalam RTRWN tersebut, Kota Bandung dan sebagian wilayah Kabupaten Bandung ditetapkan sebagai Kawasan Andalan Cekungan Bandung dan Sekitarnya dengan sektor unggulan industri, petanian tanaman pangan, pariwisata, dan perkebunan (lihat Gambar 2.2). Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan penjabaran detail terhadap kebijakan yang secara hirarkis lebih tinggi yaitu kebijakan nasional dan kebijakan regional. Oleh sebab itu dalam penyusunan RTRW Kota Bandung ini harus mempertimbangkan kebijakan-kebijakan diatasnya yaitu kebijakan nasional dan kebijakan regional (Propinsi Jawa Barat).
Gedung Sate
10
2013
adalah sebagai pemacu dan pusat pertumbuhan wilayah belakangnya (hinterland). Kegiatan ekonomi utama di wilayah ini memiliki keterkaitan yang kuat dengan sistem perekonomian interregional dan nasional, yaitu kegiatan ekonomi industri, perdagangan dan jasa, permukiman dan pertanian lahan basah. Wilayah Utama yang dikembangkan adalah: a. Wilayah Utama Barat meliputi Kabupaten Serang (sekarang Propinsi Banten). b. Wilayah Utama Tengah meliputi Kabupaten dan Kota Tangerang, Bogor, Bandung, Kabupaten Bekasi, Karawang, Purwakarta, Sumedang, dan Subang. c. Wilayah Utama Timur meliputi Kabupaten dan Kota Cirebon, Kabutpaten Indramayu dan Majalengka. RTRWP Jawa Barat yang penyusunannya didasarkan pada kesepakatan antara Propinsi Jawa Barat dan Daerah Kabupaten/Kota di wilayah Jawa Barat telah ditetapkan dengan
Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat. Berdasarkan kesepakatan tersebut, maka penyusunan RTRW Kota Bandung perlu memperhatikan strategi dan kebijakan pemanfaatan ruang di tingkat Nasional dan Propinsi yang telah disepakati bersama. 2. Wilayah Penunjang adalah wilayah dengan fungsi pendukung dan penopang pertumbuhan ekonomi di wilayah pengemabngan utama. Wilayah ini terakumulasi di bagian selatan. Kegiatan basis di wilayah ini adalah pusat-pusat produksi pertanian lahan kering, peternakan, pertambangan, dan kegiatan pariwisata. Wilayah penunjang yang dikembangkan adalah: a. Wilayah Penunjang Barat meliputi Kabupaten Pandeglang dan Lebak (sekarang Propinsi Banten). b. Wilayah Penunjang Tengah meliputi Kabupaten dan Kota Sukabumi.
Gambar 2.2 Sebaran Kawasan Andalan di Propinsi Jawa Barat
2013
11
Berdasarkan aspek topografi, geologi, jenis tanah, hidrologi, dan klimatologi yang dimiliki, Kota Bandung pada umumnya memiliki tanah yang relatif subur karena terdiri dari lapisan tanah aluvial dan endapan sungai dan danau. Kesuburan tanah ini dapat berarti kekuatan jika kegiatan perkotaan akan lebih didominasi agro atau urban forestry, tetapi sebaliknya akan menjadi kelemahan (opportunity cost terhadap lingkungan alami) jika lahan itu justru didominasi oleh pemanfaatan untuk pengadaan blok-blok bangunan, yang sama sekali tidak memerlukan keberadaan unsur hara yang ada. Sesuai dengan strategi dasar pengembangan fisik Kota Bandung, hal-hal yang penting diperhatikan adalah: 1. Limitasi dan kendala fisiografis Bandung Utara yang terutama berfungsi sebagai wilayah resapan air dan pengaman keseimbangan tanah. 2. Limitasi dan kendala fisiografis Bandung Selatan terutama Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. 3. Limitasi dan kendala fisiografis Bandung Timur (Gedebage) yang memiliki jenis tanah yang lembek karena merupakan rawa-rawa. 4. Pengurangan dan pengendalian kemungkinan gangguan terhadap keseimbangan lingkungan hidup di dalam Kota Bandung sendiri sebagai akibat dari perkembangan fisik. Pada saat ini kondisi yang terjadi adalah padatnya lahan Kota Bandung yang digunakan sebagai lahan terbangun terutama di bagian pusat kota sehingga memaksa perlu adanya pengembangan fisik kota ke wilayah pinggiran. Perkembangan fisik kota ini diantaranya diperuntukan bagi perumahan dengan fasilitas penunjangnya. Dengan melihat kepadatan lahan terbangun di Kota Bandung, diketahui bahwa di bagian timur Kota Bandung masih dimungkinkan untuk pengembangan kota karena masih terdapat banyak lahan terbangun dan wilayah terbangun dengan kepadatan rendah. Bagian timur Kota Bandung ini merupakan WP Ujungberung dan WP Gedebage. Pengembangan ini dilakukan karena kedua WP tersebut memiliki luas lahan non terbangun yang lebih besar dibanding 4 WP lainnya. 2.3.2 Sosial Kependudukan Menurut data Sensus Penduduk Tahun 1990 jumlah penduduk Kota Bandung adalah 2.058.122 jiwa dengan laju pertumbuhan
penduduk (LPP) sebesar 3,48%. Kemudian pada Tahun 2000 sensus penduduk Kota Bandung menunjukkan jumlah penduduk yang mencapai 2.136.260 jiwa, dengan LPP sebesar 0,37% (tahun 1999-tahun 2000). Mempertimbangkan Kota Bandung sebagai Kota Jasa serta keterbatasan lahan yang ada, dan keterbatasan daya dukung lingkungan, terutama daya dukung lingkungan alami, maka untuk perhitungan Proyeksi Jumlah Penduduk Kota Bandung sampai dengan Tahun 2013, dirancang dengan Laju Pertumbuhan Penduduk rata-rata per tahun sebesar 2,5% (laju pertumbuhan penduduk alami dan migrasi serta komuter) sehingga jumlah penduduk Tahun 2008 diproyeksikan menjadi 2,6 juta jiwa dan pada Tahun 2013 menjadi 2,95 juta jiwa. Dilihat dari perkembangannya, pertumbuhan jumlah penduduk dalam jangka waktu 1980 hingga 2000 ini diiringi dengan kenaikan kepadatan penduduk, yaitu tahun 1980 adalah 16.035 jiwa/Km2, tahun 1990 adalah 10.808 jiwa/Km2, dan tahun 2000 adalah 12.802 jiwa/Km2. Angka kepadatan tersebut merupakan kepadatan bruto, yakni jumlah penduduk dibandingkan dengan luas lahan Kota Bandung keseluruhan. Adapun kepadatan netto (jumlah penduduk dibandingkan dengan luas lahan terbangun) pada tahun 2000 telah mencapai 188 jiwa/Km2. Hal tersebut sudah sangat jauh di atas standar kepadatan Kota Bandung yang berkisar antara 12.000-13.000 penduduk/ Km2. Penduduk Kota Bandung saat ini masih tersebar tidak merata, dimana kecamatan dengan kepadatan terendah adalah Kecamatan Rancasari dengan jumlah 4.671 jiwa/ Km2, sedangkan yang terpadat adalah Kecamatan Bojongloa Kaler dengan jumlah 34.346 jiwa/ Km2. Dilihat dari komposisinya, berdasarkan jumlah penduduk Kota Bandung menurut usia, dapat dilihat bahwa penduduk terbanyak berusia antara 20-24 tahun yaitu sebesar 229.882 jiwa. Kelompok ini merupakan kelompok usia produktif. Komposisi penduduk Kota Bandung masih hampir sama dengan tahun-tahun sebelumnya berupa struktur usia muda (sebagian besar berusia antara 14-39 tahun), yaitu berbentuk piramida. Dengan banyaknya jumlah penduduk muda ini akan berakibat antara lain pada peningkatan kebutuhan pangan dikarenakan tingginya kebutuhan akan gizi bagi pertumbuhan fisiknya, kebutuhan akan pendidikan, dan kebutuhan akan fasilitas-fasilitas lain yang mendukung kegiatan penduduk pada usia produktif ini.
12
2013
2013
13
14
2013
traffict). Untuk pergerakan orang/penduduk pada skala perangkutan regional, penduduk Kota Bandung umumnya memanfaatkan fasilitas bus angkutan antar kota yang berada di Leuwipanjang dan Cicaheum. Tujuan dan arah pergerakan orang melalui terminal-terminal bus tersebut terdiri dari beberapa trayek. Pola angkutan barang yang memasuki Kota Bandung, umumnya berupa truk, kendaraan bak terbuka, merupakan pergerakan dalam memenuhi kebutuhan pasar (perdagangan). Jalur pengiriman barang seperti ke Pasar Induk Gedebage, Caringin, Makro, dan lain-lain yang umumnya berasal dari Jakarta, Jawa atau kota-kota lainnya di Jawa Barat. Dalam sistem pergerakan di Kota Bandung, jalan rel juga memegang peranan penting dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi di Kota Bandung. Stasiun Kereta Api Bandung melayani pergerakan orang maupun barang ke arah barat maupun timur yaitu ke Kota Jakarta dan Kota-Kota besar lain di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Stasiun Bandung hanya melayani penumpang untuk kelas bisnis dan eksekutif, sedangkan untuk kelas ekonomi dilayani oleh Stasiun Kiara Condong. Sedangkan untuk jalur pendek disediakan KRD yang umumnya dimanfaatkan oleh para pelajar, pekerja maupun para pedagang untuk melakukan aktivitasnya di Kota Bandung, sehingga membentuk pergerakan commuter (ulang-alik). Selain itu, untuk pergerakan lalu lintas juga ditunjang oleh Pelabuhan Udara Husein Sastranegara, sebagai penerbangan domestik yang datang sebanyak 186.145 orang dan yang berangkat sebanyak 198.263 orang, sedangkan penerbangan internasional yang datang sebanyak 16.484 orang dan yang berangkat sebanyak 14.765 orang. Pola perjalanan yang ada di Kota Bandung menunjukkan bahwa pergerakan penduduk dari luar Kota Bandung (eksternal/regional) menuju wilayah internal (Kota Bandung) adalah cukup besar (perjalanan eksternal-internal). Hal ini disebabkan banyaknya penduduk di luar Kota Bandung yang bekerja di Kota Bandung. Sedangkan untuk pola perjalanan yang ada di Kota Bandung sendiri (internal) pada umumnya dibangkitkan dari kawasan perumahan menuju pusat kota sebagai pusat kegiatan Kota Bandung. Pola jaringan transportasi di Kawasan Kota Bandung menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
1. Pola jaringan cenderung membentuk pola kombinasi radialkonsentris sesuai dengan pola guna lahannya dengan beberapa poros utama kota, serta pada sebagian besar ruas jalan utama terdapat interaksi (simpangan) dengan jarak antara sangat dekat. 2. Pola jaringan pada kawasan perluasan (internal kota) membentuk pola radial untuk mengarahkan arus pergerakan tidak melalui pusat kota. 3. Pola jaringan pada kawasan pinggiran (luar kota) dilayani dengan jaringan jalan tol untuk memisahkan arus pergerakan regional tidak bercampur dengan pergerakan internal kota. Jaringan jalan di Kota Bandung terdiri dari jaringan jalan primer untuk lalu lintas regional dan antarkota serta jaringan jalan sekunder untuk lalu lintas perkotaan. Total jaringan jalan di Kota Bandung sampai tahun 2000 adalah 1.139,219 km yang terdiri jalan arteri primer 42,140 Km; jalan arteri sekunder 22,990 Km, jalan kolektor primer 30,712 Km; jalan kolektor sekunder 37,308 Km, jalan lokal sepanjang 1.005,069 Km. Moda angkutan yang melayani pergerakan penduduk Kota Bandung terdiri dari kendaraan pribadi dan angkutan umum (angkutan kota). Jumlah angkutan umurn non-bis dalam kota di Kota Bandung sebanyak 5.521 unit armada yang terbagi menjadi 38 trayek (rute angkutan). Jumlah trayek terpadat/terbanyak armada pendukungnya adalah rute angkutan Abdul Muis Cicaheum Via Binong dan rute angkutan Cicadas - Elang, dengan jumlah kendaraan masing-masing 369 dan 300 unit kendaraan. Secara umum tempat-tempat kegiatan seperti pertokoan di wilayah Kota Bandung belum menyediakan lahan parkir. Akibatnya untuk beberapa jalur jalan tertentu parkir kendaraan masih menggunakan badan jalan (on street) sebagai sarana perparkiran. Hal di atas merupakan salah satu penyebab (pemicu) terjadinya kemacetan lalu-lintas kota karena ruas jalan menjadi terganggu, seperti yang sering dijumpai di Jalan A. Yani, Jalan Kiaracondong, Jalan Oto Iskandardinata, Jalan Dewi Sartika, Jalan RE Martadinata dan lain-lain. Sedangkan sarana perparkiran lain adalah tempat parkir yang berada di luar badan jalan (off street). Tempat parkir ini biasanya disediakan oleh kawasan-kawasan dan tempat-tempat tertentu seperti kawasan perdagangan, perkantoran, pendidikan dan lain-lain.
15
16
2013
Pelayanan telekomunikasi di Kota Bandung sudah cukup merata hingga ke seluruh kota, khususnya telekomunikasi telepon, telegram dan fax. Selain itu pelayanan telekomunikasi ini pun didukung dengan telah meratanya fasilitas kios-kios telekomunikasi serta box-box telepon umum di seluruh penjuru kota dan keterhubungannya dengan jaringan telepon selular dan internasional. Distribusi pelayanan yang diberikan PT Telkom di Bandung dalam Sistem Sambungan Telepon (SST) pada tahun 2003 berkapasitas 498.044 SST, dimana 15.000 SST disediakan oleh badan lain yang bekerjasama dengan PT Telkom. Dari kapasitas yang tersedia, terdapat 407.959 SST yang telah berfungsi, dan dari jumlah tersebut 392.838 SST telah digunakan (tersambung). Dari jumlah yang tersambung tersebut 389.900 SST digunakan untuk pelayanan umum, yang meliputi 16.456 SST untuk telepon umum, dan 373.444 SST untuk pemesanan, yang terdiri dari bisnis, perumahan, dan sosial. G. Jaringan listrik Pelayanan kebutuhan listrik di Kota Bandung saat ini sebagian besar sudah dapat dilayani, dimana pola jaringan listrik yang ada sebagian besar mengikuti pola jaringan jalan dan berupa sistem jaringan udara. Untuk Kota Bandung seluruh wilayahnya sudah terlayani dengan aliran listrik. Walaupun demikian, permintaan untuk pembukaan sambungan baru dan peningkatan kapasitas, senantiasa meningkat sebagai akibat dari dibukanya kawasankawasan baru dan peningkatan kegiatan industri/perdagangan. Sumber listrik yang melayani Kota Bandung dan sekitarnya berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yaitu PLTA Saguling (S.Citarum), PLTA Cikalong, PLTA Lamajan, PLTA Pangalengan (S.Cisangkuy) dan PLTA Bengkok (S.Cikapundung). Sedangkan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) berasal dari Kamojang. Selain itu terdapat pula Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang berada di dalam kota, yaitu di Cigareleng, Kiaracondong, dan Cibabat. H. Jaringan Gas Untuk memenuhi kebutuhan akan gas khususnya untuk keperluan dapur masyarakat, Kota Bandung memiliki fasilitas jaringan gas kota untuk dapat melayani penduduk. Gas ini disalurkan melalui jaringan pipa tertutup ke penjuru kota yang hingga saat ini daerah pelayanannya masih sangat terbatas. Jaringan pipa yang ada
sekarang merupakan peninggalan dari zaman Belanda dan umurnya sudah sangat tua dan perlu dilakukan peremajaan. Pendistribusian gas kota ini dikelola oleh Perum Gas Negara (PGN), hingga sampai saat ini produksi gas dari tahun ke tahun relatif konstan bahkan ada kecenderungan menurun. Produksi PGN ini sangat sulit untuk berkembang mengingat pipa jaringan distribusinya sangat terbatas dan gas jenis ini juga penawarannya kalah bersaing dengan gas tabung yang relatif lebih murah dan praktis & tersedia dimana-mana. 2.4 Tinjauan Terhadap Evaluasi RUTRK Bandung Secara umum hasil evaluasi RUTRK Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung menunjukkan bahwa dalam RUTRK tersebut terdapat banyak permasalahan yang belum terliput dan banyaknya penyimpangan antara fakta dan rencana yang ditemui di lapangan. Tinjauan ini akan dilakukan pada beberapa aspek yaitu aspek struktur tata ruang, transportasi, prasarana kota dan lingkungan. 2.4.1 Struktur Tata Ruang Dalam masa perencanaan RUTRK yang lalu tersebut ditemukan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan struktur tata ruang yaitu: 1. Masih terpusatnya berbagai kegiatan di dalam Kota Bandung akibat penetapan lima fungsi kota (Bandung sebagai pusat Pemerintahan, Perdagangan, Pendidikan, Pariwisata/Budaya dan Pusat Industri). Meskipun fungsi Pendidikan sudah diupayakan untuk dialihkan keluar Kota Bandung (ke kawasan pendidikan Jatinangor, Kabupaten Bandung), namun permasalahan yang berkaitan dengan fungsi ini masih tetap tidak teratasi. Hal ini terutama diindikasikan dengan menjamurnya secara sporadis kegiatan-kegiatan pendidikan swasta di dalam Kota Bandung. 2. Pengembangan kawasan-kawasan pusat sekunder (Arcamanik, Sadangserang, Setrasari, Turangga dan Kopo Kencana) yang tidak berhasil dan dalam pelaksanaannya menghadapi kendala untuk dikembangkan ke kawasan Timur Bandung. Lebih lanjut ketidakberhasilan pengembangan pusat-pusat sekunder dijelaskan berikut ini: a. Pengembangan Setrasari Mall sebagai pusat sekunder WP Bojonagara tidak tercapai. Penyebab lumpuhnya pusat sekunder ini antara lain kurangnya akses jalan menuju
17
berkembangnya kegiatan di sekitar Jl. Gatot Subroto, dengan dibangunnya Bandung Supermal. d. Pengembangan Pusat Sekunder Kopo Kencana di WP Tegallega belum optimal. Hal ini disebabkan antara lain karena pusat ini terletak di jalan yang berfungsi sebagai jalan arteri sekunder, sehingga lebih sulit diakses dibandingkan pusat lokal lama yang masih bertahan, yaitu sekitar Astanaanyar. Adapun yang terjadi di pusat lokal lama ini adalah sudah terkonsentrasinya kegiatan yang sering menimbulkan masalah kemacetan lalu lintas. e. Pengembangan Pusat Sekunder Arcamanik di WP Ujungberung belum tercapai. Hal ini disebabkan antara lain oleh kurangnya akses jalan ke pusat tersebut, kurangnya fasilitas umum dan fasilitas sosial. Yang terjadi justru pergeseran pusat kegiatan ke sekitar Antapani. f. Penetapan WP Gedebage sebagai kawasan jasa dan industri berskala regional belum dapat direalisasikan. Begitu pula dengan pembangunan sub pusat perdagangan primer Gedebage di JL. Cipamokolan belum terlaksana, sehingga pengalihan sebagian fungsi pusat kota ke arah timur, khususnya untuk kawasan industri non polutan, jasa perkantoran, dan perdagangan belum tercapai. g. Khusus pengembangan perkotaan ke arah Bandung Timur bagian tenggara (sekitar Gedebage) menghadapi kendala karena adanya lokasi genangan banjir dan banyak rawa. Kondisi sebagian wilayah Gedebage dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Kondisi Gedebage Gedebage mempunyai kendala dalam pengembangan karena adanya lokasi genangan banjir dan rawa.
2.4.2 Aspek Transportasi Masalah ketidaksesuaian dengan arahan RUTRK dari aspek transportasi diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Pengembangan Simpul Terminal Kereta Api di Stasiun Kiara Condong, Cikuda Pateuh dan Stasiun Andir masih belum dapat berfungsi sebagai pengumpan untuk jaringan jalan raya. 2. Hirarki jaringan jalan (arteri, kolektor dan lokal) dalam kenyataan tidak mengikuti hirarki jaringan jalan sebagai mana yang tercantum dalam RUTR terutama jalan arteri primer Sukarno Hatta yang sudah berubah fungsi menjadi jalan kolektor sekunder. 3. Adanya kesenjangan pertumbuhan kendaraan yang mencapai lebih kurang 11% per tahun dengan pertumbuhan pertambahan jaringan jalan yang hanya lebih kurang 2% per tahun turut mempercepat kinerja lalu lintas Kota Bandung yang makin lama makin macet dan terakumulasi sepanjang tahun. 2.4.3 Aspek Prasarana Kota Permasalahan prasarana kota yang terjadi di lapangan adalah sebagai berikut: 1. Terjadinya kesenjangan antara Supply (penyediaan) prasarana oleh Pemerintah Daerah yang masih sangat kurang dibanding dengan Demand (permintaan) masyarakat akan prasarana kota yang memadai dirasakan masih cukup besar. 2. Level of Services penyediaan prasarana kota antara yang direncanakan dalam RUTR Kota Bandung yang melayani ratarata 80% penduduk kota dalam kenyataan mengalami penurunan hingga 70% yang antara lain diakibatkan oleh
18
2013
Sepatu Cibaduyut, Pasar Besi Ciroyom-Jatayu, Toko Kue dan Roti, dsb. Sedangkan sebagai objek wisata berskala nasional antara lain: Museum Geologi, Pusat Perdagangan Cihampelas, Cibaduyut, dsb. 2.5.3 Aspek Sosial Jumlah penduduk yang besar (2.141.837 jiwa Tahun 2000) dengan mayoritas penduduk berusia produktif terutama pelajar dan mahasiswa yaitu sebesar 25,65%, apabila diarahkan merupakan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) karena diharapkan dapat meningkatkan produktivitas sumber daya manusia bagi pembangunan Kota Bandung. 2.6 Permasalahan Pengembangan Kota Bandung 2.6.1 Permasalahan Pola Pemanfaatan Ruang A. Kawasan lindung Berdasarkan RUTR (1992) arahan rencana penggunaan lahan untuk konservasi di Kota Bandung hanya mencakup sekitar 1.114,28 Ha dan yang sudah sesuai penggunaan lahannya hanya sekitar 41,57% dari arahan tersebut. Sisa lahan yang direncanakan sebagai lahan konservasi umumnya digunakan untuk lahan non urban dan permukiman. Persoalan lain kawasan lindung di Kota Bandung adalah Masalah Bandung Utara. Kawasan Bandung Utara yang ada di Kota Bandung dan memiliki kelerengan > 40% meliputi: 1. Kecamatan Sukasari, meliputi: Desa/Kelurahan Isola, Gegerkalong, Sarijadi dan Sukarasa; 2. Kecamatan Cidadap, meliputi: Desa/Kelurahan Ledeng, Ciumbuleuit, dan Hegarmanah; 3. Kecamatan Coblong, meliputi: Desa/Kelurahan Dago, Lebak Siliwangi, Lebakgede, Sekeloa, Lebak Gede, Cipaganti, dan Sadang Serang; 4. Kecamatan Cibeunying Kaler, meliputi: Desa/Kelurahan Cigadung dan Neglasari; 5. Kecamatan Cibiru, meliputi: Desa/Kelurahan Cisurupan, Palasari, Cipadung dan Pasarbiru.
perusahaan dan industri strategis serta seperti P.T. Inti, PT. Telkom, PT. Dirgantara Indonesia, PT.KAI, PT.POS Indonesia, dan lain-lain. Potensi lainnya adalah Kota Bandung merupakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki kekayaan akan bangunan-bangunan tua dan bersejarah dengan berbagai langgam arsitekturnya. Sejalan dengan intensifikasi pembangunan fisik, sebagian bangunanbangunan yang bisa menceritakan tentang sejarah kota, kebudayaan dan seni arsitektur tersebut mulai banyak diruntuhkan. Namun demikian, keberadaan bangunan-bangunan tua ini diantaranya masih tetap terjaga dan menjadi identitas kota Bandung seperti bangungan Gedung Sate, kampus ITB, kampus UPI, bangunan-bangunan di Jl Braga. Bangunan tua dan/atau bersejarah dapat dilihat pada Gambar 2.9, Gambar 2.10, Gambar 2.11, Gambar 2.12, Gambar 2.13, Gambar 2.14, Gambar 2.15 dan Gambar 2.16. 2.5.2 Aspek Ekonomi Tingkat perkembangan ekonomi Kota Bandung cenderung cepat dan fluktuatif. Pada tahun 2001 laju PDRB menurut harga konstan sebesar 7,34 %, meningkat sebesar 1,93 % dari tahun sebelumnya. Sektor yang berkontribusi besar terhadap PDRB Kota Bandung adalah: sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 33,65 %; dan sektor industri sebesar 31,16 %. Karakteristik ekonomi perkotaan ditandai dengan adanya image kota Bandung sebagai kota tujuan wisata belanja dan obyek wisata berskala nasional. Sebagai kota tujuan wisata belanja antara lain berupa Factory Outlet, Pusat Perdagangan Jeans Cihampelas,
2013
19
Gambar 2.10 Bangunan Bersejarah/Tua di Kawasan Inti Pusat Kota dan Jl. Asia Afrika
20
2013
Gambar 2.15 Bangunan Bersejarah/Tua di Jl. Diponegoro dan sekitar Gedung Sate
Gambar 2.14 Bangunan Bersejarah/Tua di i Jl. Ganesha dan Jl. Taman Sari
2013
21
dibandingkan dengan kondisi ideal dari suatu kota adalah memiliki sediaan RTH seluas 20% dari luas keseluruhan kota. Dengan kondisi kekurangan tersebut, keberadaan RTH ini pun masih diganggu dengan adanya konflik-konflik kepentingan dalam pemanfaatan yang kurang menjamin terjaga fungsinya. Keberadaan ruang terbuka hijau ini berkaitan dengan munculnya masalah berkurangnya daerah resapan air (koefisien runoff 0.8). B. Kawasan Budidaya Salah satu persoalan yang dominan pada kawasan budidaya adalah alih fungsi lahan perkotaan yang tidak terkendali dan terjadi mixuse dalam pemanfaatan ruang kota. Hal ini terutama terjadi pada jalurjalur utama kota yang semula memiliki fungsi sebagai perumahan golongan menengah ke atas dengan kapling besar menjadi kegiatan komersial yang tidak berskala pelayanan lingkungan atau lokal tetapi berskala pelayanan kota atau regional. Contoh yang terjadi adalah di sepanjang Jl. Otten, Jl. Cipaganti, Jl. Ir. H. Djuanda dan Jl. L.L.RE. Martadinata, seperti pada Gambar 2.18. Alih fungsi perumahan menjadi kegiatan komersial ini memberikan dampak berupa gangguan lalulintas (kemacetan) akibat terjadinya tarikan jumlah pengunjung yang meningkat dan tidak memadainya lahan parkir. Selain itu dampak negatif pun dapat dilihat dengan adanya perubahan-perubahan fisik bangunan yang mencolok akibat tuntutan intensitas aktivitas yang lebih tinggi sehingga terbentuk kondisi bangunan yang kurang selaras dan terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan teknis bangunan. Persoalan lainnya adalah konsentrasi kegiatan di inti pusat kota (sekitar alun-alun kota) yang sangat tinggi/kurang merata (Gambar 2.19). Koefisien dasar bangunan (KDB) sudah sangat tinggi pada kelurahan-kelurahan di Kota Bandung lama, rata-rata mencapai 80% hingga 90%, seperti pada Kecamatan Cicendo, Coblong, Lengkong, Babakan Ciparay, Bojongloa Kaler, Batununggal, dan Cicadas. Pada lokasi ini terkonsentrasi kawasan kumuh, terutama di kawasan yang memiliki nilai lokasi strategis. Berkaitan dengan guna lahan perumahan, di Kota Bandung terdapat 62 titik kawasan kumuh yang tersebar di beberapa kecamatan. Hasil pengamatan dari 12 titik kawasan kumuh, secara umum terbentuknya kawasan kumuh disebabkan oleh:
Gambar 2.18 Perubahan Fungsi Lahan Alih fungsi perumahan menjadi kegiatan komersial seperti di Jl. L.L.R.E. Martadinata memberikan dampak gangguan lalu lintas dan kemacetan akibat parkir di jalan (on street parking)
1. Rendahnya kualitas dan kuantitas prasarana/sarana permukiman yang tidak menunjang terbentuknya struktur permukiman dasn sistem pengelolaan lingkungan. 2. Adanya kegiatan ekonomi dengan industri skala kecil maupun besar yang memiliki dampak terhadap lingkungan, membutuhkan pelayanan tambahan dari penyediaan prasarana dan sarana baik secara fisik maupun teknologinya 3. Terkonsentrasinya pemukiman pada beberapa lokasi yang menjadi sentra kegiatan industri kecil sehingga mengorbankan aspek kebutuhan ruang yang layak 4. Rendahnya tingkat kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan lingkungannya.
22
2013
dan pembuangan sampah yang memadai. 4. Tidak memiliki keteraturan struktur permukiman. 5. Pemukiman di bantaran sungai. 6. Areal yang terpengaruh secara fisik oleh adanya pengelolaan limbah oleh pabrik disekitarnya.
Gambaran permukiman kumuh dapat dilihat pada Gambar 2.20 dan lokasi titik kawasan kumuh dapat dilihat pada Gambar 2.21) Masalah lain dari guna lahan perumahan adalah yang berkaitan dengan penyediaan tempat tinggal. Pemenuhan kebutuhannya belum sepenuhnya dilaksanakan oleh developer baik pemerintah maupun swasta, sehingga terbentuk enclave dan tidak terorganisir. Selanjutnya, persoalan kawasan budidaya dapat dilihat dari penyimpangan penggunaan lahan yang terjadi. Hal ini didasarkan pada ijin lokasi dan data rencana penggunaan lahan RUTR (1992): 1. Penggunaan lahan perumahan yang telah terlaksana mencapai sekitar 66% dari rencana. Sedangkan ketidaksesuaian yang terjadi umumnya berupa non urban dan jasa. 2. Arahan luas yang direncanakan RUTR (1992) untuk jasa/perdagangan yang sudah terbangun adalah sebesar 54,7%. Sisanya masih digunakan untuk kegiatan lain. Kegiatan yang cukup dominan menempati area yang dialokasikan untuk kawasan jasa/perdagangan adalah pemukiman dan non urban. 3. Arahan penggunaan lahan industri Kota Bandung dikonsentrasikan di daerah Bandung Timur. Sampai tahun 1999 yang terlaksana baru 43%, sehingga masih banyak yang
Gambar 2.20 Permukiman Kumuh Karakteristik permukiman kumuh antara lain kepadatan bangunan tinggi, prasarana dan sarana buruk, serta kondisi lingkungan yang tidak didukung oleh sistem drainase dan pembuangan sampah yang memadai
2013
23
berlokasi di Bandung Barat. Ketidaktercapaian rencana itu antara lain karena kurangnya dukungan prasarana yang dibutuhkan. 2.6.2 Permasalahan Transportasi Kondisi transportasi di Kota Bandung sudah dalam kondisi sakit. Munculnya kegiatan-kegiatan komersial seperti mall-mall dan factory outlet memperburuk kondisi transportasi di Kota Bandung. Apabila tidak segera ditangani, keberadaan kegiatan komersial akan mengakibatkan terkuncinya jalur-jalur transportasi Kota Bandung. Tingkat pelayanan (level of service) jalan di Kota Bandung sudah sangat rendah, sehingga sering menimbulkan kemacetan yang
Gambar 2.23 Persoalan Jalur Pejalan (Trotoar) Kenyamanan para pejalan terganggu antara lain disebabkan karena: ! Ruang parkir yang tidak sesuai standar dimensi kendaraan, sehingga memanfaatkan sebagian trotoar sebagai ruang parkir. ! Trotoar dimanfaatkan sebagai ruang parkir. ! Pekerjaan infrastruktur (drainase) yang tidak segera dibersihkan kembali. Selain kenyamanan pejalan terganggu, juga dapat mengurangi kapasitas jalan serta berdampak buruk pada visualisasi kawasan. ! Kondisi fisik trotoar yang rusak dan tidak menerus.
24
2013
3. Tingginya tingkat kebocoran, yaitu sebesar 47% pada tahun 2000. 4. Penggunaan air tanah yang cukup tinggi, baik oleh PDAM maupun industri, yaitu mencapai 71% dari besarnya aliran alami air tanah. B. Air Kotor 1. Masih banyaknya penggunaan sistem setempat dalam pengolahan limbah, seperti penggunaan cubluk dan pembuangan air cuci dan mandi tanpa saluran, terutama pada lingkungan perumahan yang padat. 2. Terbatasnya kapasitas Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) untuk mengolah air limbah domestik yang dihasilkan. 3. Tidak tersedianya IPAL di beberapa sektor yang membutuhkan pengolahan air limbah khusus, seperti industri. 4. Bercampurnya air hujan dan drainase pada satu saluran menyebabkan besarnya volume air limbah yang harus diolah. 5. Masih banyaknya saluran yang merupakan saluran terbuka di daerah perkotaan. C. Drainase 1. Kurangnya prasarana drainase mikro dan tidak berfungsinya drainase yang ada. Tidak berfungsinya drainase ini disebabkan karena terjadinya penyempitan saluran drainase akibat perkembangan kota. 2. Pendangkalan dan penyempitan drainase makro. 3. Saluran drainase di bagian tenggara, wilayah Gedebage lebih rendah dari permukaan sungai. 4. Tidak terintegrasinya di satu wilayah dengan wilayah lainnya. 5. Berubahnya fungsi saluran irigasi menjadi drainase, khususnya di Bandung Timur. Permasalahan-permasalahan di atas menyebabkan banyaknya daerah genangan banjir di Kota Bandung. Banyaknya titik genangan banjir terutama di pusat kota yaitu di Kelurahan Suka Bungah, Pasteur, Tamansari, Babakan Ciamis, Cihapit, Cicadas, Sukamaju, Kacapiring, Samoja, Braga, Paledang, Cikawao, Balong Gede, Lingkar Selatan, Turangga, Cijagra, dan Batu Cikal. Pada saat musim hujan tiba, di Kota Bandung sering dilanda banjir, yang biasanya merupakan banjir Cileuncang. Banjir dan angin
Gambar 2.26 Permasalahan Air Bersih Fasilitas air bersih belum dapat memenuhi kebutuhan seluruh penduduk Kota Bandung
Gambar 2.27 Permasalahan Drainase Beberapa persoalan drainase: ! Saluran drainase yang mampet karena adanya sampah (atas) ! Terjadinya sedimentasi (tengah) ! Bangunan yang berada di atas saluran (bawah)
2.6.3 Permasalahan Sarana dan Prasarana Kota A. Air Bersih 1. Kurangnya ketersediaan air baku untuk memenuhi kebutuhan penduduk, baik secara kuantitas maupun kualitas. 2. Kurangnya prasarana air bersih, pada saat ini tingkat pelayanan air bersih baru mencapai 53%. Penduduk yang sudah terjangkau jaringan air bersih ini, sebagian besar tidak mendapatkan pelayanan yang optimal.
2013
Gambar 2.28 Banjir di Bandung Timur Sistem drainase belum terencana dengan baik sehingga tidak mampu menampung air hujan dan akhirnya menimbulkan daerah genangan banjir.
25
F. Energi dan Telekomunikasi Banyaknya kabel saluran udara, terutama di daerah padat penduduk, menyebabkan rendahnya kualitas visual. G. Fasilitas Sosial dan Umum 1. Pendidikan a. Tidak meratanya distribusi fasilitas pendidikan. b. Tidak meratanya tingkat pelayanan fasilitas pendidikan, menyebabkan tumbuhnya sekolah-sekolah favorit, yang pada akhirnya menyebabkan tidak meratanya distribusi pergerakan bersekolah. c. Berkembangnya fasilitas pendidikan swasta di lokasi-lokasi yang tidak sesuai. d. Tidak tersedianya fasilitas parkir yang memadai sehingga kendaraan parkir secara on street (on street parking). 2. Kesehatan a. Tidak meratanya distribusi fasilitas kesehatan, terutama apotek, rumah sakit swasta, dan praktek dokter. b. Fasilitas kesehatan terutama Rumah Sakit tidak dilengkapii dengan ruang parkir yang memadai. 3. Perdagangan a. Berkembangnya fasilitas perdagangan, seperti factory outlet, cafe, dan mall, pada lokasi-lokasi yang tidak sesuai, ditinjau dari peruntukan lahan dan daya dukung prasarana. b. Berkembangnya fasilitas perdagangan pada jarak yang terlalu dekat satu sama lain pada satu sisi, sedangkan pada sisi lain terdapat juga daerah-daerah yang tidak terlayani oleh fasilitas perdagangan.
Gambar 2.31 Parkir On Street Parkir on street terjadi karena fasilitas sosial dan umum tidak dilengkapi dengan ruang parkir yang memadai sehingga dapat menimbulkan kemacetan lalu lintas. Dari atas ke bawah: Sekolah di Jl. Ir. H. Djuanda, Studio Foto di Jl. Banda, dan tempat kursus
E. Pemadam Kebakaran 1. Terbatasnya debit air menyebabkan sulitnya kerja petugas pemadam kebakaran pada saat terjadinya kebakaran. 2. Banyaknya kampung-kampung kumuh dengan kepadatan tinggi juga menyulitkan sulitnya pemadaman api pada saat terjadi kebakaran. 3. Distribusi pos-pos pemadam kebakaran yang kurang merata.
4. Peribadatan Berkembangnya fasilitas peribadatan dengan pesat tanpa hirarki yang jelas, sehingga banyak fasilitas peribadatan yang pemanfaatannya tidak optimal. 5. Sarana Umum Terbatasnya taman-taman umum dan taman bermain, terutama pada lingkungan perumahan. Khusus untuk wilayah Bandung Timur yang belum berkembang, dapat dikatakan bahwa ketersediaan sarana dan prasarana masih sangat terbatas.
26
2013
Gambar 2.32 Persoalan Pedagang Kaki Lima PKL yang menempati trotoar dan badan jalan menyebabkan terganggunya pejalan dan pengendara sehingga dapat menimbulkan kemacetan lalu lintas. Selain itu, PKL yang tidak tertata dapat memberikan visualisasi yang semrawut pada kota. Dari atas ke bawah: PKL di Jl. Merdeka, PKL di Jl. Purnawarman, dan PKL di Jl. Dalem Kaum
2013
27
Permukaan Horizontal Dalam dengan tepi Dalam Permukaan Horizontal Luar. ! Permukaan Horizontal Luar, yaitu bidang datar di sekitar bandara dengan radius mulai dari 6 Km sampai 15 Km dari ujung landasan, dengan ketinggian + 156 m di atas ketinggian ambang landasan atau ketinggian + 887,783 m dpl. Berdasarkan kepentingan KKOP Bandara Husein Sastranegara tersebut, maka pengaturan ketinggian bangunan di wilayah Kota Bandung harus dihitung secara cermat sesuai dengan lokasi dan ketinggian di atas permukaan laut.
Gambar 2.34 Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan di Sekitar Bandar Udara Husein Sastranegara Bandung
28
2013
Gambar 2.35 3 Dimensi Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan di Sekitar Bandar Udaraa Husein Sastranegara Bandung
Sumber: Dep. Perhubungan Direktorat Perhubungan Udara, berdasarkan Kepmen perhubungan No. KM 49 Tahun 2000
2013
29