Anda di halaman 1dari 0

Universitas Indonesia

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Osteoporosis dan Osteopenia
Osteoporosis adalah kondisi berkurangnya massa tulang dan gangguan
struktur tulang (perubahan mikroarsitektur jaringan tulang) sehingga
menyebabkan tulang menjadi mudah patah. (Duque and Troen, 2006 dan
Hughes, 2006)
Secara tidak langsung massa tulang yang dimiliki sedikit lebih rendah
dari orang normal. Sehingga untuk terjadinya patah tulang akan lebih rendah
dibandingkan dengan osteoporosis. Dari kejadian osteopenia ini lama
kelamaan akan menjadi osteoporosis. (Cosman, 2009)
Penyakit osteoporosis menjadi salah satu penyakit yang mempunyai
pengaruh di Amerika yaitu sebesar 10 juta dan bertambah menjadi 18 juta
akibat dari rendahnya massa tulang.(Mccabe, 2004) Menurut Yi-Hsiang Hsu,
et al (2006), osteoporosis dengan patah tulang menjadi masalah utama pada
populasi lanjut usia.
Osteoporosis sering disebut juga dengan silent disease, karena
penyakit ini datang secara tiba-tiba, tidak memiliki gejala yang jelas dan tidak
terdeteksi hingga orang tersebut mengalami patah tulang.(Nuhonni, 2000)
Akan tetapi, menurut yatim (2003), biasanya seseorang yang mengalami
osteoporosis akan merasa sakit/pegal-pegal di bagian punggung atau daerah
tulang tersebut.Dalam beberapa hari/minggu, rasa sakit tersebut dapat hilang
dengan sendiri dan tidak akan bertambah sakit dan menyebar jika
mendapatkan beban yang berat. Biasanya postur tubuh penderita osteoporosis
akan terlihat membungkuk dan terasa nyeri pada tulang yang mengalami
kelainan tersebut (ruas tulang belakang). (Yatim, 2003)
Osteoporosis terbagi menjadi 2 tipe, yaitu primer dan sekunder.
Osetoporosis primer terbagi lagi menjadi 2 yaitu tipe 1 (postmenopausal) dan
tipe 2 (senile). Penyebab terjadinya osteoporosis tipe 1 erat kaitannya dengan
hormon estrogen dan kejadian menopause pada wanita. Tipe ini biasanya
terjadi selama 15 20 tahun setelah masa menopause atau pada wanita sekitar
Hubungan status gizi..., Ratih Agustin P., FKMUI, 2009

Universitas Indonesia
9
51 75 tahun (Putri, 2009) Dan pada tipe ini tulang trabekular menjadi sangat
rapuh sehingga memiliki kecepatan fraktur 3 kali lebih cepat dari biasanya.
(Riggs et al, 1982 dalam National Research Council, 1989) Sedangkan tipe 2
biasanya terjadi diatas usia 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita.
Penyebab terjadinya senile osteoporosis yaitu karena kekurangan kalsium dan
kurangnya sel-sel perangsang pembentuk vitamin D. Dan terjadinya tulang
pecah dekat sendi lutut dan paha dekat sendi panggul. (Yatim, 2003)
Tipe osteoporosis sekunder, terjadi karena adanya gngguan kelainan
hormon, penggunaan obat-obatan dan gaya hidup yang kurang baik seperti
konsumsi alkohol yang berlebihan dan kebiasaan merokok. (Hartono, 2004)

2.2 Mekanisme Terjadinya Osteoporosis
Didalam kehidupan, tulang akan selalu mengalami proses perbaharuan.
Tulang memiliki 2 sel, yaitu osteoklas (bekerja untuk menyerap dan
menghancurkan/merusak tulang) dan osteoblas (sel yang bekerja untuk
membentuk tulang). (Compston, 2002)
Tulang yang sudah tua dan pernah mengalami keretakan, akan
dibentuk kembali. Tulang yang sudah rusak tersebut akan diidentifikasi oleh
sel osteosit (sel osteoblas menyatu dengan matriks tulang). (Cosman, 2009)
Kemudian terjadi penyerapan kembali yang dilakukan oleh sel osteoklas dan
nantinya akan menghancurkan kolagen dan mengeluarkan asam. (Tandra,
2009) Dengan demikian, tulang yang sudah diserap osteoklas akan dibentuk
bagian tulang yang baru yang dilakukan oleh osteoblas yang berasal dari sel
prekursor di sumsum tulang belakang setelah sel osteoklas hilang. (Cosman,
2009) Proses remodelling tulang tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah
ini.






Hubungan status gizi..., Ratih Agustin P., FKMUI, 2009

Universitas Indonesia
10
Gambar 2.1 siklus remodelling tulang

Sumber Cosman, 2009

Menurut Ganong, ternyata endokrin mengendalikan proses remodeling
tersebut. Dan hormon yang mempengaruhi yaitu hormon paratiroid (resorpsi
tulang menjadi lebih cepat) dan estrogen (resorpsi tulang akan menjadi lama).
Sedangkan pada osteoporosis, terjadi gangguan pada osteoklas, sehingga
timbul ketidakseimbangan antara kerja osteoklas dengan osteoblas. Aktivitas
sel osteoclas lebih besar daripada osteoblas. Dan secara menyeluruh massa
tulang pun akan menurun, yang akhirnya terjadilah pengeroposan tulang pada
penderita osteoporosis. (Ganong, 2008) Gambar 2.2 menunjukan perbedaan
tulang yang normal dan tulang yang sudah mengalami pengeroposan.
Gambar 2.2 Tulang Normal dan Keropos

Sumber : Tandra, 2009

2.3 Diagnosis
Seseorang yang ingin menentukan terjadinya osteoporosis atau tidak,
biasanya diagnosis yang digunakan yaitu dengan pemeriksaan densitas
Hubungan status gizi..., Ratih Agustin P., FKMUI, 2009

Universitas Indonesia
11
mineral tulang (DMT) agar mengetahui kepadatan tulang pada orang tersebut.
(Hartono, 2004)
Untuk menentukan kepadatan tulang tersebut, ada 3 teknik yang biasa
digunakan di Indonesia, antara lain :
1. Densitometri DXA (dual-energy x-ray absorptiometry)
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang paling tepat dan mahal.
Orang yang melakukan pemeriksaan ini tidak akan merasakan nyeri dan
hanya dilakukan sekitar 5 15 menit. Menurut Putri, DXA dapat digunakan
pada wanita yang mempunyai peluang untuk mengalami osteoporosis,
seseorang yang memiliki ketidakpastian dalam diagnosa, dan penderita yang
memerlukan keakuratan dalam hasil pengobatan osteoporosis. (Putri, 2009)
Keuntungan yang didapatkan jika melakukan pemeriksaan ini yaitu dapat
menentukan kepadatan tulang dengan baik (memprediksi resiko patah tulang
pinggul) dan mempunyai paparan radiasi yang sangat rendah. Akan tetapi alat
ini memiliki kelemahan yaitu membutuhkan koreksi berdasarkan volume
tulang (secara bersamaan hanya menghitung 2 dimensi yaitu tinggi dan lebar)
dan jika pada saat seseorang melakukan pengukuran dalam posisi yang tidak
benar, maka akan mempengaruhi hasil pemeriksaan tersebut. (Cosman, 2009)
Hasil dari DXA dapat dinyatakan dengan T-score, yang dinilai dengan
melihat perbedaan BMD dari hasil pengukuran dengan nilai rata-rata BMD
puncak. (Tandra, 2009) Hasil dari pemeriksaan BMD dapat dilihat pada
gambar 2.3.
Gambar 2.3 Hasil Pemeriksaan Osteoporosis Berdasarkan BMD

Hubungan status gizi..., Ratih Agustin P., FKMUI, 2009

Universitas Indonesia
12
Menurut WHO, kriteria T-score dibagi menjadi 3, yaitu T-score > -1 SD
yang menunjukkan bahwa seseorang masih dalam kategori normal. T-score <-
1 sampai -2,5 dikategorikan osteopenia, dan < - 2,5 termasuk dalam kategori
osteoporosis, apabila disertai fraktur, maka orang tersebut termasuk dalam
osteoporosis berat. (WHO, 1994)

2. Densitometri US (ultrasound)
Kerusakan yang terjadi pada tulang dapat didiagnosis dengan pengukuran
ultrsound, yaitu dengan mengunakan alat quantitative ultrasound (QUS).
Hasil pemeriksaan ini ditentukan dengan gelombang suara, karena cepat atau
tidaknya gelombang suara yang bergerak pada tulang dapat terdeteksi dengan
alat QUS. Jika suara terasa lambat, berarti tulang yang dimiliki padat. Akan
tetapi, jika suara cepat, maka tulang kortikal luar dan trabekular interior tipis.
Pada beberapa penelitian,menyatakan bahwa dengan QUS dapat mengetahui
kualitas tulang, akan tetapi QUS dan DXA sama-sama dapat memperkirakan
patah tulang . (Lane, 2003)
Dengan alat ini, seseorang tidak akan terpapar radiasi karena tidak
menggunakan sinar X. Kelemahan alat ini, yaitu tidak memiliki ketelitian
yang baik (saat dilakukan pengukuran ulang sering terjadi kesalahan), tidak
baik dalam mengawasi pengobatan (perubahan massa tulang). (Cosman, 2009)

3. Pemeriksaan CT (computed tomography)
Pemeriksaan CT merupakan salah satu pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan dengan memeriksa biokimia CTx (C-Telopeptide). Dengan
pemeriksaan ini dapat menilai kecepatan pada proses pengeroposan tulang dan
pengobatan antiesorpsi oral pun dapat dipantau. (Putri, 2009)
Kelebihan yang didapatkan jika menggunakan alat ini yaitu kepadatan
tulang belakang dan tempat biasanya terjadi patah tulang dapat diukur dengan
akurat. Akan tetapi pada tulang yang lain sulit diukur kepadatannya dan
ketelitian yang dimiliki tidak baik serta tingginya paparan radiasi. (Cosman,
2009)

Hubungan status gizi..., Ratih Agustin P., FKMUI, 2009

Universitas Indonesia
13
2.4 Faktor Resiko Terjadinya Osteoporosis dan Osteopenia
2.4.1 Umur
Semakin bertambahnya umur, fungsi organ akan semakin menurun dan
peluang untuk kehilangan tulang semakin meningkat. Sekitar 0,5 -1% pada
wanita pasca menopause dan laki-laki berusia >80 tahun kehilangan massa
tulang setiap tahunnya, sehingga lebih besar untuk berisiko osteoporosis dan
osteopenia. (Peck dalam Martono, 2006) Dan dengan bertambahnya umur, sel
osteoblas akan lebih cepat mati karena adanya sel osteoklas yang menjadi
lebih aktif, sehingga tulang tidak dapat digantikan dengan baik dan
massatulang akan terus menurun. (Cosman, 2009 dan Tandra, 2009)
Menurut Hartono, biasanya pada usia 60 tahun atau 70 tahun lebih
rentan untuk munculnya penyakit ini. Karena sejak usia 35 tahun terjadi peak
bone mass (puncak massa tulang), dan biasanya pada usia diatas usia 40 tahun
penyerapan tulang lebih cepat daripada pembentukkan tulang baru dan massa
tulang akan semakin berkurang 0,5 1% per tahunnya, sehingga kepadatan
tulang pun semakin lama akan berkurang dan terjadilah osteopenia kemudian
akhirnya terjadi osteoporosis. (Hartono, 2000, Padang, 2004 dan Barker,
2002)
Ketika sudah memasuki usia lanjut, baik perempuan maupun laki-laki
akan mengalami osteoporosis. (Nuhonni, 2000) Di Amerika Serikat,
diperkirakan setengah dari penduduk yang berumur diatas 50 tahun akan
mengalami fraktur akibat osteoporosis. (Tandra, 2009) New Susan
memperkirakan 1 dari 3 wanita dan 1 dari 10 laki-laki berumur 55 tahun
akan berisiko terjadinya osteoporosis. (New, Susan A L, 2006)
Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Tsania yang menyatakan
adanya hubungan bermakna antara umur dengan kejaian osteoporosis. (Tsania,
2008)

2.4.2 Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan Karakteristik biologik yang dikenali dari
penampilan fisik, yaitu laki-laki dan perempuan. Osteoporosis lebih sering
terjadi pada wanita sekitar 80 % daripada laki-laki 20%. Hal ini terjadi karena
Hubungan status gizi..., Ratih Agustin P., FKMUI, 2009

Universitas Indonesia
14
laki-laki mempunyai tubuh yang besar, tulang yang lebih padat daripada
wanita. Dengan kata lain wanita memiliki massa tulang yang lebih rendah
karena mengalami menopause, sehingga lebih cepat mengalami kehilangan
massa tulang. (Krinke, 2005) Berdasarkan data dari Perhimpunan
Osteoporosis Indonesia (PEROSI) yang terdapat dalam Indonesia White
Paper, prevalensi osteoporosis di Indonesia pada tahun 2007, sebesar 28,8%
pada laki-laki dan 32,3% pada wanita. (www.kompas.com) Selain itu juga
ternyata berdasarkan penelitian Wahyuni, terdapat hubungan yang bermakna
antara jenis kelamin dengan kejadian osteopenia, sehingga dari kejadian
osteopenia akan memicu untuk terjadinya osteoporosis. (Wahyuni, 2008)
Akan tetapi seharusnya, adanya perbedaan jenis kelamin dapat
mempengaruhi terjadinya osteoporosis dan osteopenia. Menurut Purwoastuti,
massa tulang pada wanita lebih cepat berkurang daripada laki-laki. Karena
pada wanita mengalami menopause, sehingga terjadi penurunan hormon
estrogen yang menyebabkan aktivitas sel osteoblas menurun sedangkan
osteoklas meningkat. (Purwoastuti, 2008)

2.4.3 Ras/Suku
Ras/suku menjadi salah satu faktor resiko terjadinya osteoporosis.
Biasanya ras/suku yang rentan terkena osteoporosis yaitu dari
kewarganegaraan Eropa Utara, Jepang dan Cina (Asia dan Kaukasia)
dibandingkan dengan kewarganegaraan Afrika-Amerika. Hal ini dapat terjadi,
karena ras dari Afrika-Amerika memiliki masa tulang lebih besar. Dengan
besarnya masa tulang dan otot, maka tulang akan semakin besar dan tekanan
akan meningkat. Dan akan memperlambat turunnya masa tulang. (Lane, 2003)

2.4.4 Keturunan (riwayat keluarga/genetik)
Seperti halnya dengan penyakit yang lain, osteoporosis juga
berhubungan dengan adanya keturunan. Jika memiliki riwayat keluarga yang
menderita osteoporosis, diperkirakan 60 80% salah satu anggota keluarga
akan lebih mudah mengalami osteoporosis. Dan pada ibu yang pernah
mengalami patah tulang belakang, maka anak wanitanya akan lebih mudah
Hubungan status gizi..., Ratih Agustin P., FKMUI, 2009

Universitas Indonesia
15
untuk mengalami pengurangan masa tulang lebih cepat dan lebih berisiko
mengalami osteoporosis. (Mangoenprasodjo, 2005)
Menurut Ardiansyah, ukuran dan densitas tulang dipengaruhi oleh
adanya genetik. Selain itu, keluarga juga mempunyai pengaruh dalam
melakukan aktivitas fisik dan kebiasaan makan seseorang. Sehingga dengan
aktivitas fisik yang kurang, kebiasaan makan yang tidak baik dan densitas
tulang yang rendah akan lebih berpeluang untuk terjadinya osteoporosis dan
osteopenia.(Ardiansyah, 2007)

2.4.5 Gaya hidup
a. Aktivitas fisik
Aktivitas yang dilakukan setiap orang berberbeda-beda. Dengan
aktivitas fisik, berarti otot tubuh bergerak dan menghasilkan energi. (Sutarina,
2008) Menurut Baecke, aktivitas fisik dibagi menjadi 3, yaitu waktu bekerja,
waktu olahraga, dan waktu luang. (Baecke, dalam Kamso, 2000)
Seseorang yang jarang melakukan aktivitas fisik akan mengakibatkan
turunnya massa tulang dan dengan bertambahnya usia terutama pada usia
lanjut, otot pun akan menjadi lemah, sehingga akan berpeluang untuk
timbulnya patah tulang. (Compston, 2002) Hal tersebut juga telah dibuktikan
bahwa peluang terjadinya patah tulang 2 kali lebih besar pada wanita usia
lanjut yang jarang melakukan aktivitas fisik (berdiri < 5 jam) daripada yang
sering melakukan aktivitas fisik. (Lane, 2003)
Adapun studi yang mendukung bahwa aktivitas mempunyai pengaruh
terhadap massa tulang. Studi tersebut menyatakan bahwa massa tulang dapat
ditingkatkan dari aktivitas yang dapat menahan beban. Misalnya saja pada
orang yang suka melakukan olahraga tennis, tulang lengan yang digunakan
akan lebih tebal dan kuat dibandingkan dengan yang tidak melakukan
olahraga tenis. (Ridjab, D A dan Maria, R, 2004)
Pada penelitian Chandra, menunjukkan adanya hubungan yang
bermakna antara aktivitas olahraga dengan kejadian osteopenia. (Chandra,
2008) Dengan olahraga yang dilakukan secara teratur, maka kesehatan pun
akan menjadi lebih baik. Olahraga yang baik untuk dilakukan, yaitu jalan,
Hubungan status gizi..., Ratih Agustin P., FKMUI, 2009

Universitas Indonesia
16
aerobik, jogging, renang, dan bersepeda. Akan tetapi jika melakukan aktivitas
fisik secara berlebih justru akan mengurangi massa tulang. (Nuhonni, 2000)

b. Kebiasaan merokok
Saat ini, di negara maju seperti Amerika, laki-laki maupun wanita
sama banyak mempunyai kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok ini rata-rata
dimulai sejak usia 18 tahun. Padahal sudah ada bukti bahwa merokok
berhubungan erat dengan berbagai macam penyakit, bahkan setiap tahunnya
menimbulkan kematian sebanyak 2,5 juta. Hal ini berasal dari zat-zat kimia
yang terdapat dalam rokok. Salah satu penyakit yang dapat timbul akibat dari
merokok yaitu osteoporosis. (Aditama, 1997)
Dengan merokok, hormon estrogen dalam tubuh akan menurun dan
akan mudah kehilangan masa tulang (BMD rendah/terjadi osteoporosis),
sehingga lebih besar untuk mengalami fraktur tulang. (Hughes, 2006)
Kebiasaan merokok sejak dini pada wanita akan lebih awal untuk
mengalami menopause, sehingga kadar estrogen akan lebih cepat menurun
dan lebih berisiko untuk mengalami osteporosis. (Compston, 2002)
Dalam buku Hidup Sehat, Stop Rokok, mengatakan bahwa
seseorang yang berhenti merokok, setelah 1 jam pertama zat kimia seperti
nikotin dan karbon monoksida akan hilang dari tubuh. Dan setelah 5 tahun
berhenti merokok, akan menurunkan setengah resiko terjadinya stroke, kanker
mulut, tenggorokan dan esofagus daripada orang yang masih memiliki
kebiasaan merokok. (Sugito, 2008)
Adanya hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan
kejadian osteoporosis, dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Tsania.
(Tsania, 2008)

c. Kebiasaan konsumsi kafein
Kebiasaan mengkonsumsi kafein dalam jumlah banyak, sekitar 6
cangkir atau lebih dalam sehari, akan lebih besar untuk berisiko terkena
osteoporosis. (Lane, 2003) Akan tetapi, dalam buku concept
andcontroversies, pada orang yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi 2
Hubungan status gizi..., Ratih Agustin P., FKMUI, 2009

Universitas Indonesia
17
gelas/hari peluang kehilangan kalsium pun akan meningkat. (Sizer dan
Whitney, 2006) Karena ada penelitian yang mengatakan bahwa berkurangnya
masa tulang diakibatkan dari konsumsi kafein yang berlebihan, tetapi jika
dalam jumlah yang normal tidak akan membuat massa tulang berkurang.
(Lane, 2003)
Menurut Devine, asupan kafein memiliki hubungannya pengurangan
BMD dan dapat meningkatkan resiko terjadinya fraktur. Biasanya kandungan
kafein dalam kopi lebih banyak daripada teh. Selama lebih dari 4 tahun orang
yang sering minum teh akan kehilangan 3 4,5% densitas tulang. (Devine,
2007)
Dan dari hasil penelitian Hasye ternyata ada hubungan yang bermakna
antara konsumsi kafein dengan kejadian osteopenia. (Hasye, 2008)

d. Kebiasaan Konsumsi Alkohol
Mengkonsumsi alkohol secara berlebihan, akan meningkatkan
terjadinya resiko patah tulang. Hal ini disebabkan alkohol dapat mengurangi
masa tulang, mengganggu metabolisme vitamin D dan menghambat
penyerapan kalsium. Sehingga terjadinya osteoporosis pun lebih besar pada
orang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam jumlah
banyak daripada orang yang tidak mengkonsumsi alkohol. (Nuhonni, 2000
dan Compston, 2002)

2.4.6 Menopause dini
Menopause merupakan akhir dari masa reproduktif karena telah
berhentinya masa haid, biasanya terjadi usia 50 51 tahun. Biasanya pada
wanita yang merokok akan mengalami menopause 1 tahun lebih cepat dari
wanita yang bukan perokok. Seseorang yang mengalami menopause akan
mengalami fase klimaksterium, yaitu terjadinya peralihan dari reproduktif
akhir ke masa menopause. Fase klimaksterium memiliki 3 masa yaitu
premenopause yang terjadi sekitar 4 5 tahun sebelum menopause, masa
menopause, dan pascamenopause yang terjadi sekitar 3 5 tahun setelah
menopause. (Purwoastuti, 2008)
Hubungan status gizi..., Ratih Agustin P., FKMUI, 2009

Universitas Indonesia
18
Pada masa pramenopause, biasanya ditandai dengan haid yang mulai
tidak teratur dan rasa nyari saat haid, sampai akhirnya haid tersebut berhenti.
(Baziad, 2003) Saat menopause, terjadi penurunan estrogen yang akan
menyebabkan homon PTH (parathyroid hormon) dan penyerapan vitamin D
berkurang, sehingga pembentukan tulang (osteoblast) pun akan terhambat dan
kadar mineral akan berkurang. Jika kadar mineral tulang terus menerus
berkurang, maka akan terjadilah osteoporosis. (Purwoastuti, 2008)
Menurut Compston, seseorang yang menggunakan kontrasepsi
hormonal (estrogen) akan meningkatkan massa tulang. Tetapi dalam waktu
jangka panjang, akan memberikan efek untuk memicu terjadinya penyakit lain
seperti kanker payudara dan lain sebagainya. (Compston, 2009)
Berdasarkan hasil penelitian Tsania mengatakan bahwa ada hubungan
yang bermakna antara status menopause dengan kejadian osteoporosis.
(Tsania, 2008)

2.4.7 Status gizi
Beberapa penelitian, menunjukkan bahwa berat badan dapat massa
tulang. Dengan berat badan yang lebih, maka tubuh akan menopang beban dan
akan memberikan tekanan pada tulang, sehingga tulang menjadi lebih kuat dan
dapat meningkatkan massa tulang. Oleh karena itu, biasanya seseorang
memiliki berat badan lebih jarang berpeluang untuk menderita osteoporosis.
Dengan berat badan yang cukup dan sesuai dengan tinggi badan maka akan
memiliki status gizi (IMT) yang baik pula. (Lane, 2003)
Pada penelitian Tsania, menyatakan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara status gizi dengan kejadian osteoporosis. (Tsania, 2008)

2.4.8 Zat Gizi
a. Kalsium
Menurut Tandra, mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh
yaitu kalsium. Kebutuhan kalsium ini akan meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Karena pada usia lebih dari 30 tahun, massa tulang
akan mulai berkurang.(Tandra, 2009) Terutama pada wanita, akan
Hubungan status gizi..., Ratih Agustin P., FKMUI, 2009

Universitas Indonesia
19
mengalami menopause yang mengakibatkan kehilangan massa tulang
sebesar 15% dan jika dalam waktu lama memiliki pola konsumsi kurang
akan beresiko untuk terkena osteoporosis. Sehingga diperlukan asupan
kalsium yang cukup. (Depkes, 2003 dan Heaney, 2005). Menurut Gopalan,
sebaiknya konsumsi kalsium yang cukup sudah dimulai sejak usia remaja,
karena pada masa remaja kalsium yang diserap dapat dijadikan disimpan
dalam tubuh sampai lansia, sehingga dapat mencegah timbulnya
osteoporosis. (Gopalan, 1994)
Hal tersebut juga didukung dengan adanya penelitian Hasye yang
membuktikan bahwa adanya hubungan frekuensi kalsium dengan kejadian
osteopenia. (Hasye, 2008)

b. Vitamin D
Penyakit yang cukup serius seperti osteoporosis dapat timbul akibat
kurangnya asupan vitamin D. Karena menurut Nix, vitamin D mempunyai
peranan penting dalam pemeliharaan dan pertumbuhan tulang. (Nix, 2005)
Biasanya pada usia lanjut, asupan vitamin D ini kurang karena kurang
terpaparnya sinar matahatari. Pada usia remaja dan dewasa tidak berisiko
untuk kekurangan vitamin D, karena ada yang mengasumsikan mereka
lebih banyak melakukan aktivitas diluar rumah. Tetapi, ada penelitian
yang mengatakan 32% pada usia 18 29 tahun mengalami kekurangan
asupan vitamin D di Boston. Dan di Afrika, sekitar 42% wanita usia 15
49 Tahun mengalami kekurangan vitamin D dan dari penelitian tersebut
berarti lebih berpeluang untuk menderita osteoporosis. Hal ini dikarenakan
adanya musim dingin di Boston dan pada usia tersebut lebih banyak
melakukan pekerjaan didalam ruangan, sehingga kurang terpapar sinar
matahari. Adapula penelitian yang mengatakan kekurangan vitamin D dari
sinar matahari mempuyai hubungan significant terhadap gangguan
penyerapan vitamin D pada kulit, sehingga lebih mudah untuk berisiko
terkena osteoporosis. (Holick, 2004)
Menurut Hartono, jika seseorang cukup mendapatkan sinar matahari
pada kulit, maka tidak akan mengalami kekurangan asupan vitamin D.
Hubungan status gizi..., Ratih Agustin P., FKMUI, 2009

Universitas Indonesia
20
Karena sinar matahari yang masuk kekulit akan mengaktifkan vitamin D
untuk bekerja sama dengan kalsium dalam memelihara tulang, sehingga
dapat memperlambat terjadinya osteoporosis. Akan tetapi semakin
bertambahnya usia, kemampuan vitamin D untuk aktif dalam penyerapan
dalam kulit semakin berkurang. (Hartono, 2000 dan Harvey, 2009) Dan
menurut Rosenberg, jika asupan vitamin tidak kuat akan kehilangan massa
tulang dan dapat meningkatkan resiko fraktur. Oleh sebab itu diperlukan
asupan vitamin D dari makanan, seperti susu dan olahannya, ikan salmon,
minyak ikan, sarden, telur, dll (Rosenberg, 2000)

c. Fosfor
Fosfor merupakan mineral kedua yang banyak berperan dalam tubuh.
Kalsium dan fosfor menjadi komponen dalam tulang. Akan tetapi, jika
jumlah fosfor lebih besar daripada kalsium akan menyebabkan
berkurangnya masa tulang. Karena pada makanan sumber fosfor dapat
meningkatkan hormon paratiroid yang dapat memicu pengeluaran kalsium
melalui urine, sehingga masa tulang pun akan berkurang. (Barker, 2002)
Walaupun banyak penelitian tentang fosfor, akan tetapi belum ada
penelitian yang menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara
fosfor dengan kejadian osteoporosis.

d. Vitamin K
Vitamin K mempunyai peranan dalam mengatur protein dalam tulang.
Kekurangan vitamin K akan mempengaruhi berkurangnya sintesis
osteokalsin, sehingga tulang menjadi kurang kuat. Dan pada beberapa
studi penelitian, mengatakan bahwa seseorang yang memiliki asupan
vitamin K yang tinggi, tulang yang dimiliki pun lebih padat dan resiko
terjadinya patah tulang menjadi rendah. (Heaney, 2005) Belum ada
penelitian yang menunjukan adanya hubungan yang bermakan antara
vitamin K dengan kajadian osteoporosis.


Hubungan status gizi..., Ratih Agustin P., FKMUI, 2009

Universitas Indonesia
21
e. Protein
Terjadinya ostoporosis juga disebabkan oleh asupan protein yang
berlebih. Karena protein dapat menghasilkan asam jika diuraikan dalam
tubuh. Sehingga asam tersebut ditahan oleh tulang dan terjadilah pelepasan
kalsium melalui urine. Ada studi yang mengatakan adanya peningkatan
asupan protein mempengaruhi kehilangan masa tulang. Dengan asupan
protein sebanyak 1 gram dapat meningkatkan pengeluaran kalsium lewat
urin sebanyak 1 mg. (Dawson-Hughes, 2006) Walaupun banyak penelitian
tentang protein, akan tetapi belum ada penelitian yang menunjukan adanya
hubungan yang bermakan antara fosfor dengan kajadian osteoporosis.

2.4.10 Konsumsi obat
Mengkonsumsi obat-obatan tertentu dengan frekuensi sering, seperti
kortikosteroid, akan mempunyai peluang untuk terkena osteoporosis lebih
besar. Karena mengkonsumsi obat tersebut dalam jumlah yang tinggi/sering,
akan menghambat kerja pembentukkan tulang dan dapat menurunkan masa
tulang. (Putri, 2009)

2.5 Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi pada lansia dapat dilakukan secara langsung dan
tidak langsung yang telah disesuaikan berdasarkan tahapan usia. (Muiz 2006)
2.5.1 Secara Langsung
Penilaian status gizi secara langsung dapat dilakukan dengan
antropometri, pemeriksaan klinis, biokimia dan biofisik. Salah satu penilaian
status gizi secara langsung yang sering digunakan yaitu antropometri. Karena
anropometri merupakan pengukuran variasi berbagai dimensi fisik dan
komposisi tubuh secara umum pada berbagai tahapan umur dan derajat
kesehatan. Selain itu, dikarenakan antropometri dapat dilakukan dengan
mudah, praktis, dapat dilakukan pada orang banyak dengan waktu singkat dan
lebih teliti. (Gibson, 2005)
Antropometri pada lansia dapat dilakukan dengan penimbangan berat
badan dan mengukur tinggi badan / tinggi lutut, lingkar lengan atas (LLA),
Hubungan status gizi..., Ratih Agustin P., FKMUI, 2009

Universitas Indonesia
22
tebal lemak bawah kulit, dll. Akan tetapi yang lebih sering digunakan yaitu
berat badan dan tinggi badan. Dalam melakukan pengukuran antropometri,
sebaiknya dilakukan dengan hati-hati agar tidak terjadi kesalahan pada data
yang didapatkan (Chumlea, 1991 dan Roberts, et al, 2000)


a. Berat Badan (BB)
Berat badan merupakan salah satu parameter yang paling banyak
digunakan untuk pengukuran antropometri, karena dapat dilakukan dengan
mudah. Berat badan perlu diikuti dengan parameter yang lainnya agar
mendapatkan hasil yang valid dalam mengukur status gizi. Pengukuran
berat badan dapat dilakukan dengan timbangan seca dengan ketelitian 0,1
kg (Kurniawan, dkk, 2008)
Banyaknya parameter untuk memperkirakan status gizi, dapat
digunakan untuk membandingkan berat badan setiap individu sesuai
dengan jenis usia. Maka sebaiknya perlu dilakukan evaluasi berat badan
pada lansia. (Mitchell-Eady and Chernoff, 2006)

b. Tinggi Badan (TB)
Tinggi badan dapat digunakan sebagai parameter yang yang baik
mengetahui keadaan lalu dan sekarang. Pengukuran tinggi badan pada
lansia yang tidak bungkuk dapat dilakukan dengan menggunakan mikrotoa
ketelitian 0,1 cm. Saat melakukan pengukuran, mikrotoa dipasang pada
dinding yang rata dengan ketinggian 200 cm. Kemudian lansia tanpa alas
kaki berdiri tegak menempel pada dinding sejajar dibawah mikrotoa yang
telah dipasang dan tariklah mikrotoa tersebut sampai ujung kepala dan
bacalah angka pada mikrotoa tersebut. (Gibson, 2005 dan Sari, 2006)

d. Indeks Massa Tubuh (IMT)
IMT merupakan cara pengukuran antropometri untuk mengukur
status gizi orang dewasa. IMT dapat digunakan jika orang tersebut sudah
melakukan antropometri seperti berat badan dan tinggi badan. Dengan
Hubungan status gizi..., Ratih Agustin P., FKMUI, 2009

Universitas Indonesia
23
berat badan dan tinggi badan, kemudian dapat menilai IMT dengan
menghitung berdasarkan rumus sebagai berikut : (Roberts, et al, 2000)
BB (kg)
IMT =
TB (m)
Setelah dihitung, maka status gizi dapat ditentukan berdasarkan tabel di
bawah ini :
Tabel. 2.1. Kategori IMT
IMT (kg/m) Kategori
< 18,5 Kurang
18,5 25,0 Normal
> 25,0 30,0 Lebih
30 Obesitas
Sumber : WHO, 1995

2.5.2 Secara Tidak Langsung
Selain dengan antropometri (secara langsung), penilaian status gizi juga
dapat diukur secara tidak langsung yaitu dengan menggunakan survei
konsumsi makanan. Survey ini merupakan metode untuk melihat jumlah dan
jenis zat gizi yang dikonsumsi. Metode ini terbagi menjadi 2 yaitu metode
kualitatif survey konsumsi makanan, antara lain ; metode frekuensi makanan
(Food Frequency), metode riwayat makan (Dietary history Methode), metode
telepon, dan metode pendaftaran makanan (Food List). Dan metode kuantitatif
survey konsumsi makanan yang terdiri dari; metode food recall 1x24 jam,
perkiraan makanan (Estimated Food Records), penimbangan makanan (Food
Weighing), metode Food Account, metode inventaris (Inventory methode), dan
metode pencatatan (Household Food records). Perkiraan makanan pada lansia,
dapat diperoleh dari kebiasaan konsumsi makanan masa lalu atau saat ini.
Semua metode tersebut diperlukan kepercayaan dan kerjasama dengan lansia
dan pewawancara. (Mitchell-Eady and Chernoff, 2006)
Metode survey makanan yang sering digunakan, yaitu :
a. Food Recall 1x24 Jam
Food recall 1x24 jam merupakan salah satu metode kuantitatif
survei makanan yang sering digunakan untuk memperkirakan asupan
makan baik di Institusi (rumah sakit, panti, dll) maupun rumah tangga.
Hubungan status gizi..., Ratih Agustin P., FKMUI, 2009

Universitas Indonesia
24
Metode ini dilakukan dengan cara menanyakan asupan makanan satu hari
sebelumnya dan memperkirakan banyaknya makanan yang dikonsumsi
dengan bantuan alat food model atau dapat juga dengan ukuran rumah
tangga seperti sendok, piring, gelas, dll. Metode ini dilakukan dengan
mewawancarai responden secara langsung sekitar 10 20 menit dan
dicatat dalam form recall 1x 24 jam serta tidak dapat dilakukan hanya 1
kali, karena tidak menggambarkan asupan makanan sehari hari. (Gibson,
2005)
Metode food recall sangat tergantung pada memory (ingatan)
seseorang. Seiring bertambahnya usia, pada lansia terjadi gangguan daya
ingat, sehingga diperlukan pewawancara yang terlatih. Karena semua
tergantung dari kemampuan pewawancara dalam membantu meningkatkan
daya ingat lansia dan dapat memperkecil bias yang sering terjadi saat
wawancara. (Mitchell-Eady and Chernoff, 2006)

b. Penimbangan Makanan (Food Weighing)
Untuk mendapatkan gambaran asupan makanan dari responden,
makanan yang dikonsumsi sehari oleh responden (makanan yang
dikonsumsi dan sisa makanan dari rsponden) akan ditimbang, kemudian
dari hasil penimbangan akan dilakukan pencatatan. Dengan metode ini
akan didapatkan data yang lebih akurat. Akan tetapi,diperlukan waktu dan
dana yang cukup serta tenaga yang ahli untuk melakukan metode ini.
(Supariasa, 2001 dan Gibson, 2005)

c. Metode Frekuensi Makanan (Food Frequency)
Dengan metode ini akan mendapatkan gambaran pola konsumsi
bahan makanan dari responden dan periode pengamatannya lama. Didalam
form metode ini terdapat jenis makanan dan frekuensi konsumsi makanan
tersebut seperti 3x sehari, 1x sebulan, dan sebagainya. Metode food
frekuensi dilakukan dengan cara mewawancarai responden atau responden
dapat mengisi sendiri dengan memberi checklist pada jenis makanan yang
sering dikonsumsi. Tetapi sebaiknya perlu membuat percobaan terlebih
Hubungan status gizi..., Ratih Agustin P., FKMUI, 2009

Universitas Indonesia
25
dahulu untuk menentukan jenis bahan makanan yang termasuk dalam
daftar kuesioner. (Willet, 1998)
Data tentang asupan makan metode ini tidak diukur sehingga tidak
menghasilkan data kuantitatif. Selain itu kuesioner yang diisi memerlukan
daya ingat responden dan sering terjadi kesalahan dalam menentukan
frekuensi. (Arisman, 2004)

2.6 Pencegahan
Ada beberapa hal yang dapat mengurangi terjadinya osteoporosis dan
osteopenia, antara lain :
a. Pencegahan dengan mengurangi faktor resiko
Pencegahan dengan mengurangi dari faktor resiko yang dimaksud yaitu
melakukan pencegahan dengan menghindari kebiasaan merokok, mengurangi
konsumsi obat-obatan seperti steroid, tidak mengkonsumsi alkohol. (Cosman,
2009) Selain itu juga dapat melakukan terapi sulih hormon (Hormone
Replacement Therapy (HRT)). Hal ini sudah dibuktikan dengan penelitian yang
menyatakan bahwa sekitar 30 50% terjadinya fraktur tulang akan menurun
karena melakukan HRT. (Midiyah, 2003)
b. Pencegahan melalui nutrisi
Pencegahan melalui nutrisi ini dapat dilakukan dengan meningkatkan
konsumsi makanan dan minuman yang mengandung kalsium dan vitamin D, serta
dan mengurangi konsumsi kafein. Sehingga dengan demikian dapat meningkatkan
kepadatan tulang dan mengurangi terjadinya osteoporosis dan osteopenia.
(Hartono, 2000)
c. Pencegahan melalui olahraga
Dengan olahraga yang dilakukan secara teratur, maka kesehatan pun akan
menjadi lebih baik. Olahraga yang baik untuk dilakukan, misalnya saja jalan,
aerobik, jogging, renang, dan bersepeda. Akan tetapi jika melakukan aktivitas
fisik secara berlebih justru akan mengurangi massa tulang. (Nuhonni, 2000)
Selain itu sekitar 10 15 menit/hari keluar dipagi hari diantara pukul 06.00 s/d
09.00. (Depkes, 2003)

Hubungan status gizi..., Ratih Agustin P., FKMUI, 2009

Universitas Indonesia
26
2.7 Kerangka Teori

Gambar 2.4. Kerangka Teori Hubungan Status Gizi, Gaya Hidup dan
Pola Konsumsi Kalsium Dan Vitamin D Dengan Kejadian
Osteoporosis Pada Warga 45 tahun di Taman Wisma Asri
Bekasi Utara Tahun 2009



























Sumber : Modifikasi Lane, 2003, Compston, 2002, Heaney, 2005, dll.
Karakteristik Individu :
- Umur
- Jenis Kelamin
- Ras
- Riwayat Keluarga
Gaya Hidup:
- Aktivitas Fisik
- Kebiasaan Merokok
- Kebiasaan Konsumsi
Kafein
- Kebiasaan Konsumsi
Alkohol
Pola Konsumsi Zat Gizi:
- Protein
- Kalsium
- Fosfor
- Vitamin D
- Vitamin K
Status Gizi (IMT)
Menopause Dini
Konsumsi
Obat-obatan
Kejadian
Osteoporosis dan
Osteopenia
Hubungan status gizi..., Ratih Agustin P., FKMUI, 2009

Universitas Indonesia
27
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, HIPOTESIS
3.1. Kerangka Konsep
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status gizi, gaya
hidup dan pola konsumsi kalsium dengan kejadian osteoporosis dan
osteopenia pada warga 45 tahun di Taman Wisma Asri Bekasi Utara tahun
2009 pada bulan Mei 2009. Berdasarkan kerangka teori, riwayat keluarga,
ras, menopause, konsumsi alkohol, asupan fosfor, vitamin K, protein dan
konsumsi obat tidak diteliti karena sampel yang akan diteliti sudah
homogen. Maka yang diteliti yaitu karakteristik individu (umur dan jenis
kelamin), status gizi, gaya hidup (aktivitas fisik, kebiasaan konsumsi kafein
dan kebiasaan merokok), kebiasaan konsumsi kalsium dan vitamin D.
Semuanya termasuk independen (bebas), sedangkan kejadian osteoporosis
dan osteopenia termasuk dependen (terikat). Kerangka konsep penelitian ini
dapat dilihat sebagai berikut :

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Hubungan Status Gizi, Gaya Hidup
dan Kebiasaan Konsumsi Kalsium Dan Vitamin D Dengan Kejadian
Osteoporosis dan Osteopenia Pada Warga 45 tahun
di Taman Wisma Asri Bekasi Utara Tahun 2009













Umur
Jenis Kelamin
Status Gizi
Aktivitas Fisik
Kebiasaan Merokok
Kebiasaan konsumsi kafein
Kebiasaan Konsumsi Kalsium
Kebiasaan Konsumsi Vitamin D
Kejadian
Osteoporosis dan
Osteopenia
Hubungan status gizi..., Ratih Agustin P., FKMUI, 2009

Universitas Indonesia
28
3.2. Definisi Operasional
No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala ukur
1 Kejadian
Osteoporosis
dan Osteopenia
Keadaan tulang yang mengalami
pengeroposan dan dinilai melalui T-
score densitas mineral tulang (DMT)
Achilles Insight
Imaging bone Ultra
Sonometry
Pengukuran
densitas mineral
tulang
1. Osteoporosis : T-score < -1
2. Osteopenia : T-score -2,5 s/d -1
3. Normal : T-score -1
(WHO, 1994)
Ordinal
2 Umur Lamanya hidup responden (dalam
tahun) sejak lahir sampai saat
wawancara.
Kuesioner Wawancara 1. 45 54 tahun
2. 55 64 tahun
3. 65 tahun
(Rahajeng, dkk, 2006)
Ordinal
3 Jenis kelamin Karakteristik biologik yang dikenali
dari penampilan fisik

Observasi Penampilan fisik 1. Perempuan
2. Laki-laki
(BPS, 2000)
Nominal
4 Status Gizi Suatu keadaan gizi seseorang yang
diidentifikasi melalui indikator
berdasarkan IMT yaitu dengan
membagi BB (kg) dengan TB (m)

Timbangan seca
dengan tingkat
ketelitian 0,1 kg,
microtoise dengan
ketelitian 0,1 cm
Antropometri :
dengan
penimbangan berat
badan dan tinggi
badan
1. Kurang : < 18,5 kg/m
2. Normal : 18,5 25,0 kg/m
3. Lebih : > 25,0 30,0 kg/m
4. Obesitas : > 30,0 kg/m
(WHO, 1995)
Ordinal
5 Aktivitas fisik Kegiatan yang dilakukan sehari-hari
yang terdiri dari aktivitas waktu
bekerja, olahraga, waktu luang.

Kuesioner Baecke Wawancara 1. Aktivitas ringan : < 5,6
2. Aktivitas sedang : 5,6 7,9
3. Aktivitas berat : > 7,9
(Baecke, 1982 dalam Kamso, 2000)
Ordinal
6 Kebiasaan
Merokok
Perilaku responden dalam menghisap
rokok yang dilakukan secara rutin.

Kuesioner Wawancara 1. Merokok : responden yang memiliki
kebiasaan merokok secara rutin (setiap
hari sampai dengan penelitian)
2. Pernah merokok : responden yang
pernah merokok, tapi saat
diwawancara sudah berhenti merokok
3. Tidak merokok : sama sekali tidak
pernah merokok.
(Chandra, 2008)


Ordinal
Hubungan status gizi..., Ratih Agustin P., FKMUI, 2009

Universitas Indonesia
29
No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala ukur
7 Kebiasaan
Konsumsi
Kafein
Perilaku responden dalam
mengkonsumsi minuman yang
mengandung kafein seperti kopi, teh
dan minuman yang mengandung soda.

Kuesioner Wawancara Bahan makanan yang mengandung
kafein dijumlahkan, kemudian
dikategorikan sebagai berikut :
1. Tinggi bila > median
2. Rendah bila median
(Wahyuni, 2008)
Ordinal
8 Kebiasaan
Konsumsi
Kalsium
Perilaku responden mengkonsumsi
makanan/minuman yang mengandung
kalsium dalam waktu 1 tahun terakhir.
Form FFQ Wawancara 1. Kurang bila < mean
2. Baik bila mean
(Hasye, 2008)
Ordinal
9 Kebiasaan
Konsumsi
Vitamin D
Perilaku responden makanan/minuman
yang mengandung vitamin D yang
dikonsumsi responden dalam waktu 1
tahun terakhir.
Form FFQ Wawancara 1. Kurang bila < median
2. Baik bila median
(Wahyuni, 2008)
Ordinal
Hubungan status gizi..., Ratih Agustin P., FKMUI, 2009

Universitas Indonesia
30

3.3. Hipotesis
3.3.1. Ada hubungan antara karakteristik individu berdasarkan umur
dengan kejadian osteoporosis dan osteopenia pada warga usia 45
tahun di Taman Wisma Asri Bekasi Utara tahun 2009.
3.3.2. Ada hubungan antara karakteristik individu berdasarkan jenis
kelamin dengan kejadian osteoporosis dan osteopenia pada warga
usia 45 tahun di Taman Wisma Asri Bekasi Utara tahun 2009.
3.3.3. Ada hubungan antara status gizi (IMT) dengan kejadian osteoporosis
dan osteopenia pada warga usia 45 tahun di Taman Wisma Asri
Bekasi Utara tahun 2009.
3.3.4. Ada hubungan antara gaya hidup berdasarkan aktivitas fisik dengan
kejadian osteoporosis dan osteopenia pada warga usia 45 tahun di
Taman Wisma Asri Bekasi Utara tahun 2009.
3.3.5. Ada hubungan antara gaya hidup berdasarkan kebiasaan merokok
dengan kejadian osteoporosis dan osteopenia pada warga usia 45
tahun di Taman Wisma Asri Bekasi Utara tahun 2009.
3.3.6. Ada hubungan antara gaya hidup berdasarkan berdasarkan kebiasaan
konsumsi kafein dengan kejadian osteoporosis dan osteopenia pada
warga usia 45 tahun di Taman Wisma Asri Bekasi Utara tahun
2009.
3.3.7. Ada hubungan antara kebiasaan konsumsi kalsium dengan kejadian
osteoporosis dan osteopenia pada warga usia 45 tahun di Taman
Wisma Asri Bekasi Utara tahun 2009.
3.3.8. Ada hubungan antara kebiasaan konsumsi vitamin D dengan
kejadian osteoporosis dan osteopenia pada warga usia 45 tahun di
Taman Wisma Asri Bekasi Utara tahun 2009.

Hubungan status gizi..., Ratih Agustin P., FKMUI, 2009

Anda mungkin juga menyukai