Anda di halaman 1dari 22

PENDAHULUAN

Anemia merupakan masalah medis yang paling sering dijumpai diklinik di seluruh dunia, disamping sebagai masalah kesehatan utamamasyarakat, terutama dinegagara berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas kronik yang mempunyai dampak besar terhadapkesejahteraan social dan ekonomi serta kesehatan fisik. Oleh

karenafrekuensinya yang demikian sering, anemia, terutama anemia ringan seringkalitidak mendapat perhatian dan dilewati oleh para dokter di praktek klinik (Bhakta, 2003). Diperkirakan terdapat pada 43% anak-anak usia kurang dari 4 tahun yang menderita anemia. Survei Nasional di Indonesia (1992) mendapatkan bahwa 56% anak di bawah umur 5 tahun menderita anemia, pada survei tahun 1995 ditemukan 41% anak di bawah 5 tahun dan 24-35% dari anak sekolah menderita anemia. Anemia merupakan masalah kesehatan dalam masyarakat di dunia baik negara miskin maupun negara berkembang. Prevalensi anemia pada anak prasekolah di Indonesia, menurut World Health Organisation (WH0) pada tahun 1993 sampai 2005 didapati sekitar 44.4%. Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah masaeritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigendalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Secara praktis anemiaditunjukkan oleh penurunan hemoglobin, hematrokit atau hitung eritrosit.Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin kemudian hemarokit.Harus diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu dimana ketiga parameter tersebut akut tidak dan sejalan dengan masa eritrosit, yang seperti timbul pada adalah

dehidrasi, perdarahan

kehamilan.

Permasalahan

beberapakadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia, jeniskelamin, ketinggian tempat tinggal serta keadaan fisiologis tertentu

misalnyakehamilan. (Bhakta, 2007) Penyebab anemia yang paling sering adalah perdarahan yang berlebihan, rusaknya sel darah merah secara berlebihan (hemolisis) atau kekurangan pembentukan sel darah merah ( hematopoiesis yang tidak efektif). Anemia ringan hingga sedang mungkin tidak menimbulkan gejala objektif, namun dapat berlanjut ke keadaan anemia berat dengan gejala-gejala keletihan, takipnea, napas pendek saat beraktivitas, takikardia, dilatasi jantung, dan gagal jantung. 2,3 Gejala yang samar pada anemia ringan hingga sedang menyulitkan deteksi sehingga sering terlambat ditanggulangi. Keadaan ini berkaitan erat dengan meningkatnya risiko kematian pada anak.3

Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan pemahaman tentang patogenesis dan patofisiologi anemia serta ketrampilan dalam memilih,menganalisis serta merangkum

hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya (Bhakta, 2003)

ETIOLOGI

I) Anemia Defisiensi Adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan satu atau beberapa bahan yang diperlukan untuk pematangan eritrosit, seperti defisiensi besi, asam folat, vitamin B12, protein, piridoksin dan sebagainya. Anemia defisiensi dapat diklasifikasikan menurut morfologi dan etiologi menjadi 3 golongan : a. Mikrositik Hipokrom Mikrositik berarti sel darah merah berukuran kecil, dibawah ukuran normal (MCV<80 fL). Hipokrom berarti mengandung hemoglobin dalam jumlah yang kurang dari normal (MCHC kurang). Hal ini umumnya menggambarkan defisiensi besi, keadaan sideroblastik dan kehilangan darah kronik atau gangguan sintesis globin seperti pada penderita talasemia. Dari semua itu defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia didunia. Anemia Defisiensi Besi, menurut patogenesisnya :

Masukan kurang Absorpsi kurang Sintesis kurang

: MEP, defisiensi diet, pertumbuhan cepat. : MEP, diare kronis : transferin kurang

Kebutuhan meningkat : infeksi dan pertumbuhan cepat Pengeluaran bertambah: kehilangan darah karena infeksi parasit dan polip

berdasarkan umur penderita penyebab dari defisiensi besi dapat dibedakan:

bayi < 1tahun : persediaan besi kurang karena BBLR, lahir kembar, ASI eklusif tanpa suplemen besi, susu formula rendah besi, pertumbuhan cepat, anemi selama kehamilan

anak 1-2 tahun : masukan besi kurang, kebutuhan yang meningkat karena infeksi berulang (enteritis,BP), absorpsi kurang

anak 2-5 tahun : masukan besi kurang, kebutuhan meningkat, kehilangan darah karena divertikulum meckeli.

Anak 5-remaja : perdarahan karena infeksi parasit dan polip, diet tidak adekuat. Remaja-dewasa: mentruasi berlebihan

b. Makrositik Normokrom (Megalobalstik) Makrositik berarti ukuran sel darah merah lebih besar dari normal tetapi normokrom karena konsentrasi hemoglobin normal (MCV >100 fL, MCHC normal). Hal ini diakibatkan oleh gangguan atau terhentinya sintesis asam nukleat DNA seperti yang ditemukan pada defisiensi B12 dan atau asam folat. Etiologi Anemia Defisiensi Asam Folat:

kekurangan masukan asam folat

gangguan absorpsi kekurangan faktor intrinsik seperti pada anemia pernisiosa dan postgastrektomi infeksi parasit penyakit usus dan keganasan obat yang bersifat antagonistik terhadap asam folat seperti metotrexat

Anemia Defisiensi Vitamin B12 Dihasilkan dari kobalamin dalam makanan terutama makanan yang mengandung sumber hewani seperti daging dan telur. Vitamin B12 merupakan bahan esensial untuk produksi sel darah merah dan fungsi sistem saraf secara normal. Anemia jenis ini biasanya disebabkan karena kurangnya masukan, panderita alkoholik kronik,

pembedahan lambung dan ileum terminale, malabsorpsi dan lain-lain. Adapun gejala dari penyakit ini berupa penurunan nafsu makan, diare, sesak napas, lemah, dan cepat lelah. Untuk pengobatannya dapat diberikan suplementasi vitamin B12. c. Anemia Dimorfik Suatu campuran anemia mikrositik hipokrom dan anemia megaloblastik. Biasanya disebabkan oleh defisiensi dari asam folat dan besi. II) Anemia Aplastik / Pansitopenia Keadaan yang disebabkan berkurangnya sel-sel darah dalam darah tepi sebagai akibat terhentinya pembentukan sel hemapoetik dalam SSTL, sehingga penderita mengalami pansitopenia yaitu kekurangan sel darah merah, sel darah putih dan trombosit.Secara morfologis sel-sel darah merah terlihat normositik dan normokrom, hitung retikulosit rendah atau hilang, biopsi sumsum tulang menunjukkan keadaan yang disebut pungsi kering dengan hipoplasia yang nyata dan terjadi penggantian dengan jaringan lemak. III) Anemia Hemolitik Pada anemia hemolitik umur eritrosit menjadi lebih pendek (normal umur eritrosit 100-120 hari). Gejala umum penyakit ini disebabkan adanya penghancuran eritrosit sehingga dapat menimbulkan gejala anemi, bilirubin meningkat bila fungsi hepar buruk dan keaktifan sumsum tulang untuk mengadakan kompensasi terhadap penghancuran tersebut (hipereaktif eritropoetik) sehingga dalam darah tepi dijumpai banyak eritrosit berinti, retikulosit meningkat, polikromasi, bahkan eritropoesis ektrameduler. Adapun gejala klinis penyakit ini berupa : menggigil, pucat, cepat lelah, sesak napas, jaundice, urin berwarna gelap, dan pembesaran limpa. Penyakit ini dapat dibagi dalam 2 golongan besar yaitu : a. Gangguan Intrakorpuskular (kongenital)

Kelainan ini umumnya disebabkan oleh karena ada gangguan dalam metabolisme eritrosit sendiri. Dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu : i) Gangguan pada struktur dinding eritrosit

Sferositosis

Umur eritrosit pendek, bentuknya kecil, bundar dan resistensi terhadap NaCl hipotonis menjadi rendah. Limpa membesar dan sering disertai ikhterus, jumlah retikulosit meningkat. Penyebab hemolisis pada penyakit ini disebabkan oleh kelainan membran eritrosit. Pada anak gejala anemia lebih menyolok dibanding dengan ikhterus. Suatu infeksi yang ringan dapat menimbulkan krisis aplastik. Utnuk pengobatan dapat dilakukan transfusi darah dalam keadaan kritis, pengangkatan limpa pada keadaan yang ringan dan anak yang agak besar (2-3 tahun), roboransia.

Ovalositosis (eliptositosis) 50-90% Eritrosit berbentuk oval (lonjong), diturunkan secara dominan, hemolisis tidak seberat sferositosis, dengan splenektomi dapat mengurangi proses hemolisis.

A beta lipoproteinemia Diduga kelainan bentuk ini disebabkan oleh kelainan komposisi lemak pada dinding sel.

Gangguan pembentukan nukleotida Kelainan ini dapat menyebabkan dinding eritrosit mudah pecah

Defisisnsi vitamin E

ii) Gangguan enzim yang mengakibatkan kelainan metabolisme dalam eritrosit


Defisiensi G6PD

akibat kekurangan enzim ini maka glutation (GSSG) tidak dapat direduksi. Glutation dalam keadaan tereduksi (GSH) diduga penting untuk melindungi eritrosit dari setiap oksidasi, terutama obat-obatan. Diturunkan secara dominan melalui kromosom X. Penyakit ini lebih nyata pada laki-laki. Proses hemolitik dapat timbul akibat atau pada : obat-obatan (asetosal, sulfa, obat anti malaria), memakan kacang babi, alergi serbuk bunga, bayi baru lahir. Gejala klinis yang timbul berupa cepat lelah, pucat, sesak napas, jaundice dan pembesaran hepar. Untuk terapi bersifat kausal.
Defisiensi glutation reduktase

Disertai trombositopenia dan leukopenia dan disertai kelainan neurologis.


Defisiensi glutation

Diturunkan secara resesif dan jarang ditemukan.


Defisiensi piruvat kinase

Pada bentuk homozigot berat sekali sedang pada bentuk heterozigot tidak terlalu berat. Khas dari penyakit ini adanya peninggian kadar 2,3 difosfogliserat (2,3 DPG). Gejala klinis bervariasi, untuk terapi dapat dilakukan tranfusi darah.
Defisiensi triose phosphatase isomerase (TPI)

Menyerupai sferositosis tetapi tidak ada peningkatan fragilitas osmotik dan hapusan darah tepi tidak ditemnukan sferosit. Pada bentuk homozigot bnersiaft lebih berat.
Defisiensi difosfogliserat mutase Defisiensi heksokinase Defisiensi gliseraldehide 3 fosfat dehidrogenase

iii) Hemoglobinopatia Hemoglobin orang dewasa normal teridi dari HbA (98%), HbA2 tidak lebih dari 2 % dan HbF tidak lebih dari 3 %. Pada bayi baru lahir HbF merupakan bagian terbesar dari hemoglobinnya (95%), kemudian pada perkembangan konsentrasi HbF akan menurun sehingga pada umur 1 tahun telah mencapai keadaan yang normal. Terdapat 2 golongan besar gangguan pembentukan Hemoglobin ini yaitu :

gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglobin abnormal) misal HbE, HbS dan lain-lain.

Gangguan jumlah (salah satu atau beberapa) rantai globin misal talasemia

TALASEMIA Penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan dari kedua orang tua kepada anakanaknya secara resesif. Di Indonesia talasemia merupakan penyakit terbanyak diantara golongan anemia hemolitik dengan penyebab intrakorpuskular. b. Gangguan Ektrakorpuskular Golongan dengan penyebab hemolisis ektraseluler, biasanya penyebabnya merupakan faktor yang didapat (acquired) dan dapat disebakan oleh : 1. obat-obatan, racun ular, jamur, bahan kimia (bensin, saponin, air), toksin (hemolisisn) streptokokkus, virus, malaria. 2. hipesplenisme 3. anemia akibat penghancuran eritrosit karena reaksi antigen-antibodi. Seperti inkompabilitas golongan darah, alergen atau hapten yang berasal dari luar tubuh, bisa juga karena reaksi autoimun.

IV)Anemia Post Hemoragik Terjadi akibat perdarahan masif atau perdarahan menahun seperti kehilangan darah karena kecelakaan, operasi, perdarahan usus, ulkus peptikum, hemoroid. a. Kehilangan darah mendadak

Pengaruh yang timbul segera

kehilangan darah yang cepat akan menimbulkan reflek kardiovaskular sehingga terjadi kontraksi arteriola, penurunan aliran darah keorgan yang kurang vital (anggota gerak, ginjal dan sebagainya) dan peningkaata aliran darah keorgan vital (otak dan jantung).

Kehilangan darah 12-15% : pucat, takikardi, TD normal/menurun Kehilangan darah 15-20% : TD menurun, syok reversibel Kehilangan darah >20% : syok reversibel Terapi : transfusi darah dan plasma

. Pengaruh lambat

pergeseran cairan ektraseluler ke intraseluler sehingga terjadi hemodilusi gejala : leukositosis (15.000-20.000/mm3), Hb, Ht, eritrosit menurun, eritropoetik meningkat, oligouria / anuria, gagal jantung.

Terapi dapat diberikan PRC

b.. Kehilangan darah menahun

PATOFISIOLOGI ANEMIA

Sel darah merah berasal dari sel progenitor yang tidak berdiferensiasi pada sumsum tulang yang disebut sel induk pluripoten. Sel induk merupakan sel yang mampu untuk memperbaharui diri sendiri dan berdiferensiasi. Baik eritrosit maupun granulosit, monosit, trombosit, dan limfosit terbentuk dari sel luhur ini, Sumsum tulang normal mampu meningkatkan produksi sel darah merahnya sampai sekitar 3 sampai 5 kali rata-rata normal dalam seminggu atau 2 minggu setelah stimulasi dengan kadar eritropoeitin tinggi. Pada anemia hemolitik kronik, entropoeisis dapat meniingkat sampai 5 sampai 7 kali lipat. Pada biosintesis hemoglobin, perkembangan sel eritroid melibatkan produksi sel yang mengandung hemoglobin. Hemoglobin adalah sebuah tetramer yang terdiri dari 2 pasang polipeptida misalnya 22, Subunit globin, , , , dan , masing-masing terikat secara kovalen pada sekelompok heme. Jika produksi sel darah merah terganggu, mungkin terdapat penghancuran sel eritroid yang bermakna dalam sumsum tulang. Sejumlah anemia ditandai oleh eritropoeisis yang inefektif. Produksi karbon monoksida endogen dan kadar bilirubin tidak terkonjungasi pada plasma biasanya meningkat pada eritropoeisi yang tidak efektif. Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan besi yang berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan menyebabkan cadangan besi yang berkurang. Absorpsi zat besi terutama terjadi di dudenum dan jejunum proksimal. Garam besi inorganik berada dalam 2 status valemsi, Fe2+ (ferro) dan Fe3+ (ferri). Sebagian besar zat besi yang berasal dari makanan terdiri dari garam ferrik. Absorpsi dibantu oleh keasaman lambung yang menjaga zat besi ferrik dalam bentuk yang dapat larut. Penyerapan besidilakukan oleh sel absorptive yang terdapat pada puncak vili usus. Besi hemeyang telah dicerna oleh asam lambung langsung diserap oleh sel absorptif,sedangkan untuk besi nonheme mekanisme yang terjadi sangat kompleks. Transpor dan penyimpanan zat besi, sebuat glikoprotein 80k-Da yang mampu

mengikat dua atom zat besi dan mengantar seluruh zat besi ke jaringan seluruh tubuh. Tempat pengikatan agregat semua transferin dalam sirkulasi sebanding dengan kapasitas totalikat besi (TIBC= total iron binding capacity) Dalam sirkulasi, besi tidak pernah bearada dalam bentuk logam bebas, melainkan berikatan oleh hepar (transferin) Besi bebas memiliki sifat seperti radikal bebas dan dapat merusak jaringan. Transferin berperan mengangkut besi kepada sel yang membutuhkan terutama sel progenitor eritrosit (normoblas) pada sumsum tulang. Permukaan normoblas memiliki reseptor transferin yang afinitasnya sangat

tinggiterhadap besi pada transferin. Kemudian besi akan masuk ke dalam sel melalui prosesendositosis menuju mitokondria. Disini besi digunakan sebagai bahan baku pembentukan hemoglobin. Pada pasien dengan defisiensi zat besi, protoporfirin IX berakumulasi di salam sel darah merah karena tidah terdapat cukup zat besi untuk diubah menjadi heme. Zat besi (Fe) diperlukan untuk pembuatan heme dan hemoglobin (Hb).Kekurangan Fe mengakibatkan kekurangan Hb. Walaupun pembuatan eritrosit juga menurun, tiap eritrosit mengandung Hb lebih sedikit dari padabiasa sehingga timbul anemia hipokromik mikrositik.

Patofisiologi Anemia akibat Penyakit Kronis Anemia pada peradangan kronik terutama disebabkan oleh gangguan pembentukan sel darah merah dan kegagalan tubuh mengkompensasi penurunan masa hisup eritrosit. Jumblah besi yang subnormal dalam eritroblas, walaupun simpanan besi berlebihan, mengisyaratkan adanya gangguan pemindahan besi ke sel eritrosit yang sedang berkembang. Mungkin sitokin peradangan, misalnya IL-1, menginduksi peningkatan tranlasi feritin di dalam makrofag, sehingga besi terperangkap dan tidak dapat dilepaskan ke transferin. Sel-sel yang terbentuk berada dalam keadaan defisiensi besi sehingga cenderung berukuran kecil dan pucat.

Patogenesis Anemia akibat Talasemia Akibat ketidakseimbangan sintesis rantai hemoglobin, pasien talasemia mengalami hemolisis dan eritropisis inefektif yang derajatnya bervariasi. Pada talasemia mayor, terjadi kelebihan relatif yang mencolok pada pembentukan rantai-. Rantai- bebas memiliki kelarutan yang rendah dan akan membentuk agregat tidak larut atau inklusi di dalam presekusor sel darah merah di sumsum tulang. Badan inklusi pada talasemia menimbulkan gangguan permeabilitas membrana eritrosit serta menyebabkan sel darah merah terperangkap dan didestruksi oleh makrofag di dalam sistem fagosit mononukleus. Akibatnya, talasemia ditandai oleh destruksi eritroid intramedula dan pemendekan masa hidup sel darah merah yang keluar dari sumsum tulang.

DIAGNOSIS ANEMIA

Anemia adalah kondisi ketika jumlah eritrosit atau kapasitas eritrosit untuk membawa oksigen tidak mencukupi kebutuhan fisiologis tubuh, yang bervariasi sesuai umur, jenis kelamin, ketinggian dari permukaan laut (altitude), kebiasaan merokok, dan status kehamilan. 1 Definisi anemia berdasarkan jumlah hemoglobin mnurut CDC adalah jika didapatkan nilai hemoglobin yang kurang dari nilai cut-off berikut. 2

Pendekatan Klinis pada Anemia

Sebagian besar anak dengan anemia ringan tidak memiliki gejala dan tanda. Beberapa mungkin muncul dengan gelisah / rewel atau pica (pada anemia defisiensi FE), jaundice (anemia hemolitik), sesak, palpitasi, tachypneau, tachycardia, dan gagal jantung, terutama pada anak dengan anemia akut atau anemia berat. 3 Palor (pucat) memiliki sensitivitas yang rendah untuk menilai anemia ringan, namun berkorelasi tinggi dengan anemia berat. Temuan pucat pada pemeriksaan fisik tampak nyata pada anak dengan Hb <7-8 g/dL, yaitu pada kulit dan membran mukosa4, seperti konjungtiva, lidah, telapak tangan, dan nail bed.5 Pada kondisi anemia kronis dapat ditemukan glossitis, murmur, dan keterlambatan pertumbuhan.4

Pendekatan Laboratoris pada Anemia

Uji laboratoris yang digunakan untuk pendekatan diagnosis anemia meliputi hematologi rutin (darah lengkap) dan status besi. Pemeriksaan darah lengkap yang dilakukan meliputi jumlah eritrosit, jumlah leukosit, jumlah/volume trombosit, hapusan darah, hitung jenis leukosit (basofil/eosinofil/neutrofil/limfosit/monosit), nilai Hemoglobin (Hb), persen Hematokrit (Hct), dan indeks eritrosit. Indeks eritrosit antara lain : MCV (Mean Corpuscular Volume), MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin), MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration), dan RDW (Red Cell Distribution Width). Status besi meliputi Serum Ferritin (SF), Transferin Saturation (ST), Kadar Besi, dan Total Iron Binding Capacity (TIBC). MCV mencerminkan ukuran eritrosit (mikrositik/normositik/makrositik), MCH mengindikasikan berat Hb dalam eritrosit tanpa memperhatikan ukurannya, MCHC mengindikasikan konsentrasi Hb per unit volume eritrosit, dan RDW merupakan perbedaan ukuran (luas) eritrosit yang didapatkan dari pengukuran luas kurva distribusi ukuran pada histogram. Hapusan ferritin mencerminkan penyimpanan besi, dan TIBC mencerminkan kemampuan tubuh untuk mentransport besi dalam produksi eritrosit. Pengukuran Hb saja gagal untuk mendeteksi banyak kasus dari defisiensi besi awal atau ringan, hal ini disebabkan umur eritrosit merefleksikan kandungan besi sumsum tulang selama 120 hari sebelumnya. Karena retikulosit bertahan dalam perifer hanya untuk satu atau dua hari, Reticulocyte Hemoglobin Content (RHC) merupakan pengukuran yang lebih akurat untuk mencerminkan keadaan sumsum tulang yang bersifat singkat/akut.
6

Di

samping itu, banyak kasus anemia pada anak tidak disebabkan oleh defisiensi besi. Sehingga, pengukuran jumlah Hb saja dapat menghasilkan terapi yang tidak diperlukan dan membutuhkan pengukuran ulang. 7 Klasifikasi Anemia

Secara umum, anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologinya. Berdasarkan morfologi, anemia terbagi menjadi 3 klasifikasi besar, yaitu : 8 1. Anemia normokromik normositik, ditemukan pada kehilangan darah akut (acute blood loss), hemolisis, penyakit kronis termasuk infeksi, gangguan endokrin, gangguan ginjal, kegagalan sumsum, dan penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang. Pada golongan anemia ini, MCV normal dan MCHC normal. 2. Anemia hipokromik mikrositik, yang menggambarkan insufisiensi besi (Fe) inadekuat seperti pada anemia defisiensi Fe, anemia sideroblastik, gangguan sintesis globin seperti pada thalasemia, atau kehilangan darah kronik. Pada golongan anemia ini MCV rendah, MCHC rendah.

3.

Anemia normokromik makrositer, dijumpai pada anemia megaloblastik yang disebabkan oleh gagguan sintesis DNA asam nukleat (defisiensi B12 dan asam folat), Pada golongan anemia ini, MCV meningkat, MCHC normal. Sel tampak normositer karena konsentrasi Hb normal.

Berdasarkan etiologi, anemia diklasifikasikan menjadi : 8 1. Anemia pasca perdarahan, terjadi akibat perdarahan yang massif (seperti kecelakaan, luka operasi, dan sebagainya) 2. Anemia Hemolitik, terjadi akibat destruksi (hemolisis) eritrosit yang berlebihan. Faktor penyebab keadaan ini terbagi 2, yaitu (a) Faktor intrasel : talassemia,

hemoglobinopatia (talasemia HbE, anemia sickle-cell), sferosis congenital, defisiensi enzim eritrosit ; dan (b) Faktor ekstrasel : intoksikasi, infeksi (malaria), imunologis (inkompatibilitas golongan darah, reaksi hemolitik pada transfuse darah) 3. Anemia Defisiensi, disebabkan kurangnya faktor maturasi sel darah merah (defisiensi besi, asam folat, vitamin B12, dsb) 4. Anemia Aplastik, disebabkan terhentinya pembuatan eritrosit oleh sumsum tulang.

Kondisi anemia pada usia spesifik akan mengarahkan ke kecenderungan diagnosis yang berbeda, antara lain :4 1. Neonatus (0-28 hari), meliputi kehilangan darah akut (perdarahan akibat trauma, subgaleal), isoimunisasi (inkompatibilitas ABO atau RH), anemia hemolitik congenital (defisiensi G6PD), Diamond-Blackfan syndrome. 2. Bayi hingga balita (1 bulan s/d 3 tahun), meliputi defisiensi besi, infeksi yang bersamaan, kehilangan darah, gangguan struktur atau sintesis Hb (thalassemia, anemia sickle cell), leukemia, defek enzim eritrosit (defisiensi G6PD, defisiensi piruvat kinase), defek membran eritrosit, anemia hemolitik didapat, keracunan timah 3. Balita hingga remaja, meliputi defisiensi Fe saat remaja, penyakit kronis, kehilangan darah, gangguan sintesis Hb, anemia hemolitik didapat, defek membran eritrosit, leukemia dan gangguan sumsum tulang lainnya.

Algoritma Diagnostik Anemia

Menurut Practical Algorithm in Medical Hematology and Oncology (2003), terdapat beberapa algoritma diagnostik yang dapat digunakan untuk menentukan diagnosis anemia berdasarkan pemeriksaan laboratorium. Algoritma tersebut digambarkan pada halaman berikut.

PENATALAKSANAAN

Tranfusi Setiap unit PRC akan menaikkan konsentrasi Hb kira-kira 1g/dL atau kenaikan hematokrit sekitar 3%. Hampir semua anak-anak mentoleransi dosis 5-10 mL/kg. Dosis neonatus adalah 10-15 mL/kg. Digunakan dosis 5 ml/kg apabila hematokrit < 20%, dan dosis 2,5 mL/kg bila hematokrit <10%. Transfusi PRC 3 ml/kg akan menaikkan HB 1 g/dL atau 10 mL/kg akan menaikkan hematokrit 10%. Lama pemberian PRC minimum 2 jam dan maksimum 4 jam. Contoh perhitungan dosis (Quick Formula): Volume transfusi = Total volume darah x (Ht yang diharapkan Ht sebelum transfusi) Ht donor unit Total Volume darah = 70 cc x BB (kg) atau 75 cc x BB ( kg) Anemia ringan Anak (umur < 6 tahun) menderita anemia jika kadar Hb < 9,3 g/dl (kira-kira sama dengan nilai Ht < 27%). Jika timbul anemia, atasi dengan pemberian pengobatan (di rumah) dengan zat besi (tablet besi/folat atau sirup setiap hari) selama 14 hari. Anemia Berat Beri transfusi darah sesegera mungkin untuk:

semua anak dengan kadar Ht 12% atau Hb 4 g/dl anak dengan anemi tidak berat (haematokrit 1318%; Hb 46 g/dl) dengan beberapa tampilan klinis berikut:
o o o o o o

Dehidrasi yang terlihat secara klinis Syok Gangguan kesadaran Gagal jantung Pernapasan yang dalam dan berat Parasitemia malaria yang sangat tinggi (>10% sel merah berparasit).

Jika komponen sel darah merah (PRC) tersedia, pemberian 10 ml/kgBB selama 34 jam lebih baik daripada pemberian darah utuh. Jika tidak tersedia, beri darah utuh segar (20 ml/kgBB) dalam 34 jam.

Periksa frekuensi napas dan denyut nadi anak setiap 15 menit. Jika salah satu di antaranya mengalami peningkatan, lambatkan transfusi. Jika anak tampak mengalami kelebihan cairan karena transfusi darah, berikan furosemid 12 mg/kgBB IV, hingga jumlah total maksimal 20 mg.

Bila setelah transfusi, kadar Hb masih tetap sama dengan sebelumnya, ulangi transfusi.

Pada anak dengan gizi buruk, kelebihan cairan merupakan komplikasi yang umum terjadi dan serius. Berikan komponen sel darah merah atau darah utuh, 10 ml/kgBB (bukan 20 ml/kgBB) hanya sekali dan jangan ulangi transfusi.

Anda mungkin juga menyukai