Anda di halaman 1dari 7

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang

di dakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding per soalan syari at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama p eriode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.[[1]] Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Ka lam. Kalam secara harfiah berarti kata-kata . Kaum teolog Islam berdebat dengan kat a-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut se bagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga dia rtikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran d asar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang menda sar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang po litik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, me ningkat menjadi persoalan teologi.[[2]] Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka dala m bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek f ilosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para malaik at, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untu k memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedu dukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian memunculkan berbaga i macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij, Jabariyah dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya. Makalah ini akan mencoba menjelaskan aliran Jabariyah dan Qadariyah. Dalam makal ah ini penulis hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran Jabariya h dan Qadariyah. Mencakup di dalamnya adalah latar belakang lahirnya sebuah alir an dan ajaran-ajarannya secara umum. TOPIK PEMBAHASAN a. Aliran Jabariyah b. Ajaran-ajaran Jabariyah c. Aliran Qadariyah d. Aliran Jabariyah e. Ajaran-ajaran Qadariyah f. Refleksi Faham Qadariyah dan Jabariyah : Sebuah Perbandingan tentang M usibah BAB II PEMBAHASAN a. ALIRAN JABARIYAH (FATALISM/PREDESTINATION) Latar Belakang Lahirnya Jabariyah Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian mema ksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jab ara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah sa tu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyan darkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur). [[3]] Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perb uatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehenda k manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia t

idak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yan g mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.[[4]] Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelas an yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat d an masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar d an kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.[[5]] Adapa un tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jah m bin Safwan,[[6]] yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah. Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di t engah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa poh on kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.[[7]] Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat arab tidak me lihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan y ang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepad a paham fatalisme.[[8]] Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam Alquran sendiri banyak terdapat ayat-ayat yeng menunjukkan tentang latar belakang lahir nya paham Jabariyah, diantaranya: a. QS ash-Shaffat: 96 !$#ur /3s)n=s{ $tBur tbq=yJs? Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". b. QS al-Anfal: 17 Nn=s Ndq=F)s? 3s9ur !$# Ogn=tGs% 4 $tBur |M tBu ) |M tBu 3s9ur !$# Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yan g membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi All ah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan unt uk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Se sungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. c. QS al-Insan: 30 $tBur tbr!$tn@ Hw) br& u!$to !$# 4 b) !$# tb%x. $J =t $VJ 3ym Artinya : Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki All ah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Selain ayat-ayat Alquran di atas benih-benih faham al-Jabar juga dapat dilihat d alam beberapa peristiwa sejarah: a. Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam mas alah Takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takd ir. b. Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata "Tuhan telah menentukan aku mencuri". Mendengar itu Umar kemudian marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh ka rena itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman poto ngan tangan karena mencuri dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuha n. c. Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam ka itannya dengan siksa dan pahala. Orang tua itu bertanya,"apabila perjalanan (men uju perang siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala se bagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadha Tuhan bukanl ah sebuah paksaan. Pahala dan siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan ancaman Allah, dan tidak pujian bagi orang yang baik dan tidak ada cel aan bagi orang berbuat dosa. d. Adanya paham Jabar telah mengemuka kepermukaan pada masa Bani Umayyah ya ng tumbuh berkembang di Syiria.[[9]]

Di samping adanya bibit pengaruh faham jabar yang telah muncul dari pemahaman te rhadap ajaran Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran Ja bar muncul karena adanya pengaruh dari dari pemikriran asing, yaitu pengaruh aga ma Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit.[[10]] Dengan demikian, latar belakang lahirnya aliran Jabariyah dapat dibedakan kedala m dua factor, yaitu factor yang berasal dari pemahaman ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah, yang mempunyai paham yang mengarah kepada Jab ariyah. Lebih dari itu adalah adanya pengaruh dari luar Islam yang ikut andil da lam melahirkan aliran ini. Adapun yang menjadi dasar munculnya paham ini adalah sebagai reaksi dari tiga pe rkara: pertama, adanya paham Qadariyah, keduanya, telalu tekstualnya pamahaman a gama tanpa adanya keberanian menakwilkan dan ketiga adalah adanya aliran salaf y ang ditokohi Muqatil bin Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat T uhan sehingga membawa kepada Tasybih. [[11]] c. Ajaran-ajaran Jabariyah Adapun ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu ekstr im dan moderat. Pertama, aliran ekstrim. Di antara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendapat nya adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai d aya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jah m tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah. Seda ngkan iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adala h makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, me ndengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di a kherat kelak.[[12]] Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabari yah Khalisah.[[13]] Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Alquran adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. A llah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, meliha t dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.[[14]] Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, ti dak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehend ak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya ada lah merupakan ketentuan Allah. Kedua, ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Ten aga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan nya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dal ang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuat an yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muha mmad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabar iayah moderat lainnya) pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera kee nam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.[[15]] C. ALIRAN QADARIYAH ( FREE WILL AND FREE ACT( Latar Belakang Lahirnya Aliran Qadariyah Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara ya ng bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suat u aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya se ndiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mew

ujudkan perbutan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya , dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuh an.[[16]] Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang b erpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu mel akukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.[[17]] Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih m erupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar t eologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma bad al-Jau hani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M. [[18]] Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulan ya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Nam anya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu ib. Sementara W. Montg omery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Bas ri sekitar tahun 700M.[[19]] Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya s elalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadari yah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkemba ngan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.[[20]] d. Ajaran-ajaran Qadariyah Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manus ia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbua tan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melak ukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. To koh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.[[21]] Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sen diri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehenda knya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula mempero leh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamaka n dengan balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh ta kdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasa nnya sesuai dengan tindakannya.[[22]] Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum ya ng dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bert indak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan d emikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta bese rta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hokum yang dalam istilah Alquran adalah s unnatullah. Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diuba h. Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat lain, kecuali mengikuti ho kum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang seratus kilogram. Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan kepad a Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat Alquran yan g berbicara dan mendukung paham itu : (#q=uH$# $tB MG ( mR) $yJ/ tbq=yJs? t/ Artinya : Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki sesungguhnya Ia melihat apa yang ka mu perbuat . (QS. Fush-Shilat : 40). @%ur ,ys9$# `B O3n/ ( `yJs u!$x `Bs =s tBur u!$x 3u =s 4 Artinya : Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka b

erimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah . (QS. Al-Kahfi : 29). !$Js9urr& N3Gu;|r& pt7 B s% L6|r& $pk n=ViB L=% 4 Tr& #x yd ( @% u Artinya : dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peper angan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "I tu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala s esuatu . (QS.Ali Imran :165) c) !$# w i t $tB BQqs)/ 4Lym (#r i t $tB NkRr'/ 3 Artinya : Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka m erobah keadaan[Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak mero bah sebab-sebab kemunduran mereka.] yang ada pada diri mereka sendiri . (QS.Ar-R d : 11) e. Refleksi Faham Qadariyah dan Jabariyah : Sebuah Perbandingan tentang Musibah Dalam paham Jabariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan bagai kapas yang melayang di udara yang tidak memiliki sedikit pun daya untuk menentuk an gerakannya yang ditentukan dan digerakkan oleh arus angin. Sedang yang berpah am Qadariyah akan menjawab, bahwa perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan ol eh manusia, bukan Allah. Dalam paham Qadariyah, berkaitan dengan perbuatannya, m anusia digambarkan sebagai berkuasa penuh untuk menentukan dan mengerjakan perbu atannya. Pada perkembangan selanjutnya, paham Jabariyah disebut juga sebagai paham tradis ional dan konservatif dalam Islam dan paham Qadariyah disebut juga sebagai paham rasional dan liberal dalam Islam. Kedua paham teologi Islam tersebut melandaska n diri di atas dalil-dalil naqli (agama) - sesuai pemahaman masing-masing atas n ash-nash agama (Alquran dan hadits-hadits Nabi Muhammad) - dan aqli (argumen pik iran). Di negeri-negeri kaum Muslimin, seperti di Indonesia, yang dominan adalah paham Jabariyah. Orang Muslim yang berpaham Qadariyah merupakan kalangan yang t erbatas atau hanya sedikit dari mereka. Kedua paham itu dapat dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa dan berkaitan dengan perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang. Bagi yang berpah am Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa kecelakaan itu sudah kehend ak dan perbuatan Allah. Sedang, yang berpaham Qadariyah condong mencari tahu di mana letak peranan manusia pada kecelakaan itu. Kedua paham teologi Islam tersebut membawa efek masing-masing. Pada paham Jabari yah semangat melakukan investigasi sangat kecil, karena semua peristiwa dipandan g sudah kehendak dan dilakukan oleh Allah. Sedang, pada paham Qadariyah, semanga t investigasi amat besar, karena semua peristiwa yang berkaitan dengan peranan ( perbuatan) manusia harus dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui suatu invest igasi. Dengan demikian, dalam paham Qadariyah, selain manusia dinyatakan sebagai makhlu k yang merdeka, juga adalah makhluk yang harus bertanggung jawab atas perbuatann ya. Posisi manusia demikian tidak terdapat di dalam paham Jabariyah. Akibat dari perbedaan sikap dan posisi itu, ilmu pengetahuan lebih pasti berkembang di dala m paham Qadariyah ketimbang Jabariyah. Dalam hal musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai k ehendak dan perbuatan Allah, bagi yang berpaham Jabariyah, sudah cukup bila tind akan membantu korban dan memetik "hikmat" sudah dilakukan. Sedang hikmat yang dimaksud hanya berupa pengakuan dosa-dosa dan hidup selanjutn ya tanpa mengulangi dosa-dosa. Sedang bagi yang berpaham Qadariyah, meski gempa dan tsunami tidak secara langsung menunjuk perbuatan manusia, namun mengajukan p ertanyaan yang harus dijawab : adakah andil manusia di dalam "mengganggu" ekosis tem kehidupan yang menyebabkan alam "marah" dalam bentuk gempa dan tsunami? Untu k itu, paham Qadariyah membenarkan suatu investigasi (pencaritahuan), misalnya, dengan memotret lewat satelit kawasan yang dilanda musibah.

BABIII

KESIMPULAN Menurut penulis solusi terhadap pandangan aliran Jabariyah dan Qodariyah yaitu b ahwa manusia benar-benar memiliki kebebasan berkehendak dan karenanya ia akan di mintai pertanggungjawaban atas keputusannya, meskipun demikian keputusan tersebu t pada dasarnya merupakan pemenuhan takdir (ketentuan) yang telah ditentukan. De ngan kata lain, kebebasan berkehendak manusia tidak dapat tercapai tanpa campur tangan Allah SWT, seperti seseorang yang ingin membuat meja, kursi atau jendela tidak akan tercapai tanpa adanya kayu sementara kayu tersebut yang membuat adala h Allah SWT. Dalam masalah Iman dan Kufur ajaran Jabariyah yang begitu lemah tet ap bisa diberlakukan secara temporal, terutama dalam langkah awal menyampaikan d akwah Islam sehingga dapat merangkul berbagai golongan Islam yang masih memerluk an pengayoman. Di samping itu pendapat-pendapat Jabariyah sebenarnya didasarkan karena kuatnya iman terhadap qudrot dan irodat Allah SWT, ditambah pula dengan s ifat wahdaniat-Nya. Sementara bagi Qodariyah manusia adalah pelaku kebaikan dan juga keburukan, keim anan dan juga kekufuran, ketaatan dan juga ketidaktaatan. Dari keterangan ajaran -ajaran Jabariyah dan Qodariyah tersebut di atas yang terpenting harus kita paha mi bahwa mereka (Jabariyah dan Qodariyah) mengemukakan alasan-alasan dan dalil-d alil serta pendapat yang demikian itu dengan maksud untuk menghindarkan diri dar i bahaya yang akan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan beragama dan mencapai kemuliaan dan kesucian Allah SWT dengan sesempurna-sempurnanya. Penghindaran it u pun tidak mutlak dan tidak selama-lamanya, bahkan jika dirasanya akan berbahay a pula, mereka pun tentu akan mencari jalan dan dalil-dalil lain yang lebih tepa t. Demikian makalah dari kami yang berjudul Jabariyah dan Qodariyah kritik dan sar an yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan di masa mendatang. Sebagai penutup dalam makalah ini. Kedua aliran, baik Qadariyah ataupun Jabariya h nampaknya memperlihatkan paham yang saling bertentangan sekalipun mereka samasama berpegang pada Alquran. Hal ini menunjukkan betapa terbukanya kemungkinan p erbedaan pendapat dalam Islam. DAFTAR PUSTAKA 1. Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2 2. Asmuni, Yusran, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Is lam dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996) 3. Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997) 4. Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Is lam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008) 5. Maghfur, Muhammad, Koreksi atas Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Ban gil: al-Izzah, 2002) 6. Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbanding an, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5 7. an-Nasyar, Ali Syami, Nasy'at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, (Cairo: Da r al-Ma'arif, 1977) 8. Nata, Abudin, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998) 9. al-Qaththan, Manna Khalil, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari "Mabahits fi Ulum al-Qur'an. (Jakarta: Litera AntarNusa, 2004) 10. asy-Syahrastani, Muhammad ibn Abd al-Karim, al-Milal wa an-Nihal, (Beirut-L ibanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, t.th) 11. Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997) [1] Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari "Maba hits fi Ulum al-Qur'an. (Jakarta: Litera AntarNusa, 2004), h. 86 [2] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, ( Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5, h. 1 [3] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2, h. 63 [4] Harun Nasution, op.cit., h. 31 [5] Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet ke-4, h. 239 [6] Adapun riwayat Jahm tidak diketahui dengan jelas, akan tetapi sebagian ahli

sejarah mengatakan bahwa dia berasal dari Khurasan yang juga dikenal dengan toko h murjiah, dan sebagai pemuka golongan Jahmiyah. Karena kelerlibatanya dalam ger akan melawan kekuasaan Bani Umayyah, sehingga dia ditangkap. [7] Rosihan Anwar, op.cit., h. 64 [8] Harun Nasution, loc.cit., [9] Rosihan Anwar, op.cit., h. 64-65 [10] Ibid., [11] Ali Syami an-Nasyar, Nasy'at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, (Cairo: Dar al -Ma'arif, 1977), h. 335 [12] Rosihan Anwar, op.cit., h. 67-68; Lihat juga Hadariansyah, Pemikiran-pemiki ran Teologi dalam Sejarah Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008), h. 79-80 [13] Hadariansyah, loc.cit; Lihat asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, (Beirut -Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, t.th); [14] Rosihan Anwar, op.cit., h. 68 [15] Ibid., Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafin do Persada, 1998), h. 41-42; Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi S ejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h . 75 [16] Lihat Rosihan Anwar, op.cit., h. 70; Abudin Nata, op.cit., h. 36; Hadarians yah, op.cit., h. 68 [17] Hadariansyah, loc.cit., [18] Hadariansyah, loc.cit.,; Harun Nasution, op.cit., h. 32; Rosihan Anwar, op. cit., h. 71 [19] Rosihan Anwar, loc. cit,. [20] Yusran Asmuni, op.cit., h. 74 [21] Harun Nasution, op.cit., h. 31 [22] Rosihan Anwar, op.cit., h. 73

Anda mungkin juga menyukai