Anda di halaman 1dari 5

PERBEDAAN ILMU PENGETAHUAN ANTARA SUKU DANI DAN SUKU ASMAT

Papua adalah sebuah provinsi terluas Indonesia yang mempunyai luas wilayah sekitar 420.540 km2, provinsi ini terletak di bagian tengah Pulau Papua atau bagian paling timur West New Guinea (Irian Jaya). Belahan timurnya merupakan negara Papua Nugini atau East New Guinea. Nama provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pada tahun 2003, disertai oleh berbagai protes (penggabungan Papua Tengah dan Papua Timur), Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia, bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi Provinsi Irian Jaya Barat (setahun kemudian menjadi Papua Barat). Bagian timur inilah yang menjadi wilayah Provinsi Papua pada saat ini. Kata Papua sendiri berasal dari bahasa melayu yang berarti rambut keriting, sebuah gambaran yang mengacu pada penampilan fisik suku-suku asli. Kelompok suku asli Papua kurang lebih sekitar 255 suku yang tersebar hampir di seluruh wilayah Papua, dengan bahasa yang berbeda-beda, diantara suku-suku yang ada di daerah papua, terdapat dua suku yang mempunyai perbedaan tingkat ilmu pengetahuan yang sangat mencolok. Suku tersebut adalah suku Dani dan suku Asmat. Suku Dani adalah sebutan bagi penduduk yang tinggal di Lembah Baliem (Keturunan Moni, penduduk dataran tinggi Pinai, yang datang ke Lembah Baliem), yang memiliki luas sekitar 1.200 km2. Suku Dani lebih senang disebut suku Parim. Suku ini sangat menghormati nenek moyangnya dengan penghormatan mereka biasanya dilakukan melalui upacara pesta babi. Sebagaimana suku suku pedalaman Irian umumnya tingkat pendidikan (formal), suku bangsa Dani rendah dan kesadaran untuk menimba ilmunya juga masih kurang, guru-guru masih terbatas, selain itu tempat tinggal suku Dani yang terletak di daerah lembah Baliem

sulit untuk di jangkau, lembah Baliem sendiri merupakan hutan yang keberadaannya masih perawan di daerah Papua dengan jarak ratusan kilometre dengan pusat kota, sehingga penduduk suku Dani tidak mengerti arti pentingnya ilmu pengetahuan untuk kelangsungan hidup mereka, yang mereka pikirkan bagi kaum laki-laki hanyalah berburu dan berperang sedangkan kaum wanitanya perawat anak dan memasak untuk keluarganya. Pemikiran mereka bagaimana caranya agar bisa

memenangkan peperangan agar kelangsungan hidup suku mereka bisa berlanjut, karena suku Dani sendiri merupakan suku yang terkenal dengan suka berperang, mereka beranggapan bahwa ilmu pengetahuan yang di dapatkan dengan pendidikan formal tidak di butuhkan dalam

kelangsungan suku mereka serta ilmu pengetahuan tersebut tidak dapat di gunakan pada saat perang melawan suku lain, dengan pemikiran yang di terapkan oleh masayarakat suku Dani maka kehidupan mereka tidak akan berkembang, kehidupan mereka akan berkisar pada kegiatan berburu dan berperang seperti yang di ajarkan oleh nenek moyang suku Dani. Sikap yang di terapkan oleh suku ini dikarenakan masyarakat suku Dani masih sangat menjunjung tinggi tradisi. Sikap masyarakat Dani yang masih menunjung tinggi tradisi nenek moyang mereka tentu saja terdapat dampak positif, dampak positif dari sikap masyarakat Dani adalah mereka berhasil mempertahankan tradisi warisan-warisan budaya leluhur mereka dengan baik, apalagi pada era global seperti sekarang ini, apabila tidak berhati-hati dalam menerima sesuatu hal yang baru, maka kebiasaan-kebiasaan yang lama yang harusnya menjadi ciri khas dari suatu suku, ataupun wilayah maka akan tergeser dengan adanya sesuatu yang baru tersebut. Ilmu pengetahuan sangat penting untuk di pelajari oleh masyarakat suku Dani supaya pemikiran yang primitif, menjadi lebih maju, namun bertambahnya ilmu pengetahuan jangan sampai menggeser ciri khas dari masyarakat suku Dani sendiri.

Suku Asmat adalah sebuah suku di Papua. Suku Asmat dikenal dengan hasil ukiran kayunya yang unik. Populasi suku Asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling berbeda satu sama lain dalam hal dialek, cara hidup, struktur sosial dan ritual. Populasi pesisir pantai selanjutnya terbagi ke dalam dua bagian yaitu suku Bisman yang berada di antara sungai Sinesty dan sungai Nin serta suku Simai, namun dalam bidang ilmu pengetahuan suku Asmat tetap lebih maju di bandingkan dengan suku Dani. Memang pada awalnya kehidupan suku Asmat tidak berbeda jauh dengan suku-suku di Papua lainnya, yaitu mengisi kehidupan mereka hanya dengan berburu dan berperang dengan suku lain, namun saat ini keadaan suku Asmat berkembang cukup pesat karena sampai saat ini kurang lebih ada 70.000 orang Asmat hidup di Indonesia dan sebagian besar anak-anak suku Asmat bersekolah, keadaan ini karena kesadaran masyarakat suku Asmat akan pentingnya ilmu pengetahuan bagi kehidupan mereka kelak, apalagi pada era yang sekarang ini, banyak hal baru yang harus anak suku Asmat ketahui. Selain kesadaran atas pentingnya ilmu pengetahuan factor tempat tinggal yang dapat di jangkau juga sangat mempengaruhi adanya pendidikan yang formal bagi anak-anak suku Asmat ini. Sejak jaman dahulu suku Asmat di kenal dunia sebagai suku yang mempunyai karya seni ukir yang luar biasa, seni ukir suku Asmat tidak seperti seni ukir lainnya, karena seni ukir masyarakat Asmat di percaya dapat menjadi penghubung antara kehidupan masa kini dengan kehidupan leluhur. di setiap ukiran bersemayam citra dan penghargaan atas nenek moyang mereka yang sarat dengan kebesaran suku asmat. patung dan ukiran umumnya mereka buat tanpa sketsa. bagi suku asmat kala mengukir patung adalah saat di mana mereka berkomunikasi dengan leluhur yang ada di alam lain, itu dimungkinkan karena mereka mengenal tiga konsep dunia: Amat ow capinmi (alam kehidupan sekarang), Dampu ow campinmi (alam pesinggahan roh yang sudah meninggal), dan Safar

(surga). Kepercayaan suku Asmat bahwa arwah orang yang sudah meninggal sebelum memasuki surge, arwah orang tersebut akan

mengganggu manusia. gangguan bisa berupa penyakit, bencana bahkan peperangan. Maka, demi menyelamatkan manusia serta menebus arwah, mereka yang masih hidup membuat patung dan mengelar pesta seperti pesta patung bis (Bioskokombi), pesta topeng, pesta perahu, dan pesta ulat ulat sagu. Konon patung bis adalah bentuk patung yang paling sakral. Pada era sekarang ini masyarakat suku Asmat sudah mengenal sistem jual beli barang, system jual beli ini di lakukan masyarakat suku Asmat karena mereka tahu bahwa ukiran-ukiran yang di hasilkan mereka dapat di jual dan menghasilkan uang, sehingga dengan menjual hasil karya ukiran-ukiran tersebut maka masyarakat suku Asmat tidak tergantung hidup oleh hasil buruan di hutan, masyarakat suku Asmat dapat mengerti sistem jual beli ini karena adanya ilmu pengetahuan yang masuk pada daerah mereka, dengan begitu masyarakat suku Asmatdapat mengembangkan kreatifitasnya, selain itu mereka juga dapat

menghasilkan uang, yang berguna untuk kelangsungan hidup mereka. Kegiatan perekonomian mereka sangat di bantu karena banyak turis-turis lokal maupun manca negara yang datang ke daerah mereka dan membeli kerajinan asli dari suku Asmat, Pemerintah juga memfasilitasi masyarakat suku Asmat untuk memperjualkan karya ukiran suku Asmat ini ke luar wilayah hingga sampai ke manca negara, sehingga penghasilan suku Asmat dapat meningkat, dan hasil penjualan ukiran tersebut di pergunakan suku Asmat untuk memelihara ikan yang selanjutnya akan di jual lagi. Dari ini maka dapat di tarik kesimpulan bahwa roda perekonomian dari masyarakat Asmat sudah berjalan dengan baik sehingga suku Asmat ini lebih modern di bandingkan oleh suku Dani yang masih bergelut pada bidang yang nenek moyang mereka kerjakan yaitu berburu dan berperang sehingga perekonomian masyarakat suku Dani tidak berkembang, sehingga terlihat sekali bahwa suku Asmat lebih berfikiran maju.

Dampak negatife dari masuknya ilmu pengetahuan ini adalah yang pada awalnya masyarakat suku Asmat membuat patung hanya bertujuan untuk menghubungkan kehidupan masa kini dan leluhur,dan sebagai media komunikasi dengan leluhur beralih fungsi yang kini menjadi untuk memenuhi hidup, sebab hasil ukiran itu juga mereka jual kepada orang asing di saat pesta ukiran. mereka tahu hasil ukiran tangan dihargai tinggi apalagi ketika di jual di luar pulau Papua, sehingga unsure sacral dalam pembuatan ukir-ukiran sudah tidak nampak lagi dalam proses

pembuatannya. Masuknya ilmu pengetahuan pada suatu daerah dapat berpengaruh positif dan negatife pada suatu daerah tersebut , sehingga harus pandai untuk memilah, agar nilai tradisi yang sudah ada sejak nenek moyang tidak luntur, namun pemikiran tetap harus mengikuti perkembangan jaman.

Anda mungkin juga menyukai