Anda di halaman 1dari 2

Gerakan Mahasiswa, Dari Kampus Ke Negara

Berbicara tentang kampus, maka pada hakikatnya, tidak akan bisa berhenti di batas sebagai tempat kuliah. Kampus berbeda dengan jenjang-jenjang pendidikan formal sebelumnya; mulai dari SD sampai SMA. Dunia kampus memberikan pilihan seluas-luasnya bagi para mahasiswa untuk memilih jalan tempuhnya. Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada akhir tahun 2012 lalu, jumlah mahasiswa yang ada di seluruh Indonesia berjumlah sekitar 4.273.000. Angka ini relatif kecil dibandingkan dengan jumlah anak usia yang semestinya berasal di perguruan tinggi di angka sekitar 25 juta, apalagi dibandingkan seluruh rakyat Indonesia yang berjumlah hampir sepuluh kali lipatnya. Dari angka lebih dari 4 juta tersebut, ada mahasiswa yang memilih kehidupan kampus yang monoton; kuliah, pulang, nongkrong, main games, dan lain-lain. Tapi, ada juga yang tidak. Berbicara tentang kampus, maka akan didapatkan sebuah fakta yang membedakan jenjang pendidikan ini dari sebelumnya. Bahwa, terdapat fakta yang diakui bersama, kampus adalah tempat ideologisasi. Dari sinilah akhirnya kita mengenal adanya gerakan mahasiswa. Gerakan ini bisa muncul sebagai sebuah bentuk kesadaran moral. Bisa juga sebagai pengingatan. Dan ada pula yang muncul dari kesadaran ruhiyah sebagai konsekuensi keimanan dalam rangka melakukan aktivitas amar ma'rif nahi munkar.

Gerakan mahasiswa mulai marak kembali setelah kemerdekaan. Pada tahun 1966, di tengah persaingan antara Soekarno dan militer serta munculnya banyaknya partai politik (termasuk PKI), berdiri pula berbagai nama gerakan mahasiswa; KAMI, CGMI, HMI, GMNI. Pada masa itu, mahasiswa melakukan protes berjudul Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat): Bubarkan PKI, Rombak Kabinet Dwikora, Turunkan Harga. Dukungan terhadap gerakan mahasiswa mengalir dari berbagai kalangan, seperti parpol, ormas, bahkan Kostrad (Komando Strategis Angkatan Darat). Bentuk protes mahasiswa mengantarkan pada Gerakan DPR Jalanan. Dan hasilnya, 11 Maret 1966, dikeluarkan Supersemar yang mengangkat Soeharto sebagai penguasa keadaan darurat dan PKI dibubarkan. Pasca keberhasilan menggulingkan Orde Lama, gerakan mahasiswa mulai mengevaluasi perannya di masa depan. Pemerintahan Orde Baru yang pernah menjadi sekutu politiknya pun tidak lepas dari kontrol gerakan mahasiswa. Salah satu momentum sejarah yang membekas adalah peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari), berupa peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Akan tetapi, Orde Baru ala militer yang dipimpin oleh Soeharto menjaga eksistensi rezim secara otoriter. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1978, Daud Joesoef, mengeluarkan Surat Keputusan

Jurnal Opini Kampus Ideologis - Media Pembebasan | #PenyambutanMahasiswaBaru

tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kampus (BKK). Tindakan otoritarian yang dilakukan oleh Orde Baru pada kenyataannya menjadi bom waktu yang siap meledakkan perlawanan gerakan mahasiswa. Memasuki tahun 1997, keadaan ekonomi di Indonesia menjadi semakin carut-marut. Hal ini yang dimanfaatkan oleh gerakan mahasiswa untuk meraih simpati rakyat, menarik permasalahan ekonomi ini ke ranah perpolitikan yang saat itu kental dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pada tahun 1998, gejolak politik dan sosial semakin tidak menentu. Gerakan mahasiswa menjadi semakin masif melakukan perlawanan politik, hingga akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden. Sekarang, di era reformasi, gerakan mahasiswa dihadapkan pada tantangan yang baru. Rezim pemerintah tidak perlu lagi menjinakkan gerakan mahasiswa dengan tindakan kekerasan paksa. Rezim ini mungkin sudah belajar dari kegagalan Orde Lama dan Orde Baru, bahwa pengekangan fisik hanya akan mendidihkan darah-darah kaum muda milik para

mahasiswa untuk memberontak. Rezim ini belajar, bahwa cara terbaik menghadapi gerakan mahasiswa adalah menghilangkan kesadaran politik para mahasiswa, lalu mereduksinya cukup sebatas romantisme sejarah seperti dalam film layar lebar Soe Hok Gie. Para mahasiswa dibuat buta akan keadaan sosial di masyarakat yang membutuhkan peran mereka untuk mendorong perubahan total atas negeri ini. Mereka dicetak menjadi individuindividu yang hanya akan menjadi budak intelektual para pemilik modal untuk ditempatkan di berbagai perusahaan-perusahaannya. Mereka tidak lagi dapat melihat, betapa kekayaan negeri ini dirampok habis-habisan sebagai upeti para penguasa pro asing kepada penjajah dalam bentuknya yang baru. Jangkauan pandang mereka kini tak lagi luas, cukup sebatas menyejahterakan dirinya dan keluarganya. Hingga pada akhirnya, mereka keluar dari kampus sebagai pribadi-pribadi yang egois dan lupa bahwa sebagian biaya kuliah mereka berasal dari perasan keringat rakyat kecil yang bahkan untuk makan saja susah. Wahai para mahasiswa, rakyat butuh pertolongan kalian! Tidakkah kalian dulu diajarkan sebuah ucapan 'terima kasih'? Maka sekarang adalah saatnya kalian bersatu bersama rakyat, untuk membebaskan negeri ini dari penjajah dan para penguasa antek mereka. Sekarang saatnya kalian untuk membuka lebar mata kalian untuk menggabungkan Indonesia bersama negeri-negeri Islam yang terpecah belah dalam satu kesatuan negara. Saatnya kalian untuk bersatu, bergerak, dan tegakkan ideologi Islam!

Jurnal Opini Kampus Ideologis - Media Pembebasan | #PenyambutanMahasiswaBaru

Anda mungkin juga menyukai