Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS SINDROMA NEFROTIK

IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis Kelamin Alamat Pekerjaan Masuk Bangsal/Ruang No. Rekam Medik : : : : : : : : Tn. E 17 tahun laki-laki Maros 28 september 2013 Perawatan Dewasa Kmr 4, RSUD Salewangang 153070

SUBJEKTIF Anamnesis : Autoanamnesis

Keluhan Utama: Bengkak pada wajah dan seluruh tubuh Anamnesis Terpimpin: Bengkak seluruh tubuh dialami sejak + 1 minggu sebelum masuk RS terutama bengkak pada pagi hari dan berkurang pada siang hari. Awalnya bengkak dirasakan pada wajah dan perut , tangan kemudian lama kelamaan bengkak pada anggota gerak dan kelamin (buah zakar). Pasien mengakui tidak pernah mengalami perbaikan selama ini. Demam tidak ada, riwayat demam sebelumnya tidak diketahui. Buang air kecil lancar, warna kuning, jumlah sedang, riwayat buang air kecil berdarah, berpasir, dan warna teh tidak ada. Riwayat nyeri saat berkemih tidak ada. Batuk tidak ada, riwayat batuk tidak ada. Sesak tidak ada, riwayat sesak tidak ada. Mual muntah tidak ada dan nyeri ulu hati tidak ada. BAB : Biasa, Warna coklat, riwayat BAB bercampur darah tidak pernah.

Riwayat Penyakit Sebelumnya: Riwayat penyakit Ginjal (-) Riwayat hipertensi (-) Riwayat DM (-)

Riwayat Penyakit jantung (-)

Riwayat pengobatan: Riwayat komsumsi obat sebelumnya tidak pernah . Riwayat transfusi darah tidak pernah. Riwayat Psikososial: Riwayat Minum Alkohol disangkal penderita. Riwayat Merokok (-).Riwayat seks bebas tidak pernah. Riwayat komsumsi narkoba tidak pernah.

Riwayat keluarga: Riwayat Keluarga yang menderita penyakit ginjal (-).

OBJEKTIF a) Keadaan Umum: Kesadaran kompos mentis, keadaan sakit sedang, keadaan gizi kurang. (Status Presens: SS/GK/CM)

b)

Tanda Vital dan Antropometri Tekanan darah : 150/100mmHg Nadi Pernafasan Suhu BB TB IMT : 90 kali/menit : 24 kali/menit : 36.8oC : 65kg BB Koreksi :BB -30%(BB) : 45,5 kg : 160 cm : 17,77 kg/m2 LP : 80 cm Tipe pernapasan : Thoracoabdominal

c) Pemeriksaan Fisis Kepala Ekspresi Deformitas Wajah Malar rash Rambut : normal : (-) : simetris kiri dan kanan : (-) : hitam, lurus, sukar dicabut

Mata Eksoptalmus/enoptalmus Gerakan : (-) : ke segala arah

Kelopak mata Anemi Ikterus Reflex kornea Pupil

: edema palpebra (+) D/S, : (-) : (-) : RCL+/+, RCTL +/+, : bulat, isokor, 2,5 mm / 2,5 mm

Telinga Tophi Pendengaran : (-) : dalam batas normal

Nyeri tekan di prosesus mastoideus : (-)

Hidung Perdarahan Sekret : (-) : (-)

Mulut Bibir : kering (-) Gigi Gusi : Karies (-) : perdarahan gusi (-)

Tonsil : T1-T1 hiperemis (-) Faring : hiperemis(-) Lidah : kotor (-)

Leher Kelenjar getah bening kelenjar gondok DVS Pembuluh darah Kaku kuduk Tumor : Tidak ada pembesaran : Tidak ada pembesaran : R-2cmH2O : Bruit sound (-) : (-) : (-)

Dada

Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, normochest, gynecomasti(-), sela iga normal

Paru Palpasi Perkusi : vocal fremitus dalam batas normal, Nyeri tekan -/: Batas paru hepar ICS VI kanan depan. Terdengar pekak di basal hemithoraks dextra setinggi ICS VII . Auskultasi : bunyi pernapasan vesikuler Rh: - - Wh: -

Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi : ictus cordis tidak tampak : ictus cordis tidak teraba : Batas paru jantung normal

Auskultasi : BJ I/II murni reguler, bunyi tambahan: bising (-)

Perut : Inspeksi Palpasi : cembung, ikut gerak nafas : massa tumor (-), Nyeri tekan (-) Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba, Ballottement ginjal (-), Perkusi : shifting dullness (+). Ascites (+) Auskultasi : peristaltik (+) kesan normal

Alat Kelamin

: edema scrotum

Anus dan rectum : tidak dilakukan pemeriksaan (pasien menolak)

Punggung

Inspeksi Palpasi

: Skoliosis (-), Kifosis (-), lordosis (-) : MT (-), NT (-)

Nyeri ketok : (-) Rh: - - Wh: - - Lain-lain : (-) -

Gerakan : dalam batas normal

Ekstremitas

: edema pre tibialis +/ +, eritem -/- , akral hangat. Edema dorsum pedis +/+

d) Pemeriksaan Penunjang - Laboratorium Laboratorium (28-9-2013 Pkl: 12.09 WITA) HASIL HEMATOLOGI WBC RBC HGB HCT PLT Protein Total GDS SGOT SGPT Ureum Darah Kreatinin Darah Bilirubin Total Bilirubin Direk 12.2 5.15 13.3 43.9 368 4.3 83 42 56 19 1,0 0,4 0,1 NILAI RUJUKAN 4.00 - 10.0 3.50 - 5.00 11.0 - 15.0 37.0 - 48.0 150 - 300 6,6 - 8,7 70 - 110 LK: <37 PR: <31 LK: <37 PR: <31 10-50 LK:<1,1 PR:<0,9 <1,1 <0,25 [103/uL] [106/uL] [g/dL] [%] [103/uL] Gr/dl mg/dl u/L u/L mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl UNIT

Laboratorium (29-09-2013 Pkl: 12.00 WITA) HEMATOLOGI HASIL NILAI RUJUKAN WBC RBC HGB HCT PLT 10.9 4.98 12.5 42.6 333 4.00 10.0 3.50 5.00 11.0 15.0 37.0 48.0 100 300 [103/uL] [106/uL] [g/dL] [%] [103/uL] UNIT

Laboratorium (29-9-2013) HASIL HEMATOLOGI Kolesterol Total Kolesterol HDL Kolesterol LDL Trigliserida Albumin 450 65 347 191 1,4 NILAI RUJUKAN 200 LK: <55 PR: <65 <130 <200 3,5 - 5 mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl gr/dl UNIT

Urine lengkap PROTEIN Lekosit Eritrosit Epitel cell AU ++++ 7-10 2-3 Penuh + Positif Mg/dl -

Laboratorium (29-9-2013) HASIL HEMATOLOGI Albumin 1,8 NILAI RUJUKAN 3,5 - 5 gr/dl UNIT

Laboratorium (30-9-2013) HASIL HEMATOLOGI Albumin 1,7 NILAI RUJUKAN 3,5 - 5 gr/dl UNIT

- Radiologi Foto Thoraks AP Dalam batas normal USG Abdomen - Menyokong adanya pleural efusi dextra ascites.

e) Diagnosis Kerja Sindrom Nefrotik

f) Penatalaksanaan Diet rendah garam Bed Rest Total IVFD RL 16 tpm Simvastatin 20 mg 0-0-1 Metilprednisolone tab16 mg 1x1 Furosemid 40 mg 1-0-0 Captopril 12,5 mg 2x1

g) Rencana Pemeriksaan Protein Esbach

h) Rencana Monitoring Timbang BB/hari, target penurunan BB: 1kg/hari Lingkar perut/hari Test urinalysis (control) perhari

i) Edukasi Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit pasien Komplikasi penyakit yang dialami oleh pasien Menjelaskan tindakan yang akan dilakukan Diet makanan yang dianjurkan

LEMBAR FOLLOW UP PASIEN

Tanggal 28/7/2013 Perawatan hari 0 T :150/100mmhg N: 80 x/menit P : 24x/menit S : 36,8oC

Perjalanan Penyakit

Instruksi

S: Bengkak seluruh tubuh (+), - Diet rendah garam demam (-), batuk (-), sesak - IVFD RL 16 tpm (-), nyeri ulu hati (+), mual - Simvastatin 20 mg 0-0-1 (-), muntah (-) BAB : Biasa BAK : lancar, warna kuning O: SS/GK/CM Kepala: anemis (-), ikterus (-), sianosis (-) edema palpebra +/+ Thorax: BP: vesikuler BT: Rh -/- Wh -/Abdomen : MT (-) NT (-) Ascites (+) NUH (+) Shifting Pengambilan sampel urin untuk Dullness (+) Kelamin : edema scrotum (+) Extremitas :Edema Pretibial +/+ Edema Dorsum Pedis +/+ A: - Sindrom nefrotik pemeriksaan protein esbach Ukur BB/hari, Kontrol DR,Urine rutin. - Metilprednisolone tab16 mg 1x1 - Furosemid 40 mg 1-0-0 - Captopril 12,5 mg 2x1

29/9/2013 Perawatan hari 1 T : 140/90 mmhg N : 82 x/menit P : 20 x/menit S : 36,5 oC

S: Bengkak seluruh tubuh (+), - Diet rendah garam demam (-), batuk (-), sesak - IVFD RL 16 tpm (-), nyeri ulu hati (+), mual - Simvastatin 20 mg 0-0-1 (-), muntah (-) BAB : Biasa BAK : lancar, warna kuning O: SS/GK/CM Kepala: anemis (-), ikterus (-), - Metilprednisolone tab16 mg 1x1 - Furosemid 40 mg 1-0-0 - Captopril 12,5 mg 2x1

sianosis (-) edema palpebra +/+ BB : 65 kg LP : 80 cm Urine :<50 cc Thorax: BP: vesikuler BT: Rh -/- Wh -/Abdomen : MT (-) NT (-) Ascites (+) NUH (+) Shifting Dullness (+) Kelamin : edema scrotum (+) Extremitas : Edema Pretibial +/+ Edema Dorsum Pedis +/+ A: - Sindrom nefrotik Ukur BB/hari, Kontrol DR, USG

30/09/2013 Perawatan hari 2 T : 140/80 mmhg N : 72 x/menit P : 20x/menit S : 36,5oC

S: Bengkak seluruh tubuh (+), - Diet rendah garam demam (-), batuk (-), sesak - IVFD RL 16 tpm (-), nyeri ulu hati (+), mual - Simvastatin 20 mg 0-0-1 (-), muntah (-) BAB : Biasa BAK : lancar, warna kuning O: SS/GK/CM - Metilprednisolone tab16 mg 1x1 - Furosemid 40 mg 1-0-0 - Captopril 12,5 mg 2x1

Kepala: anemis (-), ikterus (-), - Rencana foto thorax BB : 60 kg LP : 51 cm sianosis (-) edema palpebra +/+ Thorax: BP: vesikuler BT: Rh -/- Wh -/Abdomen : MT (-) NT (-) Ascites (+) NUH (+) Shifting Dullness (+) Kelamin : edema scrotum (+) Extremitas : Edema Pretibial +/+ Edema Dorsum Pedis +/+ - Ukur BB/hari

10

A: - Sindrom nefrotik

1/10/2013 Perawatan hari 3 T : 130/90 mmhg N : 84 x/menit P : 24 x/menit S : 36.5 oC

S: Bengkak seluruh tubuh (+), - Diet rendah garam demam (-), batuk (-), sesak - IVFD NaCl 16 tpm (-), nyeri ulu hati (+), mual - Metilprednisolone16 mg 1x1 (-), muntah (-) BAB : Biasa BAK : lancar, warna kuning O: SS/GK/CM Kepala: anemis (-), ikterus (-), - Furosemide 40 mg 1-0-0 - Simvastatin 20 mg 1x1 - Captopril 12,5 mg 2x1 - Ukur BB/hari

BB : 63 kg LP : 78 cm Hasil pemerikaan protein esbach : 12g/l urine 24 jam

sianosis (-) edema palpebra +/+ Thorax: BP: vesikuler BT: Rh -/- Wh -/Abdomen : MT (-) NT (-) Ascites (+) NUH (+) Shifting Dullness (+) Kelamin : edema scrotum (+) Extremitas : Edema Pretibial +/+ Edema Dorsum Pedis +/+ A: - Sindrom nefrotik

2/10/2013 Perawatan hari 4 T : 130/90 mmhg N : 80 x/menit P : 24 x/menit S : 36,5 oC

S: Bengkak seluruh tubuh (+), - Diet rendah garam demam (-), batuk (-), sesak - IVFD NaCl 16 tpm (-), nyeri ulu hati (+), mual - Metilprednisolone16 mg 1x1 (-), muntah (-) BAB : Biasa BAK : lancar, warna kuning O: SS/GK/CM Kepala: anemis (-), ikterus (-), - Furosemide 40 mg 1-0-0 - Simvastatin 20 mg 1x1 - Captopril 12,5 mg 2x1 - Ukur BB/hari

11

BB : 63 kg LP : 77 cm

sianosis (-) edema palpebra +/+ Thorax: BP: vesikuler BT: Rh -/- Wh -/Abdomen : MT (-) NT (-) Ascites (+) NUH (+) Shifting Dullness (+) Kelamin : edema scrotum (+) Extremitas : Edema Pretibial +/+ Edema Dorsum Pedis +/+ A: - Sindrom nefrotik

12

RESUME Dari anamnesis diperoleh Bengkak seluruh tubuh dialami sejak + 1 minggu sebelum masuk RS terutama bengkak pada pagi hari dan berkurang pada siang hari. Awalnya bengkak dirasakan pada wajah dan perut , tangan kemudian lama kelamaan bengkak pada anggota gerak dan kelamin (buah zarka). Buang air kecil lancar, warna kuning, jumlah sedang. Dari pemeriksaan fisis ditemukan edema palpebra. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan asites pada pasien dengan penilaian shifting dullness.pada pemeriksaan alat kelamin ditemukan edema scrotum. Pada ekstremitas didapatkan edema pretibial dan edema dorsum pedis.

Dari pemeriksaan penunjang diperoleh hasil USG Abdomen : Menyokong adanya pleural efusi dextra sedangkan pada pemeriksaan Foto Thorax : dalam batas normal. Dan pada pemeriksaan Laboratorium didapatkan proteinuria, hyperdyslipidemia, hypoalbuminemia dan pada tes protein esbach diperoleh nilai diatas normal . Dari anamnesis, pemeriksaan fisis, dan laboratorium serta USG Abdomen. Maka pasien ini di diagnosis sindrom nefrotik.

13

DISKUSI Pasien masuk dengan keluhan edema pada wajah dan seluruh badan maka kita dapat memikirkan berbagai kemungkinan. Ada beberapa penyakit yang dapat menimbulkan keluhan edema seluruh badan, misalnya sindroma nefrotik, Congestive Heart Failure (CHF), Cronic Kidney Injury (CKD), dan malnutrisi berat.1 Pada pasien ini, kami diagnosis dengan Sindroma Nefrotik atas dasar kriteria diagnosis untuk sindrom nefrotik yaitu: Edema anasarka, Proteinuria massif (positif +++, Hipoalbuminemia (1,7 gr/dl), hyperdyslipidemia, dan nilai pemeriksaan protein esbach di atas normal. Dari hasil anamnesis, edema dirasakan pada palpebra, perut, dan ekstrimitas. Bengkak pada wajah terutama dialami pada pagi hari dan berkurang di siang hari. Hal ini berkaitan dengan sifat cairan yang menempati tempat terendah. Pada pagi hari pasien dalam posisi berbaring setelah semalaman tidur sehingga muncul bengkak pada wajah. Pada siang hari pasien lebih banyak duduk dan berdiri sehingga bengkak pada wajah menurun. 1 Menurut teori, edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan factor kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravascular ke jaringan interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema akan semakin berlanjut.2,3,4 Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Penurunan kemampuan nefron distal untuk mengeksresi natrium sehingga terjadi retensi natrium. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstrseluler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada pasien SN.2 Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membrane basal glomerulus

14

(MBG)

mempunyai

mekanisme

penghalang

untuk

mencegah

kebocoran

protein.Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada SN kedua mekanisme penghalang tersebut terganggu.1,4 Hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria massif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma.2 Hiperkolesterolemia berhubungan dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Selain itu, Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat albumin sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel-sel hepar juga akan membuat VLDL. Dalam keadaan normal VLDL diubah menjadi LDL oleh lipoprotein lipase. Tetapi pada SN akitifitas enzim ini terhambat oleh adanya hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam lemak bebas. Disamping itu menurunnya aktifitas lipoprotein lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma sebagai akibat keluarnya protein ke dalam urin.1,2 Pengobatan pada pasien dilakukan dengan terapi umum dan terapi spesifik. Terapi umum antara lain diet rendah garam untuk mengurangi terjadinya retensi cairan oleh natrium yang juga berperan dalam terjadinya edema. Diet cukup protein oleh karena pemberian protein yang tinggi walaupan dapat meningkatkan sintesis albumin hati namun dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Diet rendah kolesterol <600 mg/hari karena terjadinya hiperlipidemia. Furosemid sebagai diuretik. Diberikan juga simvastatin (golongan HMG CoA reductase inhibitor) untuk menurunkan kadar lipid. Sedangkan terapi spesifik adalah dengan pemberian methylprednisolon sebagai imunosupressan. karena pada pasien ini sindrom nefrotik diduga disebabkan oleh proses autoimun.1,2,3,4 Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan yang memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid.Pengobatan dengan kortikosteroid dibedakan antara pengobatan inisial dan pengobatan relaps.2,4 Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di antaranya pada orang dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 8minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 412 minggu, tapering di 4 bulan berikutnya.Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi

15

diteruskan sampai 20-24 minggunamun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan.2 Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap, remisi parsial dan resisten.Dikatakan remisi lengkap jika proteinuria minimal (< 200 mg/24 jam), albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum < 300 mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang. Remisi parsial jika proteinuria<3,5 g/hari, albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar dan masih edema. Dikatakan resisten jika klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid.4 Kelompok SNSS dalam perjalanan penyakit dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu SN non-relaps (30%), SN relaps jarang (10-20%), SN relaps sering dan SN dependen steroid (40-50%).1,2 Sindrom nefrotik non relaps ialah penderita yang tidak pernah mengalami relaps setelah mengalami episode pertama penyakit ini. Sindrom nefrotik relaps jarang ialah anak yang mengalami relaps kurang dari 2 kali dalam periode 6 bulan atau kurang dari 4 kali dalam periode 12 bulan setelah pengobatan inisial. Sindrom nefrotik relaps sering ialah penderita yang mengalami relaps >2 kali dalam periode 6 bulan pertama setelah respons awal atau > 4 kali dalam periode 12 bulan. Sindrom nefrotik dependen steroid bila dua relaps terjadi berturut-turut pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam waktu 14 hari setelah pengobatan dihentikan. 2,3 Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid dapat diberikan dengan steroid jangka panjang, yaitu setelah remisi dengan prednison dosis penuh dilanjutkan dengan steroid alternating dengan dosis yang diturunkan bertahap sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kg secara alternating. Dosis ini disebut sebagai dosis treshold, diberikan minimal selama 3-6 bulan, kemudian dicoba untuk dihentikan.4

16

DAFTAR PUSTAKA

1. Sukandar E, Sindroma Nefrotik, dalam Nefrologi Klinik, Edisi II, Penerbit ITB Bandung, 1997, hal: 164-98 2. Prodjosudjadi W. Sindrom nefrotik. Dalam: Sudoyo Aru W. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-4. Jakarta : Departemen ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2006. 3. Shafa R. Sindroma Nefrotik. Ilmu penyakit dalam. 20 Februari 2011.

4. Stephan R. Orth, Eberhard Ritz. The nephrotic syndrome. The new England journal of Medicine. 2012.

17

SINDROMA NEFROTIK Pendahuluan Sindroma nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik

glomerulonephritis (GN). Sindroma nefrotik didefenisikan sebagai suatu sindroma klinik dengan ciri khusus proteinuria masif lebih dari 3,5 gram per 1,73 m2 luas permukaan badan per hari disertai hipoalbuminemia kurang dari 3,0 gr/mL.1,3 Proteinuria dan hipoalbuminemia merupakan kriteria dasar SN disamping gejala lain seperti:1,4,5 a. Lipiduria yang terlihat sebagai oval fat bodies atau maltase cross b. Kenaikan serum lipid, lipoprotein, globulin, kolesterol total, dan trigliserida c. Edema Angka kejadian SN pada anak-anak di United state sekitar 20 kasus/satu juta anak, sedangkan Angka kejadian SN akibat diabetes mellitus (DM) sekitar 50 kasus/satu juta penduduk.6 Diabetes merupakan penyebab terbanyak dari SN pada Negara berkembang.4 Sekitar 10% SN pada dewasa diakibatkan oleh diabetes mellitus (DM).5 Kematian pada SN primer disebabkan progresivitas SN yang mengakibatkan gagal ginjal atau akibat komplikasi seperti infeksi, thrombosis, dan lainnya. Pada SN sekunder kematian umumnya diakibatkan oleh penyakit sistemiknya seperti DM dan lupus.6

Etiologi Etiologi primer/idiopatik SN secara dan garis besar dapat mengikuti dibagi 3, yaitu kongenital, seperti lupus

sekunder

penyakit

sistemik

eritematosus sistemik, purpura henoch schonlein, dan lain-lain. SN pada tahun pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia kurang dari 6 18

bulan, merupakan kongenital.7 Kejadian SN kongenital dijumpai pada 1:8200 bayi di Finlandia dan berhubungan dengan mutasi gen NPHS1 yang terdapat pada kromosom 19q13.1.8 SN idiopatik/primer dapat berupa Glomerulonefritis lesi minimal,

Glomerulonefritis membranosa, Glomerulosklerosis fokal segmental, dan lainnya. Kelainan yang dapat mengakibatkan SN sekunder, antara lain:3,5

Tabel 1. Etiologi SN sekunder Diagnosis Sindroma Nefrotik Adapun langkah-langkah menentukan kondisi pasien dengan SN adalah sebagai berikut: 1. Menentukan diagnosis SN Diagnosis SN ditegakkan dengan adanya proteinuria masif lebih dari 3,5 gram per 1,73m2 luas permukaan badan per hari. a. Proteinuria

19

Proteinuria pada SN adalah jika pada pemeriksaan urin 24 jam dijumpai adanya proteinuria masif lebih dari 3,5 gram per 1,73m2 luas permukaan badan per hari. Alternative lain dengan menghitung rasio protein/creatinin, rasio protein/creatinin lebih dari 2-3 mengindikasikan proteinuria kisaran nefrotik.1,7 Proteinuria pada SN terjadi akibat peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan kedua berdasarkan muatan listrik (change barrier). Pada keadaan SN kedua penghalang tersebut terrganggu.3 Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul. Proteinuria selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul kecil seperti albumin, sedangkan non-selektif apabila yang keluar adalah molekul besar.3
b.

Hipoalbuminemia dan hyperlipidemia Hipoalbuminemia diakibatkan adanya proteinuria yang masif pada SN. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin hati, namun hal ini tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Hiperlipidemia diakibatkan adanya peningkatan sintesis lipoprotein yang mengikuti peningkatan sintesis albumin. Penurunan kadar HDL akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT (lecithin cholesterol acylransferase) yang berfungsi katalisasi pembentukan HDL.1,3

c. Edema Edema merupakan keluhan yang sering dijumpai pada pasien dengan SN. SN yang diikuti dengan hipoalbuminemia berat akan menyebabkan edema seluruh tubuh (edema anasarka). Mekanisme edema pada SN dapat melalui beberapa jalur berikut:

20

Jalur langsung : penurunan tekanan onkotik akibat adanya hipoalbuminemia menyebabkan perpindahan cairan dari intravaskuler ke jaringan interstisial.1

Jalur tidak langsung : penurunan tekanan onkotik menyebabkan penurunan volume darah efektif yang akan menimbulkan aktivasi sistem rennin-angiotensin-aldosteron. Kenaikan plasma renin dan angiotensin merangsang kelenjar adrenal sekresi aldosteron dan aldosteron mempengaruhi sel-sel tubulus untuk absorbsi natrium, yang akan diikuti retensi cairan. Selain itu edema dapat diakibatkan juga oleh adanya kelainan pada ginjal yang mengakibatkan retensi natrium. Diduga ANP berperan dalam mekanisme ini, dimana terjadi resistensi ANP yang diakibatkan terjadi aktivasi saraf simfatik yang terlalu aktif.1,7

2. Menentukan penyebab SN Perlu dilakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang teliti untuk memperoleh gambaran adanya penyakit sistemik yang menyebabkan SN seperti adanya diabetes mellitus, SLE dan lainnya. Untuk menentukan jenis kelainan pada ginjal penderita SN dapat dilakukan biopsi ginjal. Biopsi ginjal harus dilakukan pada setiap pasien SN kecuali pada pasien DM, untuk memperoleh diagnosa pasti dan pengobatan yang sesuai. Adapun indikasi pada pasien DM adalah tidak dijumpainya kelainan mikrovascular lain seperti neuropati, retinopati, adanya hematuria, gagal ginjal akut dan rapid progression SN.5

3. Menentukan fungsi ginjal Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah pada penderita SN sudah terjadi gagal ginjal. Dapat dilakukan dengan memeriksa fungsi ginjal, seperti kadar ureum dan creatinin serum, creatinin clearens, serta pemeriksaan lain seperti elektrolit, analisa gas darah untuk mengetahui

21

kelainan yang menyertai kelainan ginjal tersebut. 4. Mengidentifikasi kelainan yang berhubungan dengan SN1,3 Selain gejala SN, pada pasien dapat juga dijumpai komplikasi yang muncul seperti : a. Infeksi sekunder pasien sangat peka terhadap infeksi diakibatkan gangguan mekanisme pertahanan humoral. Pada pasien juga dijumpai adanya gangguan sel-T dan sintesis immunoglobulin. Selain itu dapat juga akibat pemberian obat imunosupresif pada pasien SN. Infeksi yang sering adalah pielonefritis dan pneumonia. b. Gangguan koagulasi pada pasien SN terjadi hiperkoagulasi yang meningkatkan kejadian thrombosis. Hal ini diakbatkan peningkatan aktifasi dan agregasi platelet, peningkatan faktor V, VII, VIII, XIII dan fibrinogen penurunan antitrombin III, protein C dan S, dan faktor Xi, XII. Emboli paru dan thrombosis vena dalam (DVT) sering dijumpai pada SN. c. Gangguan metabolism kalsium dan tulang Vitamin D merupakan unsur penting dalam metabolisme kalsium dan tulang. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan melalui urin. Karena pada SN fungsi ginjal umumnya normal, maka osteomalasi yang tak terkontrol jarang terjadi. Pengobatan Pengobatan SN meliputi pengobatan simtomatis, pengobatan komplikasi dan pengobatan spesifik. Dalam hal ini pengobatan spesifik adalah pengobatan dengan menggunakan obat-obat imunosupresif. Pengobatan ini akan dibahas pada bagian variasi perjalanan penyakit. Pengobatan simtomatis 1. Proteinuria Pengobatan simtomatik proteinuria merupakan pelengkap dari pengobatan spesifik. Pengobatan adalah dengan menggunakan obat anti

22

hipertensi. Target tekanan darah pada SN adalah < 125/75 mmHg. Semua obat anti hipertensi dapat dipergunakan untuk mencapai target, dan kombinasi 24 obat sering diperlukan.5 ACE-I dan ARB digunakan sebagai lini pertama pengobatan proteinuria dengan atau tanpa hipertensi. Efek anti proteinuria ACE-I dan ARB karena adanya penurunan tekanan intraglomerular akibat vasodilatasi arteri eferen glomerulus.3,5 Penggunaan ACE-I dan ARB dapat memperburuk fungsi ginjal. Peningkatan kreatinin sampai 30% masih dapat ditoleransi, jika peningkatan > 30% pengobatan dihentikan sementara. Selain memperburuk fungsi ginjal dapat juga terjadi hiperkalemia, batas yang dapat ditoleransi adalah 5,5. Pemeriksaan fungsi ginjal dan kalium dilakukan setelah 5 hari pengobatan dan setiap peningkatan dosis, jika stabil direkomendasikan untuk diperiksa setiap bulan.5

2. Edema Penanganan terhadap edema berupa pembatasan garam, pemberian garam harian < 1,5 gram/hari. Pasien dilarang makan dari makanan kaleng, ikan asin dan lainnya.1 Pada edema yang nyata diberikan diuretika, kecuali disertai hipoalbuminemia berat (albumin <1,5 mg%). Diuretika yang umum digunakan adalah furosemid 40-80 mg/hari, dinaikkan setiap 2 hari. Diuretika spironolacton dapat diberikan jika edema belum dapat dikontrol. Jika terjadi resistensi terhadap diuretika (dengan 500 mg furosemid dan 200 mg spironolacton) dapat diberikan infus albumin 300 ml konsentrasi 15% dilanjutkan 120 mg furosemid.1

3. Hiperlipidemia Penggunaan statin pada penderita SN efisien dan aman. Hal ini dapat mengurangi resiko kardiovaskular. Namun pengobatan terhadap proteinuria merupakan penanganan yang terbaik untuk hiperlipidemia yang terjadi. Berikut ini tabel ringkasan pengobatan simtomatik dan komplikasi SN.5

23

Tabel 2. Pengobatan simtomatis dan komplikasi SN Variasi perjalanan penyakit Terdapat perbedaan perjalanan penyakit pada SN primer maupun SN sekunder. Pada SN primer sendiri terdapat berbagai gambaran histpatologis pada pemeriksaan biopsi ginjal. Gambaran histopatologis pada SN primer dapat berupa

glomerulonefritis lesi minimal (GNLM), glomerulonefritis membranosa (GNMN), glomeruloskelorosis Fokal segmental (GSFS), Glomerulonefritis Membrano

poliferatif (GNMP). Dijumpai gambaran klinis dan labolatorium yang dapat mengarahkan kita menduga jenis histopatologi SN. Untuk diagnosa pasti diperlukan tindakan biopsi ginjal . Pada SN sekunder terdapat banyak penyebab, pada tulisan ini akan dibahas SN akibat penyakit DM dan SLE.

24

Variasi perjalan penyakit SN primer 1. Glomerulonefritis lesi minimal (GNLM) Disebut sebagai GNLM karena pada pemeriksaan dengan mikroskop cahaya tidak menemukan kelainan dan glomerulus seolah-olah tampak normal. Pemeriksaan dengan mikroskop elektron menemukan fusi atau obliterasi dari foot processes.1 GNLM merupakan kelainan yang paling sering dijumpai pada anakanak, untuk usia < 10 tahun sekitar 70-90% dan anak yang lebih tua sekitar 50%, sedangkan pada dewasa sekitar 10-15 %.9

Gejala klinis umumnya: faal ginjal normal, tidak dijumpai hematuria, normotensi, mempunyai respon yang baik terhadap kortikosteroid dengan remisi mencapai 90%. Biasanya pasien datang dengan edema, proteinuria dan hipoalbuminemia.1

GNLM sering mengalami remisi spontan atau remisi akibat prednisone. Frekuensi remisi dapat mencapai 2 tahun tanpa pengobatan, sedangkan dengan pengobatan dapat dicapai 8 minggu.

Adapun dosis inisial untuk kortikosteroid dapat diberikan berupa : Prednisone 1 mg/KgBB/hari atau selang sehari dengan prednisone 2 mg/kgBB setiap 2 hari selama 6-8 minggu. Kemudian dosis diturunkan 20 mg selama 2 minggu. Adapun kelebihan pemberian secara selang sehari adalah lebih rendah dalam hal supresi kortisol basal dan lebih rendah efek samping. Tidak dijumpai perbedaan yang signifikan antara penggunan kedua cara tersebut diatas.9

Jika terjadi remisi pengobatan dosis diturunkan bertahap selama 8 minggu, jika tidak terjadi, pengobatan diteruskan sampai 16 minggu. Pada pengobatan 16 minggu hasil tetap tidak mengalami remisi maka dapat dipergunakan imunosupresif lainnya.9

25

Dijumpai beberapa keadaan pasien SN dalam kaitannya dengan pengobatan:9 Remisi komplit : proteinuria < 300 mg/hari atau protein/creatinin rasio < 0,3. Remisi parsial : dijumpai penurunan proteinuria > 50 % dari nilai dasar. Relaps : jika proteinuria menjadi > 3 gr/hari setelah pengobatan selesai. Jika lebih dari 4 kali dalam setahun mengalami relaps dikatakan sebagai frequent relaps. Steroid resisten : gagal mencapai remisi dengan pengobatan minimal 16 minggu dengan prednisone. Steroid dependent :relaps terjadi pada saat penurunan dosis steroid atau dalam waktu 4 minggu setelah steroid dihentikan, dan hal ini memerlukan steroid jangka panjang.

Pada kasus relaps dapat dilakukan re-inisiasi awal. Jika kondisi steroid resisten, steroid dependent dan frequent relaps dapat dipergunakan imunosupresif lain seperti : Cyclosporine 2 mg/KgBB/ hari dinaikkan setiap 2 minggu sampai terjadi remisi atau dosis sampai 5mg/KgBB/hari atau timbul toksisitas obat. Pengobatan diteruskan sampai 1-2 tahun untuk memperoleh remisi komplit.10 Cyclophosphamid 2 mg/kgBB/hari selama 8-12 minggu dan dapat dikombinasikan dengan kortikosterid.10

MMF (mycopenolat mofetil ) 0,5-1 g/hari dalam 2 dosis terbagi. Pengguaannya biasanya digabungkan dengan prednisone dan

dilakukan penurunan bertahap dosis sampai dosis 10mg/hari selama 8-12 minggu. Pengobatan dihentikan karena adanya keukosit < 4000/mm3, febril, keluhan gastrointestinal yang tidak dapat ditolensi. Tidak boleh diberikan pada ibu hamil.11 Retuximab , pernah dilaporkan pada laki-laki 23 tahun dengan gagal dengan menggunakan cylospodrin dan MMF, penggunaan 375 g/m2selama 4 minggu dapat menyebabkan remisi.10

26

2. Glomerulonefritis membranosa (GNMN) Kelainan histopatologis yang dapat terlihat pada mikroskop cahaya berupa penebalan difus dan uniform dari membran basalis glomerulus, tetapi tidak ditemukan proloferasi sel-sel maupun reaksi inflamasi.1

GNMN meripakan bentuk paling banyak dari SN pada orang dewasa.13 Angka kejadian sekitar 30-50% dari sindroma nefrotik pada dewasa.1 Lesi membranosa sering dijumpai pada penyakit selain idiopatik seperti pada SLE, Limfoma, sarkoidosis, infeksi (hepatitis B, lepra, malaria) dan obat-obatan seperti emas , penisilinamin.1

Gejala klinis berupa sembab, Proteinuria, biasanya lebih dari 10 gram/hari dan sifatnya nonselektif, hematuria makroskopik pada 10% terutama pada anak-anak. Hematuria mikroskopik pada 50% dan 1/3 pasien disertai hipertensi dan peneurunan fungsi ginjal.1

Sampai sekarang hasil penelitian tentang manfaat golongan imunosufresif baik prednisone maupun sitostatika masih kontroversi. Row dkk melaporkan lebih 50% kasus memperlihatkan remisi tanpa imunosufresif.1 Pada penelitian lain dikatakan GNMN akan mengalami remisi spontan sebanyak 31,7% dengan prognosis yang baik dan kemungkinan untuk relaps yang rendah. Dijumpainya penurunan proteinuria > 50% dari nilai dasar kemungkinan mengalami remisi spontan meningkat.13 GNMN dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu:12,13 1. Resiko rendah (low risk) Pada keadaan ini fungsi ginjal normal dan proteinuria < 4g/hari selama 6 bulan observasi. Angka kejadian gagal ginjal pada kelompok ini < 5% dalam waktu 5 tahun.

Pengobatan : pengobatan konservatif, diperlukan monitoring selama 12-18 bulan fungsi ginjal dan proteinuria. Prognosis membaik dengan

27

mengurangi proteinuria, mencapai tekanan darah yang ideal dan menggunakan ACE-I dengan atau tanpa ARB.

2. Resiko sedang (medium risk) Pada keadaan ini fungsi ginjal normal dan proteinuria 4-8 g/hari selama 6 bulan observasi.

Pengobatan : terapi diberikan pada kelompok ini jika proteinuria menetap selama 6 bulan. Terapi menggunakan kortikosteroid dan obat sitotoksik lainnya. Penggunaan kortikosteroid (metylprednisolon 1g/hari selama 3 hari pada bulan pertama setiap awal bulan 1,3,5 diikuti dengan 0,5 mg/KgBB/hari/oral pada hari lainnya) ditambah cyclophospamide (2,5 mg/KgBB/ hari pada bulan 2,4,6)

meningkatkan survival 10 tahun dari 60% menjadi 92%. Dapat juga diberikan cyclosporine 3-4 mg /KgBB/ hari dalam dua dosis selama 6 bulan dapat meningkatkan survival dari 23% menjadi 70%.

3. Resiko tinggi (High risk) Pada keadaan ini fungsi ginjal terganggu dan proteinuria > 8g/hari selama 6 bulan observasi. Pengobatan : torres et al, menggunakan prednisone 1 mg/KgBB selama 6 bulan dan kemudian diturunkan menjadi 0,5 mg/KgBB ditambah dengan clorambusil 0.15 mg/KgBB selama 14 minggu dapat meningkatkan survival 8 tahun dari 20% menjadi 90%.

Pengobatan untuk keadaan relaps dapat berupa : cycloposfamid selama 1 tahun ditambah dengan prednisone selama 6 bulan dapat mengurangi proteinuria dan menstabilkan fungsi ginjal.12 Miller et al, menggunakan MMF ( mycophenolate mofetil) pada 16 pasien yang gagal dengan pengobatan dengan imunosupresif lain memperoleh 6 mengalami penurunan proteinuria >50% dan 2 penurunan minimum, 4 tidak mengalami perobahan dan sisanya dropout.12

28

Berikut ini skema gambaran pengobatan GNMN :

Gambar 1. Pengobatan GNMN 3. Glomeruloskelorosis Fokal segmental (GSFS)

Kelainan histopatologis yang dapat terlihat pada mikroskop cahaya berupa lesi-lesi bersifat fokal dan primer mengenai bagian justamedular: sklerosis hialin segmental dengan penambahan matriks mesangial, sel busa (foam cell), dengan atau tanpa proliferasi sel-sel, dan atrofi sel-sel tubulus. Pada tahap lanjut lesi-lesi dapat meluas hingga mengenai seluruh gomerulus.1,14

Schawarts et al, memperoleh bahwa pada GSFS terdapat sekitar 21 14% glomerulus yang terlibat.15

Angka kejadian sekitar 10% pada anak-anak dan pada dewasa sekita 10-20 %.1 Lesi ini merupakan lesi histopatologik , namun hal ini dapat disebabkan kondisi lain yang memberkan gambaran seperti lesi ini , seperti pada obesitas, penderita HIV.4

GSFS dapat dibedakan menjadi idiopatik dan sekunder (seperti akibat

29

obesitas, HIV, DM). salah satu alat bantu yang dapat membantu membedakan keduanya adalah dengan memeriksa albumin. Serum albumin rendah ( <30 g/l) kemungkinan suatu GSFS yang idiopatik.14

Gambaran klinis dapat berupa proteinuria asimtomatik, proteinuria masif dan non selektif, hipertensi. Korbet et al menemukan gambaran klinis pada GSFS berupa hipertensi (43%), hematueia (45%), sindroma nefrotik (68%), keterlibatan ginjal (24%), dan 62% terdapat pada laki-laki.15Berikut diagram pengobatan GSFS :12

Pengunaan prednison dosis tinggi adalah dengan mengunakan 1 mg/KgBB/ hari dengan maksiamal 80 mg/hari. Pada orang tua >65 tahun digunakan dosis alternate, yaitu 2 mg/KgBB/2 hari.14

30

Selain cara tersebut dapat juga digunakan seperti pada CARI guideline (caring for austrasians eith renal impairment) menggunakan prednisone 0,5-2 mg/kgBB/hari selama 6 bulan, dan dengan dosis > 60 mg/hari lebih cepat terjadi remisi. Dengan cara ini dilaporkan remisi sekitar 30-60% dengan median waktu 3-4 bulan dan pengobatan tetap harus diteruskan sampai 6 bulan.16 Untuk kasus steroid dependent dan frequent relaps dapat dipergunakan cyclophosphamide 2mg/kgBB/hari selama 2-3 bulan digabung dengan prednisone. Untuk kasus resisten steroid penggunaan cyclophospamide (3-5 mg/kgBB/hari terbagi dalam 2 dosis) selama 6 bulan lebih efektif. Jika terjadi remisi maka diteruskan sampai 1 tahun kemudian di taffering off. Jika tidak terjadi remisi maka pengobatan dihentikan.14 Pemberian kortikosteroid walaupun kontroversi namun dapt menyebakan remisi komplit 45% dan remisi partial 10%.3 penggunaan cyclophospamide menyebabkan remisi komplit 17% dan partial 7%. Pemberian cyclosporin ditambah prednisone dosis rendah selama 26 minggu memperoleh remisi komplit 12% dan partial remisi 54%. Penggunaan mycophenolate mofetil (MMF) selama 6 bulan dapat memperbaiki hampir 50% kasus.4 Remisi dapat mencapai 25% pada anak-anak.1 Progresivitas menjadi gagal ginjal sekitar 30% kasus. 4. Glomerulonefritis Membrano poliferatif (GNMP) Gambaran histopatologis memperlihatkan proliferasi sel mesangium yang sangat luas sehingga membrana basalis seolah-olah terutus-putus, ditemukan adanya endapan electrone-dence yang terletak dibawah endotel.1 Lesi ini relatif jarang ditemukan, bisanya pada usia dewasa dengan umur antara 5-30 tahun. Gambaran klinis yang dapat dijumpai berupa proteinuria dengan atau tanpa hematuria (30%), sindroma nefrotik (50%) berupa proteinuria massif non selektif. dan sindroma nerotik akut (20%), hipertensi, penurunan funsi ginjal lambat sampai bertahun-tahun sebelum terjadi azotemia.1 Pengobatan kortikosteroid masih kontroversi, dan tidak menunjukkan manfaat yang jelas pada pada beberapa penelitian, pengobatan hanya untuk 31

simtomatis.1,17,18Cattarn et al menggunaka cyclosporine ditambah prednisone dosis rendah dibandingkan dengan hanya menggunakan prednisone memperoleh 75% remisi disbanding 22% setelah 26 minggu pengobatan.4 Selain pemberian kortikosteroid, pemberian antiplatelet juga diperlukan karena sering terjadi platelet consumsion pada GNMP. Penggunaan aspirin 975 mg/hari dan dipidamol 225 mg/hari selama 1 tahun dapat mengurangi kejadian ESRD dari 14% dengan placebo menjadi 47% dengan terapi.18 Penggunaan MMF pada pasien GNMP ditambah dengan kortokosteroid dapat menguragi proteinuria dari 5 mg/24 jam menjadi 2 mg/24 jam pada pengobatan 12 minggu.18 Variasi perjalan penyakit SN sekunder 1. Systemic Lupus erythematosus (SLE)19,20 Systemic Lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan produksi antibodi terhadap komponen-kompeonen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. Terutama menyerang wanita muda dengan insiden usia 15-40 tahun, perbandingan antara wanita dan laki-laki 5:1. Keterlibatan ginjal pada SLE jika dijumpainya proteinuria > 500 mg/24 jam atau dijumpai kelainan pada urin analisa seperti hemoglobin, tubular, pyuria tanpa bukti adanya infeksi serta peningkatan kadar kreatinin. Lupus nefritis (LN) berdasarkan International society of nephrology (ISN) dikelompokkan menjadi 6 kelas bedasarkan gambaran histopatologis hasil biopsi. Kelas I. minimal mesangial LN, kelas II mesangial proliferative LN, kelas III fokal proliferative LN, kelas IV difuse proliferative, kelas V membranous LN, kelas VI advanced sklerosis LN. kelompok tersebut dibuat berdasarkan hasil biopsi ginjal. Terdapat hubungan antara gejala klinis dengan kemungkinan jenis kelainan dari LN pada pasien dengan sebagai terdapat dalam tabel berikut :

32

Tabel 3. Hubungan gejala klinis, labolatorik dan patologi pada penderita LN Penderita SLE datang dalam keadaan SN umumnya dikategorikan menjadi kelas V (membranous LN) jika tidak dijumpai kelainan fungsi ginjal dan kelas IV ( diffuse proliferative LN) jika dijumpai adanya kelainan fungsi ginjal. Prinsip pengobatan LN adalah :

Adapun penatalaksan spesifik untuk kelas V sebagai berikut: Prednisone 1 mg/KgBB/ hari selama 6-12 minggu, kemudian di taffering off sampai mencapai 10 mg/hari dan dipertahankan sampai 1-2 33

tahun. Obat imunosupresif lainnya jarang diperlukan. Hu et al melaporkan penggunaan cyclosporine kombinasi dengan kortikosteroid menyebabkan remisi komplit pada 52% dan partial remiasi pada 43%. Untuk yang tidak terkontrol dapat dipergunakan MMF. Penatalaksanan untuk kelas IV adalah sebagai berikut : Prednisone 1 mg/KgBB/hari minimal 6 bulan dan tergantung respon klinis kemudian dosis diturunkan secara betahap sampai 10-15 mg/hari dan dipertahankan sampai 2 tahun. Bila respon tidak tercapai dapat diberikan cyclophospamide 500-1000 mg/m2 setiap bulan selama 6 bulan dan setiap 3 bulan sampai 2 tahun. Jika setelah perbaikan timbul perburukan dapat diberikan cyclophospamide bulanan dapat diulangi atau diberikan tambahan bolus metylprednisolon tiap bulan. 2. Diabetes Melitus (DM)2,21,22 Diabetik nefropati (DN) didefinisikan sebagai sindroma klinik pada pasien DM yang ditandai albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau 200 ig/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan. SN pada DN jika dijumpai adanya proteinuria > 3,5 g/dl/24 jam. Staychelf et al, mendefinisikan SN pada DN jika ekskresi albumin >2,2 g/dk atau rasio albumin/creatinin >2,2 g/g. DM telah penggantikan penyakit ginjal glomeruslus sebagai penyebab utama proteinuria di united states dan eropa. Adapun fatofisiologi kerusakan ginjal pada DM :26

34

Berikut ini alur pemeriksaan pada pasien dengan DN :

Pendekatan utama penatalaksanaan DN : 1. 2. 3. Pengendalian gula darah (olahraga, diet dan obat anti diabetes) Pengendalian tekanan darah (diet rendah garam dan obat antihipertensi) Target tekanan darah <125/75 mmHg, dalam mencapai target tersebut sering diperlukan kombinasi berbagai jenis anti hipertensi. Perbaikan fungsi ginjal (diet rendah protein, pemberian ACE-i dan atau ARB. ) Pengendalian faktor komorditas (pengendalian kadar lemak, mengurangi obesitas)

4.

5.

Terapi non farmakologis DN berupa gaya hidup sehat meliputi olahraga rutin, diet, menghentikan merokok dan konsumsi alkohol. Olahraga rutin yang dianjurkan adalah berjalan kaki 3-5 km/hari dengan kecepatan sekitar 10-12 menit/km, 4-5 kali seminggu. Pembatasan asupan garam adalah 4-5 g/hari (6885 meq/hari) serta supan protein hingga 0,8 g/KgBB ideal/hari.

35

Kesimpulan Sindroma nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonephritis GN) yang didefenisikan sebagai suatu sindroma klinik dengan ciri khusus proteinuria masif lebih dari 3,5 gram per 1,73m2 luas permukaan badan per hari disertai hipoalbuminemia kurang dari 3,0 gr/mL. Etiologi SN secara garis besar dapat dibagi 3, yaitu kongenital, primer/idiopatik dan sekunder mengikuti penyakit sistemik seperti lupus eritematosus sistemik, purpura henoch schonlein, dan lain-lain. Perlu dilakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang teliti untuk memperoleh gambaran adanya penyakit sistemik yang menyebabkan SN seperti adanya DM, SLE dan lainnya. Biopsi ginjal harus dilakukan pada setiap pasien SN kecuali pada pasien DM, untuk memperoleh diagnosa pasti dan pengobatan yang sesuai. Pengobatan SN meliputi pengobatan simtomatis, seperti pengobatan untuk mengatasi proteinuria, edema, hiperlipidemia dan hipoalbuminemia, pengobatan komplikasi seperti pengobatan infeksi dan keadaan trombosis serta pengobatan spesifik. Dalam hal ini pengobatan spesifik adalah pengobatan dengan menggunakan obat-obat imunosupresif.

36

DAFTAR PUSTAKA 1. Sukandar E, Sindroma Nefrotik, dalam Nefrologi Klinik, Edisi II, Penerbit ITB Bandung, 1997, hal: 164-98 2. Hendroma, Nefrotik Diabetik, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi IV, Balai Penerbit FK UI, 2006, hal : 1920-2 3. Prodjosudjadi W, Sindroma Nefrotik, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi IV, Balai Penerbit FK UI, 2006, hal : 558-60 4. Apple G, Improved outcomes in Nephrotic Syndrome, Cleveland Clinic Journal of Medicine, 2006:73;161-7 5. Seigneux S, Marthin PY, Management of with nephrotic syndrome, Swiss Med Wkly, 2009: 139;416-22 6. Cohen E, Nephrotic syndrome, Dec 2010, available from http://www.emedicine.com 7. Sindroma Nefrotik pada Anak, Ethical Digest, 2009:67; 25-36 8. Patrakka J, et al, Congenital nephrotic syndrome (NPHS1): Features resulting from different mutations in Finnish patients, Kidney International,2000:58;97280 9. Waldman M, et al, Adult Minimal-Change Disease: Clinical Characteristics, Treatment, and Outcomes, Clin J Am Soc Nephrol, 2007:2; 445-53 10. Becker D, Minimal Change Disease, Nefrology Rounds, Massachusetts, 2008 11. Saxena S, Virmani S, Singh K , Malhotra KK, Mycophenolate Mofetil in the Treatment of Nephrotic Syndrome Indian J Nephrol 2004:14; 15-17 12. Cattran D, Management of Membranous Nephropathy: When and What for Treatment, J Am Soc Nephrol 2005:16;118894 13. Polanco N, et al, Spontaneous Remission of Nephrotic Syndrome in Idiopathic Membranous Nephropathy, J Am Soc Nephrol 2010:21;697704 14. Deegens JKJ, Steenbergen EJ, Wetzels JFM, Review on Diagnosis and Treatment of Focal Segmental Glomerulosclerosis, The Netherlands Journal URL:

37

of Medicine, 2008:66; 3-12 15. Cameron J S, Focal Segmental Glomerulosclerosis in Adults, Nephrol Dial Transplant, 2003:18;4551 16. Thomas M, Focal Segmental Glomerulosclerosis: Treatment with Steroids, The CARI Guidelines Caring for Australasians with Renal Impairment, 2006, 1-7 17. Kathuria P, Senitko M, Glomerulonephritis, Membranoproliferative, Feb 2010, available from URL : http://emedicine.com 18. Rose B, Apple G, Treatment of membranoproliferative glomerulonephritis type I and type III, Up to Date desktop 18.2, 2010 19. Houssiau F R, Management of Lupus Nephritis: An Update, J Am Soc Nephrol, 2004:15;2694704 20. Isbago H,Albar Z, Kasjmir Y, Setiohadi B, Lupus Eritematosus Sistemik, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi IV, Balai Penerbit FK UI, 2006, hal :1224-31 21. Nand N, Aggarwal HK, Sharma M, Recent Advances in the Management of Diabetic Nephropathy, Journal Indian Academy of Clinical Medicine, 2001:2; 78-84 22. Stoycheff N et al, Nephrotic Syndrome in Diabetic Kidney disease : An Evaluation and Update of the Definition, American journal of Kidney Disease, 2009:54; 840-9

38

Anda mungkin juga menyukai