Anda di halaman 1dari 6

Anemia pada penyakit ginjal kronis Pada penyakit ginjal kronis, jumlah nefron yang berfungsi berkurang, tubuh

berusaha untuk mempertahankan homeostasis melalui beberapa proses adaptif dan maladaptif, termasuk berbagai kompleks kelainan biokimia dan fisiologis. Hampir setiap sistem organ akan terpengaruh karena penurunan fungsi ginjal, tetapi komplikasi yang paling utama adalah pada sistem kardiovaskular, neurologi, hematologi, muskuloskeletal, dan imunologi. Oleh karena itu, pasien dengan penyakit ginjal kronis, bahkan yang belum memerlukan dialisis, perlu secara berkala dilakukan monitoring terhadap kemungkinan anemia (Nurko, 2006).

Definisi Anemia World Health Organization mendefinisikan anemia jika konsentrasi Hb dibawah 13.0 g/dL pada pria dan wanita postmenopause, serta dibawah 12.0 g/dL pada wanita premenopause. European Best Practice Guidelines manajemen anemia pada pasien penyakit ginjal kronik mendefinisikan keadaan anemia jika konsentrasi Hb < 11.5 g/dL pada wanita, 13.5 g/dL pada pria usia dibawah 70 tahun dan 12.0 g/dL pada pria usia lebih dari 70 tahun. Sedangkan menurut National Kidney Foundations Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) menetapkan pasien mengalami anemia jika Hb <11.0 g/dL (hematocrit < 33%) pada wanita premenopouse dan pasien pubertas, dan Hb <12.0 g/dL (hematocrit < 37%) pada pria dewasa dan wanita postmenopouse. Penyebab Anemia pada Penyakit Ginjal Anemia merupakan temuan yang hampir selalu ditemukan pada pasien penyakit ginjal lanjut, dan hematokrit 18% hingga 20% lazim terjadi. Anemia akibat gangguan fungsi ginjal, umumnya terjadi ketika GFR 60mL/menit/1.73 m2 atau kurang. Penyebab anemia pada gangguan fungsi ginjal adalah multifaktoral. Penyebab yang paling utama adalah karena defisiensi hormone eritropoietin, penyebab lainnya adalah kehilangan darah, umur sel darah merah yang singkat, toksik uremik, kekurangan vitamin, dan defisiensi besi.

1. Defisiensi hormon Eritropioetin (EPO) Hormon eritropoietin merupakan faktor pertumbuhan hematopoietik yang memacu pembentukan sel darah merah. Eritropoietin meningkatkan produksi retikulosit dan pelepasan dini retikulosit dari sumsum tulang. Lokasi utama pembentukan eritropoietin pada orang dewasa adalah ginjal. Sejumlah kecil juga dihasilkan oleh hati di beberapa hepatosit dan di sel fibroblastoid, hati merupakan lokasi produksi utama eritropoietin pada fetus dan neonates. Di ginjal, eritropoietin dibuat di sel fibroblastoid tipe I pada interstitium peritubular pada korteks dan medula bagian luar. Normalnya ginjal memproduksi eritropoietin pada tingkat dasar yang rendah, namun meningkat akibat adanya anemia atau penurunan tekanan O2 arteri, dua situasi yang meneyabkan hipoksia jaringan. Eritropoietin diproduksi ketika gennya ditranskripsi pada suatu proses yang melibatkan faktor transkripsi H1F1 (hypoxia-inducible factor 1 alpha). Produksi faktor transkripsi ini meningkat pada keadaan defisiensi oksigen. Ketika kadar oksigen rendah, protein factor transkripsi H1F1 berikatan dengan gen eritropoietin untuk mengingkatkan ekspresinya. Namun, saat kadar oksigen normal, enzim prolyl hydroxylase domain (PHD) yang bersifat oxygen-dependent menambahkan gugus hidroksil ke residu prolin pada protein H1F1. Hidroksi prolin ini dikenali oleh protein VHL (von Hippel-Lindau) yang dalam bentuk kompleks dengan protein lain, dapat melekatkan gugus ubiquitin ke H1F1, memicu dekstruksinya oleh proteasom. Jadi, pada saat kadar oksigen normal, H1F1 didegradasi dengan cepat, namun ketika kadar oksigen rendah, hidroksilasi prolin tidak terjadi dan H1F1 menjadi stabil dan dapat mengaktivasi gen eritropoietin. Kekurangan EPO pada penyakit ginjal kronis bisa menjadi respon fungsional terhadap turunnya laju filtrasi glomerulus. Teorinya adalah bahwa sel-sel penghasil EPO sendiri mungkin tidak hipoksia, jika filtrasi glomerulus rendah reabsorbsi natrium menjadi rendah, reabsorbsi natrium adalah penentu utama konsumsi oksigen dalam ginjal. Dalam keadaan ini mungkin ada lokal relative kelebihan oksigen yang bias turut mengatur produksi EPO. Selain itu penyakit ginjal kronik juga sering menyebabkan perubahan interstitial dan sel yang memproduksi eritropoietin tipe I menjadi lebih miofibroblastoid dengan kemampuan memproduksi EPO yang lebih lemah.

2. Kehilangan darah Pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki resiko kehilangan darah karena disfungsi platelet. Penyebab utama kehilangan darah adalah hemodialisis, dan kehilangan darah menghasilkan defisiensi besi. Pasien hemodialisis mungkin kehilangan besi 3-5 g per tahun. Dalam keadaan normal tubuh dapat kehilangan besi 1-2 mg per hari. hemodialisis menyebabkan kehilangan besi 10-20 x lebih tinggi daripada normal.

Gambar 1. Homeostasis besi terganggu pada penyakit ginjal kronik (CKD) 3. Defisiensi Fe Homeostasis besi dikaitkan dengan absorbs besi di duodenum dan recycle dari sel darah merah senescent. Besi yang terikat dengan hemoglobin disimpan di hepatosit dan makrofag pada system retikuloendotelial. Besi dikirim ke eritrosist dewasa oleh protein transferin, yang mengangkut baik besi yang diabsorbsi maupun yang dilepaskan dari makrofag (terutama dari sel darah merah senescent) Homeostasis besi terganggu pada penyakit ginjal kronik. Untuk alas an yang belum diketahui, mungkin malnutrisi, tingkat transferin pada penyakit ginjal kronik adalah setengah sampai sepertiga dari tingkat normal. Sehingga mengurangi kapasistas system pengankutan besi. 4. Masa paruh sel darah merah yang pendek Masa hidup sel darah merah mungkin berkurang 1/3 pada pasien hemodialisis . 5. Toksik uremik

Toksik uremik mengurangi masa paruh sel darah merah 70-80 hari, normalnya adalah 120 hari.

Diagnosa Melakukan pemeriksaan Darah lengkap Indeks sel darah merah Jumlah retikulosit Serum besi, jumlah kapasitas pengikat besi, persen kejenuhan transferin, serum ferritin Tingkat serum vitamin B12 Kadar hoemon paratiroid

Gambar . Pemeriksaan anemia pada pasien penyakit ginjal kronis

Pengobatan Anemia pada penyakit ginjal kronik

Tabel 1. Manajemen guidline pengobatan anemia pada penyakit ginjal kronik

(Skorecki, 2004)

Diabetes Mellitus Pasien DM tipe 1 memiliki resiko 40% mengalami GGK pada setiap tahap. Pasien DM tipe 2 beresiko 50% mengalami GGK Kerusakan ginjal terjadi akibat penyebab heterogen. Ex: nefropati diabetes ditandai dengan ekspansi mesangial glomerular

Gambar . Mekanisme untuk Progresi penyakit ginjal (Dipiro, 2008)

Anda mungkin juga menyukai