Anda di halaman 1dari 5

Graphene, Benda 2 Dimensi Pertama di Dunia

Ilustrasi Graphene (sumber: Bio News) Kurang dari satu dekade silam, fisikawan berdarah campuran Belanda-Inggris Andre Geim meneliti zat yang kemudian merevolusi pemahaman kita tentang benda dan membuatnya memenangi hadiah Nobel Fisika bersama rekan kerjanya Kostya Novoselow pada 2010. Benda itu namanya graphene zat yang tebalnya, atau tipisnya, hanya seukuran satu atom. Profesor fisika di Manchester University itu telah menemukan benda dua dimensi yang pertama di jagad raya ini. Ini benda paling tipis yang bisa anda dapatkan, hanya setebal satu atom, kata Geim dalam wawancara dengan CNN. Sejumput kecil benda ini bisa menutupi wilayah yang besar, jadi satu gram saja cukup untuk menutup penuh area seluas satu lapangan bola. Graphene juga merupakan benda paling kuat, karena tidak bisa pecah, dibelah atau diiris lagi saking kecilnya. Tentu kita tahu atom masih bisa dibelah menjadi elemen-elemen partikel, namun anda tidak bisa mendapatkan benda yang lebih tipis dari satu atom, karena kalau demikian dia tidak bisa disebut benda lagi, jelasnya. Graphene ini lebih kuat dari intan, penyalur panas yang luar biasa, konduktor listrik yang 1.000 kali lebih bagus dari tembaga, dan banyak kelebihan lainnya. Hal paling menonjol dari Graphene adalah wujudnya sebagai benda dua dimensi.

Benar, kita hidup dalam dunia tiga dimensi. Menurut naluri fisikaku, yang terbentuk selama 30 tahun, benda seperti ini seharusnya tak ada. Dan jika anda bertanya 99,9% ilmuwan di seluruh dunia akan mengatakan ide tentang benda dua dimensi itu sampah saja dan graphene tidak ada. Di sebagian besar kasus, hal itu benar, namun dalam kasus graphite atau graphene, dan selusin benda seperti ini, naluri kita salah sama sekali. Anda bisa mencapai batas lapisan setebal hanya satu atom, kata Geim. Penulis: Heru Andriyanto/HA

Material tertipis: Graphine


October 19, 2010 by w!n

Nobel Fisika 2010 sudah diumumkan dan yang mendapatkan kehormatan untuk mendapatkan hadiah tersebut adalah Prof. Andre Geim dan Prof. Konstantin Novoselov, keduanya dari University of Manchester, atas penemuan graphene. Dan harus dicatat juga bahwa Konstantin Novoselov sebelumnya pun bekerja pada group Prof. Geim semenjak menjadi mahasiswa PhD, disaat awal riset graphene dimulai. Mereka mendapat penghargaan bergengsi Nobel Fisika atas terobosannya mengisolasi graphene, material paling kuat tetapi paling tipis di dunia, dengan cara mudah dan sederhana. Penemuan tersebut memungkinkan produksi graphene dengan murah untuk berbagai industri teknologi di masa depan. penelitian graphene tersebut membuka potensi pengembangan satelit, pesawat, dan mobil masa depan dengan material yang sangat kuat tetapi ringan. Selain itu, wujud material yang transparan juga berpotensi untuk digunakan sebagai layar sentuh, sel surya, dan komponen komputer yang lebih efisien. Graphene merupakan sejenis serat karbon yang hanya disusun dari satu lapis atom karbon. Susunan lattice atom-atom karbon pada Graphene berbentuk 2D hexagonal (berikatan kovalen dengan hibridisasi sp2). Merupakan material tertipis dan juga sangat kuat (karena ikatan kovalennya).Bahkan kekuatannya bisa mencapai 100 kali kekuatan baja.

Selain itu, keunikan graphene adalah pada sifat elektroniknya dimana terdapat Dirac point pada dispersi energi elektronnya. Pada Dirac point tersebut, massa efektif elektronnya adalah nol, disebut sebagai massless fermion. Sebagai konsekuensi teoretisnya, elektron dapat bergerak pada graphene dengan mobilitas yang sangat tinggi, tertinggi dibandingkan material lainnya. Material ini pun transparan secara optis di cahaya tampak. Keunikan lainnya dari riset graphene itu sendiri adalah cepatnya perkembangan field itu sendiri. Geim dan Novoselov baru berhasil mengisolasi single layer graphene di sekitar tahun 2004. Tetapi sekarang, riset graphene sudah sampai pada tahapan device dan sudah ada perusahaan yang mulai akan menggunakannya di produk komersialnya, sebagai elemen dari touch screen. Sebuah pemicu aktivitas riset yang sangat cepat jika dilihat time-scale nya (kurang dari 6 tahun). Untuk impact di bidang fisika lainnya, graphene menjadi test bed teori-teori Fisika partikel yang awalnya diperkirakan hanya bisa dites di instrumen-instrumen mahal dan besar, atau bahkan hanya bisa berakhir di laci. Untuk di bidang condensed matter physics sendiri, graphene menjadi ladang untuk eksplorasi new physics dan juga kandidat material yang sangat menjanjikan untuk berbagai macam aplikasi elektronik (pengganti silikon), bahkan untuk pengembangan energi terbarukan (solar cell danhydrogen energy). Akan tetapi, yang terunik dari penemuan single layer graphene itu sendiri adalah bagaimana breakthrough itu dicapai, dengan metode apa, dan bagaimana sosok orang di belakangnya. Sekilas melihat profile graphene di atas, nampak penemuan material itu sangat kompleks. Padahal, alat yang mereka pakai hanyalah alat sehari-hari di sekitar kita, yaitu cellotape (selotip). Dan bahan baku yang dipakai adalah graphite (seperti isi pensil yang biasa kita pakai). Cara membuatnya hanyalah dengan mengupas (cleavage) graphite dengan menggunakan cellotape, dan didapatkan graphene. Bergantung dari merk cellotape apa (semuanya komersial dan murah), bisa didapatkan baik single layer graphene maupun several layer graphene film. Hanya itu breakthrough-nya. Setelah itu, terserah peneliti berikutnya, bisa untuk membuat device, mau diteliti sebagaimanapun. Dan metode cellotape ini, sederhana tapi baru dan inovatif, diturunkan oleh ilmuwan lain untuk melakukan hal yang sama pada material dua dimensi lainnya, yang melahirkan cabang baru dari riset ini. Jadi, sebuah inovasi sederhana, by accident, tetapi bisa merubah dunia. Sosok Andre Geim sendiri dikenal kreatif, karena dia sebelumnya pernah mendapatkan Ig Nobel untuk penelitian paling ridiculous, yaitu menerbangkan kodok dengan menggunakan superconductor. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Sejauh ini, belum terlihat ada yang mengikuti trend penelitian graphene, sekecil apapun itu (CMIIW). Padahal proses pembuatannya sangatsangatlah sederhana. Dan bahan bakunya pun ada di sekitar kita. Bahkan dari limbah pengolahan besi sekalipun. Kalau tidak ada yang mencoba masuk, Indonesia akan kembali tertinggal salahsatu gerbong sains dan teknologi. Bisa jadi di masa depan, kita hanya mengekspor limbah tersebut dengan harga murah, dan harus membayar mahal semua produk graphene-based technology.

Nobel Fisika tahun ini memang spesial, walaupun di bidang condensed matter physics, orang sudah memperkirakan sejak tiga tahun lalu. Simplicity for solving complexity. Sebuah hikmah dan pelajaran yang seharusnya bisa diambil oleh bangsa Indonesia, terutama peneliti-peneliti Indonesia (termasuk saya yang masih anak bawang). Ref: Satria Zulkarnaen Bisri dengan sedikit editing dan tambahan dari berita kompas.com

Graphen, Material Terkuat di Dunia

Rate This

Graphene terdiri dari lapisan atom tunggal karbon yang disusun dalam kisi sarang lebah. James Hone yang merupakan professor teknik mesin sekaligus pemimpin penelitian

bersama Jeffrey Kysar mengatakan bahwa ia telah mempelajari kekuatan graphene hingga mencapai kesempurnaan tertentu. Graphene murni itu sendiri ternyata hanya berada di daerah-daerah yang sangat kecil, lembaran area yang besar juga dibutuhkan untuk aplikasi yang berisi banyak butiran kecil dan terhubung dan masih tidak jelas seberapa kuat batas butir mereka tersebut. Laporan kekuatan film graphene tumbuh di wilayah yang sangat besar dengan menggunakan deposisi uap kimia atau biasa disebut CVD. Penemuan tersebut membuat mereka bergembira dan mengatakan bahwa graphen telah kembali dan lebih kuat dibandingkan sebelumnya. Studi tersebut membuktikan bahwa metode yang umum digunakan untuk pengolahan pasca-graphene CVD tumbuh melemahkan batas butir sehingga kekuatan yang sangat rendah terlihat pada studi sebelumnya. Tim teknik yang berasal dari The Columbia mengembangkan suatu proses baru yang bertujuan untuk mencegah kerusakan graphene selama transfer. Gwan-Hyoung Lee seorang postdoctoral fellow di lab Hone mengatakan bahwa ia mampu menciptakan sampel uji tanpa merugikan graphene sendiri. Beliau juga mengatakan bahwa temuannya jelas dapat memperbaiki consensus yang salah bahwa batas butir graphen lemah. Itu akan menjadi berita bagus karena graphen menawarkan banyak kesempatan untuk penelitian ilmiah dasar dan aplikasi industri. Dalam bentuk kristal yang sempurna, graphene adalah bahan terkuat yang pernah diukur oleh para insinyur Columbia yang dilaporkan dalam Science tahun 2008 lalu. Dalam studi pertama, tim mendapatkan serpihan structural sempurna graphene dengan pengelupasan kulit mekanis dari kristal grafit. Namun, pengelupasan kulit tersebut memang adalah proses yang membutuhkan waktu yang cukup lama dan tikdak akan pernah praktis sebagai salah satu aplikasi yang dibutuhkan dalam produksi massal di berbagai industri. Saat ini para ilmuwan dapat membuat lembar graphen tersebut sebagai layar televise dengan menggunakan deposisi uap kimia CVD, dimana lapisan graphene yang tumbuh pada substrat tembaga dalam tungku suhu tinggi. Salah satu aplikasi pertama graphene mungkin sebagai lapisan dalam menciptakan sesuatu yang fleksibel. Penelitian ini didukung oleh hibah dari Angkatan Udara Kantor Riset Ilmiah dan National Science Foundation. Tim teknik Columbia tersebut ingin menemukan apa yang membuat CVD graphene begitu lemah. Dalam mempelajari teknik pengolahan yang digunakan untuk membuat sampel untuk pengujian, mereka menemukan bahwa bahan kimia yang paling umum digunakan untuk menghapus substrat tembaga yang dapat menyebabkan graphene dan merendahkan kekuatannya. Sumber : sciencedaily.com

Anda mungkin juga menyukai