Anda di halaman 1dari 47

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Syok merupakan suatu keadaan patofisiologik dinamik yang terjadi bila oxygen delivery ke mitokondria sel di seluruh tubuh manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan oxygen consumption. Sebagai respon terhadap pasokan oksigen yang tidak cukup ini, metabolisme energi sel menjadi anaerobik. Keadaan ini hanya dapat ditoleransi tubuh untuk waktu yang terbatas, selanjutnya dapat timbul kerusakan irreversible pada organ vital. Pada tingkat multiseluler, tidak semua jaringan dan organ secara klinis terganggu akibat kurangnya oksigen pada saat syok. Alfred Blalock membagi jenis syok menjadi 4 antara lain syok hipovolemik, syok kardiogenik, syok septik, syok neurogenik. Diagnosa adanya syok harus didasarkan pada data-data baik klinis maupun laboratorium yang jelas, yang merupakan akibat dari kurangnya perfusi jaringan. Syok bersifat progresif dan terus memburuk jika tidak segera ditangani. Syok mempengaruhi kerja organ-organ vital dan penanganannya memerlukan pemahaman tentang patofisiologi syok.5 Penatalaksanaan syok dilakukan seperti pada penderita trauma umumnya yaitu primary survey ABCDE. Tatalaksana syok bertujuan memperbaiki gangguan fisiologik dan menghilangkan faktor penyebab. 1.2 Batasan Masalah Referat ini membahas definisi, patofisiologi, klasifikasi, diagnosis, penatalaksanaan syok. 1.3 Tujuan penulisan a. Untuk memahami syok dan pentalaksanaannya lebih lanjut. b. Untuk meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah dalam bidang kedokteran terutama bagian ilmu anestesi dan reanimasi. c. Untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik di Bagian Anestesi dan Reanimasi RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Syok merupakan keadaan darurat yang disebabkan oleh kegagalan perfusi darah ke jaringan, sehingga mengakibatkan gangguan metabolisme sel. Syok didefinisikan juga sebagai volume darah sirkulasi tidak adekuat yang mengurangi perfusi, pertama pada jaringan nonvital (kulit, jaringan ikat, tulang, otot) dan kemudian ke organ vital (otak, jantung, paru- paru, dan ginjal). Syok atau renjatan merupakan suatu keadaan patofisiologis dinamik yang mengakibatkan hipoksia jaringan dan sel. 2.2 Klasifikasi Secara umum syok dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Syok Hipovolemik Syok yang disebabkan karena tubuh mengalami : i. Kehilangan darah/syok hemoragik ii. iii. Hemoragik eksternal Hemoragik internal : trauma : hematoma, hematothoraks

Kehilangan plasma

: luka bakar

Kehilangan cairan dan elektrolit Eksternal : muntah, diare, keringat yang berlebih Internal : asites, obstruksi usus

b. Syok Kardiogenik Terjadi karena kegagalan kerja jantung. Gangguan perfusi jaringan yang disebabkan karena disfungsi jantung misalnya : aritmia, AMI (Infark Miokard Akut). c. Syok Distributif (berkurangnya tahanan pembuluh darah perifer) i. Syok Septik Syok yang terjadi karena penyebaran atau invasi kuman dan toksinnya didalam tubuh yang berakibat vasodilatasi. ii. Syok Anafilaktif Gangguan perfusi jaringan akibat adanya reaksi antigen antibodi yang mengeluarkan histamine dengan akibat peningkatan permeabilitas membran kapiler dan terjadi dilates arteriola sehingga venous return menurun. iii. Syok Neurogenik

Terjadi gangguan perfusi jaringan yang disebabkn karena disfungsi sistem saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi. Misalnya : trauma pada tulang belakang, spinal syok. d. Syok Obstruktif (gangguan kontraksi jantung akibat di luar jantung) Ketidakmampuan ventrikel untuk mengisi selama diastol sehingga secara nyata menurunkan volume sekuncup dan endnya curah jantung. Misalnya : tamponade kordis, koarktasio aorta, emboli paru, hipertensi pulmoner primer. 2.3 Patofisiologi dan Gejala Klinis Syok menunjukkan perfusi jaringan yang tidak adekuat. Hasil akhirnya berupa lemahnya aliran darah yang merupakan petunjuk yang umum, walaupun ada bermacam-macam penyebab. Syok dihasilkan oleh disfungsi empat system yang terpisah namun saling berkaitan yaitu: jantung, volume darah, resistensi arteriol (beban akhir), dan kapasitas vena. Jika salah satu faktor ini bermasalah dan faktor lain tidak dapat melakukan kompensasi maka akan terjadi syok. Awalnya tekanan darah arteri mungkin normal sebagai kompensasi peningkatan isi sekuncup dan curah jantung. Jika syok berlanjut, curah jantung menurun dan vasokontriksi perifer meningkat. Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3 fase yaitu : Fase Kompensasi Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa sehingga timbul gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk menimbulkan gangguan seluler. Mekanisme kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak dan otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat yang kurang vital. Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan vasokonstriksi dan menaikkan volume darah dengan konservasi air.Ventilasi meningkat untuk mengatasi adanya penurunan kadar oksigen di daerah arteri. Jadi pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan frekuensi dan kontraktilitas otot jantung untuk menaikkan curah jantung dan peningkatan respirasi untuk memperbaiki ventilasi alveolar. Walau aliran darah ke ginjal menurun, tetapi ginjal mempunyai cara regulasi sendiri untuk mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan tetapi jika tekanan darah menurun, maka filtrasi glomeruler juga menurun. Fase Progresif Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi kebutuhan tubuh. Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak lagi mencukupi

sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan darah arteri menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata, gangguan seluler, metabolisme, produk metabolisme menumpuk, dan akhirnya terjadi kematian sel. Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu berkonstriksi sehingga terjadi bendungan vena, venous return menurun. Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan tetapi tidak dapat kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan trombosis luas (DIC = Disseminated Intravascular Coagulation). Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat vasomotor dan respirasi di otak. Keadaan ini menambah hipoksia jaringan.Hipoksia dan anoksia menyebabkan terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari jaringan (histamin dan bridikinin) yang ikut memperburuk syok (vasodilatasi dan memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia usus menimbulkan penurunan integritas mukosa usus pelepasan toksin dan invasi bakteri usus ke sirkulasi. Invasi bakteri dan penurunan fungsi detoksifikasi hepar memperburuk keadaan. Timbul sepsis, DIC bertambah nyata, integritas system retikuloendotelial rusak, integritas mikrosirkulasi juga rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan metabolisme dari aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik, terjadi peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan. Fase Irrieversibel/ Refrakter Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga tidak dapat diperbaiki. Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya irreversibilitas syok. Gagal sistem kardiorespirasi, jantung tidak mampu lagi memompa darah yang cukup, paru menjadi kaku, timbul edema interstisial, daya respirasi menurun, dan akhirnya anoksia dan hiperkapnea. Stadium-Stadium Syok Syok memiliki beberapa stadium sebelum kondisi menjadi dekompensasi atau irreversibel sebagaimana dilukiskan dalam gambar berikut: Stadium 1: anticipation stage

Gangguan sudah ada tetapi bersifat lokal. Parameter-paramater masih dalam batas normal. Biasanya masih cukup waktu untuk mendiagnosis dan mengatasi kondisi dasar. Stadium 2. pre-shock slide

Gangguan sudah bersifat sistemik. Parameter mulai bergerak dan mendekati batas atas atau batas bawah kisaran normal. Sadium 3. compensated shock

Compensated shock bisa berangkat dengan tekanan darah yang normal rendah, suatu kondisi yang disebut normotensive, cryptic shock. Banyak klinisi gagal mengenali bagian dini dari stadium syok ini. Compensated shock memiliki arti khusus pada pasien DBD dan perlu dikenali dari tanda-tanda berikut: Capillary refill time > 2 detik; penyempitan tekanan nadi, takikardia, takipnea, akral dingin. Stadium 4 decompensated shock, reversible

Di sini sudah terjadi hipotensi. Normotensi hanya bisa dipulihkan dengan cairan intravena dan/atau vasopresor. Stadium 5. decompensated irreversible shock

Kerusakan mikrovaskular dan organ sekarang menjadi menetap dan tak bisa diatasi. a. Syok Hipovolemik Syok hipovolemik disebut juga sebagai syok preload yang ditandai dengan menurunnya volume intravaskular, baik karena perdarahan maupun karena hilangnya cairan tubuh. Penurunan volume intravaskular ini menyebabkan penurunan volume intraventrikuler kiri pada akhir diastol yang akhirnya menyebabkan berkurangnya kontraktilitas jantung dan menurunnya curah jantung. Secara klinis syok hipovolemik ditandai oleh volume cairan intravaskuler yang berkurang bersama-sama penurunan tekanan vena sentral, hipotensi arterial, dan peningkatan tahanan vaskular sistemik. Respon jantung yang umum adalah berupa takikardia, Respon ini dapat minimal pada orang tua atau karena pengaruh obatobatan. Gejala yang ditimbulkan bergantung pada tingkat kegawatan syok. Syok hipovolemik disebabkan oleh: Kehilangan darah, misalnya perdarahan Kehilangan plasma, misalnya luka bakar Dehidrasi: cairan yang masuk kurang (misalnya puasa lama), cairan keluar yang banyak (misalnya diare, muntah-muntah, fistula, obstruksi usus dengan penumpukan cairan di lumen usus). Syok Hipovolemik akibat Perdarahan ( Hemoragik ) Klasifikasi syok hemoragik : Syok ringan.

Terjadi apabila pendarahan kurang dari 20% volume darah. Timbul penurunan perfusi jaringan dan organ nonvital. Tidak terjadi perubahan kesadaran, volume urin yang keluar normal atau sedikit berkurang, dan mungkin (tidak selalu) terjadi asidosis metabolik. Syok sedang. Sudah terjadi penurunan perfusi pada organ yang tahan terhadap iskemia waktu singkat (hati, usus dan ginjal). Sudah timbul oliguria (urin kurang dari 0,5 ml/kg berat badan/jam) dan asidosis metabolik, tetapi kesadaran masih baik. Syok berat. Perfusi di dalam jaringan otak dan jantung sudah tidak adekuat. Mekanisme kompensasi vasokonstriksi pada organ dan jantung. Sudah terjadi anuria dan penurunan kesadaran (delirium, stupor, koma) dan sudah ada gejala hipoksia jantung (EKG abnormal , curah jantung turun). Perdarahan masif 50% atau lebih dari volume darah dapat menyebabkan henti jantung. Pada stadium akhir tekanan darah cepat menurun dan pasien jadi koma, lalu disusul nadi menjadi tidak teraba, megap-megap dan akhirnya terjadi mati klinis (nadi tidak teraba, apneu). Henti jantung karena syok hemoragik ialah disosiasi elektromekanik (kompleks gelombang EKG masih ada, tetapi tidak teraba denyut nadi), fibrilasi ventrikel dapat terjadi pada pasien dengan penyakit jantung. Patofisiologi Respon dini terhadap kehilangan darah adalah dengan vasokonstriksi progresif pada kulit, otot dan sirkulasi viseral (dalam rongga perut) untuk menjamin arus darah ke ginjal, jantung, dan otak. Karena ada cedera, respon terhadap berkurangnya volume darah yang akut adalah peningkatan denyut jantung sebagai usaha untuk menjaga curah jantung. Pelepasan katekolamin endogen meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah diastolik dan mengurangi tekanan nadi, tetapi hanya sedikit membantu peningkatan perfusi organ. Hormonhormon lain yang bersifat vasoaktif juga dilepaskan ke dalam sirkulasi sewaktu terjadinya syok, termasuk histamin, bardikinin, beta endorfin, dan sejumlah besar prostanoid dan sitokin-sitokin lain. Substansi ini berdampak besar pada mikrosirkulasi dan permeabilitas pembuluh darah. Pada syok perdarahan yang masih dini, mekanisme kompensasi sedikit mengatur pengembalian darah (venous return) dengan cara kontraksi volume darah di dalam

sistem vena, yang tidak banyak membantu memperbaiki tekanan sistemik. Cara yang paling efektif dalam memulihkan curah jantung dan perfusi organ adalah dengan memperbaiki volumenya. Pada tingkat seluler, sel dengan perfusi dan oksigenasi yang tidak adekuat tidak mendapat substrat esensial yang diperlukan untuk metabolisme aerobik normal dan produksi energi. Pada keadaan awal terjadi kompensasi dengan berpindah ke metabolisme anaerobik, dimana metabolisme ini mengakibatkan pembentukan asam laktat dan kemudian berkembang menjadi asidosis metabolik. Apabila syok terjadi berkepanjangan dan penyampaian substrat untuk pembentukan ATP (adenosine triphosphate) tidak memadai, maka membran sel tidak dapat lagi mempertahankan intergritasnya dan gradien elektrik normal hilang. b. Syok Kardiogenik Syok kardiogenik didefinisikan sebagai kegagalan pompa jantung (pump failure). Syok ini diakibatkan oleh terjadinya penurunan daya kerja jantung yang berat, misalnya pada: Penyakit jantung iskemik, seperti infark Obat-obat yang mendepresi jantung Gangguan irama jantung

Syok kardiogenik di definisikan sebagai tekanan darah sistolik kurang 90 mmHg selama lebih dari tiga puluh menit dimana: Tidak responsif dengan pemberian cairan saja. Sekunder terhadap disfungsi jantung Berkaitan dengan tanda-tanda hipoperfusi atau indeks kardiak kurang 2,2 l/menit per m2 dengan tekanan baji paru lebih 18 mmHg. Komplikasi mekanik akibat infark miokard akut dapat menyebabkan terjadinya syok. Diantara komplikasi tersebut adalah : ruptur septal ventrikel, ruptur atau disfungsi otot papilaris dan ruptur miokard yang keseluruhan dapat mengakibatkan timbulnya syok kardiogenik tersebut. Sedangkan infark ventrikel kanan tanpa disertai infark atau disfungsi ventrikel kiri pun dapat menyebabkan terjadinya syok. Hal lain yang sering menyebabkan terjadinya syok kardiogenik adalah takiaritmia atau bradiaritmia yang rekuren, diaman biasanya terjadi akibat disfungsi ventrikel kiri, dan dapat timbul bersamaan dengan aritmia supraventrikular atau ventrikular.

Syok kardiogenik juga dapat timbul sebagai manifestasi akhir dari disfungsi miokard yang progresif, termasuk akibat penyakit jantung iskemia, maupun kardiomiopati hipertrofik dan restriktif. Ciri khas pada syok kardiogenik akut adalah hilangnya 40% atau lebih miokardium ventrikel kiri. Nekrosis fokal dapat terjadi karena ketidak seimbangangan antara kebutuhan dan suplai oksigen miokardium. Sebagai akibat dari proses infark, kontraktilitas ventrikel kiri dan kinerjanya menjadi terganggu. Ventrikel kiri tidak mampu menyediakan curah jantung yang memadai untuk mempertahankan perfusi jaringan. Nekrosis fokal diduga merupakan kibat dari ketidak seimbangan yang terus menerus antara kebutuhan dan suplai oksigen miokardium. Pembuluh koroner yang terserang juga tidak mampu meningkatkan alira darah secara memadai sebagai respon terhadap peningkatan beban kerja dan kebutuhan oksigen jantung oleh aktivitas respon kompensatorik seperti perangsangan simpatik. Sebagai akibat dari proses infark, kontraktilitas ventrikel kiri dan kinerjanya menjadi sangat terganggu. Ventrikel kiri gagal bekerja sebagai pompa dan tidak mampu menyediakan curah jantung yang memadai untuk mempertahankan perfusi jaringan. Maka dimulailah siklus berulang. Siklus dimulai dengan terjadinya infark yang berlanjut dengan gangguan fungsi miokardium. Gangguan fungsi miokardium yang berat akan menyebabkan menurunnya curah jantung dan hipotensi arteria. Akibatnya terjadinya asidosis metabolik dan menurunnya perfusi koroner, yang lebih lanjut mengganggu fungsi ventrikel dan menyebabkan terjadinya aritmia. Syok kardiogenik terjadi akibat gagal ventrikel kiri yang sangat berat, sehingga tekanan darah turun, tekanan kapiler paru (pulmonary capillary wedge pressure, PCWP) naik, disertai oliguria dan vasokonstriksi perifer, kesadaran yang menurun dan asidosis metabolik. Syok kardiogenik paling sering disebabkan oleh infark jantung akut dan kemungkinan terjadinya pada infark akut 5-10%. Syok merupakan komplikasi infark yang paling ditakuti karena mempunyai mortalitas yang sangat tinggi diantara 80-90%. Dari penelitian GUSTO didapatkan angka kematian dapat diturunkan sampai 56 % (dibandingkan 3 % kematian pada penderita tanpa syok). Walaupun demikian syok kardiogenik masih merupakan penyebab kematian yang terpenting pada penderita infark yang dirawat di rumah sakit. Penyebab lain syok kardiogenik ialah toksik karena obat-obatan seperti adriamisin, infeksi seperti miokarditis, gangguan mekanik seperti tamponade, akut mitral insufisiensi dan lainlain. Paradigma klasik memprediksi bahwa vasokonstriksi sistemik berkompensasi
10

dengan peningkatan resistensi vaskular sistemik yang terjadi sebagai respon dari penurunan curah jantung. Pada infark miokard akut terjadi pemotongan aliran darah. Penyebab utama iskemi miokardium adalah penyakit arterosklerosis pada arteri koroner besar. Pada penyakit arterosklerosis, terdapat deposit lipid yang disebut plak yang berkembang di dalam dinding pembuluh arteri. Makin beratnya plak yang menjadi kalsifikasi dan membesar dan akan menutupi lumen arteri (menjadi stenosis). Plak akan membuat resistensi vaskular koroner meningkat dan membuat aliran ke koroner menurun. c. Syok Distributif i. Syok Septik Syok septik biasanya ditimbulkan oleh penyebaran endotoksin bakteri gram negatif (coli, proteus, pseudomonas, enterokokus, aerobakteri), jarang terjadi karena toksin bakteri gram positif(streptokokus, stafilokokus, Clostridium welchii). Jamur dan jenis bakteri juga dapat menjadi penyebab septicemia. Syok septik sering diikuti dengan hipovolemia dan hipotensi. Hal ini dapat disebabkan karena penimbunan cairan disirkulasi mikro, pembentukan pintasan arteriovenus dan penurunan tahanan vaskuler sistemik, kebocoran kapiler menyeluruh, depresi fungsi miokardium. Beberapa faktor predisposisi syok septic adalah trauma, diabetes, leukemia, granulositopenia berat, penyakit saluran kemih, terapi kortikosteroid jangka panjang, imunosupresan atau radiasi. Faktor yang mempercepat syok septik ialah pembedahan, atau manipulasi saluran kemih, saluran empedu, dan ginekologik. Pada stadium awal curah jantung meningkat, denyut jantung lebih cepat dan tekanan arteri rata-rata turun. Kemudian perjalanannya bertambah progresif dengan penurunan curah jantung, karena darah balik berkurang (terjadi bendungan darah dalam mikrosirkulasi dan keluarnya cairan dari ruangan intravaskular karena permeabilitas kapiler bertambah), yang ditandai dengan turunnya tekanan vena sentral. Hipertensi paru-paru oleh karena tahanan pembuluh darah meningkat disebabkan oleh sumbatan leukosit pada kapiler paru-paru. Pada pasien yang sudah syok paruparu ditandai dengan gejala gagal paru-paru progresif, PO2 arterial turun, hiperventilasi, dispneu, batuk dan asidosis. Koagulasi intravaskular diseminata (DIC) terjadi karena pemacuan proses pembekuan akibat kerusakan endotel kapiler oleh infeksi bakteri.
11

ii. Syok Anafilatik Syok anafilaktik merupakan bagian dari reaksi anafilaktik sistemik berat. Terjadinya syok dapat berlangsung dengan cepat. Kematian terjadi pada penderita berusia di atas 20 tahun. Sedangkan kematian pada anak biasanya disebabkan oleh edema laring. Kematian pada usia dewasa biasanya merupakan kombinasi syok, edema laring, dan aritmia jantung. Syok anafilaktik dapat kambuh 2-24 jam setelah kejadian pertama. Obat-obat yang sering memberikan reaksi anafilaktik adalah golongan antibiotik penisilin, ampisilin, sefalosporin, neomisin, tetrasiklin, kloramfenikol, sulfanamid, kanamisin, serum antitetanus, serum antidifteri, dan antirabies. Alergi terhadap gigitan serangga, kuman-kuman, insulin, ACTH, zat radiodiagnostik, enzim-enzim, bahan darah, obat bius (prokain, lidokain), vitamin, heparin, makan telur, susu, coklat, kacang, ikan laut, mangga, kentang, dll, juga dapat menyebabkan reaksi anafilaktik. Reaksi anafilaksis terutama disebabkan oleh suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sangat sensitif untuk seseorang masuk ke dalam sirkulasi. Pada manusia, reaksi ini diperantarai oleh antibodi Ig-E. Rangkaian kejadiannya dimulai dengan pajanan awal terhadap antigen tertentu (alergen). Alergen tersebut merangsang induksi sel T CD4+ tipe Th2. Sel CD4+ ini penting dalam patogenesis reaksi anafilaksis karena sitokin yang disekresikannya menyebabkan produksi IgE oleh sel B, yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan mengaktivasi eosinofil. Antibodi IgE kemudian berikatan pada sel mast dan basofil, membuat kedua sel tersebut dipersenjatai untuk menimbulkan suatu reaksi yang disebut

hipersensitivitas tipe I. Pajanan ulang terhadap antigen yang sama membuat pertautan-silang pada IgE yang terikat sel dan memicu suatu kaskade sinyal intrasel dengan berbagai efek utama. Salah satu efek utamanya adalah menginduksi pelepasan histamin oleh sel mast dalam jaringan perikapiler dan basofil dalam darah. Histamin tersebut kemudian menyebabkan :

12

Kenaikan kapasitas vaskular akibat dilatasi vena, sehingga terjadi penurunan aliran balik vena secara nyata

Dilatasi arteriol yang mengakibatkan tekanan arteri menjadi sangat menurun Sangat meningkatnya permeabilitas kapiler, dengan akibat hilangnya cairan dan protein ke dalam ruang jaringan secara cepat.

Hasil akhirnya merupakan suatu penurunan luar biasa pada aliran balik vena yang diikuti penurunan curah jantung sehingga kadang-kadang, menimbulkan syok serius yang konsekuensi kematiannya sangat nyata. iii. Syok Neurogenik Syok neurogenik disebut juga syok spinal merupakan bentuk dari syok distributif. Syok neurogenik disebabkan oleh hilangnya kontrol saraf simpatis terhadap tahanan vaskular, sehingga sebagai hasilnya, terjadilah vasodilatasi arteriol dan venula secara besar-besaran di seluruh tubuh. Seperti yang telah dijelaskan

13

sebelumnya, beberapa etiologi yang mendasari terjadinya syok neurogenik antara lain adalah penggunaan zat anesthesia maupun cidera pada medula spinalis. Syok neurogenik terjadi akibat kegagalan pusat vasomotor karena hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di seluruh tubuh sehingga terjadi hipotensi dan penimbunan darah pada pembuluh darah pada capacitance vessels. Hasil dari perubahan resistensi pembuluh darah sistemik ini diakibatkan oleh cidera pada sistem saraf (seperti : trauma kepala, cedera spinal atau anestesi umum yang dalam). Syok neurogenik juga disebut sinkop. Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang mengakibatkan terjadinya vasodilatasi menyeluruh di daerah splangnikus sehingga aliran darah ke otak berkurang. Reaksi vasovagal umumnya disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut, atau nyeri hebat. Pasien merasa pusing dan biasanya jatuh pingsan. Setelah pasien dibaringkan, umumnya keadaan berubah menjadi baik kembali secara spontan. Trauma kepaa yang terisolasi tidak akan menyebabkan syok Adanya syok pada trauma kepala harus dicari penyebab yang lain. Trauma pada medulla spinalis akan menyebabkan hipotensi akibat hilangnya tonus simpatis. Gambaran klasik dari syok neurogenik adalah hipotensi tanpa takikardi atau vasokonstriksi perifer. Bagian terpenting sistem saraf otonom bagi pengaturan sirkulasi adalah sistem saraf simpatis. Secara anatomis, serabut-serabut saraf vasomotor simpatis meninggalkan medula spinalis melalui semua saraf spinal toraks dan melalui satu atau dua saraf spinal lumbal pertama. Serabut-serabut ini segera masuk ke dalam rantai simpatis yang berada di tiap sisi korpus vertebra, kemudian menuju sistem sirkulasi melalui dua jalan utama : Melalui saraf simpatis spesifik yang terutama mempersarafi pembuluh darah organ visera interna dan jantung Hampir segera memasuki nervus spinalis perifer yang mempersarafi pembuluh darah perifer Di sebagian besar jaringan, semua pembuluh darah kecuali kapiler, sfingter prekapiler, dan sebagian besar metarteriol diinervasi oleh saraf simpatis. Tentunya inervasi ini memiliki tujuan tersendiri. Sebagai contoh, Inervasi arteri kecil dan
14

arteriol menyebabkan rangsangan simpatis untuk meningkatkan tahanan aliran darah dan dengan demikian menurunkan laju aliran darah yang melalui jaringan. Inervasi pembuluh darah besar, terutama vena, memungkinkan rangsangan simpatis untuk menurunkan volume pembuluh darah ini. Keadaan tersebut dapat mendorong darah masuk ke jantung dan dengan demikian berperan penting dalam pengaturan pompa jantung. Selain serabut saraf simpatis yang menyuplai pembuluh darah, serabut simpatis juga pergi secara langsung menuju jantung. Perlu diingat kembali bahwa rangsangan simpatis jelas meningkatkan aktivitas jantung, meningkatkan frekuensi jantung, dan menambah kekuatan serta volume pompa jantung. Hubungan antara saraf simpatis dan sistem sirkulasi yang baru saja dijabarkan secara singkat, sebenarnya membawa serabut saraf vasokonstriktor dalam jumlah yang banyak sekali dan hanya sedikit serabut vasodilator. Serabut tersebut pada dasarnya didistribusikan ke seluruh segmen sirkulasi dan efek vasokonstriktornya terutama sangat kuat di ginjal, usus, limpa dan kulit tetapi kurang kuat di otot rangka dan otak. Dalam keadaan normal, daerah vasokonstriktor di pusat vasomotor terus menerus mengantarkan sinyal ke serabut saraf vasokonstriktor seluruh tubuh, menyebabkan serabut ini mengalami cetusan yang lambat dan kontinu dengan frekuensi sekitar satu setengah sampai dua impuls per detik. Impuls ini, mempertahankan keadaan kontraksi parsial dalam pembuluh darah yang disebut tonus vasomotor. Tonus inilah yang mempertahankan tekanan darah dalam batas normal, sehingga fungsi sirkulasi tetap terjaga untuk kebutuhan jaringan. Melemahnya tonus vasomotor, secara langsung menimbulkan manifestasi klinis dari syok neurogenik. Sebagai contoh, trauma pada medula spinalis segmen toraks bagian atas akan memutuskan perjalanan impuls vasokonstriktor dari pusat vasomotor ke sistem sirkulasi. Akibatnya, tonus vasomotor di seluruh tubuh pun menghilang. Efeknya (vasodilatasi), paling jelas terlihat pada vena-vena juga arteri kecil. Dalam vena kecil yang berdilatasi, darah akan tertahan dan tidak kembali bermuara ke dalam vena besar. Karena faktor ini, aliran balik vena maupun curah jantung akan menurun, dan dengan demikian tekanan darah secara otomatis jatuh hingga nilai yang sangat rendah. Di momen yang bersamaan, dilatasi arteriol menyebabkan
15

lemahnya tahanan vaskular sistemik yang seharusnya membantu memudahkan kerja jantung sebagai pompa yang mengalirkan darah ke seluruh tubuh.

d. Syok Obstruktif Syok tipe ini sering terlihat pada: Tamponade jantung Pneumotoraks Emboli paru

2.4 Diagnosis a. Syok Hipovolemik Anamnesis Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik, riwayat penyakit penting untuk menentukan penyebab yang mungkin dan untuk penanganan lansung. Syok hipovolemik akibat kehilangan darah dari luar biasanya nyata dan mudah didiagnosis. Perdarahan dalam kemungkinan tidak nyata, seperti pasien hanya mengeluhkan kelemahan, letargi, atau perubahan status mental. Pemeriksaan Fisik
16

Pemeriksaan fisis seharusnya selalu dimulai dengan penanganan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Ketiganya dievaluasi dan distabilkan secara bersamaan, sistem sirkulasi harus dievaluasi untuk tanda-tanda dan gejala-gejala syok. Jangan hanya berpatokan pada tekanan darah sistolik sebagai indikator utama syok; hal ini menyebabkan diagnosis lambat. Mekanisme kompensasi mencegah penurunan tekanan darah sistolik secara signifikan hingga pasien kehilangan 30% dari volume darah. Sebaiknya nadi, frekuensi pernapasan, dan perfusi kulit lebih diperhatikan. Juga, pasien yang mengkonsumsi beta bloker mungkin tidak mengalami takikardi, tanpa memperhatikan derajat syoknya. Pada pasien dengan trauma, perdarahan biasanya dicurigai sebagai penyebab dari syok. Namun, hal ini harus dibedakan dengan penyebab syok yang lain. Diantaranya tamponade jantung (bunyi jantung melemah, distensi vena leher), tension pneumothorax (deviasi trakea, suara napas melemah unilateral), dan trauma medulla spinalis (kulit hangat, jarang takikardi, dan defisit neurologis). Ada empat daerah perdarahan yang mengancam jiwa meliputi: dada, perut, paha, dan bagian luar tubuh. Dada sebaiknya diauskultasi untuk mendengar bunyi pernapasan yang melemah, karena perdarahan yang mengancam hidup dapat berasal dari miokard, pembuluh darah, atau laserasi paru. Abdomen seharusnya diperiksa untuk menemukan jika ada nyeri atau distensi, yang menunjukkan cedera intraabdominal. Kedua paha harus diperiksa jika terjadi deformitas atau pembesaran (tandatanda fraktur femur dan perdarahan dalam paha). Seluruh tubuh pasien seharusnya diperiksa untuk melihat jika ada perdarahan luar. Pada pasien tanpa trauma, sebagian besar perdarahan berasal dari abdomen. Abdomen harus diperiksa untuk mengetahui adanya nyeri, distensi, atau bruit. Mencari bukti adanya aneurisma aorta, ulkus peptikum, atau kongesti hepar. Juga periksa tandatanda memar atau perdarahan.

17

Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain: Hemoglobin dan hematokrit Pada fase awal renjatan syok karena perdarahan kadar Hb dan hematokrit masih tidak berubah, kadar Hb dan hematokrit akan menurun sesudah perdarahan berlangsung lama, karena proses autotransfusi. Hal ini tergantung dari kecepatan hilangnya darah yang terjadi. Pada syok karena kehilangan plasma atau cairan tubuh seperti pada dengue fever atau diare dengan dehidrasi akatn terjadi haemokonsentrasi. Urin Produksi urin akan menurun, lebih gelap dan pekat. Berat jenis urin menigkat >1,020. Sering didapat adanya proteinuria Pemeriksaan analisa gas darah pH, PaO2, PaCO2 dan HCO3 darah menurun. Bila proses berlangsung terus maka proses kompensasi tidak mampu lagi dan akan mulai tampak tanda-tanda kegagalan dengan makin menurunnya pH dan PaO2 dan meningkatnya PaCO2 dan HCO3. Terdapat perbedaan yang jelas antara PO2 dan PCO2 arterial dan vena. Pemeriksaan elektrolit serum Pada renjatan sering kali didapat adanya gangguan keseimbangan elektrolit seperti hiponatremi, hiperkalemia, dan hipokalsemia terutama pada penderita dengan asidosis
18

Pemeriksaan fungsi ginjal pemeriksaan BUN (Blood urea nitrogen) dan serum kreatinin penting pada renjatan terutama bila ada tanda-tanda gagal ginjal Pemeriksaan faal hemostasis Pemeriksaan yang lain untuk menentukan penyebab penyakit primer

Pemeriksaan Radiologis Pasien dengan hipotensi dan/atau kondisi tidak stabil harus pertama kali diresusitasi secara adekuat. Penanganan ini lebih utama daripada pemeriksaan radiologi dan menjadi intervensi segera dan membawa pasien cepat ke ruang operasi. Langkah diagnosis pasien dengan trauma, dan tanda serta gejala hipovolemia langsung dapat ditemukan kehilangan darah pada sumber perdarahan. Pasien trauma dengan syok hipovolemik membutuhkan pemeriksaan ultrasonografi di unit gawat darurat jika dicurigai terjadi aneurisma aorta abdominalis. Jika dicurigai terjadi perdarahan gastrointestinal, sebaiknya dipasang selang nasogastrik, dan gastric lavage harus dilakukan. Foto polos dada posisi tegak dilakukan jika dicurigai ulkus perforasi atau Sindrom Boerhaave. Endoskopi dapat dilakukan (biasanya setelah pasien tertangani) untuk selanjutnya mencari sumber perdarahan. Jika dicurigai terjadi diseksi dada karena mekanisme dan penemuan dari foto polos dada awal, dapat dilakukan transesofageal echocardiography, aortografi, atau CT-scan dada. Jika dicurigai terjadi cedera abdomen, dapat dilakukan pemeriksaan FAST (Focused Abdominal Sonography for Trauma) yang bisa dilakukan pada pasien yang stabil atau tidak stabil. CT-Scan umumnya dilakukan pada pasien yang stabil. Jika dicurigai fraktur tulang panjang, harus dilakukan pemeriksaan radiologi. b. Syok Kardiogenik Syok kardiogenik dapat didiagnosa dengan mengetahui adanya tanda-tanda syok dan dijumpai adanya penyakit jantung, seperti infark miokard yang luas, gangguan irama jantung, rasa nyeri daerah torak, atau adanya emboli paru, tamponade jantung, kelainan katub atau sekat jantung. Pemeriksaan Fisik Kriteria diagnosis syok kardiogenik telah ditetapkan oleh Myocardial Infarctiion research Units of the National Heart, Lung, and blood institude. Tekanan arteria sistolik 90 mmHg atau sampai 30 sampai 60 mmHg dibawah batas sebelumnya. Adanya penurunan aliran darah ke sistem organ-organ utama:
19

Keluhan kemih <20 ml/jam, biasanya disertai penurunan kadar natrium dalam kemih. Vasokonstriksi perifer yang disertai gejala kulit dingin, lembab. Terganggunya fungsi mental. Indeks jantung <2,1 L/(menit/m2) Bukti gagal jantung kiri dengan LVEDP/tekanan baji kapiler paru-paru (PCWP) 18 sampai 21 mmHg. Tanda karakteristik syok kardiogenik adalah penurunan curah jantung dengan kenaikan tekanan vena sentral yang nyata dan takikardia. Tahanan vaskular sistemik umumnya juga meningkat. Bila perangsangan vagus meningkat misalnya pada infark miokard inferior, dapat terjadi bradikardia. Sistim kardiovaskular yang dapat di evaluasi seperti vena-vena dileher sering kali meningkat distensinya. Letak impuls apikal dapat bergeser pada pasien kardiomiopati dilatasi, dan intensitas bunyi jantung akan jauh menurun pada efusi perikardial atau tamponade. Irama gallop dapat timbul yang menunjukan adanya disfungsi ventrikel kiri yang bermakna. Sedangkan regurgitasi mitral atau septal defek ventrikel, bunyi bising atau murmur yang timbu sangat membantu untuk menentukan kelainan atau komplikai yang ada. Pasien dengan gagal jantung kanan yang bermakna akan menunjukan beberapa tanda antara lain: pembesaran hati, pulsasi di liver akibat regurgitasi trikuspid atau terjadinya asites akibat gagal jantung kanan yang sulit diatasi. Pulsasi di perifer akan menurun intensitasnya dan edema perifer dapat timbul pada gagal jantung kanan. Sianosis dan ekstremitas yang teraba dingin, menunjukan adanya penurunan perfusi ke jaringan. Pemeriksaan Penunjang Elekterokardiografi gambaran rekaman elektrokardiografi dapat membantu untuk menunjukan etiologi dari syok kardiogenik. Misalnya pada infark miokard akut akan terlihat dari gambaran tersebut. Demikian pula lokasi infark terjadi pada ventrikel kanan makan akan terlihat proses di sadapan jantung sebelah kanan ( elevasi ST di sadapan V4). Infark juga ditandai dengan adanya gelombang Q patologis. Begitu pula bila gangguan irama jantung, maka akan terlihat melalui rekaman aktivitas listrik jantung tersebut.

20

Foto roentgen dada akan terlihat kongesti paru atau edema paru pada gagal ventrikel kiri yang berat. Bila terjadi defek septal ventrikel atau regurgitasi mitral akibat infark miokard akut. Akan tampak edema paru tanpa disertai kardiomegali, terutama pada onset infark pertama kali. Gambaran kongesti paru menunjukan kecil kemungkinan terdapat gagal jantung kanan yang dominan disertai keadaan hipovolemia. Ekokardiografi merupakan modalitas yang non-invasf sangat banyak membantu dalam membuat diagnosis dan mencari etiologi dari syok kardiogenik. Pemeriksaan ini sangat cepat dan aman dan dapat dilakukan langsung di tempat tidur pasien. Keterangan yang di dapat dalam pemeriksaan ini adalah: penilaian fungsi ventrikel kanan dan kiri (global maupun segmental), fungsi katup jantung (stenosis atau regurgitasi), tekanan ventrikel kanan dan deteksi adanya shunt (misalnya defek septal ventrikel dengan shunt dari kiri ke kanan), efusi perikardial atau tamponade. Pemantauan hemodinamik dengan mengunakan kateter Swan-Ganz untuk mengukur tekanan arteri pulmonal dan tekanan baji pembuluh kapiler paru, khususnya untuk memastikan diagnosis dan etiologi syok kardiogenik, serta indikator evaluasi yang diberikan. Pasien syok kardiogenik akibat gagal ventrikel kiri yang berat, akan menyebabkan tekanan baji paru meningkat. Bila pada pengukuran tekanan baji pembuluh paru lebih dari 18 mmHg pada pasien infark miokard akut menunjukan volume intravaskular pasien tersebut adekuat.

21

Pasien dengan gagal ventrikel kanan atau hipovolemia yang signifikan, akan menunjukan tekanan baji pembuluh darah paru yang normal atau lebih rendah. Pemantauan parameter hemodinamik juga membutuhkan perhitungan afterload (resistensi vaskular sitemik). Minimalisasi afterload sangat diperluka, karena bila terjadi peningkatan afterload akan menunjukan efek penurunan kontraktilitas yang akan menurunkan curah jantung. Pemantauan saturasi oksigen sangat bermanfaat dan dapat dilakukan pada saat pemasangan kateter Swan-Ganz, yang dapat mendeteksi adanya septal defek ventrikel. Bila terdapat pintas darah yang kaya oksigen dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan maka akan terjadi saturasi oksigen yang step-up bila dibandingkan saturasi oksigen vena dari vena cava dan arteri pulmonal. c. Syok Septik Anamnesis Didapatkan riwayat demam tinggi yang berkepanjangan, sering berkeringat dan menggigil, menilai faktor resiko menderita penyakit menahun, mengkonsumsi antibiotik jangka panjang, pernah mendapatkan tindakan medis/pemebedahan. Pemeriksaan fisik Didapatkan keadaan demam tinggi, akral dingin, tekanan darah turun <80mmHg dan disertai penurunan kesadaran. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah sel darah putih yang banyak atau sedikit, dan jumlah faktor pembekuan yang menurun. Jika terjadi gagal ginjal, kadar hasil buangan metabolik (seperti urea nitrogen) dalam darah akann meningkat. Analisa gas darah menunjukkan adanya asidosis dan rendahnya konsentrasi oksigen. Pemeriksaan EKG jantung menunjukkan ketidakteraturan irama jantung,

menunjukkan suplai darah yang tidak memadai ke otot jantung. Biakan darah dibuat untuk menentukan bakteri penyebab infeksi. d. Syok Anafilaktik Anamnesis Pada anamnesis didapatkan zat penyebab anafilaksis (injeksi, minum obat, disengat hewan, makan sesuatu atau setelah test kulit ), timbul biduran mendadak, gatal dikulit, suara parau sesak ,sekarnafas, lemas, pusing, mual,muntah, sakit perut setelah terpapar sesuatu. Pemeriksaan fisik
22

Terjadi beberapa fase reaksi yang muncul : Reaksi lokal fatal. Reaksi sistemik : biasanya mengenai saluran napas bagian atas, system :biasanya hanya urtikaria dan edema setempat, tidak

kardiovaskuler, gastrointestinal, dan kulit. Reaksi tersebut dapat timbul segera atau 30 menit setelah terpapar antigen. Ringan : mata bengkak, hidung tersumbat, gatal-gatal di kulit

dan mukosa, bersin-bersin, biasanya timbul 2 jam setelah terpapar alergen. Sedang : gejalanya lebih berat, selain gejala di atas, dapat pula terjadi bronkospasme, edema laring, mual, muntah, biasanya terjadi dalam 2 jam setelah terpapar antigen. Berat : terjadi langsung setelah terpapar dengan alergen, gejala seperti reaksi tersebut di atas hanya lebih berat yaitu bronkospasme, edema laring, stridor, napas sesak, sianosis, henti jantung, disfagia, nyeri perut, diare, muntah-muntah, kejang, hipotensi, aritmia jantung, syok, dan koma. Kematian disebabkan oleh edema laring dan aritmia jantung. Keadaan umum : baik sampai buruk Kesadaran: composmentis sampai koma Tensi : hipotensi Nadi :takikardi Kepala dan leher : sianosis, dispneu, konjungtivitis, lakrimasi, edema periorbita, perioral, rinitis Thorax aritmia sampai arrest pulmo bronkospasme, stridor, rhonki dan wheezing, Abdomen : nyeri tekan, bising usus meningkat Ekstremitas : urtikaria, edema

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Tambahan Hematologi : Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah sel darah putih yang banyak atau sedikit, dan jumlah faktor pembekuan yang menurun. Jika terjadi gagal ginjal, kadar hasil buangan metabolik (seperti urea nitrogen) dalam darah akan meningkat. Hitung sel meningkat hemokonsentrasi,

23

trombositopenia eosinofilia naik/ normal / turun. Biakan darah dibuat untuk menentukan bakteri penyebab infeksi. Analisa gas darah menunjukkan adanya asidosis dan rendahnya konsentrasi oksigen. X foto : Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mukus plug. EKG : Gangguan konduksi, atrial dan ventrikular disritmia atau menunjukkan ketidakteraturan irama jantung, menunjukkan suplai darah yang tidak memadai ke otot jantung. e. Syok Neurogenik Anamnesis Hampir sama dengan syok pada umumnya tetapi pada syok neurogenik dari anamnesis biasanya terdapat cedera pada sistem saraf (seperti: trauma kepala, cidera spinal, atau anestesi umum yang dalam). Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik terdapat tanda tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat, bahkan dapat lebih lambat (bradikardi) kadang disertai dengan adanya defisit neurologis berupa quadriplegia atau paraplegia. 2.5 Penatalaksanaan Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk memperbaiki perfusi jaringan; memperbaiki oksigenasi tubuh; dan mempertahanka suhu tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab syok. Diagnosis harus segera ditegakkan sehingga dapat diberikan pengobatan kausal. Prinsip Dasar Penanganan Syok Tujuan utama pengobatan syok ialah melakukan penanganan awal dan khusus untuk: menstabilkan kondisi pasien memperbaiki volume cairan sirkulasi darah mengefisiensikan sistem sirkulasi darah. Terapi Syok Secara Umum Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik diarahkan kepada diagnosis cedera yang mengancam jiwa dan meliputi penilaian dari ABCDE. Mencatat tanda vital awal (baseline recordings) penting untuk memantau respon penderita terhadap terapi. Yang harus diperiksa adalah tanda-tanda vital, produksi urin dan tingkat kesadaran.

24

Pemeriksaan penderita yang lebih rinci akan menyusul bila keadaan penderita mengijinkan. Airway dan Breathing Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan cukupnya pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%. Sirkulasi kontrol perdarahan Termasuk dalam prioritas adalah mengendalikan perdarahan yang jelas terlihat, memperoleh akses intravena yang cukup, dan menilai perfusi jaringan. Perdarahan dari luka luar biasanya dapat dikendalikan dengan tekanan langsung pada tempat perdarahan. Cukupnya perfusi jaringan menentukan jumlah cairan resusitasi yang diperlukan. Mungkin diperlukan operasi untuk dapat mengendalikan perdarahan internal. Disability pemeriksaan neurologi Dilakukan pemeriksaan neurologi singkat untuk menentukan tingkat kesadaran, pergerakan mata dan respon pupil, fungsi motorik dan sensorik. Informasi ini bermanfaat dalam menilai perfusi otak, mengikuti perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan pemulihan. Perubahan fungsi sistem saraf sentral tidak selalu disebabkan cedera intrakranial tetapi mungkin mencerminkan perfusi otak yang kurang. Pemulihan perfusi dan oksigenasi otak harus dicapai sebelum penemuan tersebut dapat dianggap berasal dari cedera intrakranial. Exposure pemeriksaan lengkap Setelah mengurus prioritas-prioritas untuk menyelamatkan jiwanya, penderita harus ditelanjangi dan diperiksa dari ubun-ubun sampai ke jari kaki sebagai bagian dari mencari cedera. Bila menelanjangi penderita, sangat penting mencegah hipotermia. Pemasangan kateter urin Kateterisasi kandung kencing memudahkan penilaian urin akan adanya hematuria dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau produksi urin. Akses Pembuluh Darah Harus segera didapatkan akses ke sistem pembuluh darah. Ini paling baik dilakukan dengan memasukkan dua kateter intravena ukuran besar (minimal 16 Gauge) sebelum

25

dipertimbangkan jalur vena sentral. Lebih baik kateter pendek dan kaliber besar agar dapat memasukkan cairan dalam jumlah besar dengan cepat. Tempat yang terbaik untuk jalur intravena bagi orang dewasa adalah pembuluh darah lengan bawah. Kalau keadaan tidak memungkinkan penggunaan pembuluh darah perifer, maka digunakan akses pembuluh sentral (vena-vena femoralis, jugularis atau vena subclavia dengan kateter besar) dengan menggunakan teknik Seldinger atau melakukan vena seksi pada vena safena di kaki, tergantung tingkat ketrampilan dan pengalaman dokternya. Seringkali akses vena sentral di dalam situasi gawat darurat tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna ataupun tidak sepenuhnya steril, karena itu bila keadaan penderita sudah memungkinkan, maka jalur vena sentral ini harus diubah atau diperbaiki. Juga harus dipertimbangkan potensi untuk komplikasi yang serius sehubungan dengan usaha penempatan kateter vena sentral, yaitu pneumotoraks atau hemotoraks. Terapi Awal Cairan Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan ini mengisi intravaskuler dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume vaskuler dengan cara menggantikan kehilangan cairan berikutnya ke dalam ruang interstitial dan intraseluler. Larutan Ringer Laktat adalah cairan pilihan pertama. NaCl fisiologis adalah pilihan kedua. Walaupun NaCl fisiologis merupakan cairan pengganti yang baik namun cairan ini memiliki potensi untuk terjadinya asidosis hiperkhloremik. Kemungkinan ini bertambah besar bila fungsi ginjalnya kurang baik. Jumlah cairan dan darah yang diperlukan untuk resusitasi sukar diramalkan pada evaluasi awal penderita. Perhitungan kasar untuk jumlah total volume kristaloid yang secara akut diperlukan adalah mengganti setiap mililiter darah yang hilang dengan 3 ml cairan kristaloid, sehingga memungkinkan resusitasi volume plasma yang hilang ke dalam ruang interstitial dan intraseluler. Ini dikenal dengan sebagai hukum 3 untuk 1. Namun, lebih penting untuk menilai respon penderita kepada resusitasi cairan dan bukti perfusi dan oksigenasi end organ yang memadai, misalnya keluaran urin, tingkat kesadaran dan perfusi perifer. Apabila pada waktu resusitasi jumlah cairan yang diperlukan untuk memulihkan atau mempertahankan perfusi organ jauh melebihi perkiraan tersebut, maka diperlukan penilaian ulang yang teliti dan perlu mencari cedera yang belum diketahui atau penyebab lain untuk syoknya.

26

Terapi Kausal a. Syok Hipovolemik Perdarahan merupakan penyebab tersering dari syok pada pasien-pasien trauma, baik oleh karena perdarahan yang terlihat maupun perdarahan yang tidak terlihat. Perdarahan yang terlihat diantaranya perdarahan dari luka, atau hematemesis dari tukak lambung. Perdarahan yang tidak terlihat, misalnya perdarahan dari saluran cerna, seperti tukak duodenum, cedera limpa, kehamilan di luar uterus, patah tulang pelvis, dan patah tulang besar atau majemuk. Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, kecuali jika miokard sudah mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat berkurang. Respons tubuh terhadap perdarahan bergantung pada volume, kecepatan, dan lama perdarahan. Bila volume intravaskular berkurang, tubuh akan selalu berusaha untuk mempertahankan perfusi organ-organ vital (jantung dan otak) dengan mengorbankan perfusi organ lain seperti ginjal, hati, dan kulit. Akan terjadi perubahan-perubahan hormonal melalui sistem renin

angiotensinaldosteron, sistem ADH, dan sistem saraf simpatis. Cairan interstitial akan masuk ke dalam pembuluh darah untuk mengembalikan volume intravaskular, dengan akibat terjadi hemodilusi (dilusi plasma protein dan hematokrit) dan dehidrasi interstitial. Dengan demikian, tujuan utama dalam mengatasi syok perdarahan adalah menormalkan kembali volume intravaskular dan interstitial. Bila defisit volume intravaskular hanya dikoreksi dengan memberikan darah maka masih tetap terjadi defisit interstitial, dengan akibat tanda-tanda vital yang masih belum stabil dan produksi urin yang kurang. Pengembalian volume plasma dan interstitial ini hanya mungkin bila diberikan kombinasi cairan koloid (darah, plasma, dextran, dsb) dan cairan garam seimbang. Infus cairan tetap menjadi pilihan pertama dalam menangani pasien hamil. Bila telah jelas ada peningkatan isi nadi dan tekanan darah, infus harus dilambatkan. Bahaya infus yang cepat adalah udem paru, terutama pasien tua. Perhatian harus ditujukan agar jangan sampai terjadi kelebihan cairan. Pemeriksaan jasmani Meliputi penilaian ABCDE, serta respon penderita terhadap terapi, yakni melalui tanda-tanda vital, produksi urin dan tingkat kesadaran. Airway dan Breathing

27

Tujuan: menjamin airway yang paten dengan cukupnya pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen untuk mempertahankan saturasi >95%. Pada pasien cedera servikal perlu dilakukan imobilisasi. Pada pasien dengan syok hipovolemik memberikan ventilasi tekanan positif dapat mengakibatkan terjadinya penurunan aliran balik vena, cardiac output, dan memperburuk syok. Untuk memfasilitasi ventilasi maka dapat diberikan oksigen yang sifat alirannya high flow. Dapat diberikan dengan menggunakan non rebreathing mask sebanyak 10 -12 L/menit. Sirkulasi Kontrol pendarahan dengan: Mengendalikan pendarahan Memperoleh akses intravena yang cukup Menilai perfusi jaringan

Pengendalian pendarahan: Dari luka luar :tekanan langsung pada tempat pendarahan (balut tekan). Pendarahan patah tulang pelvis dan ekstremitas bawah (Pneumatic Anti Shock Garment). Pendarahan internal : operasi Posisi pasien juga dapat mempengaruhi sirkulasi. Pada pasien dengan hipotensi dengan menaikkan kakinya lebih tinggi dari kepala dan badannya akan meningkatkan venous return. Pada pasien hipotensi yang hamil dengan cara memiringkan posisinya ke sebelah kiri juga meningkatkan aliran darah balik ke jantung. Disability : pemeriksaan neurologi Menentukan tingkat kesadaran, pergerakan mata dan respon pupil, fungsi motorik dan sensorik. Manfaat: menilai perfusi otak, mengikuti perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan pemulihan. Exposure : pemeriksaan lengkap Pemeriksaan lengkap terhadap cedera lain yang mengancam jiwa serta pencegahan terjadi hipotermi pada penderita. Dilatasi Lambung: dekompresi Dilatasi lambung pada penderita trauma, terutama anak-anak mengakibatkan terjadinya hipotensi dan disritmia jantung yang tidak dapat diterangkan. Distensi PASG

28

lambung menyebabkan terapi syok menjadi sulit. Pada penderita yang tidak sadar, distensi lambung menyebabkan resiko aspirasi isi lambung. Dekompresi dilakukan dengan memasukkan selang melalui mulut atau hidung dan memasangnya pada penyedot untuk mengeluarkan isi lambung. Pemasangan kateter urin Memudahkan penilaian adanya hematuria dan evaluasi perfusi ginjal dengan memantau produksi urin. Kontraindikasi: darah pada uretra, prostat letak tinggi, mudah bergerak. Terapi Awal Cairan Larutan elektrolit isotonik digunakan sebagai terapi cairan awal. Jenis cairan ini mengisi intravaskuler dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume vaskuler dengan mengganti volume darah yang hilang berikutnya ke dalam ruang intersisial dan intraseluler. Larutan Ringer Laktat adalah cairan pilihan pertama sedangkan NaCl fisologis adalah pilihan kedua. Jumlah cairan yang diberikan adalah berdasarkan hukum 3 untuk 1, yaitu memerlukan sebanyak 300 ml larutan elektrolit untuk 100 ml darah yang hilang. Sebagai contoh, pasien dewasa dengan berat badan 70 kg dengan derajat perdarahan III membutuhkan jumlah cairan sebanyak 4.410 cairan kristaloid. Hal ini didapat dari perhitungan [(BB x % darah untuk masing-masing usia x % perdarahan) x 3], yaitu [70 x 7% x 30% x 3]. Jumlah darah pada dewasa adalah sekitar 7% dari berat badan, anak-anak sekitar 8-9% dari berat badan. Bayi sekitar 9 10% dari berat badan. Pemberian cairan ini tidak bersifat mutlak, sehingga perlu dinilai respon penderita untuk mencegah kelebihan atau kekurangan cairan. Bila sewaktu resusitasi, jumlah cairan yang diperlukan melebihi perkiraan, maka diperlukan penilaian ulang yang teliti dan perlu mencari cedera yang belum diketahui atau penyebab syok yang lain. Singkatnya untuk bolus cairan inisial dapat diberikan 1-2 L cairan kristaloid, pada pasien anak diberikan 20 cc/kg BB. Evaluasi Resusitasi Cairan dan Perfusi Organ Umum

Tanda-tanda dan gejala-gejala perfusi yang tidak memadai, yang digunakan untuk diagnosis syok, dapat juga digunakan untuk menentukan respon penderita. Pulihnya tekanan darah ke normal, tekanan nadi dan denyut nadi merupakan tanda positif yang menandakan bahwa perfusi sedang kembali ke normal. Walaupun begitu, pengamatan tersebut tidak memberi informasi tentang perfusi organ. Perbaikan pada status sistem

29

saraf sentral dan peredaran darah kulit adalah bukti penting mengenai peningkatan perfusi, tetapi kuantitasnya sukar ditentukan. Produksi Urin

Dalam batas tertentu, produksi urin dapat digunakan sebagai pemantau aliran darah ginjal. Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan keluaran urin sekitar 0,5 ml/kg/jam pada orang dewasa, 1 ml/kg/ jam pada anak-anak dan 2 ml/kg/jam untuk bayi (dibawah umur 1 tahun). Bila kurang, atau makin turunnya produksi urin dengan berat jenis yang naik, maka ini menandakan resusitasi yang tidak cukup. Keadaan ini menuntut ditambahnya penggantian volume dan usaha diagnostik. Keseimbangan Asam Basa

Penderita syok hipovolemik dini akan mengalami alkalosis pernafasan karena takhipnea. Alkalosis respiratorik seringkali disusul dengan asidosis metabolik ringan dalam tahap syok dini dan tidak perlu diterapi. Asidosis metabolik yang berat dapat terjadi pada syok yang sudah lama, atau akibat syok berat. Asidosis metabolik terjadi karena metabolisme anaerobik akibat perfusi jaringan yang kurang dan produksi asam laktat. Asidosis yang persisten biasanya akibat resusitasi yang tidak adekuat atau kehilangan darah terus menerus dan pada penderita syok normotermik harus diobati dengan cairan, darah, dan dipertimbangkan intervensi operasi untuk mengendalikan perdarahan. Defisit basa yang diperoleh dari analisa gas darah arteri dapat berguna dalam memperkirakan beratnya defisit perfusi yang akut. Jangan gunakan natrium bikarbonat secara rutin untuk mengobati asidosis metabolik sekunder pada syok hipovolemik. Keputusan Terapeutis Berdasarkan Respon Kepada Resusitasi Cairan Awal Respon penderita kepada resusitasi cairan awal merupakan kunci untuk menentukan terapi berikutnya. Setelah membuat diagnosis dan rencana sementara berdasarkan evaluasi awal dari penderita, dokter sekarang dapat mengubah pengelolaannya berdasarkan respon penderita pada resusitasi cairan awal. Adalah penting untuk membedakan hemodinamis stabil dengan hemodinamis normal. Penderita dengan hemodinamis stabil mungkin tetap ada takhikardi, takhipnea dan oligouri dan jelas masih tetap kurang diresusitasi dan masih syok. Sebaliknya penderita dengan hemodinamis normal adalah yang tidak menunjukkan tanda perfusi jaringan yang kurang memadai, Pola respon yang potensial dapat dibahas dalam tiga

30

kelompok : respon cepat, respon sementara dan respon minimum atau tidak ada pada pemberian cairan. Respon cepat Penderita kelompok ini cepat memberi respon kepada bolus cairan awal dan tetap hemodinamis normal kalau bolus cairan awal selesai dan cairan kemudian diperlambat sampai kecepatan maintanance. Penderita seperti ini biasanya kehilangan volume darah minimum (kurang dari 20%). Untuk kelompok ini tidak ada indikasi bolus cairan tambahan atau pemberian darah lebih lanjut. Jenis darahnya dan crossmatch harus tetap dikerjakan. Konsultasi dan evaluasi pembedahan diperlukan selama penilaian dan terapi awal, karena intervensi operatif mungkin masih diperlukan. Respon sementara (transient) Sebagian besar penderita akan berespon terhadap pemberian cairan, namun bila tetesan diperlambat, hemodinamik penderita menurun kembali karena kehilangan darah yang masih berlangsung, atau resusitasi yang tidak cukup. Jumlah kehilangan darah pada kelompok ini harus diteruskan, demikian pula pemberian darah. Respon terhadap pemberian darah menentukan penderita mana yang memerlukan operasi segera. Respon minimal atau tanpa respon Walaupun sudah diberikan cairan dan darah cukup, tetap tanpa respon, ini menandakan perlunya operasi sangat segera. Walaupun sangat jarang, namun harus tetap diwaspadai kemungkinan syok non-hemoragik seperti tamponade jantung atau kontusio miokard. Kemungkinan adanya syok non-hemoragik harus selalu diingat pada kelompok ini. Pemasangan CVP atau ekokardiografi emergensi dapat membantu membedakan kedua kelompok ini.

31

Keberhasilan manajemen syok hemoragik atau lebih khusus lagi resusitasi cairan bisa dinilai dari parameter-parameter berikut: Capilary refill time < 2 detik MAP 65-70 mmHg O2 sat >95% Urine output >0.5 ml/kg/jam (dewasa) ; > 1 ml/kg/jam (anak) Shock index = HR/SBP (normal 0.5-0.7) CVP 8 to12 mm Hg ScvO2 > 70%

Transfusi Darah Tujuan utama transfusi darah adalah memperbaiki kemampuan mengangkut oksigen dari volume darah. Pemberian darah juga tergantung respon penderita terhadap pemberian cairan. Pemberian darah packed cell vs darah biasa Tujuan utama transfusi darah: memperbaiki kemampuan mengangkut oksigen dari volume darah. Dapat diberikan darah biasa maupun packed cell. Pemberian cairan adekuat dapat memperbaiki cardiac output tetapi tidak memperbaiki oksigensi sebab tidak ada penambahan jumlah dari media transport oksigen yaitu hemoglobin. Pada keadaan tersebut perlu dilakukan tranfusi. Beberapa indikasi pemberian tranfusi PRC adalah: Jumlah perdarahan diperkirakan >30% dari volume total atau perdarahan derajat III Pasien hipotensi yang tidak berespon terhadap 2 L kristaloid
32

Memperbaiki delivery oksigen Pasien kritis dengan kadar hemoglobin 6-8 gr/dl.

Fresh frozen plasma diberikan apabila terjadi kehilangan darah lebih dari 20-25% atau terdapat koagulopati dan dianjurkan pada pasien yang telah mendapat 5-10 unit PRC. Tranfusi platelet diberikan apada keadaan trombositopenia (trombosit <20.000-50.000/mm15) dan perdarahan yang terus berlangsung. Berikut indikasi dan unit pemberian:

Pemanasan cairan plasma dan kristaloid Hipotermia harus dihindari dan dikoreksi bila penderita saat tiba di RS dalam keadaan hipotermi. Untuk mencegah hipotermi pada penderita yang menerima volume kristaloid adalah menghangatkan cairannya sampai 39C sebelum digunakan.

Autotransfusi Pengumpulan darah keluar untuk autotransfusi sebaiknya dipertimbangkan untuk penderita dengan hemothoraks berat.

Koagulopati Koagulopati jarang ditemukan pada jam pertama. Penyebab koagulopati: Transfusi masif akan menghasilkan dilusi platelet dan faktor-faktor pembekuan Hipotermi menyebabkan gangguan agregasi platelet dan clotting cascade.

Pemberian Kalsium Kalsium tambahan dan berlebihan dapat berbahaya.

33

Komplikasi paling umum pada syok hemoragik adalah penggantian volume yang tidak adekuat. Pendarahan yang berlanjut Pendarahan yang tidak terlihat adalah penyebab paling umum dari respon buruk penderita terhadap cairan, dan termasuk kategori respon sementara. Kebanyakan cairan (overload) dan pemantauan CVP (central venous pressure). Setelah penilaian penderita dan pengelolaan awal, resiko kebanyakan cairan diperkecil dengan memantau respon penderita terhadap resusitasi, salah satunya dengan CVP. CVP merupakan pedoman standar untuk menilai kemampuan sisi kanan jantung untuk menerima beban cairan. Menilai masalah lain Jika penderita tidak memberi respon terhadap terapi, maka perlu dipertimbangkan adanya tamponade jantung, penumothoraks tekanan, masalah ventilator, kehilangan cairan yang tidak diketahui, distensi akut lambung, infark miokard, asidosis diabetikum, hipoadrenalisme dan syok neurogenik. Beberapa medikasi lain yang diperlukan adalah pemberian antibiotik dan antasida atau H2 blocker. Pasien syok perdarahan memiliki resiko terjadinya sepsis akibat iskemi pada sistem saluran cerna. Pemberian antasida atau H2 blocker bertujuan untuk mengurangi stress ulcer. Sekuele neurologis

34

Kematian

b. Syok Kardiogenik Semua pasien syok kardiogenik akibat infark miokard akut sebaiknya dikirim segera ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas untuk kateterisasi, angioplasti, dan operasi kardiovaskuler. Tindakan resusitasi dan suportif harus segera diberikan bersamaan pada saat evaluasi diagnosis. Pastikan jalan napas tetap adekuat, bila tidak sadar sebaiknya dilakukan intubasi. Berikan oksigen 8-15 liter/menit dengan menggunakan masker untuk mempertahankan PO2 70 120 mmHg. Rasa nyeri akibat infark akut yang dapat memperberat syok yang ada harus diatasi dengan pemberian morfin. Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan elektrolit yang terjadi. Bila terjadi takiaritmia, harus segera diatasi : Takiaritmia supraventrikular dan fibrilasi atrium dapat diatasi dengan pemberian digitalis. Sinus bradikardi dengan frekuensi jantung < 50 x / menit harus diatasi dengan pemberian sulfas atropine. Pastikan tekanan pengisian ventrikel kiri adekuat. Prioritas pertama dalam penanganan syok kardiogenik adalah pemberian cairan yang adekuat secara parenteral dengan menggunakan pedoman CVP. Jenis cairan yang digunakan tergantung keadaan klinisnya, tetapi dianjurkan untuk memakai cairan salin isotonik. Intravenous fluid tolerance test merupakan suatu cara sederhana untuk menentukan apakah pemberian cairan infus bermanfaat dalam penanganan syok kardiogenik. Caranya : Bila CVP < 12 mmH2O, sulit untuk mengatakan adanya pump failur dan sebelum penanganan lebih lanjut, volume cairan intravaskular harus ditingkatkan hingga LVEDP mencapai 18 mmHg. Pada keadaan ini, diberikan initial test volume sebanyak 100 ml cairan melalui infus dalam waktu 5 menit. Bila ada respons, berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan diuresis, perbaikan syok secara klinis, tanda-tanda kongesti paru tidak ada atau tidak semakin berat, maka diberikan cairan tambahan sebanyak 200 ml dalam waktu 10 menit.

35

Bila selanjutnya CVP tetap < 15 cmH2O, tekanan darah tetap stabil atau meningkat, atau tanda-tanda kongesti paru tidak timbul atau semakin bertambah, maka infus dilanjutkan dengan memberikan cairan 500-1000 ml/jam sampai tekanan darah dan gejala klinis syok lain menghilang. Periksa CVP, tekanan darah, dan paru setiap 15 menit. Diharapkan CVP meningkat sampai 15 cmH2O.

Jika pada awal pemeriksaan didapatkan nilai CVP awal 12-18 cmH2O, maka diberikan infus cairan 100 ml dalam waktu 10 menit. Pemberian cairan selanjutnya tergantung dari peningkatan CVP, perubahan tekanan darah, dan ada tidaknya gejala klinis kongesti paru.

Jika nilai awal CVP 20 cmH2O atau lebih, maka tidak boleh dilakukan tes toleransi cairan intravena, dan pengobatan dimulai dengan pemberian vasodilator.

Jika nilai CVP < 5 cmH2O , infus cairan dapat diberikan walau didapatkan edema paru akut. Jika pasien menunjukkan adanya edema paru dan dalam penanganan dengan pemberian infus cairan menyebabkan peningkatan kongesti paru serta perburukan keadaan klinis, maka infus cairan harus dihentikan dan keadaan pasien dievaluasi kembali.

Pada pasien dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat dan volume intravaskular yang adekuat harus dicari kemungkinan adanya tamponade jantung sebelum pemberian obat-obat inotropik atau vasopresor dimulai. Tamponade jantung akibat infark miokard memerlukan tindakan volume expansion untuk

mempertahankan preload yang adekuat dan dilakukan perikardiosentesis segera. Harapan hidup jangka panjang yang buruk dari penanganan syok kardiogenik akibat infark miokard dengan terapi medis telah mendorong dilakukannya tindakan bedah revaskularisasi dini pada pasien yang telah stabil dengan terapi farmakologis. Guyton menyimpulkan bahwa coronary-artery bypass sugery (CABS) merupakan terapi pilihan pada semua pasien syok kardiogenik akibat infark miokard. CABS juga dianjurkan pada pasien yang mengalami kegagalan dengan tindakan angioplasti. Tindakan operasi dilakukan apabila didapatkan adanya kontraksi dari segmen yang tidak mengalami infark dengan pembuluh darah yang stenosis.

36

Pada pasien syok kardiogenik dengan disfungsi miokard akibat kerusakan miokard ireversibel, mungkin diperlukan tindakan transplantasi jantung. Langkah penatalaksanaan syok kardiogenik

Langkah I. Tindakan resusitasi segera Tujuannya adalah mencegah kerusakan organ sewaktu pasien dibawa untuk definitif. Mempertahankan tekanan arteri rata-rata yang adekuat untuk mencegah Mempertahankan tekanan arteri rata-rata yang adekuat untuk mencegah sekuele neurologi dan ginjal adalah vital. Dopamin dan noradrenalin (norepinefrin). Tergantung pada derajat hipotensi, harus diberikan secepatnya untuk

meningkatkan tekanan arteri rata-rata dan dipertahankan pada dosis minimal yang dibutuhkan. Dobutamin dapat dikombinasikan dengan dopamin dalam dosis sedang atau digunakan tanpa kombinasi pada keadaan low output tanpa hipotensi yang nyata. Intra-aortic ballon counterpulsation (IABP) harus dikerjakan sebelum transportasi jika fasilitas tersedia. Analisa gas darah dan saturasi oksigen harus dimonitor dengan memberikan continuous positive airway pressure atau ventilasi mekanis jika ada indikasi. EKG harus dimonitor secara terus-menerus, dan peralatan defibrilator, obat antiartimia amiodaraon dan lidokain harus tersedia ( 33% pasien revaskularisasi awal SHOCK trial menjalani resusitasi

kardiopulmoner, takikardi ventrikular menetap atau fibrilasi ventrikel sebelum randomisasi). Pemberian vasopresor intravena baik untuk meningkatkan inortropik dan memaksimalkan perfusi ke miokardium yang iskemik. Yang perlu diperhatikan, pemberian vasopresor itu sendiri dapat berakibat peningkatan denyut jantung yang pada akhirnya akan memperluas infark yang telah terjadi. Sehingga penggunaan vasopresor di sini harus digunakan secara hati-hati. Beberapa vasopresor yang dapat diberikan seperti : Dopamin, dengan dosis tinggi mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen miokard, dosis yang digunakan 5-10 mcg/kg/min Dobutamin selain memiliki sifat inortropik tetapi juga memiliki efek vasodilatasi sehingga dapat mengurangi preload dan afterload Norepinefrin per infus dapat diberikan pada syok kardiogenik yang refrakter, obat ini dapat mengakibatkan peningkatan afterload, dosis yang dapat digunakan 0.5 mcg/kg/min

37

Preparat nitrat atau morfin digunakan untuk analgetik, tetapi perlu diingat bahwa keduanya dapat mengakibatkan hipotensi sehingga jangan sampai memperparah keadaan syok pasien dengan pemberian preparat ini. Terapi fibrinolitik harus dimulai pada pasien dengan ST elevasi jika antisipasi ketelambatan angiografi lebih dari 2 jam. Mortalitas 35 hari pada pasien dengan tekanan darah sistolik kurang 100 mmHg yang mendapat rombolitik pada metaanalisis FTT adalah 28,9% dibandingkan 35,1% dengan plasebo (95% CI 26 sampai 98, p < 0,001) meningkatkan tekanan darah dengan IABP pada keadaan ini dapat menfasilitasi trombolisis dengan meningkatkan tekanan perfusi koroner. Pada syok kardiogenik karena infark miokard non elevasi ST yang menunggu katetrisasi, inhibitor glikoprotein Iib/IIIa dapat diberikan. Langkah 2. Menentukan secara dini anatomi koroner Hal ini merupakan langkah penting dalam tatalaksana syok kardiogenik yang berasal dari kegagalan pompa iskemik yang dominan. Hipotensi diatasi segera dengan IABP. Syok mempunyai ciri penyakit 2 pembuluh darah yang tinggi, penyakit left main, dan penurunan fungsi ventrikel kiri. Tingkat disfungsi ventrikel dan instabilitas hemodinamik mempunyai korelasi dengan anatomi koroner. Suatu lesi circumflex atau lesi koroner kanan jarang mempunyai manifestasi syok pada keadaantanpa infark ventrikel kanan, underfilling ventrikel kiri, bradiaritmia, infark miokard sebelumnya atau kardiomiopati. Langkah 3. Melakukan revaskularisasi dini Setelah menentukan anatomi koroner, harus diikuti dengan pemulihan modalitas terapi secepatnya. Tidak ada trial acak yang membandingkan PCI dengan CABG pada syok kardiogenik. Trial SHOCK merekomendasikan CABG emergensi pada pasien left main atau penyakit 3 pembuluh besar. Laju mortalitas dirumah sakit dengan CABG pada penelitian SHOCK dan registr adalah sama dengan outcome dengan PCI, wlaupun lebih banyak penyakit arteri berat dan diabetes yaitu 2 kali pada pasien yang menjalani CABG. Rekomendasi PCI pada penyakit jantung koroner5 Tanda objektif iskemik luas Oklusi total kronis Risiko operatif tinggi, termasuk ejeksi fraksi < 35% Unprotected left main tanpa opsi tindakan revaskularisasi lain.

38

Stent rutin pada lesi pembuluh darah koroner asli

Peranan intraaortic baloon pump Sesuai dengan guidelines terakhir ACC/AHA, direkomendasi pemasangan IABP dini pada pasien syok kardiogenik yang merupakan kandidat strategi agresif. Penggunaan IABP menurunkan afterload, meningkatkan tekanan diastolik untuk perfusi koroner dan meningkatkan curah jantung. Balon intra-aorta ditempatkan pada aorta toraksika desenden yang terletak di distal arteri subklavia sinistra. Balon dimasukan perkutan atau melalui arteriotomi femoralis dan disusupkan retrogard melalui aorta abdominalis desenden. Balon kemudian mengembang dan mengempis sesuai dengan peristiwa mekanis dari siklus jantung

39

40

Beberapa komplikasi syok kardiogenik: Henti jantung Disritmia Gagal ginjal Kegagalan multiorgan Aneurisma ventrikel
41

Sekuele tromboembolik Stroke Kematian

c. Syok Septik Merupakan syok yang disertai adanya infeksi (sumber infeksi). Pada pasien trauma, syok septik bisa terjadi bila pasien datang terlambat beberapa jam ke rumah sakit. Syok septik terutama terjadi pada pasien-pasien dengan luka tembus abdomen dan kontaminasi rongga peritonium dengan isi usus. Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif yang menyebabkan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif ini menyebabkan vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas arteriovena perifer. Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan kapasitas vaskuler karena vasodilatasi perifer menyebabkan terjadinya hipovolemia relatif, sedangkan peningkatan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan kehilangan cairan intravaskuler ke intertisial yang terlihat sebagai udem. Pada syok septik hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabkan oleh penurunan perfusi jaringan melainkan karena ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen karena toksin kuman. Gejala syok septik yang mengalami hipovolemia sukar dibedakan dengan syok hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi perifer, produksi urin < 0.5 cc/kg/jam, tekanan darah sistolik turun dan menyempitnya tekanan nadi). Pasien-pasien sepsis dengan volume intravaskuler normal atau hampir normal, mempunyai gejala takikaridia, kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan tekanan nadi yang melebar. Penanganan medikamentosa pada syok septik Terapi cairan. Pemberian cairan garam berimbang harus segera diberikan pada saat ditegakkan diagnosis syok septik. Pemberian cairan ini sebanyak 1-2 lite selama 30-60 menit dapat memperbaiki sirkulasi tepi dan produksi urin. Pemberian cairan selanjutnya tergantung pengukuran tekanan vena sentral. Obat inotropik. Dopamin sebaiknya diberikan bilamana keadaan syok tidak dapat diatasi dengan pemberian cairan, tetapi tekanan vena sentral telah kembali normal. Dopamin permulaan diberikan kurang dari 5 ug/kgbb/menit. Dengan dosis ini diharapkan aliran darah ginjal dan mesenterik meningkat, serta memperbanyak produksi urin.
42

Dosis dopamin 5-10 ug/kgbb/ menit akan menimbulkan efek -adrenergik, sedangkan pada dosis lebih dari 10 ug/kgbb/menit, dopamin tidak efektif dan yang menonjol ialah efek adrenergik. Antibiotika Pemberian dosis antibiotika harus lebih tinggi dari dosis biasa dan diberikan secara intravena. Kombinasi pemberian dua antibiotika spektrum luas sangat dianjurkan karena dapat terjadi efek aditif dan sinergistik. Misalnya kombinasi pemberian Klidamisin (600 mg/6 jam) dengan aminoglikosida ( gentamisin atau tobramisin 2 mg/kgbb/ 8 jam) sebagai terapi permulaan sebelum mendapatkan uji kepekaan bakteri. d. Syok Anafilaktik Penatalaksanaan syok anafilaktik tergantung tingkat keparahan, namun yang terpenting harus segera dilakukan evaluasi jalan napas, jantung dan respirasi. Bila ada henti jantung paru, lakukan resusitasi jantung paru. Terapi awal diberikan setelah diagnosis ditegakkan. Untuk terapi awal, berikan adrenalin 1 : 1.000, 0,3 ml sampai maksimal 0,5 ml, subkutan atau im, dapat diulang 2-3 kali dengan jarak 15 menit. Pasang torniket pada proksimal dari suntikan infiltrasi dengan 0,1 0,2 adrenalin 1 : 1000. Lepaskan torniket setiap 10-15 menit. Tempatkan pasien dalam posisi terlentang dengan elevasi ekstremitas bawah (kecuali kalau pasien sesak). Awasi jalan napas pasien, periksa tanda-tanda vital tiap 15 menit. Bila efek terhadap adrenalin kurang, berikan difenhidramin hidroklorida, 1 mg/kg BB sampai maksimal 50 mg im atau iv perlahanlahan. Bila terjadi hipotensi (tekanan sistolik < 90 mm Hg), segera berikan cairan iv yang cukup. Bila tidak ada respon, berikan dopamin 400 g (2 ampul) dalam cairan infus glukosa 5 % atau Ringer laktat atau NaCL 0,9% atau dekstran, untuk mempertahankan tekanan darah sistolik 90-100 mmHg. Bila terjadi bronkospasme persisten, berikan oksigen 4-6 liter/menit. Bila tidak terjadi hipotensi, berikan aminofilin dosis 0,5-0,9 mg/kg BB/jam. Berikan aerosol s-2 agonis tiap 2-4 jam, misalnya 0,3 ml metaproterenol dalam larutan garam melalui nebulasi atau adrenalin 0,1-0,3 ml setiap 2 -4 jam. Untuk mencegah relaps (reaksi fase lambat), berikan hidrokortison 7 10 mg/kg BB iv lalu lanjutkan hdrokortison suntikan 5 mg/kg BB iv tiap 6 jam sampai 48-72 jam.

43

Awasi adanya edema laring, jika perlu dilakukan trakeostomi. Bila kondisi pasien stabil, berikan terapi suportif dengan cairan selama beberapa hari, pasien harus diawasi karena kemungkinan gejala berulang minimal selama 12-24 jam. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam pertama. Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah: Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu: Airway 'penilaian jalan napas'. Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar. Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru. Segera berikan adrenalin 0.3--0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa atau 0.01 mk/kg untuk penderita anak-anak, intramuskular. Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2--4 ug/menit.

44

Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 56 mg/kgBB intravena dosis awal yang diteruskan 0.4--0.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.

Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau deksametason 5--10 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang membandel.

Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang

ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3--4 kali dari perkiraan kekurangan volume

plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20--40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin. Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 2--3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit semalam untuk observasi. Komplikasi syok anafilaktik: Pada syok anafilaktik, bisa terjadi bronkospasme yang menurunkan ventilasi.
45

e. Syok Neurogenik Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasoaktif seperti fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan sfingter prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong keluar darah yang berkumpul ditempat tersebut. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi Trendelenburg). Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan menggunakan masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi yang berat, penggunaan endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat dianjurkan. Langkah ini untuk menghindari pemasangan endotracheal yang darurat jika terjadi distres respirasi yang berulang. Ventilator mekanik juga dapat menolong menstabilkan hemodinamik dengan menurunkan penggunaan oksigen dari otototot respirasi. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi cairan. Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per infus secara cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadap tekanan darah, akral, turgor kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap terapi. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat vasoaktif (adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada perdarahan seperti ruptur lien) : Dopamin Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit, berefek serupa dengan norepinefrin. Jarang terjadi takikardi. Norepinefrin Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan tekanan darah. Monitor terjadinya hipovolemi atau cardiac output yang rendah jika norepinefrin gagal dalam menaikkan tekanan darah secara adekuat. Pada pemberian subkutan, diserap tidak sempurna jadi sebaiknya diberikan per infus. Obat ini merupakan obat yang terbaik karena pengaruh vasokonstriksi perifernya lebih besar dari pengaruh terhadap jantung (palpitasi). Pemberian obat ini dihentikan bila tekanan darah sudah normal

46

kembali. Awasi pemberian obat ini pada wanita hamil, karena dapat menimbulkan kontraksi otot-otot uterus. Epinefrin Pada pemberian subkutan atau im, diserap dengan sempurna dan dimetabolisme cepat dalam badan. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat dengan pengaruhnya terhadap jantung Sebelum pemberian obat ini harus diperhatikan dulu bahwa pasien tidak mengalami syok hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat menyebabkan vasodilatasi perifer tidak boleh diberikan pada pasien syok neurogenik. Dobutamin Berguna jika tekanan darah rendah yang diakibatkan oleh menurunnya cardiac output. Dobutamin dapat menurunkan tekanan darah melalui vasodilatasi perifer.

47

Anda mungkin juga menyukai