Anda di halaman 1dari 9

BAB I PENDAHULUAN

Uji fungsi paru (PFT) dapat dibagi dalam dua kategori: uji yang berhubungan dengan ventilasi paru dan dinding dada, serta uji yang berhubungan dengan pertukaran gas. Uji fungsi ventilasi termasuk pengukuran volume paru dalam keadaan statis dan dinamis, juga pengukuran tekanan. Uji yang berhubungan dengan pertukaran gas mencakup analisis gas-gas yang terdapat dalam udara expirasi dan dalam darah. Pengukuran gas darah arteri biasanya mencakup tekanan parsial oksigen arteri (PO2) dan karbon dioksida arteri (PaCO2) dan pH, serta menggambarkan fisiologi kardiopulmonar. PFT penting sebagai bagian dari evaluasi klinis rutin dan sudah menempatkan diri di antara berbagai alat bantu diagnosis lain seperti radiogram dada dan EKG. Tetapi uji-uji ini hanya memperlihatkan pengaruh yang ditimbulkan penyakit terhadap fungsi paru, dan tidak dapat digunakan untuk mendapatkan diagnosis dasar perubahan patologis.1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Spirometer Spirometri paling sering digunakan untuk menilai fungsi paru dan mengukur volume paru terhadap waktu. Spirometri mengukur perubahan volume paru dengan cara merekam perubahan pada pertukaran jumlah udara yang masuk melalui tabung penghubung.2

Gambar 2.1 Spirometer

Volume paru Volume tidal (VT), yaitu jumlah udara yang masuk ke dalam dan ke luar dari paru pada pernapasan biasa. Kapasitas residu fungsional (FRC), yaitu jumlah udara dalam paru pada akhir ekspirasi biasa. Kapasitas paru total (TLC), yaitu jumlah total udara dalam paru sesudah inspirasi maksimal. Volume residual (RV), yaitu jumlah udara yang tersisa dalam paru sesudah expirasi maksimal. Kapasitas vital (VC), yaitu jumlah udara maksimal yang dapat di expirasi sesudah inspirasi maximal: VC = VT + IRV + ERV

Kapasitas vital dan bagiannya dapat langsung diukur dengan spirometer, sedangkan volume residual dan kapasitas paru total dapat diukur dengan teknik dilusi gas atau body plethysmograph.2 Kapasitas vital Kapasitas vital adalah jumlah udara maksimal yang dapat di expirasi sesudah inspirasi maximal. Hal ini berasal dari spirogram expirasi paksa, dengan pasien menghembuskan nafas dengan usaha maksimal, dalam hal ini disebut sebagai kapasitas vital paksa (FVC). Dapat juga diukur dengan pernafasan lambat dan disebut sebagai slow VC. Pada orang normal, slow VC dan FVC sangat mirip, tetapi pada pasien obstruksi saluran napas perangkap udara terjadi selama expirasi paksa sehingga FVC lebih kecil dari slo VC. Keadaan berikut dapat mengurangi VC: Mengurangi daya kembang paru (contoh: fibrosis paru, kehilangan volume paru) Deformitas bentuk dada (contoh: kyphoscoliosis, ankylosing spondylitis) Kelemahan otot (contoh: miopati, miastenia gravis) Obstruksi saluran nafas (contoh: PPOK- perangkap udara menyebabkan peningkatan volume residual dan penurunan VC) Volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1) adalah volume udara yang diexpirasi selama detik pertama ekspirasi paksa maksimal. Hal ini berkurang pada kondisi apapun yang mengurangi VC tetapi sangat berkurang jika ada saluran obstruksi udara. FEV sebaiknya selalu dihubungkan dengan FVC atau VC. Individu normal dapat menghembuskan napas sekitar 80% dari kapasitas vitalnya dalam satu detik, dinyatakan sebagai rasio FEV1/FVC. Rasio ini besar sekali manfaatnya utnuk membedakan antara penyakit-penyakit yang menyebakan obstruksi saluran napas dan penyakit-penyakit yang menyebabkan paru tidak dapat mengembang sepenuhnya. Pada penyakit obstrukstif seperti bronkitis kronik atau emfisema, terjadi pengurangan FEV1 yang lebih besar dibandingkan dengan VC, sehigga rasio FEV1/FVC kurang dari 80%. Pada penyakit restriktif parenkim paru misalnya sarkoidosis, FEV1 dan FVC atau VC mengalami penurunan dengan perbandingan yang kurang lebih sama, dan perbandingan FEV1/FVC tetap sekitar 80% atau lebih.2

Arus puncak expirasi atau Peak Expiratory Flow (PEF) adalah jumlah aliran udara maksimal yang dapar dicapai saat expirasi paksa, yang di mulai dari posisi inspirasi maksimal. PEF dilakukan dengan menggunakan peak flow meter atau spirometer. Peak flow meter berguna untuk memonitor perjalanan penyakit asma.2

Kapasitas paru total Volume residual dan kapasitas paru total dapat diukur dengan teknik dilusi gas atau body plethysmograph. Teknik dilusi gas digunakan untuk mengukur udara dalam paru yang berhubungan dengan saluran napas. Teknik ini konsentrasi gas helium dihirup melalui closed circuit dan volume gas di paru dihitung dari pengukuran dilusi gas helium. Keterbatasan teknik ini adalah tidak dapat mengukur udara yang tidak berhubungan dengan saluran napas misalnya bula sehingga hasil kapasitas paru total lebih rendah terutama pasien dengan emfisema berat. Plethysmograph tubuh adalah kotak yang tidak tembus udara yang dapat mengukur besarnya tekanan di sekitar tubuh subjek yang duduk di dalam plethysmograph. Subjek

membuat usaha napas melawan saluran udara yang tertutup sehingga volume paru meningkat, kemudian tekanan saluran napas menurun dan tekanan dalam kotak meningkat bersamaan dengan penurunan volume gas. Plethysmograph mengukur volume total gas dalam paru, termasuk apapun yang terperangkap di saluran napas yang tertutup dan yang tidak berhubungan dengan mulut, sedangkan metode dilusi helium hanya mengukur hubungan gas atau ventilasi volume paru. Pada penyakit saluran napas, volume residual sering meningkat sebagai tanda adanya udara yang terperangkap dan kapasitas paru total meningkat sebagai tanda hiperinflasi paru. Kapasitas paru total berkurang pada penyakit paru restriktif.2

Gambar 2.2 Plethysmograph tubuh

Gambar 2.3 Hubungan antara volume dan kapasitas paru

Analisa gas darah Cara paling akurat untuk menilai keadaan oksigenasi adalah dengan mengukur gas darah arteri, namun metode ini memiliki kekurangan karena memerlukan pungsi arteri. Arteri radialis(atau brakialis) sering dipilih karena arteri ini mudah dicapai. Pergelang tangan diekstensikan dengan menempatkannya di atas gulungan handuk. Setelah kulit disterilkan, lalu arteri distabilkan dengan dua jari dari satu tangan sedangkan tangan yang lain menusuk arteri

dengan alat suntuk yang sudah diisi heparin. Analisa gas darah termasuk pengukuran PaO2 , PaCO2, pH dan bikarbonat standar.1 Nilai normal dari gas darah arteri Pengukuran gas darah PaCO2 PaO2 SaO2 pH Bikarbonat Nilai normal 35-45 mm Hg 80-100 mm Hg 97 7,35-7,45 22-26 mEq/L

Ventilasi alveolar dinilai dengan mengukur PaCO2. Bila PaCO2 meningkat di atas normal, penyebab langsung selalu hipoventilasi alveolar. Hipoventilasi menyebabkan asidosis respiratorik dan penurunan pH darah. Hipoventilasi alveolar dapat terjadi bila VT menurun, seperti pada pernafasan yang cepat dan dangkal. Hipoventilasi dapat pula terjadi jika frekuensi pernapasan menurun seperti pada kelebihan dosis narkotik ataupun barbiturate. PaCO2 dapat pula meningkat untuk mengkompensasi alkalosis metabolik. Akibatnya dalam interpretasi nilai PaCO2 secara tepat, perlu dipertimbangkan pula pH darah dan kadar bikarbonat guna menentukan apakah suatu perubahan timbul akibat kondisi pernapasan primer atau justru sebagai tindakan kompensasi dari suatu kondisi metabolik.1 Bila PaCO2 menurun di atas normal, penyebabnya selalu hiperventilasi alveolar. Hiperventilasi menyebabkan alkalosis respiratorik dan kenaikan pH darah. Hiperventialasi sering timbul pada asma dan pneumonia dan menggambarkan usaha tubuh untuk meningkatkan PaO 2 dengan usaha membuang CO2 yang berlebihan dari paru. Cederat atau tumor otak, keracunan aspirin, dan ketegangan dpaat juga menyebabkan hiperventilasi atau dapat juga merupakan proses kompensasi untuk mengatasi asidosis metabolik.1

Perubahan asam-basa pada asidosis dan alkalosis Gangguan asam-basa Asidosis respiratorik Alkalosis respiratorik Asidosis metabolik Alkalosis metabolik pH HCO3 PaCO2

Perubahan gas arteri merupakan hal yang kritis dalam diagnosis kegagalan pernapasan atau ventilasi yang mungkin timbul secara perlahan-lahan.1 Oximetri Saturasi oksigen bisa diukur dengan cara noninvasif dengan menggunakan oximetri denyut nadi.2 Oksimetri denyut nadi mengukur saturasi oksigen Hb (SaO2) lebih dahulu daripada PaO2, dengan menggunakan probe yang biasanya menjepit sekeliling jari. Dua gelombang cahaya yang berbeda akan melewati jari. Hb teroksigenasi memiliki warna merah sedangkan Hb yang tidak teroksigenasi memiliki warna biru. Pengukuran absorbs dua panjang gelombang pada denyut nadi darah arteri menggolongkan dua bentuk Hb. Jumlah Hb dengan saturasi O2 langsung dihitung dan ditampilkan pada alat pembacaanya. SaO2 normal adalah 95% hingga 97% sesuai dengan PaO2 yang berkadar sekitar 80 mmHg hingga 100 mmHg. Walaupun oksimetri memiliki keuntungan dalam pengukuran oksigenasi secara

noninvasive, cara ini memiliki keterbatasan. Pertama, para ahli kesehatan harus lebih memperlihatkan pada kurva disosiasi oksihemoglobin, karena kurva ini relatif berbentuk datar di atas PO2 yang berkadar lebih besar daripada 60 mmHg (sesuai dengan SaO2 yang berkadar 90%), oksimeter denyut nadi cukup sensitive untuk merubah PaO2 di atas kadar ini. Selain itu, hubungan antara PaO2 dan SaO2 dapat berubah bergantung pada keadaan kurva yang bergerak kearah kanan atau kiri akibat faktor-faktor seperti pH, suhu dan konsentrasi 2,3 DPG. Keterbatasan kedua, alat tersebut tidak dapat membedakan bentuk lain Hb, seperti

karboksihemoglobin atau methemoglobin, bila hanya menggunakan dua panjang gelombang. Yang ketiga, bila curah jantung rendah atau timbul vasokonstriksi kutaneus, pembacaan pada alat oksimetrinya tidak dapat dipercaya. Sehinggaa pada akhirnya tidak ada informasi tentang pHdan CO2 yang didapatkan.1

Gambar 2.4 Oksimeter

REFERENSI 1. Price, S. A., Wilson, L. M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2005. 2. Bourke, S.J. Lecture Notes on Respiratory Medicine. 6th Edition. Blackwell Publishing, 2003.

Anda mungkin juga menyukai