Anda di halaman 1dari 3

ERYTHEMA MULTIFORME

Drg. Cane Lukisari Drg. Priyo Hadi, MS, SpPM 1. DEFINISI Erythema Multiforme (EM) adalah merupakan suatu penyakit akut dari kulit dan membran mukosa yang dapat menyebabkan beberapa jenis lesi kulit, karenanya dinamakan multiforme (Greenberg,2003). Penyakit ini merupakan suatu reaksi hipersensitivitas, yang karakteristik dengan adanya lesi target pada kulit atau lesi ulserasi pada mukosa. EM terbagi atas 2 tipe yaitu tipe minor dan tipe mayor serta varian dengan gejala yang lebih parah parah disebut Steven Johnson syndrome (Regezi,2008; Laskaris, 2005; Scully; 2007). 2. EPIDEMIOLOGI Sering terjadi pada dewasa muda dan prevalensi tertinggi pada usia 20-40 tahun, jarang terjadi pada anak-anak (20%) atau orang tua (Laskaris, 2005; Scully, 2007). Dan lebih sering terjadi pada laki-laki daripada wanita (Field, 2004). 3. ETIOLOGI Penyebabnya EM belum jelas. Diduga adalah suatu reaksi hipersensitivitas (Regezi,2003). Dan dianggap suatu penyakit imunologi (Laskaris, 2005) .Dimana terjadi suatu reaksi kompleks imun yang ditimbulkan sebagai akibat adanya respon imun pada antigen tertentu seperti herpes simplex virus atau beberapa jenis obat tertentu (Wray, 2001). 4. PATOGENESIS EM terjadi karena adanya peningkatan kadar kompleks antigen-antibodi (imun) yang menyebabkan vaskulitis. Faktor-faktor spesifik penyebab vaskulitis kompleks imun adalah alergi makanan, reaksi terhadap mikroorganisme, radioterapi, penyakit sistemik, dan keganasan (Greenberg, 2003). Beberapa penelitian melaporkan keterlibatan beberapa mikroorganisme sebagai pencetus EM termasuk virus dan terutama herpes simplex virus (HSV) yang prosentasenya mencapai 70% pada kasus-kasus yang rekuren. Beberapa pasien melaporkan adanya riwayat infeksi HSV dua minggu sebelumnya serta didapatkannya DNA HSV (36-81%) dimana HSV-1 66%, HSV-2 28% dan keduanya 6%. HSV yang mencetuskan terjadinya Erythema Multiforme disebut herpes associated EM (HAEM). Fragmen DNA HSV pada kulit dan mukosa merupakan pencetusnya, sel CD4+ mentransport fragmen HSV ke epitelium dan terjadi akumulasi sel-T yang merespon antigen HSV sehingga terjadilah kerusakan sel-sel (Scully, 2007). Pemakaian obat-obatan juga dapat memicu terjadinya EM, penelitian melaporkan 59% terjadinya EM oleh karena hal ini. Peningkatan yang tajam terjadi karena penggunaan cephalosporin. Hal ini dipicu oleh metabolit obat-obatan reaktif dan adanya peningkatan apoptosis keratinosit oleh karena peningkatan TNF- yang dirilis oleh keratinosit, makrofag dan monosit menyebabkan kerusakan jaringan. Penyebab EM lainnya adalah penggunaan phenytoin dan pemberian terapi radiasi kranial (Scully, 2007).

Selain itu pada erythema multifore tipe mayor terjadi adanya reaksi hipersensitivitas tipe III yang diperantarai oleh pengendapan kompleks antigen-antibodi (imun). Diikuti dengan aktivasi komplemen, dan akumulasi limfosit polimorfonuklear. Dimanapun kompleks imun mengendap akan timbul kerusakan jaringan yang membentuk lesi patologis (Kumar, 2008). EM merupakan hasil dari T-cell mediated immune reactions sebagai agen pencetus terjadinya cytotoxic immunological attack pada keratinosit yang mengekpresikan non-self antigen yang kemudian akan terjadi vesikulasi subepitelial dan intraepitelial dan akhirnya terjadilah blister dan erosi yang meluas (Scully,2007). 5. MANIFESTASI KLINIS a. Minor Erythema Multiforme Pada mukosa rongga mulut Hal ini terjadi pada 20-30 % kasus. Pada tipe EMminor jarang sekali terjadi hanya pada bagian rongga mulut saja. Lesi berupa vesikula yang banyak dan pecah, meninggalkan daerah erosi yang sakit dan ditutupi pseudomembran putih. Bagian mukosa lainnya Pada mukosa genital, dan jarang terjadi pada konjungtiva. Pada kulit Biasanya muncul macula papula kemerahan. Paling sering muncul dengan khas berupa lesi target (Laskaris, 2005). b. Mayor Erythema Multiforme Tipe ini melibatkan dua atau lebih membran mukosa dengan lebih banyak lagi daerah kulit yang terlibat (Scully, 2007) Pada mukosa rongga mulut Lesi pada mukosa rongga mulut lebih sering terjadi pada kasus EM tipe mayor. Awalnya adalah daerah kemerahan, berubah dengan cepat menjadi bentuk vesikula dan segera pecah dan meninggalkan daerah erosi kemerahan yang ditutupi pseudomembran putih dan krusta akibat perdarahan. Bagian mukosa lainnya Terjadi pada mata, genital, pharyng, laryng, esophagus, dan bronchial terutama pada kasus yang sangat parah. Pada kulit Lesi ini lebih sering terjadi, dengan bentukan lesi merah yang edematous, melepuh, dan adanya lesi target (Laskaris, 2005).

6. DIAGNOSA Berdasarkan adanya manifestasi klinis yang khas, yaitu adanya bulosa yang cepat pecah dan menimbulkan perdarahan, serta krusta pada bibir. Sedangkan pada kulit didapat adanya lesi target (Laskaris, 2005; Wray, 2001). Gambaran EM lainnya yang dapat dipertimbangkan adalah: the acute onset (or recurrent nature), erosi pada mukosa rongga mulut terutama pada bibir dan anterior mulut dan lesi pleomorfik pada kulit dan lainnya (Scully, 2007). Tidak ada pemeriksaan diagnostik yang spesifik untuk EM (Scully, 2007) sehingga perlu dilakukan pemeriksaan biopsi untuk melihat histopatologinya. Pemeriksaan mikroskop terlihat epithelial hyperplasia dan spongiosis(Regezi, 2008) dengan nekrosis satelit sel (individual eosinophilic necrotic keratinocytes yang dikelilingi oleh limfosit), degenerasi vakuolar pada daerah membrana basal, (Basal dan parabasal keratinosit yang terapoptosis selalu terlihat. Terjadi udema papilary yang parah sehingga terbentuklah vesikula pada permukaan epithelium, meskipun terkadang ada juga yang berada pada intraepithelium. Terdapat infiltrasi limfositik yang parah pada membrana

basal dan perivaskular serta adanya deposit imun nonspesifik yaitu IgM, C3 dan fibrin pada daerah ini walaupun dalam berbagai pemeriksaan tidak menunjukkan kekhasan terhadap EM. Gambaran paling banyak adalah adanya ephitelial yang nekrosis (Scully, 2007; Regezi, 2008). Pemeriksaan darah lengkap, urea, elektrolit, erythrocyte sedimentation rate (ESR) dan fungsi liver bersamaan dengan serologi HSV dan mikoplasma, kultur mikrobial dari darah, sputum dan daerah yang erosif perlu dilakukan pada pasien-pasien yang parah (Scully, 2007). 7. DIAGNOSA BANDING Herpes simpleks virus, pemphigus vulgaris, membrane mucous phempigoid (Regezi, 2008; Laskaris, 2005). 8. TERAPI a. Terapi secara sistemik Menghindari faktor penyebab atau mengobatinya, terutama karena adanya reaksi hipersensitivitas karena pemakaian obat . Pemakaian kortikosteroid secara oral, terutama setelah hari ke2-4, untuk mengurangi periode erupsi akut dan gejala. Tipe minor pemberian kortikosteroid oral antara 20-40 mg/hari selama 4-6 hari lalu diberikan secara tapering dosis tak lebih dari 2 minggu. Pada tipe mayor perlu pemberian antara 4080 mg/hari selama 2-3 minggu. Pemberian antibiotik untuk menghindari infeksi sekunder (Laskaris, 2005). Obat-obat antivirus diindikasikan untuk pasien HAEM, dengan pemberian acyclovir 200 mg, lima kali sehari sejak terlihat pertamakali munculnya lesi atau 400 mg, empat kali sehari selama 6 bln atau melanjutkan terapi menggunakan valacyclovir, pemberian 500 mg dua kali sehari disarankan sebagai profilaksis (Scully, 2007) b. Terapi secara topikal Instruksi pada pasien untuk diet lunak, pemakaian anastesi topikal, obat kumur yang berisi antibiotik, dan kortikosteroid topikal untuk mengurangi ketidaknyamanan pada pasien (Laskaris, 2005). DAFTAR PUSTAKA

Field A, Longman L. Tyldesleys Oral Medicine, 5 th Ed. Oxford, 2004 ; p. 135-6. Greenberg, M; Glick, M; Burkets Oral MedicineDiagnosis and Treatment 10theditions; BC Decker Inc; 2003; p: 182-184 Laskaris George. Treatment of Oral Disease : A Concise Textbook, Thieme, 2005 ; p.66-7 Regezi,J; Sciubba, J;Jordan,R; Oral Pathology; Sunders, St Louis; 2008: p100-104; 34-35 Kumar,V; Abbas,A; Fausto,N; Basic Pathology 8th; Saunders, Philadelphia; 2008; P:435-440 Wray D, Lowe, Dagg, Felix, Scully. Textbook of General And Oral Medicine, Churchill Livingstone, 2001 ; p.238-9. Diposkan 2nd April 2010 oleh drg. Cane Lukisari, Sp PM

Anda mungkin juga menyukai