Anda di halaman 1dari 13

BAB II KONSEP-KONSEP SUMBER DAYA MANUSIA

A. Tenaga Kerja dan Bukan Tenaga Kerja Di Indonesia pengertian tenaga kerja atau manpower mencakup penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan, dan yang sedang melakukan kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga ( Simanjuntak, 1985: 2). Secara praktis pengertian tenaga kerja dan bukan tenaga kerja dibedakan oleh batas usia, dan tiap-tiap negara memberikan batas usia tenaga kerja yang berbeda-beda pula. Makin maju suatu negara maka batas minimum usia tenaga kerja semakin tinggi. Sebagai contoh misalnya di Jepang batas usia minimum tenaga kerja adalah 21 tahun tanpa batas maksimum (Barthos, 1990:16). Sedangkan di Amerika Serikat batas usia minimum tenaga kerja adalah 16 tahun tanpa ada batas usia maksimum. Jadi di Amerika Serikat penduduk yang usianya kurang dari 16 tahun tergolong bukan tenaga kerja.Di India menggunakan batas usia minimum tenaga kerja antara 14 tahun sampai dengan 60 tahun. Dengan demikian penduduk yang usianya kurang dari 14 tahun atau lebih dari 60 tahun digolongkan sebagai bukan tenaga kerja ( Simanjuntak, 1985: 2). Di Indonesia batas minimum usia tenaga kerja 10 tahun tanpa batas maksimum. Jadi yang tergolong tenaga kerja adalah seluruh penduduk yang berusia 10 tahun keatas. Sedangkan penduduk yang berusia kurang dari 10 tahun tergolong sebagai bukan tenaga kerja. Menurut Simanjuntak (1985:2-3) pemilihan batas minimum usia tenaga kerja Indonesia adalah berdasarkan kenyataan bahwa dalam usia tersebut sudah banyak penduduk terutama di desa-desa, yang sudah bekerja atau mencari pekerjaan. Namun demikian dengan diberlakukannya kebijakan pemerintah wajib belajar sembilan tahun (Wajar Sembilan Tahun) bagi seluruh anak-anak Sekolah Dasar di Indonesia, maka anak-anak sampai pada usia 13 tahun akan berada di sekolah. Dengan demikian jumlah anak-anak yang melakukan kegiatan ekonomi akan berkurang, sehingga batas minimum tenaga kerja menjadi 14 tahun dan tidak ada batas maksimum usia tenaga kerja.

Demikian juga di Indonesia tidak menganut batas maksimum usia tenaga kerja dengan alasan bahwa Indonesia belum mempunyai jaminan sosial nasional. Hanya sebagian kecil saja penduduk Indonesia yang menerima tunjangan dihari tua yaitu pegawai negeri dan sebagian kecil pegawai swasta. Sekalipun demikian, golongan ini masih tetap bekerja atau aktif dalam kegiatan ekonomi, sehingga mereka masih digolongkan sebagai tenaga kerja.

B. Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja Tenaga kerja terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Sedangkan angkatan kerja terdiri dari (1) golongan yang bekerja dan (2) golongan yang menganggur dan mencari pekerjaan. Kelompok bukan angkatan kerja terdiri dari (1) golongan yang bersekolah, (2) golongan yang mengurus rumah tangga, dan (3) golongan lain-lain atau penerima pendapatan. Golongan lain-lain ada dua macam yaitu : (a) penerima pendapatan, yaitu mereka yang tidak melalkukan suatu kegiatan ekonomi tetapi memperoleh pendapatan seperti tunjangan pension, bunga atas simpanan atau sewa atas milik, dan (b) mereka yang hidupnya tergantung dari orang lain misalnya karena lanjut usia, cacat, dalam penjara, atau sakit kronis ( Payaman J. Simanjuntak : 1985 : 3 ). Golongan yang bersekolah dan golongan yang mengurus rumah tangga dapat pula disebut sebagai golongan angkatan kerja potensial karena sewaktu-waktu dapat terjun untuk ikut bekerja. Termasuk angkatan kerja potensial adalah mereka yang sementara menarik diri dari pasar kerja karena tidak berhasil memperoleh pekerjaan ( discouraged workers). Misalnya setelah cukup lama tidak berhasil memperoleh pekerjaan yang diharapkan, seseorang dapat mengurungkan niatnya mencari pekerjaan yang dimaksud. Mereka sebenarnya masih ingin bekerja, tetapi tidak aktif mencari pekerjaan. Kemudian tergolong angkatan kerja potensial lainnya adalah angkatan kerja sekunder yaitu bila kondisi pekerjaan cukup menarik, atau bila keluarga tidak mampu membiayai sekolah maka tenaga kerja yang tergolong bersekolah akan meninggalkan sekolah untuk sementara dan mencari pekerjaan. Sebaliknya tenaga kerja tersebut akan

kembali lagi kebangku sekolah bila kondisi pekerjaan sudah tidak menarik, atau bila keluarga sudah mampu membiayai sekolah. Demikian pula tenaga kerja yang mengurus rumah tangga akan masuk pasar kerja bila upah tinggi, atau bila penghasilan Keluarga rendah disbanding dengan kebutuhannya. Mereka akan kembali mengurus rumah tangga bila keadaan sebaliknya. Berbeda dengan golongan angkatan kerja sekunder, adalah bekerja maupun mencari pekerjaan. C. Bekerja dan Menganggur 1. Bekerja Untuk mendefinisikan bekerja dan menganggur ternyata cukup sulit, sebagaimana sulitnya mendefinisikan tenaga kerja dan bukan tenaga kerja, serta angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Batasan usia serta jumlah jam kerja juga tidak dapat menggambarkan definisi yang mencakup keadaan yang sebenarnya. Sebagai contoh misalnya seorang pembantu rumah tangga yang bekerja dan mendapatkan upah digolongkan sebagai angkatan kerja, sementara mereka yang bekerja mengurus rumah tangga dengan pekerjaan yang sama atau mungkin lebih banyak tetapi tidak mendapatkan upah, digolongkan sebagai bukan angkatan kerja. Seorang pesuruh disebuah kantor dengan gaji 800 ribu rupiah pada tahun 2010, digolongkan sebagai bekerja, dan seorang konsultan hukum yang hanya bekerja satu hari dengan penghasilan jauh lebih besar dibanding dengan pesuruh yang bekerja selama 22 hari dalam satu bulan, digolongkan sebagai penganggur. Tiap-tiap Negara memberikan definisi yang berbeda-beda tentang bekerja dan menganggur, dan definisi tersebut bisa berubah menurut waktu. Basir Barthos ( 1990 : 17 ) memberi batasan bekerja adalah melakukan kegiatan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan selama paling sedikit satu jam dalam satu minggu yang lalu. Waktu bekerja tersebut harus berurutan dan tidak terputus. Dalam bukunya Payaman ( 1985 : 4-5) disebutkan bahwa berdasarkan Sensus Penduduk tahun 1971 orang yang bekerja dengan maksud memperoleh penghasilan angkatan kerja primer, mereka ini adalah yang secara terus-menerus berada dalam pasar kerja baik

paling sedikit dua hari dalam seminggu sebelum hari pencacahan dinyatakan sebagai bekerja. Juga tergolong sebagai bekerja, mereka yang selama seminggu sebelum pencacahan tidak bekerja atau bekerja kurang dari dua hari tetapi mereka adalah: (1) pekerja tetap pada kantor pemerintahatau swasta yang sedang tidak masuk kerja karena cuti, sakit, mogok atau mangkir. (2) petani-petani yang mengusahakan tanah pertanian yang sedang tidak bekerja karena menunggu panen atau menunggu hujan untuk menggarap sawahnya. (3) orang yang bekerja dalam bidang keahlian seperti dokter, konsultan, tukang cukur, dan lain-lain. Dalam Sensus Penduduk tahun 1961orang dinyatakan bekerja bila paling sedikit 60 hari selama 6 bulan sebelum pencacahan ia melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan. Kemudian menurut Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 1976, Survey Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 1976 dan Sensus Penduduk tahun 1980, orang dinyatakan bekerja bila selama satu minggu sebelum pencacahan ia melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan paling sedikit selama satu jam. Dari beberapa definisi bekerja maka ternyata tidak ada penjelasan yang tegas mengenai jumlah jam kerja. Oleh karena itu supaya definisi bekerja dapat mendekati dengan kenyataan yang sebenarnya maka perlu ditegaskan jumlah jam kerja yang dipergunakan misalnya jumlah jam kerja perminggu atau jumlah jam kerja perbulan, dan sebagainya. Disamping itu berdasarkan definisi, bekerja adalah melakukan kegiatan untuk mendapatkan penghasilan. Oleh karena itu disamping jumlah jam kerja perlu pula diperhitungkan jumlah penghasilan yang diperoleh. 2. Menganggur Istilah penganggur yang merupakan terjemahan dari istilah unemployed memang dapat diartikan sebagai lawan kata dari employed atau bekerja. Namun agar dapat disebut penganggur masih ada persyaratan yang lain yaitu ia harus aktif mencari pekerjaan, sehingga lebih banyak dikategorikan sebagai pencari kerja ( Afrida : 2003 : 134 ).

10

Pendapat yang hampir sama memberikan batasan penganggur sebagai orang yang tidak bekerja sama sekali, atau bekerja kurang dari dua hari selama seminggu sebelum pencacahan dan berusaha memperoleh pekerjaan ( Payaman : 1985 : 5). Pada umumnya pengangguran itu terjadi karena adanya ketidak seimbangan antara permintaan tenaga kerja dan penyediaan tenaga kerja, baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Namun demikian pengangguran juga bisa dilihat dari sebabsebab terjadinya seseorang itu menganggur. Payaman J. Simanjuntak ( 1985 : 10-11) menggolongkan pengangguran menjadi beberapa jenis. Berikut ini jenis-jenis pengangguran dilihat dari sebab-sebab terjadinya, serta beberapa solusi yang bisa diberikan untuk mengatasi masalah pengangguran. a. Pengangguran friksional. Pengangguran friksional adalah pengangguran yang terjadi karena kesulitan temporer dalam mempertemukan pencari kerja dan lowongan kerja yang ada. Kesulitan temporer ini dapat berbentuk : 1) Waktu yang diperlukan selama prosedur pelamaran dan seleksi. Disatu pihak, pencari kerja tidak hanya sekedar mencari pekerjaan yang dapat memberikan penghasilan yang tertinggi dan kondisi kerja yang terbaik diantara beberapa alternative. Proses seperti itu memerlukan waktu. Dipihak yang lain pihak pengusaha tidak begitu saja mengisi lowongan kerja yang ada dengan orang yang pertama kali datang melamar. Untuk mengisi suatu lowongan tertentu pengusaha cenderung untuk memilih seorang yang dianggap terbaik diantara calon-calon yang ada. Pengisian lowongan seperti itu memerlukan proses seleksi, berarti membutuhkan waktu. Selama proses yang demikian, seorang pelamar yang menunggu panggilan untuk seleksi atau ujian masuk ( yang belum pasti diterima ) adalah tergolong penganggur friksional. Penganggur friksional dapat pula terjadi karena kurangnya mobilitas pencari kerja dimana lowongan pekerjaan justru terdapat bukan disekitar tempat tinggal pencari kerja. Misalnya pencari kerja tinggal di Jakarta, sementara lowongan kerja terdapat diluar Jakarta.

11

2) Faktor jarak. Kurangnya mobilitas pencari kerja dimana lowongan pekerjaan justru terdapat bukan disekitar tempat tinggal si pencari kerja. Misalnya pencari kerja terkumpul di Jakarta, sedang loeongan pekerjaan terdapat di luar Jakarta. 3) Kurangnya informasi. Hal ini terjadi karena pencari kerja tidak mengetahui dimana adanya lowongan pekerjaan dan demikian juga pengusaha tidak mengetahui dimana tersedianya tenagatenaga yang sesuai. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bagaimanapun juga pengangguran friksional tidak dapat dihindari dan pasti akan dialami oleh setiap pencari kerja. Beberapa solusi untuk mengatasi pengangguran friksional antara lain adalah: (1) mengurangi jangka waktu pengangguran, atau mempersingkat jangka waktu pengangguran melalui penyediaan informasi pasar kerja yang lebih lengkap. Misalnya dengan menyelenggarakan bursa kerja atau Job Fair. (2) Disamping itu menurut Sonny Sumarsono ( 2003 : 130-131): Jika ditinjau dari deskripsi permasalahannya, maka inti persoalannya terletak pada hambatan aliran informasi antara pencari kerja dan lowongan kerja. Oleh karena itu penangannya harus berupa usaha untuk mengintensifikasi dan mengekstensifikasi informasi. Intensif, agar informasi disebar dalam jumlah yang cukup. Penyebaran informasi secara ekstensif dimaksudkan agar menjangkau lokasi geografis seluas mungki, cepat diketahui oleh yang bersangkutan untuk mempercepat bertemunya pencari kerja dan lowongan pekerjaan. Pada saat sekarang penyebaran informasi bisa dilakukan melalui internet, disamping menggunakan media cetak yang lainnya. b. Pengangguran Struktural. Pengangguran structural terjadi karena adanya perubahan dalam struktur atau komposisi perekonomian. Perubahan struktur yang demikian memerlukan perubahan dalam ketrampilan tenaga kerja yang dibutuhkan. Sedangkan pihak pencari kerja tidak mampu menyesuaikan diri dengan ketrampilan baru tersebut. Misalnya dalam suatu pergeseran ekonomi agraris menjadi ekonomi industri. Disatu pihak akan terjadi pengurangan tenaga kerja disektor pertania, dan dipihak lain bertambah kebutuhan disektor industri. Tetapi kelebihan tenaga kerja disektor pertanian, tidak

12

dapat begitu saja diserap disektor industri karena sector industri memerlukan tenaga denga ketrampilan tertentu. Akibatnya tenaga berlebih disektor pertsnisn tersebut Bentuk pengangguran struktural lainnya adalah terjadinya pengurangan tenaga akibat penggunaan alat-alat dan teknologi maju. Penggunaan traktor misalnya dapat menimbulkan pengangguran dikalangan buruh tani. Jangka waktu lamanya pengangguran srtuktural lebih panjang dari pada pengangguran friksional. Oleh karena itu, untuk mengurangi banyaknya penganggur struktural, salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan latihan untuk memperoleh ketrampilan baru yang sesuai dengan permintaan dan teknologi baru. Pengangguran Musiman. c. Pengangguran musiman terjadi karena pergantian musim. Diluar musim panen dan turun kesawah, banyak orang yang tidak mempunyai kegiatan ekonomis, mereka hanya sekadar menunggu musim panen tiba. Selama masa menunggu tersebut mereka digolongkan sebagai penganggur musiman. Namun dalam Sensus penduduk tahun 1971, Survey nasional tahun 1976 dan Sensus Penduduk tahun 1980 hal ini tidak jelas terlihat karena mereka menurut definisi tergolong bekerja. Selain ketiga jenis pengangguran tersebut ada pendapat lain yang melengkapi pendapat Payaman. Menurut Sony Sumarsono (2003 : 118) pengangguran terjadi karena ketidak sesuaian antara permintaan dan penyediaan dalam pasar kerja. Bentuk-bentuk ketidak sesuaian tersebut menjadikan beberapa jenis pengangguran sebagai berikut : d. Pengangguran peralihan. Pengangguran yang disebabkan karena pencari kerja tidak tahu bahwa ada lowongan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi yang dimiliki. Jenis pengangguran ini hamper sama dengan pengangguran friksional yang disebabkan karena faktor jarak. merupakan penganggur srtuktural.

13

e.

Pengangguran Konjungtur (Siklikal). Pengangguran siklikal adalah pengangguran yang disebabkan karena menurunnya kegiatan ekonomi atau karena perubahan konjungtur. Misalnya terjadinya banjir lima tahunan, sepuluh tahunan, atau dalam kegiatan ekonomi ada kalanya terjadi ekspansi kegiatan meningkat, lalu timbul kejenuhan dan penurunan kegiatan. Setelah itu diikuti peningkatan kegiatan lagi, dan seterusnya. Kejadian ini terus berulang-ulang secara rutin, sehingga sudah barang tentu akan mempengaruhi permintaan tenaga kerja. Pengangguran ini juga hampir sama dengan pengangguran musiman, hanya saja jangka waktunya lebih panjang.

f.

Pengangguran Teknologis. Pengangguran teknologis terjadi karena adanya perubahan teknologi produksi. Misalnya penggunaan mesin tik yang berganti dengan computer maka pengetik harus melatih diri untuk bisa menjadi operator komputer, pompa angin manual dengan kompresor, perubahan lokomotif tenaga uap menjadi disel sehingga tidak lagi membutuhkan tukang api, dan sebagainya.

g.

Penganggur Muda. Penganggur muda adalah tenaga kerja kelompok umur 15 25 tahun yang belum bekerja dan baru memasuki pasar kerja untuk mencari pekerjaan.

h. Penganggur Tua. Adalah jenis pengangguran yang diderita oleh orang-orang yang karena sesuatu sebab tidak dapat menjalani kariernya sampai usia cukup tua untuk mengundurkan diri dari dunia pekerjaan. i. Pengangguran yang disebabkan oleh isolasi geografis. Adalah jenis pengangguran yang dialami oleh masyarakat yang tinggal dalam wilayah yang jauh terpencil dari pusat kegiatan ekonomi.

14

3. Setengah Penganggur. Pendekatan angkatan kerja yang membedakan orang yang bekerja dan menganggur pada dasarnya menimbulkan masalah-masalah pokok sebagai berikut : a. masalah penentuan batas jam kerja yang berbeda-beda. Dalam hal ini belum dirumuskan batas jam kerja yang tepat. Misalnya untuk membedakan bekerja dan menganggur menggunakan batas jam kerja yang berbeda-beda seperti 60 hari dalam 6 bulan, atau dua hari kerja dalam seminggu, atau satu jam kerja seminggu, dan sebagainya. b. Pembedaan tenaga kerja atas bekerja dan menganggur tidak menggambarkan masalah tenaga kerja yang sebenarnya. Pemilihan jam kerja yang pendek misalnya satu jam dalam seminggu, menggambarkan jumlah pengangguran yang sangat rendah. Sebaliknya penentuan jumlah jam kerja yang terlalu panjang misalnya dua hari atau 14 jam seminggu, akan menggambarkan tingkat pengangguran yang relative tinggi. Angka ini memperkecil jumlah orang yang bekerja karena orang yang bekerja 5-9 jam seminggu masih digolongkan sebagai penganggur. c. Pembedaan atas orang bekerja dan menganggur tidak menunjukkan apa-apa mengenai tingkat pendapatan dan produktivitas seseorang.pada dasarnya orang bekerja untuk memperoleh penghasilan. Ada orang yang bekerja 40 jam seminggu atau lebih pendapatannya rendah, sedang yang lain bekerja kurang dari 20 jam tetapi penghasilannya lebih besar. Untuk mengatasi masalah tersebut maka dikembangkan pendekatan penggunaan tenaga kerja yang menitik beratkan pada apakah seseorang cukup dimanfaatkan dalam kerja dilihat dari segi a) jumlah jam kerja, b) produktivitas kerja dan c) pendapatan yang diperoleh. Dengan pendekatan ini angkatan kerja dibedakan tiga golongan, yaitu orang yang : a) menganggur, yaitu orang yang sama sekali tidak bekerja ( penganggur terbuka ) dan berusaha mencari pekerjaan; b) setengah menganggur, yaitu mereka yang kurang dimanfaatkan dalam bekerja dilihat dari segi jam kerja, produktivitas kerja dan pendapatan; dan c) bekerja penuh atau cukup dimanfaatkan dalam bekerja. Sementara itu, yang tergolong setengah menganggur dapat digolongkan berdasarkan jumlah jam kerja, produktivitas kerja dan pendapatan, kedalam dua

15

kelompok yaitu : (a) setengah penganggur kentara, yaitu mereka yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu, dan (b) setengah penganggur tidak kentara atau setengah penganggur terselubung, yaitu mereka yang produktivitas kerja dan pendapatannya rendah. Atau mereka yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu. Namun demikian yang masih tetap sulit untuk diukur adalah penganggur terselubung dalam bentuk produktivitas kerja dan pendapatan yang rendah. Pada dasarnya seseorang berproduktivitas rendah disebabkan karena beberapa kemungkinan antara lain (Payaman : 1985 : 13): 1) Kurangnya ketrampilan. Biasanya orang kurang terampil dalam pekerjaan karena pendidikan yang rendah. Hal ini karena pendidikan yang diterima disekolah-sekolah kadang-kadang terlalu umum dan tidak dapat secara langsung diterapkan secara langsung dalam dalam pekerjaan. Akibatnya orang yang sudah berpendidikan agak tinggi tetap masih mempunyai produktivitas kerja yang rendah. Demikian juga bagi orang yang baru mulai bekerja atau kurang pengalaman kerja biasanya mempunyai produktivitas rendah. Rendahnya produktivitas kerja yang disebabkan kurangnya ketrampilan ini dapat ditingkatkan melalui latihan kerja baik diluar maupun ditempat kerja. 2) Kurangnya sarana-sarana penunjang. Ini dapat berbentuk (a) kurangnya alat kerja seperti kertas, mesin ketik, computer, penerangan yang baik, alat pengangkutan, dll, (b) kurangnya organisasi dan manajemen pimpinan. (c) ketidak mampuan pimpinan menumbuhkan motivasi dan membina kerja sama yang baik antar pekerja, (d) mengadakan pembagian kerja yang jelas antara semua karyawan, dan (e) salah dalam penempatan. 3) Rendahnya tingkat kesehatan dan gisi. 4) Rendahnya tingkat upah dan system pengupahan yang tidak mengandung system pemberian insentif bagi karyawan yang berprestasi baik. Upah yang rendah tidak mendorong kegairahan kerja. Upah yang rendah juga mengakibatkan tingkat kesehatan dan konsumsi yang terbatas dan oleh sebab itu produktivitas kerja menjadi rendah juga. Sekalipun rendahnya tingkat produktivitas seseorang dapat ditingkatkan dengan berbagai cara seperti latihan ditempat kerja maupun diluar tempat kerja, namun untuk mengukur tingkat produktivitas kerja tetap masih sulit, karena

16

penentuan batas antara produktivitas kerja rendah dan tinggi belum dikembangkan secara terperinci. D. Tingkat Partisipasi Kerja. Sebagaimana telah diketahui bahwa tidak semua sumber daya manusia dalam usia kerja ikut ambil bagian dalam bekerja, atau tidak semua sumber daya manusia bekerja untuk mendapatkan penghasilan. Sebagian dari mereka bekerja, sebagian yang lain mencari pekerjaan, atau sebagian yang lainnya lagi bersekolah, mengurus rumah tangga, atau sementara tidak bekerja karena alas an-alasan tertentu. Tingkat partisipasi kerja juga dapat dinyatakan untuk seluruh penduduk usia kerja, dapat pula dinyatakan untuk suatu kelompok laki-laki, kelompok wanita, kelompok tenaga terdidik, kelompok usia 10-14 tahun didesa, dan lain-lain. Jika jumlah penduduk semakin besar, maka jumlah tenaga kerja juga semakin besar dan semakin besar pula jumlah angkatan kerja. Jika jumlah angkatan kerja yang bersekolah dan yang mengurus rumah tangga semakin banyak maka tingkat partisipasi kerja semakin kecil. Tingakt partisipasi kerja adalah seberapa besar sumber daya manusia yang dimanfaatkan dalam bekerja. Ada beberapa factor yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat partisipasi kerja (Payaman : 1985 : 36-37) yaitu : 1) Jumlah penduduk yang masih bersekolah. Semakin besar jumlah penduduk yang bersekolah, semakin kecil jumlah angkatan kerja sehingga semakin kecil tingkat partisipasi kerja. Jumlah penduduk yang bersekolah dipengaruhi oleh penyediaan fasilitas pendidikan yang semakin baik, dan tingkat penghasilan yang semakin baik. Hal ini menjadikan penduduk tetap ingin bersekolah. Adanya kebijakan pemerintah tentang Wajar Sembilan Tahun mengakibatkan tingkat partisipasi kerja penduduk usia 10-14 tahun rendah. 2) Jumlah penduduk yang mengurus rumah tangga. Semakin banyak jumlah penduduk yang mengurus rumah tangga maka semakin kecil tingkat partisipasi kerja. 3) Tingkat penghasilan dan jumlah tanggungan dalam keluarga. Keluarga yang berpenghasilan besar akan mengurangi jumlah anggota Keluarga yang bekerja sehingga tingkat partisipasi kerja kecil. Sebaliknya Keluarga yang tingkat

17

penghasilannya rendah mengharuskan anggota keluarganya ikut bekerja untuk menambah penghasilan. Akibatnya tingkat partisipasi kerja tinggi. 4) Tingkat partisipasi kerja juga dipengaruhi oleh umur. Penduduk usia muda yang biasanya masih bersekolah pada umumnya tidak dituntut untuk bekerja. Dengan demikian tingkat partisipasi kerja untuk kelompok usia muda adalah kecil. Sementara itu penduduk usia 25-35 tahun terutama laki-laki pada umumnya dituntut untuk mencari nafkah oleh sebab itu tingkat partisipasi kerja tinggi. Untuk penduduk usia 55 tahun keatas pada umumnya sudah menurun kemampuannya untuk bekerja oleh karena itu tingkat partisipasi kerjanya rendah. 5) Tingkat upah. Semakin tinggi tingkat upah dalam masyarakat semakin banyak anggota Keluarga yang tertarik masuk pasar kerja sehingga tingkat partisipasi kerja tinggi. Demikian pula sebaliknya. 6) Tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin banyak waktu yang disediakan untuk bekerja. Terutama untuk wanita semakin tinggi pendidikan kecenderungan untuk bekerja semakin besar. Dengan demikian semakin tinggi tingkat partisipasi kerja. 7) Kegiatan ekonomi. Program pembangunan disatu pihak menuntut keterlibatan banyak orang. Dilain pihak program pembangunan menumbuhkan harapanharapan baru. Harapan untuk dapat ikut menikmati hasil pembangunan tersebut dinyatakan dalam peningkatan partisipasi kerja. Jadi semakin bertambah kegiatan ekonomi semakin besar tingkat partisipasi kerja. Tingkat partisipasi kerja pada umumnya memang ditentukan oleh berbagai factor. Dengan perkembangan jaman yang semakin maju, tidak hanya mempengaruhi kesempatan bagi pria, tetapi juga wanita untuk meningkatkan kemampuannya baik melalui pendidikan maupun ketrampilan. Apalagi kesempatan yang semakin luas disediakan oleh pemerintah bagi kaum wanita untuk mensetarakan dengan pria baik dibidang ilmu pengetahuan maupun teknologi. Dengan demikian akan mempengaruhi pula tingkat partisipasi kerjanya. Terutama bagi wanita tingkat partisipasi kerja juga ditentukan oleh banyak factor, antara lain adalah :

18

(1) Tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seorang wanita, semakin besar keinginannya untuk masuk dalam pasar kerja. Wanita yang berpendidikan tinggi akan merasa rendah diri jika pada akhirnya tidak bekerja. Dengan demikian tingkat partisipasi kerja wanita berpendidikan tinggi lebih besar dari pada wanita yang tidak berpendidikan tinggi. (2) Tingkat social yang lebih tinggi. Seseorang wanita yang berada dalam lingkungan social yang tinggi akan merasa rendah diri jika tidak bekerja. (3) Kondisi ekonomi rumah tangga yang mengharuskan wanita bekerja. Jika kondisi ekonomi rumah tangga rendah maka mengharuskan wanita membantu bekerja untuk menambah menghasilan Keluarga. Akibatnya tingakat partisipasi kerja wanita tinggi. (4) Semakin panjang usia harapan hidup. Semakin baik tingkat kesehatan wanita, semakin panjang harapan hidup sehingga memungkinkan wanita untuk tetap terus bekerja. (5) Adanya fasilitas dan kemudahan-kemudahan lain yang tersedia. Adanya time saving device seperti rice cooker, setrika listrik, mesin cuci, dan barangbarang elektronik lainnya menyebabkan waktu untuk mengurus rumah tangga berkurang sehingga peluang untuk bekerja diluar rumah sangat besar. (6) Banyak terbuka lapangan kerja baru bagi wanita.

19

Anda mungkin juga menyukai